[00] Prologue
Prologue
Story and Characters © Nikishima Kumiko
This story start with a triggered household content.
Please, be wise when reading!
.
.
.
Langit menangis, seakan mendukung suasana yang tengah dialami seorang gadis malang. Benar, itu kau, melirik ke arah kopermu. Di depan pagar rumahmu sendiri, kau berdiri menatap tempat yang sudah tidak bisa dibilang sebagai ruang untuk berpulang.
Pakaianmu basah akibat tetes hujan. Beberapa menit, kau pun merenung, bertanya-tanya kemana sekarang kau harus pergi setelah kejadian dua tahun lalu. Namun, harusnya sekarang kau merasa senang, bukan? Telah terlepas dari tali yang melilit dirimu selama ini setelah ayahmu meninggalkan dunia ini.
Meskipun secercah rasa itu berada dalam hatimu, badanmu tetap gemetaran. Tubuh kecil dan putihmu itu menggigil, mungkin saja salah satu pengaruhnya adalah karena suhu cuaca saat ini. Tetapi, perasaan gelisahlah yang membuatmu seperti sekarang ini. Masih dengan pikiran dimana kau harus tinggal, tanganmu masih terus membawa payung dan koper seraya berjalan.
Terlalu fokus, kau tak sadar telah menabrak seseorang. Hampir saja kau terjatuh, namun beruntung sosok itu mampu menangkap dirimu dengan baik. Saat itu juga, air mata lolos dan jatuh membasahi pipimu. Kau membatin, putus asa sekaligus merasa bodoh sekali karena terlahir tak berguna di dunia.
"Pardon? Apa kau tidak apa?" tanya seorang pemuda dengan rambut putih bersih. Pria berumur kepala dua itu menatap khawatir padamu. Kau membalas dengan anggukan kecil, lalu melepaskan diri dan menyeka air matamu dengan jari-jemarimu.
"Apa benar kau tidak apa? Terlihat dari kondisimu, sepertinya kau baru saja kabur dari rumah―ah, maaf kalau lancang," ujarnya masih memasang senyum cemas.
Kau tak menjawab, memilih untuk diam membisu. Bibirmu terlalu kaku untuk bergerak, suara pun tak mau keluar meskipun hanya sekedar ingin menyanggah. Melihat keadaan sosok di hadapannya saat ini, pria itu menarik lenganmu tanpa persetujuan langsung darimu. Membuatmu menunggu dalam kebingungan. Tetapi, ia memiliki niat baik, yaitu membawamu ke sebuah café yang tak familiar di irismu.
Café itu memiliki nama Rosewald Café. Saat kalian berdua masuk, desain arsitektur yang hangat terpampang jelas di penglihatan. Bunga mawar berwarna merah dipasang di setiap sudut ruangan. Seorang karyawan dengan rambut putih cream di sampingmu pun menyambut dengan sopan, walaupun beberapa detik setelahnya kelopaknya mengerjap.
"Yanagisawa-san?" tutur karyawan tersebut.
Sosok yang membawamu itu tersenyum hangat, perasaan aneh mulai memenuhi relung dadamu. Kau belum pernah merasakan perasaan tersebut setelah ayahmu meninggal beberapa tahun yang lalu. Dan benar saja, hal aneh itu makin menjalar ketika Yanagisawa Misato―pria bermahkota putih dengan iris hijau langka yang membawamu tersebut―menepuk bahu kecilmu dengan pelan.
"Gadis ini akan tinggal di café sementara waktu sampai ia mendapat rumahnya sendiri," ucap Misato kepada karyawannya sembari mengulas senyum ramah kepadamu.
.
.
Kejadian setahun lalu itu membekas di ingatanmu. Sampai sekarang, kau masih tinggal di Rosewald Café bahkan bekerja di sini sebagai rasa terima kasih pada Misato yang telah memungutmu secara percuma. Kau seharusnya hidup seperti ini dari dulu dan seterusnya. Namun, harapan tersebut dihancurkan dengan mudah. Tubuhmu menegang ketika melihat pria berambut hitam.
Meskipun warna iris itu tak sama persis denganmu. Wajah putih dan hidungnya yang mancung. Kau dan sosok itu sangat mirip, padahal kalian berdua tidak mempunyai ikatan darah dan otak sang pria lebih encer darinya.
Benar, aku bukan apa-apa karena itu tempatku digantikan, batinmu seraya mengepalkan tangan.
"Oh? [Name]! Aku mengunjungimu, lho!" sapa sosok tersebut lalu menghampirimu dengan antusias, lagi. Ini sudah yang kesekian kalinya pria tersebut mengunjungimu dan sudah kesekian kalinya pula kau mencoba untuk menghindarinya.
Kau mengalihkan pandangan, tak berniat untuk menunjukkan wajah pada sosok itu. Bibirmu membuka, mengeluarkan suara pelan, "Kenapa kau datang ke sini, Livian?"
"Apakah salah?" balas Livian.
Suasana menjadi suram, Livian hanya tersenyum tipis sesekali menggaruk pipinya yang tidak gatal. Menyadari atmosfer yang tidak enak bagi para pengunjung, Misato mengajak kalian berdua untuk berbicara empat mata di ruang staff only. Kini, yang benar-benar bekerja hanyalah Misato, Ryou dan Alison. Mereka bertiga tahu betul masalah yang dialami olehmu.
Tak ada yang berniat untuk berbicara, kedua saudara ini terlalu fokus pada pikiran masing-masing. Sepertinya nyaman sekali membiarkan keheningan menguasai. Meskipun begitu, Livian tidak bisa berlama-lama di sini.
"[Name], apa kau tidak ingin pulang?"
Kau tersentak kaget, tubuhmu bergetar mendengar ajakan Livian. Kau menggigit bibir, tanganmu pun kau kepalkan. Reaksi gadis tersebut membuat Livian sadar dan menghela napas.
"Ibu akan pergi ke Italia. Ia memintaku untuk membawamu pulang," ujarnya menjelaskan.
"Aku ... tidak ingin pulang ke sana." Kau mencoba membalas dengan perkataan dingin, meskipun suaranya bergetar.
Kau sudah lama tidak mempunyai tempat untuk pulang sejak diusir oleh ibu kandung sendiri. Setelah ayahmu meninggal, Ibumu benar-benar seperti orang gila. Ia tidak akan segan memukul dan menyiksamu hanya untuk melampiaskan emosi atau jika saja tidak bisa memenuhi semua yang ibumu inginkan.
Puncak penderitaanmu adalah ketika Livian diadopsi dan lebih banyak mendapatkan perhatian darimu karena pemuda itu lebih sempurna. Tak lama setelah itu, kau diusir dari rumah. Dan apa ini? Livian malah mengajaknya untuk kembali ke neraka itu?
Ah, orang-orang di sana pasti sudah gila.
Tentu saja ada perasaan dimana kau ingin kembali, tapi kau tidak bisa.
"Pulanglah. Aku tidak akan kembali ke sana," ungkapmu ketus lalu membalikkan badan, berniat untuk melanjutkan pekerjaan.
"Kalau kau tidak ingin pulang, aku akan meyakinkanmu sembari bekerja di sini juga!"
Tanpa diminta, Livian menggenggam tanganmu dengan kuat. Membuatmu hampir saja mengaduh kesakitan, beruntunglah Misato datang dan melepaskan genggaman pria berambut hitam itu dengan paksa.
"Misato?" gumammu kebingungan.
"Nona di hadapanmu telah menolak dan kau malah memaksanya seperti ini. Apa kau benar seorang pria?" sarkas Misato dengan senyum yang terlihat sangat siap untuk menerkam Livian. Pemuda berambut hitam itu mundur sejenak, sadar telah merasakan bahaya berdasarkan instingnya.
"Soal aku mengajaknya pulang ke rumah, itu bukan urusanmu! Ia sudah setahun ini tidak punya tempat menetap, bukan? Itu buruk untuk reputasi keluarga Raven."
Ah, pada akhirnya semua hal tentang diriku ditujukan untuk keluarga, batinmu.
Meskipun kau merasa terganggu, kau tetap memilih untuk diam seraya enundukkan kepala. Misato tak suka melihatmu merasa down, bagaimana bisa gadis yang lebih muda tiga tahun darinya itu mengalami hal buruk seperti ini dalam hidupnya?
Pemuda albino berdarah Jepang-Inggris itu mengulas senyum. Irisnya menatap tajam Livian.
"Dengarkan aku, Livian de Shamus Raven. [Name] sudah punya rumah. Tempat kembalinya adalah di Rosewald Café, karyawan di sini adalah keluarganya. Kalau kau benar adalah keluarganya, kau harusnya paham bagaimana yang ia alami selama ini hingga ia tak mau kembali ke sana."
Seorang pemuda bersurai putih muncul―Ryou―wajah datar ia perlihatkan, tak lupa dengan tatapan sinis yang dilayangkan melalui irisnya. Sedangkan pemuda yang memiliki rambut ginger, Alison, hanya menyeringai melihat keadaan. Kedua karyawan itu ikut andil dalam menekan Livian.
"Aku juga tidak akan menyerahkan [Name] untuk kembali ke sana, asal kau tahu saja!" sahut Alison, geram, diikuti dengan anggukan dari Ryou.
Pemuda berambut putih cream itu ikut menanggapi dengan datar, "Berhentilah memaksakan kehedakmu padanya."
Bodoh, bagaimana bisa kau lupa?
Orang-orang ini adalah penyelamatnya dari semua hal buruk. Benar, kau tidak boleh ragu. Café ini adalah rumah dan hidupmu. Ajakan dari Livian tak akan membuatmu goyah lagi. Di saat kau sudah punya tempat untuk berpulang, mengapa ia mengharapkan sesuatu yang tak akan pernah terjadi?
Kau tidak akan kembali ke rumah itu, lagi.
"Kau dengar itu? Aku tidak kembali ke sana, bukan berarti aku tidak punya tempat tinggal. Rumahku adalah di sini," tegasmu.
Kelopak mata Livian mengerjap, senyum tipis terbentuk. "Begitu, ya. Kau sudah tumbuh rupanya, aku akan pulang kalau begitu. Bye!"
Sesuai perkataannya, ia benar-benar mengundurkan diri dan pamit. Melihat Livian yang pergi, perasaan hangat menjalar di hatimu. Kau tak menyangka, telah mendapatkan rumah sejak setahun lalu.
Benar, cafe ini adalah rumahmu. Bukan sebagai tempat bernaung saja, tetapi tempat berkumpul dengan orang terkasih.
.
.
.
[Option Start!]
A. Setelah kejadian itu, kau memutuskan untuk kembali menjaga kasir.
B. Mungkin, kau harus beristirahat sejenak di dapur untuk memulihkan tenaga sosialmu, sekaligus memakan desserts.
C. Memutuskan untuk membuang sampah dan menangis di sana.
D. Meminta izin kepada manager untuk beristirahat pada sisa waktu hari ini.
.
[Silahkan pilih opsi di atas untuk menentukan takdirmu!]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro