10. Client A
Hai hai hai!!
Selamat malamm semuaaaaa
Absen hadir dulu sebelum ketemu Eijiii
******
"Rei, giliran lo yang jualan risol minggu ini, ya."
Reiji sontak menautkan alisnya tajam ketika mendengar kalimat menyebalkan itu, lagi dan lagi. Karena sejujurnya, dia tidak pernah mau diberi tugas mengerikan yang satu itu. Iya, bagi Reiji, itu menakutkan. Di mana dia dituntut untuk mengajak para mahasiswa membeli risolnya dengan memasang muka setebal mungkin demi menahan malu. Reiji sudah merasakan hal itu meski hanya sekali. Dan dia sangat tidak mau kejadian itu terulang lagi.
"Nggak!" tolak Reiji mentah-mentah kepada Alea, salah satu anggota HIMA.
"Lah, kenapa?" tanya perempuan itu.
"Apa aja asal bukan jualan risol." Reiji berdecak sebal membuat teman-temannya kompak menertawakan dirinya. Di antara yang lain, Reiji memiliki keprinadian yang paling kaku sendiri. Sehingga, mereka terlihat senang ketika menggodanya seperti itu. Ruang organisasi itu pun ramai oleh tawa mengejek dari mereka.
"Nggak apa-apa, Rei. Banyak loh ciwi-ciwi yang pada beli karena suka sama lo," timpal Zanila diakhiri dengan tawa kecilnya.
"Iya, jual tampang lo, Rei!" Reno ikut-ikutan.
"Ogah, lo aja!" Reiji melirik sinis ke arah Reno, sahabat paling kurang ajarnya di HIMA.
"Yakali si Reno lo suruh jualan. Yang ada malah pada kabur pelanggannya," celetuk Alea yang langsung mendapat semburan tawa dari yang lain.
"Awas lo kalau suka sama gue!" ancam Reno tidak terima. Cowok manis berlesung pipit di kedua pipinya itu terlihat menggebu-gebu. Padahal, tidak sedikit juga orang-orang yang menganggapnya tampan. Hanya Alea saja yang selalu mengejeknya.
"Jangan gitu, Le. Nanti saling suka malah repot," tegur Zanila dengan menaik-turunkan alisnya, berusaha menggoda sang sahabat.
"Kayak nggak ada cowok lain aja," tandas Alea sambil memutar bola matanya dengan malas.
"Lo sebenernya suka sama Reno, kan, Le? Kelihatan dari sorot mata, gelagat, tapi gengsi lo terlalu tinggi buat ngungkapin," kelakar Kino, salah satu anggota HIMA juga yang paling bawel.
"Bukan pakar cinta mending diem, deh. Cari pacar sono bukan malah nyomblangin temen sesuka hati!" Reno menggerutu sebal.
"Tuh, kan, dua-duanya saling suka tuh sebenernya." Kino masih belum selesai dengan tekatnya untuk menyatukan kedua insan tersebut.
"Mulut lo gue robek kayanya seru, Kin."
"Robek aja nih. AAAAA." Kino membuka mulutnya lebar-lebar, menantang Reno dengan wajah tengilnya.
Melihat itu, dengan kekesalan yang sudah memuncak, Reno pun sudah tidak tahan lagi. Dia berpikir sejenak sebelum akhirnya mendapatkan sebuah ide menarik hanya dalam hitungan tiga detik saja.
"NIH! MAKAN UPIL GUE!"
"ANJIR! HUEK!!" Kino panik bukan main. Dia berdiri dari duduknya, mencari keberadaan tisu di ruangan itu sambil berusaha menghilangkan bekas asin dari mulutnya yang berasal dari tangan Reno. Ya, sahabat laknatnya itu memasukkan upil ke dalam hidungnya tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Seisi ruangan pun tertawa melihat Reno yang langsung kabur dan Kino yang begitu panik mencari tisu dan air untuk berkumur.
"BIADAB LO!" maki laki-laki itu naik pitam.
Reiji yang melihat tingkah usil teman-temannya itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Kemudian, dia kembali menatap ponselnya. Ada sebuah pesan yang masuk di akun WhatsApp Businnes miliknya. Begitu dia membukanya, seulas senyum tipis kontan terbit di bibirnya.
Client A:
Mas Joki tahu nama saya dari mana, ya? Perasaan saya nggak nyantumin nama saya di username WA
"Maba kematian." Reiji terkekeh pelan lalu mematikan layar ponselnya tanpa berniat untuk membelasnya sekarang.
*****
Langit mendung kembali mengguyur kota Jakarta sore ini. Lalu lalang kendaraan yang terburu-buru tanpa peduli dengan kilatan petir dan licinnya jalanan sempat membuat Aeris melemparkan makiannya. Sekujur tubuhnya telah basah akibat terciprat genangan air dari salah satu mobil saat dia berhenti untuk memakai jas hujannya. Hingga pada akhirnya, Aeris memutuskan untuk meneduh di ruko kosong saja dengan memeluk tubuhnya yang kedinginan.
Ada beberapa pengendara motor lain yang ikut berhenti untuk berteduh, membuat Aeris tidak terlalu takut meski suasana sore itu terasa mencekam dan gelap padahal waktu baru menunjukkan pukul empat.
Sejak sepuluh menit lalu, Aeris tidak memgalihkan pandangannya sedikit pun dari satu keluarga kecil yang juga tengah berteduh sepertinya. Sepasang orang tua bersama dua anak kecil laki-laki dan perempuan itu terlihat asyik bergurau sejak tadi. Kalau dilihat dari penampilan, mereka mungkin berasal dari keluarga yang sederhana. Si bapak berkali-kali mengeluarkan candaan yang membuat kedua anak itu tertawa sampai terpingkal-pingkal. Sementara si Ibu hanya sesekali tersenyum tipis dengan kepala yang bersandar di bahu suami.
Hal sekecil itu saja mampu menghadirkan rasa iri yang bergejolak hebat dalam hati Aeris. Seumur hidup, dia belum pernah merasakan kehangatan yang begitu tulus dari orang tuanya. Keluarganya kaku. Jarang sekali mau untuk diajak liburan bersama. Kalau pun mau, mereka juga tetap sibuk dengan kegiatan masing-masing. Jadi, rasanya percuma saja pergi berlibur kalau mereka saja sama sekali tidak menikmatinya.
Aeris menghela napas panjang lalu menatap ke arah langit-langit yang masih menghitam. Terkadang, dia merasa lelah dengan hidup penuh tuntutan. Mama dan papanya seolah menuntutnya untuk membalas budi yang telah mereka berikan kepadanya. Seolah pengorbanan mereka harus mendapat imbalan. Seolah biaya yang mereka keluarkan harus bisa mendapat ganti.
"Dulu, Nenek sama Kakek ngedidik mereka kayak gini juga, ya?" gumam perempuan itu.
"Aeris kalau udah punya anak, nggak bakalan mau kayak mereka."
"Anak juga nggak pernah minta dilahirkan dari orang tua seperti mereka."
Lapisan kaca di mata Aeris mulai meluruh perlahan-lahan.
"Kesannya kayak beban banget punya anak kayak Aeris."
"Sekali.... aja, Aeris mau dianggap sebagai anak. Bukan investasi mereka."
Buliran bening di mata Aeris semakin bercucuran dengan bebas. Perempuan itu terisak pelan di tengah bisingnya suara hujan.
*****
500 komen dulu guysss
See you!!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro