Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Kembali ke Rumah


Hai hai hai! Selamat malam!

Coba absen hadiri duluuuu sinii

****

"Ini motor lo?"

Pertanyaan konyol itu keluar dari mulut Reiji begitu Aeris mengambil alih motor scoopy hitam yang baru saja dia bantu keluarkan dari parkiran. Aeris langsung menatapnya heran. Padahal, Reiji memang tidak salah, kan? Lagi pula, penampilan Aeris yang begitu feminim membuatnya kurang yakin kalau perempuan itu bisa mengendarai motor sendiri.

"Kalau motornya si Jupri, ngapain gue minta tolong lo, Kak?"

"Lo-gue lagi?"

Aeris meringis pelan sembari menggaruk lehernya yang tidak gatal. Mulutnya yang terbiasa ceplas-ceplos memang sulit untuk dikendalikan di situasi-situasi rawan pancingan emosi seperti ini. "Kakak juga pakai lo-gue barusan, hehe," balasnya.

Reiji berdecak pelan. Apa yang dikatakan Aeris memanglah benar. Namun, telinganya masih terlalu asing mendengar cara berkomunikasi perempuan itu yang terbilang kurang sopan. Terlebih, Reiji merupakan kakak tingkat Aeris, pun menjabat sebagai panitia OSPEK yang harusnya–tunggu! Apakah Reiji mulai gila akan kehormatan seperti senior-seniornya dulu?

"Oke." Pada akhirnya, hanya kata pasrah itu saja yang mampu keluar dari bibir Reiji. "Karena jam OSPEK udah kelar, jadi nggak masalah. Tapi, kalau masih ada di jam-jam OSPEK, budayakan santun kamu sebagai mahasiswa baru. Mau kalah sama anak SD?"

"Saya tau kok," tutur Aeris sambil memasang wajah tak berdosanya. Setelah naik ke atas motor, dia lalu memakai helm bogo hitamnya, kemudian menyalakan mesin motor kesayangannya itu sebelum melanjutkan,"Saya kira, Kakak beda sama yang lain. Jadi, saya berusaha santai aja. Ternyata saya salah, Kak Reiji ini sama aja kayak senior-senior pada umumnya."

Belum sempat Reiji membuka mulutnya untuk membantah, Aeris sudah terlebih dahulu melesat dengan kencang tanpa memberikan aba-aba. Melihat itu, Reiji hanya bisa geleng-geleng kepala. Baru kali ini dia bertemu dengan adik tingkat yang songongnya melebihi batas wajar. Kesalahan apa yang dia perbuat sampai Tuhan mengujinya dengan makhluk aneh seperti itu?

*****

Rumah itu minimalis. Bahkan sangat jauh dari kata mewah. Dinding-dindingnya masih berupa merahnya batu bata. Rerumputan di halaman juga mulai memanjang karena sepertinya tidak pernah diurus. Bahkan kaca jendela di bagian depan rumah itu juga terlihat usang karena debu. Bangunan sederhana di hadapan Reiji saat ini menjadi saksi masa kecilnya yang tak pernah diwarnai. Saat luka demi luka yang selalu memeluknya, tangisan kecil yang tak pernah mendapat usapan menenangkan, dan tamparan keras yang selalu dia dapat saat orang tuanya bertengkar hebat.

Rumah itu masih sama persis seperti terakhir kali dia menginjakkan kakinya sebulan lalu. Suasananya juga masih sama saat Reiji mulai menapakkan kakinya di ruang tamu. Sama dinginnya dan tak pernah terasa hangat. Rumah itu hanya terdiri dari empat ruangan saja. Saat pertama kali masuk, kalian akan disambut dengan kursi-kursi kayu di ruang tamu. Beberapa langkah berikutnya ada dua kamar yang saling berhadapan. Dan ruangan paling terakhir adalah dapur yang letaknya berlurusan dengan pintu depan.

Hanya ada satu hal yang membuat Reiji ingin pulang ke sini.

"ABANG!"

Sudah dapat dipastikan kalau itu adalah teriakan dari sang adik. Bocah laki-laki itu menyembul keluar dari dapur kemudian berlari ke arahnya. Senyuman lebar pun terukir di bibir Reiji. Dia pun berjongkok, membiarkan sang adik memeluk erat tubuh jangkungnya dan melepas rindu yang menggebu-gebu di benak keduanya.

"Maafin Abang baru bisa pulang...," bisik Reiji di telinga Rafael–adiknya yang berumur sembilan tahun itu–dengan perasaan yang sangat bersalah.

"Ael kira, Abang udah lupa sama rumah ini," gerutu Rafael dengan suara yang bergetar, seperti sedang menahan tangis.

Reiji yang mendengar itu pun langsung melepas pelukan mereka. Dan benar saja dugaannya, sepasang mata adiknya itu terlihat berkaca-kaca menatapnya. Hal itu membuat Reiji kian merasa bersalah. "Hei, nggak mungkin Abang lupa sama kamu dan rumah ini," ucapnya sambil mencubit pelan pipi tembam adiknya.

"Ibu?"

Uhuk!! Reiji tersedak ludahnya sendiri saat Rafael menanyakan itu. Air mukanya mendadak tegang. Adik kecilnya itu pasti akan salah paham. "Iya, Ibu juga," jawabnya cepat agar Rafael tidak berpikir macam-macam. Meski jauh dalam lubuk hati sana, ia ingin mengatakan kepada sang adik kalau dirinya sama sekali tidak merindukan wanita itu.

Melihat Rafael yang mengangguk percaya, Reiji pun mengembuskan napas lega. "Ibu ke mana emangnya? Kamu udah makan?" tanyanya sambil celingukan menatap sekeliling. Suasana rumah mereka terlihat sepi, seperti tidak ada tanda-tanda ada orang lain lagi selain mereka.

"Ibu belum pulang dari semalem, Ael juga belum makan, Bang, hehe. Uang jajan yang Abang kasih juga udah habis. Jadi waktu sekolah tadi Ael nggak bisa jajan...."

Bodoh! Reiji merutuki kebodohannya sendiri karena tidak becus menjaga adiknya. Bagaimana bisa Rafael sampai kelaparan? Kakak macam apa dirinya ini sampai membiarkan anak sekecil Rafael harus hidup mandiri seperti ini? "Ael... maafin Abang...."

Setetes cairan bening pun lolos begitu saja dari pelupuk mata Reiji. Dia menyesal, sungguh. Harusnya, Rafael tidak boleh menderita. Harusnya, hidup Rafael harus lebih baik daripada dirinya. Harusnya, Rafael bisa bermain bebas seperti anak-anak lain. Harusnya, harusnya, dan harusnya. Alih-alih mewujudkannya, Reiji hanya bisa berandai-andai saja.

"Abang sibuk kerja dan kuliah juga, maafin Abang, ya?" Reiji kembali mendekap tubuh mungil itu. Menumpahkan segala sesal dan kekecewaan yang bergemuruh di hatinya

*****

Reiji butuh ketenangan. Lima puntung rokok yang berserakan di bawah kakinya ternyata belum cukup membuat kegelisahannya berkurang. Alhasil, dia mengambil sebatang lagi, lalu menyulutnya dengan api. Disesapnya olahan tembakau itu penuh kenikmatan sambil memandangi langit malam tanpa kerlap-kerlip bintang di atas sana.

Sampai saat ini, Reiji masih belum mengerti. Sampai kapan rumahnya terus berdiri tanpa atap yang membentengi? Sampai kapan ia akan melihat Rafael hidup dengan kekurangan kasih sayang? Dan... harus dengan cara apa lagi dia menghentikan ibunya yang tengah menikmati masa pubertas kedua dengan seorang pria yang digadang-gadang akan menggantikan sosok ayahnya? Ya, ayah dan ibunya memutuskan untuk berpisah dua tahun lalu.

Duduk di jendela kamar adalah kebiasaan Reiji sejak kecil. Baginya, itu adalah tempat paling nyaman untuk merenungi kehidupan. Bongkahan masalah yang merundungnya cukup membuat otak dan batinnya hampir gila. Namun, ketika melihat wajah sang adik yang tertidur pulas di kasurnya itu cukup mengobati sakit di hatinya. Wajah polos itulah yang membuatnya masih semangat sampai sekarang. Tubuh mungil dan rapuh itu juga yang membuatnya harus rela membagi waktunya untuk bekerja sebagai tukang joki tugas, kewajiban kuliah, dan berorganisasi.

Reiji tertawa hambar kepada dirinya sendiri. Namun, lamunannya itu tidak berlangsung lama saat layar ponselnya menyala dan menampilkan bubble chat yang baru saja masuk.

083xxxx: hai, Mbing. ternyata satu grup, ya, kita? xixixi

******

Spam emot yang banyaakkk untuk Eijiii

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro