Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Di Sebuah Taman Kota Jakarta


Hai, hai, hai!!

Selamat malam guys

Absen hadir dulu sebelum ketemu Eijii

******

"Semesta tuh kayak lagi berusaha buat nyatuin Kambing sama gue, Dan."

Aeris sibuk berguling ke kanan dan ke kiri di kasur semenjak berbicara dengan Dania melalui sambungan telepon. Usai belajar tadi, dia langsung menghubungi nomor temannya itu untuk menceritakan segala hal yang dia alami hari ini. Mulai dari Reiji yang mengajaknya duduk bersama di taman kampus, memberi tahu dirinya bahwa laki-laki itu adalah mas-mas joki yang dia hubungi, lalu berakhir menawarkan diri kepadanya mengenai cara mencintai takdir dengan sangat manis. Semua kejadian tadi masih memenuhi kepala Aeris. Rasanya seperti mimpi. Bagaimana bisa kakak tingkat menyebalkan itu ternyata tidak seburuk yang dia kira?

"Gue bilang juga apa, kalian bakalan saling suka." Dania mencemooh Aeris di seberang telepon sana.

"Enggak, Dan. Gue nggak suka sama dia. Cuman heran aja kenapa kita selalu ketemu," sanggah Aeris.

"Lo duluan yang nemuin, Ris."

Mendengar jawaban sarkas dari Dania membuat Aeris meringis pelan. Dia menggigit bibir bawahnya cemas. Sepertinya, apa yang dikatakan Dania memang tidak sepenuhnya salah. Tapi, kan, dia memang punya alasan untuk menghampiri laki-laki itu terlebih dahulu. Bukan sekadar basa-basi atau caper. "Dia duluan yang mulai. Waktu masih ospek juga tiba-tiba suka nongol."

"Iya, sih. Kan dia ngelakuin itu cuma sebatas kating sama maba. Nah elo? Sebatas apa coba?"

"Kok lo jadi mojokin gue, sih, Dan? Nggak asik deh!"

"Gue bicara kenyataan, Ris."

"Demen banget ngeroasting gue lo, Dan."

Tut

Aeris mematikan sambungan telepon mereka secara sepihak. Dia pun mengubah posisinya menjadi terlentang di atas kasur. Matanya terpaku pada langit-langit kamar yang putih. Embusan angin sejuk yang menyelinap masuk dari jendela kamarnya yang terbuka itu menari lembut di sekelilingnya, membelai wajahnya yang terlihat lelah.

Kamarnya sepi, hanya keheningan dan suara pernapasan Aeris yang terdengar. Langit-langit kamar menjadi layar yang mampu memancing imajinasinya. Seperti buku yang terbuka lalu mengisahkan kisah-kisah tak terhingga, ia mengingat peristiwa-peristiwa konyol yang belum pernah ia alami sebelumnya.

Dalam keheningan itu, Aeris merenung tentang hidupnya. Dia telah melewati banyak rintangan dan tantangan dalam perjalanan hidupnya, namun keinginannya untuk menemukan makna sejati, masih belum tercapai. Kehidupan sehari-harinya terasa monoton, terasa seperti rutinitas yang tidak menggairahkan. Namun, saat itu, di kasurnya yang begitu nyaman, ia merasa ada sedikit perubahan di kehidupannya akhir-akhir ini.

Aeris membiarkan pikirannya melayang jauh, menjelajahi khayalan-khayalan yang tak terbatas. Namun, di tengah bayang-bayang imajinasinya itu, ketakutan dan keraguan juga muncul. Aeris mempertanyakan kemampuannya untuk menghadapi dunia luar yang begitu luas dan tak terduga. Ia merasa rapuh dan tidak yakin apakah ia sanggup memenuhi ekspektasi yang orang tuanya limpahkan kepadanya.

Saat Aeris tengah asyik merenung di kasurnya, tiba-tiba saja ponselnya bergetar dengan suara notifikasi yang lumayan kencang. Aeris merasa terkejut oleh gangguan tak terduga itu, tetapi rasa penasaran segera menguasai dirinya. Dengan perlahan, Aeris meraih ponselnya yang tergeletak di sampingnya. Layar terang menyorot wajahnya yang kaget saat ia melihat nama "Kambing" terpampang jelas di panel notifikasi. Ya, itu nama kontak Reiji.

Kambing:

Besok jam 7 malem, ya. Sesuai tempat yang udah disepakati.

*****

Di sebuah malam yang sejuk di tengah hiruk-pikuk kota Jakarta, seorang perempuan muda berjalan di taman kota dengan hati yang berdebar kencang. Ia merasa gugup karena malam ini dia akan bertemu dengan Reiji. Meski bukan pertemuan pertama, tapi tetap saja Aeris merasa ada sesuatu yang aneh karena ini adalah pertemuan mereka di luar area kampus.

Taman kota Jakarta terlihat indah di malam hari. Lampu-lampu taman memancarkan cahaya yang lembut, menciptakan suasana romantis. Aeris dan Reiji bertemu di bawah pohon rindang yang diterangi oleh lampu taman. Keduanya sama-sama canggung, saling melirik dengan senyum yang sedikit kaku di bibir mereka.

"Udah lama nyampenya?" tanya Reiji dengan suara hangat, mencoba melawan rasa canggung di antara mereka.

"Baru aja, kok," jawab Mia dengan wajah yang sedikit memerah. Ia juga tidak paham mengapa jantungnya berdebar dengan ritme tak beraturan seperti ini.

Reiji mengangguk sambil tersenyum lembut. "Kita ngobrol santai aja, ya."

Mereka akhirnya duduk di bangku taman, tetapi suasana tetap canggung di antara mereka. Aeris merasa sulit untuk menemukan kata-kata yang tepat, sementara Reiji terlihat berusaha keras untuk membuat percakapan menjadi lebih santai.

"Malam ini bintangnya lumayan banyak, ya," kata Reiji, mencoba menciptakan suasana yang nyaman sambil menatap langit di atas sana.

Aeris mengikuti arah pandang Reiji, sambil berusaha untuk mengatasi ketegangan di dadanya. "Iya. Gue jadi ngerasa kecil banget kalau ngelihat mereka."

Reiji mengangguk setuju. "Sama. Bintang-bintang di sana mengingatkan bahwa kita hanya bagian kecil dari semesta."

Perlahan-lahan, dengan percakapan tentang bintang-bintang dan beberapa topik receh, kecanggungan mereka mulai memudar. Mereka berbagi cerita tentang pengalaman hidup mereka, mimpi-mimpi mereka, dan ketakutan-ketakutan mereka. Dalam cahaya lembut lampu taman, mereka saling melihat satu sama lain.

"Lo kelihatan sedih," ucap Reiji tiba-tiba saat mereka baru saja menyelesaikan satu topik pembicaraan. Aeris kelihatan sedikit terkejut karenanya.

"Gue cuma khawatir aja sama masa depan." Aeris tertawa hambar. "Gue sama sekali nggak punya minat di jurusan sekarang. Itu yang bikin gue susah banget mau adaptasi."

Reiji tersenyum simpul. Entah mengapa, tangan kanannya tiba-tiba tergerak untuk menepuk pundak perempuan itu. "Baru seminggu pertama. Lo masih punya banyak waktu. Nggak perlu buru-buru juga. Hubungi gue kalau lo ngerasa kesusahan."

"Kenapa lo mau bantuin gue secara tiba-tiba?" tanya Aeris. Dia menatap dalam ke arah mata Reiji yang juga menyorot ke arahnya.

Ditatap seperti itu, Reiji justru buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia kemudian berdeham pelan untuk mengurangi rasa gugup yang kembali menyerangnya. "Gue juga nggak tahu. Tapi, gue ngerasa paham dengan apa yang lo alami sekarang. Mungkin dari sana, empati gue ketarik."

Aeris mengangguk-anggukkan kepalanya paham. "Emang kelihatan menyedihkan banget, ya, gue?"

"Iya," balas Reiji secara frontal. "Tapi lo pandai nutupin. Dengan tingkah lo yang blangsakan itu, gue jadi tahu permasalahan yang lo alami."

"Thanks, Kak." Aeris tertawa pelan di akhir kalimatnya. Jujur saja dia merasa salah tingkah dan tak tahu kalimat apa yang harus dia lontarkan sebagai jawaban.

Namun, saat mereka sedang tenggelam dalam percakapan mereka yang mendalam, suara riang seorang anak SMA tiba-tiba memecah keheningan malam. Seorang anak laki-laki dengan seragam sekolahnya yang rapi berjalan mendekati mereka sambil membawa keranjang kecil yang berisi permen kapas.

"Permisi, Mbak, Mas. Mau beli permen kapas?" ucap anak SMA tersebut dengan nada riang. Wajahnya tampak polos dan ceria, menyiratkan kegembiraan di balik usahanya.

Aeris dan Reiji terkejut oleh kedatangan anak itu. Mereka melihat satu sama lain dengan ekspresi iba. Mungkin karena situasinya yang sedang sulit, mereka merasa tergerak oleh ketulusan anak itu. Tanpa ragu, mereka berdua menganggukkan kepala dan memutuskan untuk membeli permen kapas darinya.

Anak SMA itu tersenyum lebar dan dengan cepat memberikan permen kapas kepada mereka. "Terima kasih, Mbak, Mas! Semoga harimu menyenangkan!"

Namun, ketika anak SMA tersebut pergi dengan senyumannya yang polos, kesedihan tiba-tiba melanda Aeris dan Reiji. Mereka terdiam, terpukul oleh perasaan mereka masing-masing. Rasanya seperti mereka melihat bayangan kecil dari masa lalu mereka sendiri dalam diri anak itu.

Aeris menutup matanya sejenak, air mata mengalir perlahan di pipinya. "Hal apa yang kurang gue syukuri, ya?" gumamnya dengan suara serak.

Reiji kembali memandang ke arah Aeris. "Gue tahu betapa beratnya hidup ini, Aeris. Tapi jangan biarkan kesedihan itu menjadikan kita hanyut dalam keputusasaan. Tapi jadiin pengalaman ini sebagai kekuatan untuk bangkit dan melangkah maju."

Malam itu, mereka benar-benar menghabiskan waktu untuk membicarakan segala hal yang berkecamuk dalam pikiran. Taman yang tenang seakan mengerti kepedihan yang mereka rasakan.

*****

500 komen yuuu hihi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro