Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Mencintai Takdir

Hai, hai, haiiiii!!!

Selamat malam semuanyaaa

Absen hadir dulu sebelum ketemu Eijiiii

****

Usai kelas pagi ini, Aeris tidak berniat untuk melipir main terlebih dahulu bersama dua temannya. Dia justru berlari terbirit-birit di sepanjang koridor kampus begitu keluar dari pintu kelas lantai satu. Bahkan teriakan Danu dan Dania pun tidak dia pedulikan. Aeris hanya fokus berlari seperti tengah dikejar setan.

"Cepet banget jalannya," gumam Aeris kemudian mempercepat langkahnya untuk menggapai seseorang yang berada beberapa langkah di depannya.

"KAMBING!" panggil Aeris setelah jarak keduanya sudah dekat. Teriakan mautnya itu mampu membuat beberapa mahasiswa menoleh ke arahnya, tapi dia tidak begitu peduli.

Sesampainya tepat di sebelah Reiji yang berhenti, Aeris pun membungkuk dan menjadikan kedua lututnya sebagai tumpuan kedua tangannya. Dia butuh beberapa detik untuk mengatur napasnya yang tersengal-sengal akibat berlarian.

"Kenapa lagi?" tanya Reiji dengan air muka tenang seperti biasanya.

Aeris kembali menegakkan tubuh setelah berhasil menetralkan napasnya. Dia memandang Reiji dengan cengiran tipis. Laki-laki itu terlihat sedikit berantakan hari ini. Kemeja yang Reiji gunakan juga tidak terlalu rapi, seperti disetrika asal-asalan. Kantung mata laki-laki itu juga menebal. Entah perasaan Aeris saja atau kenyataannya memang begitu.

"Gue lupa belum ganti biaya tambal bannya, Kak," ucap Aeris, langsung pada inti pembicaraannya.

"Oh, nggak usah," balas laki-laki itu singkat.

"Ah, nggak mau!" tolak Aeris. Dia segera merogoh saku roknya untuk mengambil uangnya di sana, tapi Reiji justru melenggang pergi tak peduli.

"KAK!"

Aeris kembali mengejarnya, membuat Reiji terpaksa berhenti lagi.

"Gue nggak mau utang budi," lanjut Aeris sembari menyodorkan selembar uang merah muda.

"Gue cuma bantuin, bukan buka jasa tambal ban," tutur Reiji, masih menolaknya.

"Tapi gue belum pernah punya utang, Kak. Nanti bisa kepikiran tujuh hari tujuh malam."

"Salah lo sendiri nganggep itu utang."

"Tapi, kan...."

"Nggak usah." Reiji mendorong pelan uluran tangan Aeris. "Kalau lo masih nggak enak, ikut gue ngobrol di sana sebagai ganti."

Aeris mengikuti arah tunjuk Reiji ke sebuah kursi taman kampus yang kosong. Tetapi, sebelum mendapat jawaban darinya, laki-laki itu sudah terlebih dahulu berjalan meninggalkannya. Mau tidak mau, Aeris pun memilih untuk menuruti saja. Dia pun berjalan di belakang laki-laki itu.

Sesampainya di sana Reiji langsung duduk di sebuah kursi kosong dan menyuruh Aeris untuk ikut duduk bersamanya. Dia menautkan kedua tangannya di atas paha dengan pandangan lurus ke depan, posisi yang menandakan bahwa dirinya tengah berpikir. Reiji bisa merasakan suasana canggung antara dirinya dan Aeris. Dia bukanlah orang dengan kepribadian ekstrovert yang gampang mencairkan suasana, melainkan sebaliknya. Bahkan untuk masuk organisasi saja Reiji membutuhkan banyak energi yang harus dikeluarkan karena organisasi menuntutnya untuk pandai bersosialisasi.

"Kalau nggak salah denger, lo pernah bilang kalau nggak pernah tertarik sama jurusan ini." Reiji buka suara. Namun, pandangannya masih menatap jauh ke depan, bukan ke arah Aeris yang jelas-jelas duduk di sampingnya.

Aeris agak tertegun awalnya. Tapi, setelah dia ingat bahwa dia memang pernah mengatakan itu di awal pertemuan mereka, dia pun memberikan anggukan singkat meski Reiji tidak dapat melihatnya. "Iya. Ini bukan jurusan yang gue inginkan."

"Terus? Mau ke mana emangnya?"

"Hukum."

Jawaban dari Aeris berhasil membuat Reiji menoleh ke arahnya. Laki-laki itu menatapnya bingung juga penasaran. Aeris bisa melihat jelas kerutan tipis di dahi Reiji.

"Jadi, manajemen pilihin kedua, ya?" terka Reiji.

Aeris menggeleng pelan. "Manajemen emang gue taruh di pilihan pertama. Gue justru nggak masukin pilihan kedua."

"Terus?"

"Pilihan orang tua, hehe."

Meski perempuan itu mengeluarkan tawa pelan, tapi Reiji tahu betul ada perasaan sedih yang berusaha Aeris sembunyikan. Dia bisa melihatnya dengan jelas melalui sorot mata yang terlihat sendu dan penuh kekosongan itu. "Masih belum ikhlas, ya?"

"Iya." Aeris menipiskan bibirnya dengan embusan napas panjang. "Tapi, mau gimana lagi? Udah telanjur masuk sini. Mau nolak juga nggak bisa."

"Dengan ngorbanin semuanya?"

"Gue udah ngalamin hal kayak gini berkali-kali, Kak." Aeris mengakhiri kalimatnya dengan senyuman getir. Sejak masih duduk di bangku SD, orang tuanya sudah mengatur jalan mana saja yang harus dilewati dan mana yang tidak boleh dilewati. Orang tuanya juga tidak pernah memberikan kesempatan kepadanya untuk menjamah keinginannya, barang sekali pun. Mereka bilang, pilihannya belum tentu benar. Mereka juga bilang, kalau merekalah yang paham betul dengan kehidupan. Jadi, Aeris tidak merasakan bagaimana nikmatnya hidup dengan jalan pilihan sendiri.

"Jadi, ini alasan lo joki tugas?"

Raut wajah Aeris yang sempat menampilkan kesedihan seketika hilang saat mendengar pertanyaan itu meloncor mulus dari bibir Reiji. Matanya membulat sempurna. Batinnya pun seketika dipenuhi oleh banyak tanda tanya.

Bukannya menjelaskan kepada Aeris, Reiji justru tertawa kecil dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ekspresi kaget Aeris benar-benar membuatnya tidak tahan untuk menahan tawa. Perempuan itu benar-benar ekspresif.

"M-maksud lo... gimana, Kak?" tanya Aeris dengan sedikit terbata.

"Nggak gimana-gimana. Sesuai sama isi pikiran lo saat ini," balas Reiji, memilih untuk tidak memberi tahu secara gamblang.

Selama beberapa waktu, Aeris diam mematung. Dia berusaha menangkap apa maksud dari perkataan Reiji. Hingga tujuh detik setelahnya, mulutnya refleks menganga lebar lalu mengatakan, "TUKANG JOKI ITU ELO?!"

Reiji tidak menyangka kalau Aeris akan berteriak sekencang itu sampai membuat telinganya sedikit tersentil. Sepertinya dia harus menyiapkan telinganya untuk menghadapi situasi seperti ini jika sedang bersama Aeris. Juga memasang muka setebal mungkin karena teriakan perempuan itu bisa mengundang atensi orang lain. "Ini bukan di hutan, by the way."

Aeris buru-buru menutup mulutnya malu. Semburat merah mulai terlihat di kedua pipi putihnya. Takdir apa yang tengah semesta rancang sampai membuat bisa terus-menerus berurusan dengan kakak tingkat yang satu ini?

"Gue bener-bener speechless, Kak. Ternyata lo buka jasa joki tugas? Gilaaa keren banget!" Aeris geleng-geleng kepala, masih tidak menyangka dengan kenyataan yang baru saja menamparnya.

"Selagi punya kelebihan prestasi, ya gue manfaatin," balas Reiji santai.

"Dih, songong," maki Aeris, sedikit menyesal karena sempat memuji laki-laki di sampingnya.

Reiji tertawa singkat menanggapi kekesal Aeris. "Gue punya beberapa tim di jasa joki tugas itu, kok. Nggak sendirian."

"Emang lo nggak pusing, Kak? Kan lo punya tugas sendiri."

"Kalau itu nggak usah ditanya karena jawabannya udah jelas. Tim gue yang lain kebanyakan udah pada lulus. Ya... selagi masih bisa, kenapa enggak?"

"Gilaaa. Kalau gue kayaknya udah gantung diri."

"Mulut lo." Reiji melempar tatapan tajam.

Aeris cengar-cengir sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Gue jadi malu, Kak...."

Mendengar itu, Reiji tanpa sadar memberikan seulas senyum tipis di bibirnya. Tatapan matanya pun sudah tidak setajam tadi. Dia memandang Aeris dengan sedikit perasaan empati. "Kalau mau, gue bisa ngajarin gimana caranya mencintai takdir lo yang sekarang."

*****

500 komen yuk bisa yuk guyysssssss

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro