20. Nasi Goreng
Kemalaman nggak?
Mau up banyak nih. Hehe
Biasa, yuk absen dulu!!!
***
"Gua punya bahan baru nih buat lo berantem sama bokap nyokap lo." Entah sejak kapan Rinai berdiri di hadapan Aeris yang tengah fokus mengerjakan makalah di laptopnya. Kehadiran tetangga sekaligus teman satu jurusan tapi beda prodinya itu berhasil membuat Aeris mengangkat pandangan. Kedua matanya memicing, menatap tampilan layar ponsel Rinai yang berisi fotonya dengan Reiji saat di perpustakaan tadi.
Alih-alih panik dan ketakutan, Aeris justru tertawa puas membuat Rinai mengernyitkan dahi keheranan. "Rinai... Rinai.... Mau lo apa, sih, dari gue? Emang lo dibayar orang tua gue buat jadi mata-mata kayak gini?" tanya Aeris.
Rinai dengan kesal mematikan ponselnya dan menatap Aeris dengan pandangan tidak suka seperti biasanya. "Suka-suka gue, lah!"
"Dih, kayak nggak ada kerjaan banget." Aeris memutar bola matanya dengan jengah. "Pulang sana, ganggu aja!" usirnya pada perempuan itu.
"Lo beneran nggak takut?" tanya Rinai untuk memastikan. Dia mengangat ponselnya, lalu menggoyang-goyangkan sedikit untuk memancing emosi Aeris.
"Mereka udah tahu kalau gue temenan sama Kak Reiji. Buat apa takut? Mau lo ngadu sampai mulut berbusa juga nggak bakalan ngaruh ke gue," seloroh Aeris yang sudah memusatkan atensi kembali ke layar laptopnya. "Mending lo balik deh. Gue di sini lagi menyendiri buat ngerjain tugas. Kalau ada lo hawanya langsung panas."
Rinai mengepalkan tangannya sebal. Ulahnya kali ini sepertinya akan gagal. Aeris tidak memperlihatkan tanda-tanda tersulut emosi seperti yang sudah-sudah. Alhasil, karena malu dengan apa yang dilakukannya barusan, dia pun memutuskan untuk pergi dari gazebo dengan langkah yang mengentak-entak.
Aeris menatap punggung Rinai yang mulai menjauh dari hadapannya dengan tatapan iba. Sejujurnya, dia juga tahu kalau tetangganya itu kesepian. Maka dari itu Rinai selalu berusaha untuk mencari masalah dengannya. Dengan begitu, Rinai akan mendapat perhatian dari Erwin dan Ambini atas laporan-laporan yang perempuan itu berikan mengenai Aeris.
"Andai sifat lo nggak keras dan gengsian kayak gitu, mungkin kita udah temenan dari lama," gumam Aeris sambil geleng-geleng kepala.
"Ih ngapain gue kasihan sama nenek lampir kayak dia, mending gue ngechat Kambing buat mastiin nanti malem jadi apa enggak," celetuk Aeris ketika sadar kalau dia belum memastikan apakah rencana yang mereka sepakati di perpustakaan tadi benar-benar serius atau tidak. Dengan gesit, Aeris mencari kontak Reiji di ponselnya dan mulai mengetikkan pesan di sana.
Kambing Guling:
Kak, nanti malem jadi?
Jadi
Gue ke sana sendiri apa lo jemput? Hehehe
Gue jemput aja
Okayyyyy, sampai jumpa nanti malem!!!
Semangat amat
Kan mau belajar bareng xixixi
Belajar apa kencan
Hah?
Sorry, itu tadi Caraka, temen band gue yang sinting
Oke....
Meski terbesit rasa kecewa di hatinya karena pesan ambigu tadi bukanlah ketikan Reiji, tapi tetap saja bibirnya tidak berhenti senyum-senyum sendiri. Aeris mungkin perlu memeriksakan psikisnya yang mulai terganggu semenjak kakinya berpijak di tanah HARNUS UNIVERSITY.
***
Reiji dan Aeris kini tengah berada di sebuah kafe yang nyaman dan tidak terlalu ramai. Keduanya tampak serius dengan buku-buku yang berjajar di meja juga satu laptop yang menyala. Reiji begitu telaten mengajari Aeris materi-materi yang belum perempuan itu pahami. Sesekali mata mereka bertemu, lalu saling mengalihkan pandangan dengan pipi yang sama-sama memerah. Eskpresi keduanya mencerminkan campuran antara keseriusan dan... malu-malu; khas sepasang remaja yang salah tingkah karena kasmaran.
Reiji lalu menyesap kopinya dengan tangan yang sedikit gemetar, sementara Aeris menatap penuh arti ke dalam cangkir tehnya. Meskipun tengah serius dan tegang, mereka mencoba menciptakan atmosfer yang mendukung. Keduanya terlihat sesekali bercanda hingga tertawa sama-sama.
Lalu, di tengah fokusnya Aeris saat mengerjakan beberapa soal yang Reiji berikan, laki-laki itu tiba-tiba mengulurkan tangannya untuk menyematkan anak rambut Aeris yang berantakan ke belakang telinga.
Aeris terkejut dengan sentuhan tiba-tiba di sampingnya dan saat melihat kalau Reiji yang mencoba merapikan rambutnya, wajahnya berubah menjadi merah padam. Dia tersenyum kecil karena hal sederhana itu.
"Makasih, Kak," kata Aeris dengan suara pelan, senyumnya melebar sedikit.
Reiji hanya mengangguk sambil tersenyum, tidak mengatakan apa pun. Tindakan sederhana itu adalah cara baginya untuk menunjukkan perhatiannya kepada Aeris. Dia tahu betapa pentingnya momen-momen kecil seperti ini dalam membangun ikatan yang kuat di antara mereka.
"Lain kali kalau bikin makalah jangan asal copas dari jurnal orang. Minimal diparafrase dulu kalau emang lagi buru-buru. Kalau lo jago mah bikin ulang aja setelah nyari kumpulan referensi."
"Iya, kemarin-kemarin lagi males aja."
"Jangan joki lagi."
"Kenapa? Jokinya kan di lo." Aeris menampilkan cengiran lebarnya.
"Nggak boleh, sekali pun itu gratis. Orang tua lo udah capek-capek kerja keras buat biayain kuliah, jangan sampai disia-siain. Belajar yang bener."
"Iya, iya, nanti nggak lagi." Aeris mencebikkan bibirnya. Dia sedikit kesal karena Reiji terdengar lebih banyak menasihatinya hari ini.
Bibir tipis Reiji membentuk senyum kecil. Dia mengangkat tangannya untuk menepuk puncak kepala Aeris dan sedikit mengacaknya gemas. "Maba tengil," ejeknya.
"Dih, Kambing Guling," balas Aeris diakhiri dengan menjulurkan lidahnya. Meski ekspresinya terlihat kesal, sebetulnya Aeris sedang menahan getaran hebat di tubuhnya karena sentuhan dan senyum kecil yang Reiji berikan.
"Maba goreng."
"Ih, kenapa maba goreng?!"
"Makanan yang digoreng bikin darah tinggi, sama kayak lo."
"IH NYEBELIN!" Aeris mendorong tubuh Reiji hingga sedikit menjauh darinya. Kali ini dia betul-betul merasa kesal dengan ejekan laki-laki itu. Alisnya mengerut tajam dan sorot matanya yang berubah mematikan.
Bukannya takut, Reiji justru makin tertawa. Aeris yang sebelumnya belum pernah melihat tawa Reiji yang bisa selepas itu ketika bersamanya pun ikut merasa senang. Itu artinya, Reiji sudah nyaman berdekatan dengannya. Ah, apa Aeris saja yang kegeeran?
***
Sebelum pulang, Reiji dan Aeris memutuskan untuk mampir ke penjual nasi goreng di pinggiran jalan. Mereka baru sadar kalau selama di kafe tadi, keduanya hanya memesan minum. Pantas saja perut mereka terasa keroncongan saat dalam perjalanan pulang. Mungkin karena terlalu fokus dengan materi-materi kuliah sehingga membuat mereka lupa untuk mengisi perut.
"Selamat makan!" seru Aeris ketika nasi goreng mereka sudah berada di hadapan masing-masing. Duduk lesehan di pinggir jalan dengan sepiring nasi goreng spesial ditambah dengan kehadiran seseorang di sampingnya membuat perasaan Aeris begitu membuncah malam ini. Entah mengapa dia merasa sangat senang dengan hal-hal sederhana yang dia lakukan bersama Reiji.
Reiji memakan nasi gorengnya dengan sesekali melirik Aeris yang terlihat begitu semangat menyantap nasi goreng. Perempuan itu ternyata tidak pilih-pilih tempat makan. Diajak ke kafe bisa, pinggir jalan juga bisa.
"Makanan favorit lo apa, Kak?" Aeris bertanya.
"Nasi goreng," balas Reiji cepat.
Aeris mengangguk-anggukkan kepalanya. "Pantes aja ngajaknya ke sini," guraunya.
"Emang kebetulan aja ada tukang nasi goreng. Kenapa? Nggak suka, ya?"
"Suka, kok. Tapi sayang nggak ada sosisnya. Tapi enak banget rasanya."
"Kayak adek gue sukanya sosis."
Aeris langsung menatap Reiji dengan mata yang berbinar. "Lo punya adek?"
Reiji mengangguk samar. "Iya. Cowok. Masih sembilan tahun."
"Boleh dong dikenalin. Gue suka anak kecil, tapi nggak punya adek." Bahu Aeris merosot lemas. Ekspresinya tampak kecewa.
"Nanya dulu dia mau apa enggak," balas Reiji, usil.
"Masa harus milih-milih, sih," tutur Aeris penuh kekecewaan.
"Iya, iya. Kapan-kapan gue ajak main."
"Namanya siapa?"
"Rafael."
"Rafael Smash?"
Reiji geleng-geleng kepala mendengar pertanyaan konyol Aeris. "Rafael Damastara."
"Bercanda doang, Kak," jelas Aeris disertai kekehannya.
"Berhenti dulu ngobrolnya. Keburu dingin tuh." Reiji menunjuk nasi goreng Aeris dengan dagunya.
Merasa kalau apa yang dikatakan Reiji benar, Aeris pun kembali fokus pada nasi gorengnya. Malam itu, di antara suara kendaraan yang lalu lalang, Reiji dan Aeris menikmati makan malam mereka dengan penuh kehangatan. Setelah menyantap semua nasi gorengnya, Aeris melihat ke arah Reiji dan tersenyum.
Hingga tiba waktunya untuk segera pergi, mereka pun berdiri dari sana. Raut kebahagiaan masih terpancar jelas di wajah mereka. Reiji dan Aeris berjalan berdampingan menuju motor Reiji setelah membayar makanan mereka, berharap kenangan panjang di malam itu tidak lekang dimakan waktu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro