Chapter 6
Aku menatap jalan-jalanan sepi yang dilalui oleh mobil yang sedang kunaiki ini.
"Sebenarnya kita mau kemana sih?" tanyaku kesal.
Aku tidak ada waktu untuk hal-hal seperti ini. Belum lagi nanti di kantor, aku akan dihujani seribu pertanyaan.
Aku berdecak kesal. Dari pada ikut perjalanan tidak jelas ini, mendingan aku pergi meneliti masa laluku. Terlalu banyak pertanyaan yang belum ada jawabannya dan aku malah di entah berantah dengan orang yang masih kuanggap asing.
"Nanti kau juga menyukainya," balas Raymond sambil tersenyum.
30 menit kemudian, kita sampai di tujuan. Laut. Kita sampai di pinggiran lautan, yaitu pantai. Aku bertanya-tanya di dalam pikiranku kenapa Raymond tiba-tiba mengajakku ke sini.
Raymond menghirup udara segar di sini lalu berkata, "Apa kau menyukainya?"
"Hah?" seumur-umur aku belum pernah ke pantai. Ini pertama kaliku dan kupastikan akan menjadi terakhir kalinya. Kenapa? Udara di sini memang segar, tetapi panasnya sangat menyengat kulitku.
"Kau kan menyukai pantai," ujar Raymond.
"Eh? Ini pertama kaliku ke pantai."
Raymond tertawa. "Yang benar saja," jedanya. "Kita kan dulu pernah ke pantai bersama."
Ke pantai bersama?
"Ayolah, apa kau tidak mengingatnya? Dulu kau mengatakannya kepadaku kalau kau sangat menyukai pantai. Lalu saat ulang tahunmu, aku mengajakmu ke sini," dia tertawa. "Kau seharusnya ingat betapa bahagianya dirimu waktu itu."
"Aku? Ke pantai bersamamu?"
"Yak, Miranda. Apa ada masalah dengan otakmu? Kenapa kau tidak mengingat momen istimewa itu?" ujar Raymond.
Aku mengedipkan mataku berkali-kali. Tersadar dengan kebodohanku. Ah, ya. Aku tidak boleh memperlihatkan bahwa aku mengalami hilang ingatan jangka waktu pendek saat SMA dulu. Aku tidak ingin dianggap lemah dan dikasihani. Atau yang lebih parah, aku tidak ingin menjadikan kecacatan memoriku ini menjadi suatu kelemahanku.
"Ah! Maksudmu waktu itu? Tentu saja aku mengingatnya!" seruku sambil pura-pura tertawa.
Raymond menyilangkan tangannya di dadanya. "Kau tidak ingat, bukan?"
"Kau... dari dulu hingga sekarang masih tidak bisa berbohong ternyata," lanjutnya.
Aku menggaruk belakang kepalaku. "Sudah dua kali aku dibilang tidak bisa berbohong. Sangat memalukan," gumamku sambil menunduk malu.
"Apa katamu?"
"Eh? Tidak."
Raymond berjalan tambah dekat ke pantai itu, menginjak pasir-pasir panas itu dengan sepatu mahalnya.
"Jadi... bagaimana kalau kita kembali ke kantor?" tanyaku tidak sabar.
"Belum ada 5 menit kita di sini, Miranda. Apa kau lebih menyukai berada di kantor daripada di sini denganku?" tanya Raymond sambil tersenyum. Senyum itu... terasa tidak asing. Namun anehnya, aku tidak bisa mengartikan apa arti senyuman itu.
"Apa yang kau bicarakan? Tentu saja aku lebih memilih di kantor dan menyelesaikan tugasku," jedaku sambil membenarkan rambutku yang berantakan karena angin yang kencang. "Untuk apa aku di sini bersamamu?"
Kaki Raymond langsung berhenti bergerak, dia tiba-tiba menatapku dengan dalam dan tajam. Lalu berjalan pelan ke arahku.
"Kau sudah berubah ternyata. Tidak seperti Miranda yang dulu," ujar Raymond sambil meneliti wajahku.
Aku menundukkan kepalaku untuk menjauhkan tatapan matanya yang semakin mendalam. "Tentu saja, semua orang berubah. Bukankah kau seharusnya mengetahui itu?"
Aku membuang wajahku dan berjalan kembali ke mobil Raymond. Tetapi langkahku ditahan karena ia menarik tanganku, lagi.
"Mau kemana? Di sini ada restoran di sini yang kau sukai. Ayo kita pergi ke sana sebelum balik ke kantor lagi," ujarnya.
Apa? Masih ada sesuatu yang kusukai lagi? Aku bergerutu di dalam hatiku kesal. Kenapa tidak ada satu pun yang kuingat? Dan kenapa Raymond mengingat semua yang kusukai bertahun-tahun yang lalu? Apa sebenarnya hubungan aku dengannya?
~~~
Setelah tersesat 3 kali dan kena tilang karena Raymond tidak membawa SIM, akhirnya kita sampai di restoran yang Raymond bilang tadi.
Restoran yang kusukai.
Selama perjalanan, aku memikirkan bagaimana reaksiku saat tiba di restoran itu. Apa aku harus pura-pura menyukainya? Ah, tapi skill kebohongan sangat payah. Dia tidak akan termakan oleh tipuanku.
Aku juga memikirkan jika kalau aku terus-menerus melupakan apa yang terjadi di masa lalu, Raymond pasti akan curiga. Lalu aku harus bagaimana?
"Miranda, apa kau tidak akan turun?" pertanyaan Raymond membuatku kembali sadar ke dunia nyata.
"Ah, iya," balasku sambil turun dari mobil itu.
Setelah aku keluar dari mobil Raymond, aku bisa mencium aroma makanan yang lezat. Di daerah ini banyak deretan restoran, makanya aroma bisa tercium meskipun masih jauh.
Raymond menutup wajahnya dengan syalnya. Lalu menarikku ke dalam salah satu restoran di sini.
Di restoran ini sangat ramai, hawanya sangat panas dan pengap karena restorannya lumayan kecil.
"Apa kita harus makan di sini?" tanyaku risih.
Raymond duduk di salah satu meja yang kosong, aku hanya mengikutinya.
"Kenapa? Kau tidak menyukainya? Atau jangan-jangan kau tidak mengingat tempat ini juga?"
"Ah, bukan seperti itu. Di sini terlalu ramai, apa kau yakin tidak ada orang yang akan mengenalmu?"
Aku berdoa dalam hatiku kalau dia akan percaya dengan perkataanku sekarang. Well, sebenarnya aku memang tidak sepenuhnya berbohong. Kalau ada orang yang mengenal Raymond lalu berita ini beredar, bisa tamat riwayat hidupku.
"Ah, jangan pikirkan itu. Aku ini aktor, jadi keahlian aktingku sangat bagus. Menyamar itu adalah hal termudah yang selalu kulakukan."
Aku mengehela napas berat. "Baiklah."
"Jadi kau ingin memesan apa? Kau kan suka udang, mau kupesankan udang?"
"Udang? Bagaimana kau tau aku suka udang?"
"Kau kan dulu setiap hari makan udang di sekolah."
"Ah... aku memang menyukainya. Namun, sekarang aku alergi dengan udang."
Raymond mengerutkan alisnya. "Eh? Tiba-tiba kau alergi?"
"Dulu aku pernah mengalami..."
Hampir saja aku keceplosan. Ya ampun, Miranda. Sadarlah!
"Mengalami apa?" tanya Raymond penasaran.
"Mengalami... um, masalah. Ya, dulu aku mengalami suatu masalah yang akhirnya menyebabkan badanku agak sedikit... berubah," ujarku sambil senyum-senyum polos.
"Oh, begitu. Kalau begitu pesan yang lain saja, aku ingin ke toilet sebentar."
Setelah aku mengangguk, Raymond berdiri dari tempat duduknya dan pergi ke arah belakang restoran ini.
Aku kembali memperhatikan sekitar. Ah, aromanya... menggelikan. Aku bahkan tidak ingat kapan aku makan di restoran seramai ini. Karena sejak orang tuaku meninggal, aku jarang makan di luar. Aku hanya merasa tidak nyaman.
Aku masih sibuk memperhatikan orang-orang di sini tapi tiba-tiba ponselku bergetar.
Pak Cha is calling...
Hm? Tumben Woo Shik menelponku.
"Halo?"
"Yak! Kau di mana sekarang?" teriaknya. Aku menjauhkan ponselku dari telingaku karena suaranya sangat besar.
"Yak?" aku mengulang perkataan Woo Shik.
Aku menghela napas. "Yak, kau kan tau kita seumuran. Jangan berlagak seperti senior dihadapanku."
"Kau... cepat balik ke kantor! CEO mencarimu! Pak Park mencarimu!" ujar Woo Shik panik.
"Eh? Kenapa tiba-tiba mencariku?"
"Ah, aku tidak tau. Di kantor banyak gosip kalau kau keluar dengan artis kita, Raymond. Apa itu benar? Pokoknya, baliklah ke kantor terlebih dahulu baru kujelaskan situasi kantor!"
Aku menutup mataku sejenak. Bagus, sekarang semuanya malah tambah berantakan.
"Baiklah, aku akan kembali ke kantor," ujarku lalu mematikan sambungan teleponnya.
Seketika aku lupa kalau aku sedang makan dengan Raymond. Ah, bagaimana ini? Aku tidak mungkin meninggalkannya kan? Kalau aku tetap di sini bagaimana nasib pekerjaanku? Apa aku akan dipecat?
Seperti tali yang terus-menerus memanjang dan melilit, hidupku semakin rumit setelah aku kembali ke Seoul. Raymond, Pak Park, dan sejumlah nama yang kutemui di sini membuat semuanya menjadi tambah rumit. Apa yang harus kulakukan sekarang?
~~~
Words: 1144
~~~
OMG! Finally updet juga aku:( i'm sorry guys karena hilang beberapa minggu dan cerita ini dianggurin.
Pokonya next chapt will be update soon!
Btw tinggalin komentar kamu tentang chapter ini ya!
11 Juli 2019
Indonesia.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro