Extra - Happy Now?
"Satu hal yang selalu gagal aku sadari adalah tentang waktu." Azalea berujar sesaat setelah dia menghempaskan tubuh di atas kursi meja rias. Lewat pantulan pada cermin, Azalea tahu kata-katanya membuat Adrian menoleh. Gerak tangan Adrian yang tengah melepaskan dua kancing teratas kemejanya mendadak terhenti.
"Hm, what do you mean, crybaby?"
"Waktu berlalu begitu cepat. Nggak kerasa, teman-teman kamu yang dulu kekanak-kanakan sudah nggak kekanak-kanakan lagi. Nggak kerasa, cewek cablak yang hobi ceplas-ceplos waktu kamu masih kuliah dulu sudah jadi seorang ibu." Azalea menghela napas sambil melepaskan anting-anting dari telinganya, lantas tangannya ganti meraih botol makeup remover. "Aku iri sama dia. Banget."
Adrian berjalan mendekati Azalea diiringi tarikan napas panjang. Kemudian lelaki itu berlutut di dekat kursi rias, mengambil alih kapas berlumur makeup remover dari tangan isterinya. Azalea tidak menghindar ketika Adrian membersihkan jejak-jejak perona pipi yang masih melekat di wajahnya dengan satu sapuan lembut.
"Kita udah pernah ngomong tentang ini, Lea."
"Aku tau. Aku hanya bilang kalau aku iri."
Adrian tak menjawab walau tangannya tak henti bergerak. Rona warna yang tak alami perlahan hilang dari bagian-bagian wajah Azalea, mulai dari pipi, mata hingga bibirnya. Tetapi Adrian jelas tetap akan jadi orang pertama yang selalu mengatakan bahwa tidak peduli sepucat apapun, tanpa makeup atau tidak, seorang Azalea Pramudita akan selalu jadi yang tercantik buatnya.
"Kamu nggak iri? Atau emang nggak pernah ingin jadi Ayah?"
"Bukan begitu. Kalau kamu tanya aku kepingin atau nggak, jelas aku kepingin. Nggak ada laki-laki yang nggak mau jadi Ayah, Lea. Terutama kalau mereka punya istri seperti kamu." Adrian tersenyum tipis. "Tapi kamu tau, kita nggak bisa."
"Bukan kita. Tapi aku."
"Aku nggak suka kalau kamu ngomong seolah-olah semuanya salah kamu."
"Atau mungkin memang nggak ada yang salah," Azalea membalas cepat. "Masalahnya cuma karena kamu nggak pernah berani mencoba."
"I'm not a gambler. Dan kalau risikonya adalah aku mungkin kehilangan kamu, aku lebih memilih untuk nggak mencoba sama sekali."
"Everythings gonna be alright, Adrian. Sekali aja. Coba sekali aja. Please?"
"What a demanding cry baby." Adrian menyentakkan kepala, meletakkan kapas lembab yang kini permukaannya kotor oleh warna-warna makeup yang semula melekat di wajah Azalea. Lantas dengan sudut ruas jari telunjuknya, dia menyentuh pipi gadis itu. "Kamu harus cobain gimana rasanya saat kamu melihat orang yang kamu sayang terjebak dalam situasi antara hidup dan mati."
"I'm not going to die, hubby."
"Rasanya nggak enak." Adrian seolah mengabaikan ucapan Azalea. "Kalau bisa, aku nggak mau mengalami itu lagi."
"Adrian Cetta Arsenio,"
"Lagipula, memangnya punya anak harus selalu berarti anak kandung? Nggak juga, kan? Ada banyak anak-anak kurang beruntung di luar sana. Gimana kalau kita adopsi aja?"
Azalea mengembuskan napas pelan. "Aku harusnya bisa nebak kalau nggak peduli seberapa keras usahaku, kamu bakal tetap menolak."
"Karena aku nggak bisa kehilangan kamu. Peristiwa kecelakaan waktu itu adalah yang pertama dan terakhir. Aku nggak mau ngeliat kamu kayak gitu lagi." Adrian berkata sembari beranjak dari posisi berlututnya. Tak lupa dia memberikan satu kecupan ringan di sisi kepala Azalea sebelum bergerak menuju pintu kloset kamar mereka untuk berganti pakaian.
Sadar jika Adrian tidak bisa dibujuk hanya dengan kata-kata—karena usaha itu telah dicoba dia lakukan selama beberapa bulan terakhir—akhirnya Azalea memilih menyerah. Gadis itu pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Dia sengaja lama tidak keluar, merasa perlu menenangkan diri diiringi suara berisik dari air keran yang mengalir ke lubang pembuangan wastafel.
Dulu, Azalea mungkin adalah gadis yang sangat skeptis setiap kali berbicara soal cinta. Dia tidak punya target usia ideal untuk menikah—bahkan sempat berpikir jika menikah hanya akan menambah beban hidup yang harus dia tanggung. Apalagi berpikir untuk punya anak. Mungkin ini karma, pernah benaknya berbisik begitu. Kini, bersama Adrian, Azalea justru mulai menginginkan rumah yang penuh dengan suara tawa anak kecil. Juga segala masalah yang berkaitan dengannya, entah itu suara tangis di tengah malam atau kasur yang basah karena ompol. Melihat teman-teman mereka satu-persatu memiliki anak, kemudian menjalani hidup dengan normal dalam sebuah keluarga kecil yang menyenangkan tak pernah gagal membuat Azalea merasa iri.
Dia menginginkannya. Dia menginginkan hidup yang seperti itu. Dia ingin ada anak-anak kecil yang mirip Adrian memanggilnya dengan sebutan Mama. Dia ingin tahu bagaimana rasanya saat mendengar anak itu bicara untuk pertama kali. Dan anak itu adalah anaknya. Anak yang dia kandung sendiri, bukan anak yang diadopsinya dari panti asuhan.
Apakah keinginannya itu terlalu muluk untuk jadi nyata?
Suara ketukan di pintu adalah apa yang kemudian membuat lamunan Azalea terpecah. Setengah gelagapan, gadis itu mematikan keran yang masih terus mengalirkan air. Kemudian dengan cepat, tangannya terjulur meraih handuk untuk mengeringkan wajah.
"Azalea, you okay?"
"I'm fine." Azalea membalas cepat sebelum mengembalikan handuk pada raknya dan bergerak keluar dari kamar mandi. Adrian ada di depan pintu, berdiri dengan alis yang terangkat. Setelan rapinya yang terkesan formal sudah terganti oleh sehelai sweatpants warna kelabu dan kaus putih yang membuat kulitnya tak terlihat seterang saat dia mengenakan kaus hitam.
"Aku kira kamu pingsan di dalam."
"Kalau kamu bercanda, sayangnya aku harus bilang candaanmu nggak lucu." Azalea menjawab datar. Dia melangkah melewati Adrian, memilih langsung naik ke tempat tidur dan berbaring dalam posisi miring. Adrian mengernyit, lantas tersadar apa arti di balik sikap yang Azalea tunjukkan. Mereka telah tinggal serumah hampir dua tahun lamanya. Mudah bagi Adrian untuk tahu kapan seorang Azalea bisa ngambek seperti anak kecil.
"Kamu ngambek?"
"Menurut kamu?"
"Lea,"
"Kali ini kamu nggak bisa ngerayu aku pake tiket liburan. Nggak juga pakai voucher makan steak sepuasnya. Atau satu hari penuh bareng kamu. Sekarang, aku nggak semurahan itu."
"Jadi kemarin-kemarin kamu murahan, dong?"
"Terserah."
Adrian menghela napas, "Azalea, jangan marah begitu."
"Aku nggak marah."
"Cuma ngambek?"
"Nggak ngambek juga."
"Kalau gitu, kenapa tidurnya munggungin aku?"
"Aku lagi malas liat muka kamu."
"Tapi aku mau tidur sambil peluk kamu."
"Sayangnya, aku nggak."
"Lea,"
"I don't want to hear anything, Adrian."
Adrian berdecak pelan, tapi kemudian memutuskan untuk mengalah. Namun, lelaki itu tak langsung naik ke atas tempat tidur begitu saja. Dia membungkuk sedikit untuk menarik selimut sampai ke bahu Azalea, lantas menunduk untuk menanamkan satu ciuman di puncak kepala perempuan itu.
"Sleep tight."
Hening. Azalea tidak menjawab bahkan hingga Adrian telah berbaring di sisi ranjang yang lain. Atmosfer tidak nyaman terasa melingkupi ruangan itu, membuat keduanya sama-sama tidak bisa tidur. Adrian menarik napas panjang berkali-kali, memandang lekat pada langit-langit kamarnya yang kuning gading hingga sebuah suara isak pelan membuat kepalanya langsung tertoleh. Azalea masih memunggunginya, namun kini dengan bahu yang samar berguncang.
Refleks, Adrian langsung beranjak dan meraih bahu gadis itu. "Lea, kamu kenapa?"
Azalea menggigit bibir, lantas sebuah jawab yang lebih mirip bisik terlontar keluar dari mulutnya. "I want it so bad. I want to be like her. I want to have my own children, Adrian. Mine, not anyone else's."
"Silly cry baby, won't you stop crying now?" Adrian menghapus air mata di wajah Azalea dengan jarinya. "Please. Please."
Azalea tak menjawab. Hanya air matanya yang masih saja mengalir. Tak berhenti walau Adrian sudah beberapa kali mencoba menghapusnya.
"Oh please, don't cry like that." Adrian mengulang, kali ini sambil menarik kepala Azalea ke dalam pelukannya. Suara isak perempuan itu langsung teredam dalam dekap. Jari-jari Adrian bergerak diantara rambutnya, mengelusnya dengan sepenuh rasa sayang. Butuh beberapa menit hingga tangis Azalea mereda.
"Kamu jahat, tau nggak?"
"Aku cuma nggak mau kamu kenapa-kenapa."
"Aku nggak apa-apa."
"Menurut kamu. Bukan menurut dokter. Iya, kan?"
Azalea berdecak. "Aku nggak mau berdebat sama kamu."
"Yaudah."
"Yaudah apanya?"
"Aku nggak punya pilihan lain, kan?" Adrian menarik seulas senyum getir. "Kamu nggak mempan lagi disogok pake voucher makan steak atau voucher A Day with Adrian. Udah nggak bisa dialihkan pake tiket liburan. Emangnya aku punya pilihan lain?"
Jawaban Adrian justru membuat Azalea terdiam.
"Kalau aku nggak menuruti kamu, kamu pasti bakal lanjut ngambek sama aku. Dan aku paling nggak bisa tidur kalau nggak sambil meluk kamu."
Ada senyum yang mati-matian Azalea tahan. "Gombal."
"You know I was being honest."
"Jadi kamu mau nyoba, kan?"
"Dengan satu aturan yang jelas," Adrian buru-buru menukas tegas. "Seandainya nanti dokter bilang itu berbahaya buat kamu dan harus dilepaskan, aku nggak akan ngambil risiko."
"Hm," Azalea bergumam pelan sambil menukar posisi berbaringnya dengan posisi duduk. "Yaudah."
"Yaudah. Mending sekarang kita tidur. Udah malam. Aku tahu kamu capek."
"Kok malah tidur?"
"Terus mau ngapain?"
"Katanya udah deal kalau kita mau coba program bikin anak." Azalea mengerucutkan bibirnya, membuat wajahnya tampak menggemaskan. "Kok malah tidur?"
"Astaga. Kamu belajar bahasa itu dari mana?"
"Dari Hana."
"Duh. Jangan keseringan bergaul sama Hana."
"Loh, aku sama dia kan sama-sama anggota asosiasi para istri geng kambing gunung."
"Geng—astaga—" Adrian hampir saja menepuk dahinya keras-keras. "Ternyata Hana belum sepenuhnya insyaf. Tapi serius deh, Lea. Jangan keseringan bergaul sama dia. Nanti lama-lama aku jadi susah mengenali kamu."
"Kenapa? Kamu nggak suka aku yang humoris?"
"Humoris sih humoris, tapi nggak receh juga, Lea."
"Katanya kamu bakal selalu cinta sama aku nggak peduli aku kayak gimana."
Mata Adrian menyipit. "Kok kamu jadi kayak cewek sekarang?"
"Emangnya selama ini bukan?"
Adrian menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Nggak gitu maksudku."
"Udah, deh. Aku lagi nggak mau debat sama kamu. Mending sekarang kita mulai program bikin anaknya."
"Sekarang banget?" Mata Adrian terbeliak hingga ke bukaan maksimal.
"Minggu depan. Yaiyalah sekarang."
"Duh. Harus banget sekarang?"
"Harus dicicil, husband. Emangnya kamu yakin sekali coba bakal langsung jadi bayi?!"
"Lea,"
"Kenapa?"
"Kamu tuh beneran perempuan yang sama aku nikahi dulu nggak, sih?"
"Makanya coba dijajal dong, aku masih sama nggak kayak waktu kita malam pertama dulu."
Adrian menghela napas panjang. Suhu udara kamar mereka sejuk karena adanya pendingin ruangan, namun entah mengapa mulai ada bulir-bulir keringat yang timbul pada pelipisnya. Azalea terlihat menyadari itu, karena pada detik berikutnya dia memiringkan wajah. Pelan-pelan, airmukanya yang semula tegas berubah melembut.
"Aku jadi terlalu menuntut, ya?" Azalea berujar dengan semburat malu yang mulai menyebar di pipinya. "Ah ya. Mungkin kamu capek. Yaudah nggak apa-apa, nanti aja. Mending sekarang kita tidur."
"Nah, it's too late," sebelum Azalea bisa kembali berbaring, sebelah tangan Adrian telah lebih dulu menahan pergelangan tangan gadis itu agar tetap berada dalam posisi duduk. Segalanya terjadi begitu cepat dan satu-satunya yang Azalea ingat adalah Adrian menjemput bibirnya ke dalam sebuah ciuman. Seperti biasa, laki-laki itu selalu bersikap selembut mentega. Ciumannya lambat seperti ballad Sinatra, terus bergerak dari bibir hingga ke rahang, leher, kemudian turun dan turun. Dalam sekejap, Azalea tersesat ke dalam pesonanya.
Apa yang terjadi selanjutnya di kamar itu adalah sebentuk rahasia kecil antara mereka berdua, para penonton di ujung langit dan dinding-dinding pucat kamar yang perlahan menghangat. Jika ada saat-saat dimana Azalea merasa amat dekat dengan Adrian, malam itu adalah salah satu diantaranya. Kulit di atas kulit, tanpa pemisah. Begitu jujur, begitu terbuka dan begitu jelas apa yang tampak dalam mata Adrian ketika akhirnya lelaki itu merunduk untuk mencium Azalea setelah mengakhiri penyatuan mereka. Sorot hangat yang tidak pernah mendingin. Seperti cintanya yang tak pernah surut.
Adrian tidak langsung beranjak. Laki-laki itu sengaja berlama-lama mengistirahatkan kepalanya di ceruk leher Azalea. Napas panjangnya terhela, seperti ingin menghirup habis aroma sabun mandi yang menguar dari lekuk tulang selangka perempuan di bawahnya. Azalea tidak menyuruh lelaki itu bangkit, walaupun helai rambut Adrian terasa menggelitik sepanjang garis rahangnya.
"You like that, huh?"
Azalea tersenyum lebar, mengangkat kepalanya untuk mengecup cepat bibir Adrian. "I love that."
"Of course you should." Adrian menarik selimut yang semula teronggok di pojok ranjang, tepat di dekat kakinya dan menggunakan selimut tersebut untuk menyelubungi tubuh telanjang mereka berdua. Di bawah temaram cahaya lampu tidur sebagai satu-satunya sumber penerangan di kamar, mata gelap Adrian menatap sebentar pada Azalea. "Damn it."
"Kenapa?"
"You look too beautiful. Did I marry a goddess back then?"
Azalea tersipu. "Dan mulut kamu masih aja terlalu manis."
"Nggak apa-apa kalau manisnya ke istri sendiri."
"Kamu sih manis ke semua perempuan."
"Kalau itu beda. Aku kan emang harus baik ke semua orang."
"Sama aja."
"Tapi aku nggak berbuat begini—" Adrian menunduk tiba-tiba, mencuri satu ciuman kilat dari bibir Azalea. "—ke semua perempuan."
"Kalau yang itu emang cuma boleh ke aku aja."
Ucapan Azalea membuat Adrian tertawa kecil.
"Lea," Lelaki itu memanggil setelah dia menarik pinggul Azalea untuk lebih dekat padanya. Kulit perempuan itu terasa hangat di bawah sentuhan jemarinya, membuat pikiran Adrian kembali mengimajinasikan sesuatu yang liar. Namun well, tentu saja, malam mereka tak bisa lebih panjang dari ini. Adrian bukan tipe orang demanding yang akan bertindak tanpa memikirkan Azalea. Hari ini tentu melelahkan untuk Azalea. Gadis itu butuh tidur yang cukup.
"Hm,"
"Don't ever cry like that again."
"Iya."
"Good. And remember this very clearly,"
"What?"
"I love you."
Senyum merekah di wajah Azalea ketika gadis itu menyurukkan hidungnya ke lekukan leher Adrian. "I love you too, husband."
*
"Lo—apa?!"
Reaksi spontan dari Jeviar dan Rama membuat Adrian harus menutupi wajahnya dengan kedua tangan selama beberapa saat karena teriakan kedua lelaki tersebut membuat kepala sebagian besar pengunjung kafe yang lain tertoleh ke arah mereka.
"Jangan drama dong, elah. Udah dewasa juga masih aja pada hobi drama," Dengan jengah, Adrian berujar sambil meraih sepotong kentang goreng. "Tapi ceritanya emang begitu."
"Kurang komplit sih ceritanya. Belum sampe bagian ena-enanya." Rama menyergah, membuat Adrian harus berusaha keras menahan diri agar tidak meninju wajah laki-laki sok innocent itu di tempat.
"Kalau urusan ena-ena mah rahasia perusahaan, Ram." Je menyahut kalem. "Terus gimana dong?"
"Gimana apanya?"
"Kalau bini lo tau-tau tekdung gimana?"
"Nggak apa-apa, toh udah ada suaminya. Yang bikin panik itu tekdung sebelum nikah tuh baru deh bikin kalang kabut."
"Mulut lo sampah banget."
"Muehehe." Rama justru nyengir.
"Maksudnya gue, bininya Iyan kita tersayang kan nggak dalam kondisi kesehatan yang memungkinkan untuk itu."
"Kenapa? Emang sakit berat?"
Adrian menghela napas panjang, entah untuk yang keberapa kalinya. "Nggak sakit berat. Tapi operasinya setelah kecelakaan waktu itu jelas bukan operasi kecil. Gue nggak mau ngambil risiko. Takut dia kenapa-napa."
"Mrojolin anak mah tinggal mrojol aja, Yan."
"Sotoy, lo. Kalau mrojolin anak gampang, nggak akan ada ungkapan surga ada di bawah telapak kaki ibu, dodol." Je hampir menepak kepala Rama dengan tangan.
"Dih, tapi Lea-nya sendiri yang maksa, kan?"
"Benar juga, sih." Je manggut-manggut. "Jadi gimana, Yan?"
"Gimana apanya?"
"Lo nggak panik? Kan semalem ena-enanya nggak pake alat kontrasepsi."
"Usually, she is on pills. Tapi gue nggak tau."
"Udah pasti dilepas ama dia. Targetnya bini lo kan pengen bunting." Lagi-lagi Rama nyeletuk tidak sopan, kali ini sambil memakan pasta di piringnya dengan gaya serupa hewan memamah biak.
"Benar juga."
"Meskipun begitu, kalau gue pikir-pikir lagi, sepertinya lo nggak perlu sepanik itu."
"Kenapa?"
"Gue nggak yakin lo setokcer itu bisa ngehamilin anak orang dalam sekali tembak."
Adrian melotot pada Je yang kini tertawa keras. "Itu mulut dijaga ya! Gue doain lo lama nggak dikasih anak baru tau rasa!"
"Nggak apa-apa. Toh Raya juga masih mau nunda."
"Honeymoonnya nggak ikutan nunda juga?"
"Kalau itu sih nggak bisa, bray."
"Sampah banget," Adrian menggerutu. "Btw, kayaknya lo harus ngecek LINE Raya secara berkala deh, Je. Hana mulai bikin perkumpulan aneh-aneh."
"Perkumpulan apa?"
"Asosiasi istri geng kambing gunung."
"Hah? Masa?!"
"Gue curiga isinya sesat." Adrian melanjutkan ceritanya. "Entah apa yang Hana bilang sampai-sampai kemarin Azalea lebih agresif daripada gue."
"Hm, kalau soal itu sih kayaknya gue setuju."
"Hah, maksudnya?"
"Sekali-sekali gue juga mau di-agresif-in sama Raya."
"Sia-sia gue ngomong sama orang sinting."
"Jangan ngambek gitu dong, Bule. Yaudah, kembali ke topik awal tujuan kita ketemuan sore ini aja," Je buru-buru berujar. "Intinya lo nggak tega menolak kemauan bini lo, tapi lo juga nggak mau dia kenapa-napa. Gitu, kan?"
"Iya."
"Terus lo mau minta saran dari gue?"
"Iya."
"Salah lapak lo. Boro-boro bisa mengendalikan, gue justru jadi pihak yang dikendalikan sama bini gue."
"Yah, sama aja."
"Suami-suami sieun istri, euy." Rama berkomentar.
"Tunggu aja ampe lo punya bini."
"Tapi menurut lo gue harus gimana?"
Je terlihat berpikir sejenak. "Hm. Jalanin aja dulu. Kalau pada akhirnya emang bini lo bunting beneran, kalian tinggal ke dokter. Tanya ke dokter, bisa dipertahanin apa nggak. Misalnya dokter bilang nggak, berarti Lea harus berjiwa besar. Toh kalian juga udah sepakat, kan?"
"Masalahnya... gue nggak tega."
"Mending lo bersikap tega sekali daripada lo benar-benar kehilangan dia. Emangnya lo mau?"
Adrian memandang Je dengan tatapan kesal yang kentara. "Menurut lo?"
"Nggak."
"Kenapa pake nanya?"
"Biar obrolan kita jadi obrolan yang berkualitas."
"Dari awal juga obrolan kita-kita mana pernah berkualitas," Rama berdecak. "Tapi gue setuju sama apa yang dibilang Je. Jalanin aja dulu. Lagian, belum tentu juga lo setokcer itu, kan?"
Kata-kata Rama membuat Adrian bersungut-sungut diiringi suara menggelegar dari tawa Jeviar yang pecah tanpa bisa ditahan.
*
Hampir dua bulan lewat sejak malam dimana Azalea dan Adrian sepakat untuk mencoba. Tidak ada perkembangan terbaru atau berita apapun yang Azalea beritahukan pada Adrian, yang diam-diam membuat laki-laki itu merasa lega. Akan jadi sangat munafik buat lelaki itu jika dia mengatakan dia tidak menginginkan kehadiran seorang anak dalam rumah mereka, tapi kalau Adrian harus memilih antara memiliki anak atau kesehatan Azalea, jelas dia akan memilih yang kedua. Adrian sudah merasakan bagaimana sepinya dunia tanpa Azalea selama tiga tahun. Dia tidak ingin merasakannya lagi, apalagi dalam jangka waktu yang lebih lama dari itu.
Namun tentu saja, itu tidak berarti aktivitas malam hari mereka terhenti hanya disana. Adrian adalah laki-laki yang masih muda dan penuh hormon—dan satu lagi, lelaki itu mencintai istrinya lebih dari apapun yang ada di dunia.
Hari ini hari Minggu. Hari dimana Adrian akan disibukkan hampir seharian di workshopnya. Kadang dia melukis. Atau hanya diam menatapi pucuk-pucuk hijau tanaman dalam pot untuk mencari inspirasi. Atau kembali ke rumah untuk membaca buku sementara Azalea duduk mengetik berita untuk majalah fashion di dekatnya. Hari Minggu adalah hari bagi Adrian untuk memanjakan dirinya sendiri, entah bersama palet cat dan kanvas atau bersama Azalea—sesuatu yang tidak bisa dilakukan di hari biasa mengingat pekerjaannya yang menumpuk.
Sekarang, Adrian memutuskan untuk melukis. Suasana workshopnya masih sepi, hanya ada lantunan samar lagu My Way milik Frank Sinatra yang terdengar. Beberapa pelukis amatir yang bekerja sekaligus belajar padanya belum berdatangan. Tidak apa-apa. Adrian justru menikmati kesendirian. Dia jadi lebih mampu berkonsentrasi. Kuasnya tersapu ke permukaan kanvas dengan ahli, seolah-olah benda itu adalah perpanjangan dari jarinya sendiri. Matanya amat fokus, mencipta satu kerut halus diantara kedua alisnya yang tebal. Perhatian Adrian seakan benar-benar tersedot ke dalam dunia penuh warna di balik kanvasnya yang kini basah, hingga dia tidak menyadari kehadiran Azalea yang berjalan memasuki pintu hampir tanpa suara.
"I see you put some rose quartz in your painting."
Begitu mengenali suara tersebut, senyum langsung merekah di wajah Adrian. Laki-laki itu meletakkan palet cat berikut kuasnya di atas nakas yang sengaja ditempatkan di dekat penyangga kanvas, kemudian berjalan mendekati Azalea. Istrinya terlihat segar hari ini, dengan rambut yang diikat separuh sementara separuh lainnya dibiarkan tergerai. Adrian menunduk, mencium pipi Azalea dan membaui aroma freesia samar dari helai rambut perempuan itu.
"Barusan dari toko?" setelah tak lagi bergelut dalam dunia fashion sebagai model, Azalea memang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membuka sebuah toko bunga mungil yang terletak tidak jauh dari workshop Adrian. Terkadang, gadis itu juga kerap mengisi kolom majalah fashion dengan artikel-artikelnya sebagai kontributor lepas.
"I have something for you." Dengan senyum yang tak henti tersungging, Azalea mengeluarkan tangan kanan yang sejak tadi tersembunyi di balik punggungnya. Benda yang tergenggam disana adalah sebuah buket bunga. Buket itu didominasi oleh tangkai-tangkai mawar kuning yang menyembul diantara rumpun bunga baby's breath. "This is for my handsome husband."
Kening Adrian berkerut. "Tapi aku nggak lagi ulang tahun."
"Memang. Aku juga nggak akan bisa lupa kapan kamu ulang tahun."
"Mawar kuning itu artinya—"
"—sukacita." Azalea meneruskan untuk Adrian. "Karena aku punya kabar gembira buat kamu."
"Oh ya? Apa?"
"Cek aja kartu ucapannya."
Adrian menuruti kata-kata Azalea, namun pada detik berikutnya dia justru dibuat terperangah. Bukan karena kartu ucapan yang tergantung pada bagian tangkai buket, melainkan karena sebuah benda yang tersemat disana. Benda itu adalah sebuah testpack.
"Baby, you're not—"
Azalea berjinjit, memberi satu kecupan lembut di pipi Adrian. "I'm pregnant."
Adrian harusnya merasa senang—oke, jika dia harus jujur, dia akan bilang dia senang. Tetapi diantara rasa bahagia itu, turut menyelinap sebentuk rasa khawatir. Maka, respon pertamanya mungkin adalah sesuatu yang tak diinginkan oleh Azalea.
"Kalau begitu nanti sore kita harus ke rumah sakit."
"Kenap—ah, I see. Kamu pasti panik. Give me a minute to explain, will ya?"
"A minute."
"Sebenarnya, aku udah tau dari minggu kemarin."
"Ap—kenapa kamu nggak bilang?!"
"Karena aku tau kamu bakal bereaksi seperti ini." Azalea menyahut lugas. "Makanya, aku sama Mama yang ke rumah sakit. Kita ngobrol banyak sama Dokter Andi, senior yang emang direkomendasikan sama Dio. So far kata dia nggak apa-apa. Aku masih bakal baik-baik aja. Jadi kamu nggak perlu khawatir."
Adrian masih saja tampak ragu. "Beneran?"
"Kamu bisa tanya Mama kamu kalau nggak percaya."
Adrian terdiam.
"Masih nggak percaya?"
"Aku masih nggak percaya. Tapi kali ini bukan tentang itu." Adrian mengerutkan dahi, memandang lekat pada Azalea. "Aku beneran... bakal jadi Ayah?"
"Kenapa? Nggak suka?"
"Kenapa kamu jadi hobi bikin asumsi yang nggak mendasar, wifey? Ah, aku tau. Pasti karena isi grup LINE sesatnya Hana, kan? Udah aku bilang, grup LINE itu nggak sehat buat kamu!"
Azalea tertawa geli. "Kalau kamu senang, harusnya kamu melakukan sesuatu sekarang. Sesuatu yang mestinya sejak tadi sudah kamu lakukan."
"Apa?"
"Peluk aku."
Sorot mata Adrian melembut kala dia menarik Azalea ke dalam sebuah dekapan sedetik setelahnya. Hidungnya terkubur diantara helai rambut Azalea. Aroma shamponya menguar, mengisi setiap jengkal paru-paru Adrian.
"Are you happy?" Azalea berbisik.
"Yes. But your health is still the most important thing. Aku nggak mau kamu kenapa-napa. Itu intinya."
"Jangan keseringan ngomong gitu. Nanti Acil cemburu."
"Acil who?"
"Dedek bayinya. Aku kasih nama sementaranya Acil. Singkatan dari Adrian Kecil."
"Siapa yang ngajarin kamu buat kayak gitu?"
Azalea justru nyengir.
"Oh God," Adrian seperti sudah bisa menebak jawabannya. "Pasti Hana."
"Hehehe." Azalea lagi-lagi terkekeh, lantas dia melingkarkan tangannya pada pinggang Adrian dan memeluk tubuh laki-laki itu. "Thankyou, husband."
Adrian menarik napas panjang. Kemudian tangannya terangkat untuk menepuk-nepuk puncak kepala Azalea. "Harusnya aku yang bilang makasih. Tapi inget, kamu harus jaga kesehatan. Deal?"
"Iya. Jangan bawel lagi. Nanti Acil ngambek."
"God. Harus banget nama imutnya Acil?"
"Apa dong? Mau dikasih nama Azalea Kecil? Sama aja, kalau disingkat juga jadinya tetap Acil. Mau dikasih nama Adrian Mini? Yah nanti singkatannya Ani. Masih imutan Acil."
"Azalea Pramudita,"
"Hm?"
"You're lucky because I love you too much."
Senyum Azalea terkembang kian lebar, mengikuti dekapannya pada dada Adrian yang semakin erat. "I know."
hehehehe.
akhirnya setelah lima bulan ada extra juga ya.
gue membuat ini karena gue tiba-tiba kangen Adrian - Azalea
btw, roleplayernya Rose Quartz lagi memposting ulang pict di instagram sesuai dengan kronologi cerita ini (i mean, dari awal ketika Adrian masih dekat sama Aries) lol somehow update an mereka yang bikin gue tergugah untuk bikin extra chapter. Btw, kalau kalian mau kangen-kangenan juga, silakan cek instagram
(at)azaleapramudita
(at)adrianarsenio
(at)alamandapvera
(at)clarettaries
(at)airasestra
(at)abigail__y
PS : KAGA OOC LAGI KOK IG NYA WAAKAKAK selamat menikmati mengenang masa-masa awal Adrian - Azalea ;P
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro