16
by sirhayani
part of zhkansas
16
Trey menatap rambutnya lewat cermin lemari sambil merapikannya dengan jari-jarinya. Di tengah pintunya yang terbuka lebar itu, ada sosok yang bisa langsung Trey kenali hanya dengan melihat lewat ekor mata. Kemeja putih, rok abu-abu, dasi abu-abu, rambut yang dibiarkan tergerai. Trey bahkan bisa mengetahui bahwa cewek itu adalah Kalila jika melihat Kalila dari jauh saat di sekolah.
Trey menghela napas, lalu dia menghadap Kalila. "Ngapain lo ngelihatin gue tanpa ngomong apa-apa? Bikin penasaran dan kesel aja."
Kalila berdecih. "Akhirnya lo nggak tahan dan mau nanya duluan. Sok-sokan cuek sih tadi."
"Ini hari Senin, ya. Jangan bikin gue menderita," balas Trey sambil menarik dasinya yang tergeletak di atas tempat tidur. "Pakaiin."
Kalila memutar bola mata, tetapi dia mendekat dan mengomel saat mengambil dasi di tangan Trey. "Udah gede aja masih mau dipasangin dasi sama orang lain."
Trey menunduk seperti biasanya ketika Kalila memakaikan dasi untuknya. Jika Kalila enggan memakaikan dasi padanya karena mereka habis berkelahi, maka Trey akan ke Ibu dan minta dipasangkan dasi karena Trey tak pernah benar dalam memasang dasi.
Lebih tepatnya, karena dia tidak mau belajar. Hal yang paling dia tunggu di pagi hari adalah dipakaikan dasi oleh Kalila atau Ibu.
Namun, ada yang sedikit aneh. Trey memandang wajah Kalila dari dekat. Biasanya Kalila akan sulit dibujuk, tetapi mengapa kali ini Kalila hanya mengomel sebentar?
"Lo ada maunya, ya?" tanya Trey, menebak. "Nggak kayak biasanya. Bikin curiga aja."
Kalila memegang dasi Trey, lalu tersenyum kecil. "Gue mau ngasih tahu sesuatu, tapi jangan bilang-bilang ke Ibu dan Bapak dulu."
Trey menaikkan alis. "Ngasih tahu apa?"
"Gue ... dan temen kelas lo yang namanya Arvin di kelas sepuluh dulu ... pacaran."
"APA?" teriak Trey dan mulutnya langsung dibekap oleh Kalila. Kalila sampai berjinjit karena Trey yang langsung berdiri tegak. "HMPH?"
"Jangan berisik! Jangan sampai Ibu dan Bapak tahu dulu," bisik Kalila.
Trey langsung lepas dari tenaga Kalila yang tak seberapa. "Emang kenapa Ibu dan Bapak tahu? Takut lo dimarahin?"
"Malu!" seru Kalila, berbisik. "Pokoknya awas ya kalau Ibu dan Bapak tahu sebelum gue yang kasih tahu duluan, berarti itu lo! Karena nggak mungkin Kak Adam dan Kak Jiro yang bocorin duluan!"
Trey langsung cemberut. "Jadi, gue bukan satu-satunya yang tahu, nih? Malah gue yan dikasih tahu terakhir?"
"Iya, lah! Lo yang paling kecil jadi apa-apa harus terakhir juga!"
"Sialan!" Trey menarik Kalila dan membenamkan wajah Kalila di ketiaknya.
"ARGHHHH!" Kalila langsung berteriak histeris sampai terdengar suara Ibu dari bawah sana. Meskipun Ibu bertanya, "Kalila kenapa?" sambil berteriak, tetapi Ibu tidak buru-buru datang, bahkan Ibu tak mungkin datang, karena Ibu pasti sudah bisa menebak bahwa yang terjadi hanyalah pertengkaran kecil di antara Trey dan Kalila untuk yang kesekian kalinya.
"Tunggu! Tunggu!" Trey mendorong Kalila dan memegang erat kedua lengan cewek itu. "Lo pacaran sama siapa tadi lo bilang?! Temen kelas gue waktu dulu?"
Kalila mengangguk. "Namanya Arvin. Kenal nggak? Katanya lo nggak akrab sama dia."
"Gue nggak ingat," kata Trey setelah berusaha keras untuk mengingat. "Arvin siapa? Gue nggak kenal. Putusin!"
"APA?"
"Namanya aja kedengaran nama anak nakal."
"Heh! Emangnya lo bisa nilai dari namanya doang?"
"Kalau nggak lo putusin, gue laporin ke Ibu. IBUUU!"
Kalila melompat untuk menutup mulut Trey. Namun, tentu saja Kalila tidak pernah bisa menang jika berhubungan dengan fisik.
"Lo nggak akan gue ajak ngomong kalau berani ngadu!" seru Kalila, menghentakkan kaki sebelum berbalik. Trey langsung menahan pergelangan tangan Kalila. "Apa, sih!"
"Dengerin dulu," kata Trey dengan suara pelan. "Lo nggak tahu aja. Temen-temen gue kalau pacaran kayak gimana. Parah! Beberapa temen gue nyeritain ceweknya parah banget! Pokoknya, ngerendahin ceweknya. Padahal dia kelihatan gentle di depan ceweknya itu, kelihatan baik, kelihatan cowok yang penyayang, tapi aslinya ya gitu. Semua cowok sama aja pokoknya."
Kalila menatap Trey dengan sinis. "Termasuk lo?"
Trey mengangkat kedua tangannya. "Gue mah enggak. Gue nggak pernah pacaran, tuh."
"Terus, nanti kalau lo udah punya cewek, lo sama aja sama yang lain, dong."
"Gue beda. Beda! Ngapain juga gue pacaran?" tanya Trey, kesal. "Lo juga nggak usah pacaran. Buang-buang waktu!"
"Apaaa, sih!" seru Kalila, lalu segera menjauh dari Trey. "Terserah gue dong mau pacaran atau enggak."
Trey menjambak rambut yang sudah dia rapikan dengan susah payah. Rambut tebalnya kembali berantakan karena kesal tak bisa bicara lebih terang-terangan lagi. Sebenarnya, Trey ingin terang-terangan mengatakan bahwa teman Trey mengambil kegadisan sang pacar dan dengan bangga menceritakan perilakunya itu di depan cowok-cowok lain.
Tak hanya satu cowok yang menceritakan cerita yang sejenis, tetapi beberapa teman Trey yang lain. Trey shock berat saat mendengar cerita-cerita itu pertama kali dan langsung teringat Kalila. Saat itu, Trey lega karena Kalila tak pernah terdengar dekat dengan cowok.
Namun, sekarang tiba-tiba saja adiknya itu punya pacar. Trey tidak tenang dan harus mencari tahu cowok mana yang berani mendekati adik tersayangnya. Awas saja kalau cowok itu bukan cowok yang baik. Trey akan mendorong cowok itu ke jurang jika perlu.
***
"Jadi, itu yang namanya Arvin?" Trey menyangga sikunya di atas lutut. Kedua tangannya menyatu dan dia jadikan sebagai sanggaan dagu. Tatapan tajamnya terfokus pada seorang cowok kelas XI bernama Arvin yang baru saja ditunjuk oleh teman satu tim basket Trey yang juga merupakan teman sekelas Trey saat masih kelas sepuluh.
"Iya. Dia kan sekelas sama kita waktu dulu."
"Menurut lo, dia gimana?"
"Dia dulu? Euim, nggak tahu, sih. Nggak gue perhatiin. Kayaknya tipikal anak pendiem yang nggak banyak tingkah."
"Cih, biasanya yang diam-diam itu yang paling berbahaya," kata Trey dengan sewot.
"Heiii, bro. Nggak usah terlalu over jadi kakak. Adik lo pasti bisa jaga diri."
"Bisa jaga diri apaan? Mau ke WC malam-malam aja bangunin gue biar ditemenin." Trey menaruh kedua tangannya di masing-masing samping bibirnya. "OI! BELANGSAK. SINI LO!"
"Jangan kasar-kasar, Bro!" Teman Trey menepuk punggung Trey. "ARVIN!"
Arvin, yang tadinya berjalan di koridor dan agak jauh dari lokasi Trey dan temannya duduk, mendengar teriakan itu dan langsung berbalik.
"SINI BENTARAN!" seru teman Trey sambil melambaikan tangan. "ADA YANG MAU NGOBROL!"
Arvin terlihat terkejut ketika bertatapan dengan Trey. Trey semakin memandang sinis cowok itu. Arvin langsung melangkah setelah sempat terkejut. Langkahnya terlihat buru-buru. Hingga akhirnya cowok itu tiba di depan Trey dengan pandangan bertanya-tanya.
"Kenapa...?" tanya Arvin.
"Lo pacaran sama adik gue, ya?" tanya Trey langsung.
"Oh... Kalila. Iya."
"Putusin!" seru Trey dengan suara pelan.
Arvin tak mengatakan apa-apa dan hanya menaikkan alis. Di samping, teman Trey tertawa sambil menepuk-nepuk pundak kiri Trey.
"Awas ya lo kalau lo apa-apain Kalila, gue bakalan lemparin pala lo bola basket sampai lo geger otak supaya nggak macam-macam lagi!" seru Trey, penuh peringatan. "Dah. Pergi sana. Males gue lihat muka lo."
Arvin lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa.
Teman Trey memijat pundak Trey, lalu menyiram bensin di hati Trey yang berapi. "Trey, lo jangan kasar-kasar lah sama calon ipar."
"AH, ANJ*NG! CALON IPAR APAAN! NGGAK SUDI GUE!"
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro