Extra - Crybaby
"Besok aku nggak bisa nganterin kamu ke tempatnya Hana." Adrian berkata begitu sambil memnundukkan kepala untuk memberikan Azalea satu kecupan lembut di bibir sebelum dia berpindah ke sisi istrinya, lantas menarik pinggulnya hingga tubuh Azalea bergeser mendekat. Kulit Azalea terasa hangat di bawah sentuhannya, membuat Adrian harus berusaha keras menahan diri untuk tidak kembali mengubur hidungnya di lekuk leher perempuan itu.
"Kenapa?"
"Ada meeting sama klien. Dia baru pindah rumah dan mau pesan lukisan. Aku harus lihat bentuk ruangannya, jadi aku bisa ngira-ngira jenis lukisan apa yang cocok buat dia."
"Jauh?"
"Lumayan, karena itu kayaknya besok aku bakal bawa mobil." Adrian memainkan helai anak rambut yang jatuh di kening Azalea dengan jarinya. "Besok suruh Hana aja yang main kesini. Bukan kamu datang kesana. Aku nggak mau kamu naik angkutan umum. Apalagi busway."
Azalea tertawa geli, tapi lantas dia mengerucutkan bibirnya. "Kalau aku harus ingetin kamu, jauh sebelum kita ketemu dulu, naik angkutan umum itu udah jadi kegiatan rutin harian buat aku. Dan aku nggak pernah kenapa-napa, tuh. Kamunya aja yang posesif."
"Itu dulu. Sekarang beda."
"Beda apanya?"
Adrian menggeser tubuhnya hingga menutup jarak minim yang terbentang diantara mereka. "Acil nggak suka naik angkutan umum."
Pipi Azalea kontan memerah. "Acil mirip mamanya, bukan mirip papanya. Jadi dia nggak akan parno sama yang namanya angkutan umum."
"Acil bukan cuma anak mamanya, tapi juga anak papanya."
"Idih, sekarang aja ngaku-ngaku. Dulu ngelarang-larang." Azalea mencibir, mengingatkan Adrian pada percakapan mereka hampir tiga bulan lalu, ketika Azale mengajak Adrian bicara tentang kemungkinan bagi mereka untuk punya anak yang langsung ditolak Adrian mentah-mentah.
"Itu kan dulu. Beda sama sekarang."
"Ngeles aja kamu."
"Kalau punya istri kayak kamu, ngeles itu penting." Adrian tertawa, kemudian meneruskan dengan suara yang meski lembut, tetap terkesan tegas. "Sekarang tidur. Katanya tadi udah capek?"
"Aku nggak capek kalau diajak ngobrol. Kalau diajak 'tempur' baru aku capek."
Adrian memutar bola matanya. "Tidur."
"Iya. Sebentar lagi."
"Sekarang, Lea. Sekarang."
"Yaudah. Tapi ada syaratnya."
"Hm?"
"Rub my back."
"Manja." Adrian menggerutu, tetapi tangannya tetap bergerak menelusup masuk ke dalam selimut dan mengelus pelan punggung Azalea yang tidak tertutupi pakaian. Seperti anak kecil yang mencari perlindungan dalam dekapan seorang ibu, Azalea menyurukkan wajahnya ke leher Adrian. Dia menarik napas dalam-dalam disana, mengisi paru-parunya dengan sebanyak mungkin udara yang dalam setiap partikelnya membawa jejak khas Adrian. Bau shower gel mereka yang sama. Bau keringat Adrian. Dan bau khas setelah Adrian mencukur jejak-jejak kehijauan janggut yang mulai tumbuh di dagunya sore tadi. Wangi yang tak pernah gagal membuat Azalea merasa hangat. Wangi yang hanya dimiliki oleh Adriannya.
Sentuhan telapak tangan Adrian yang lembut terasa menenangkan, mengantarkan Azalea jatuh sepenuhnya ke alam mimpi.
***
Adrian baru saja keluar dari kamar mandi dan masih menggosok helai rambutnya yang basah dengan handuk tergantung di pundak ketika dia melihat Azalea sudah bangun. Perempuan itu duduk di tepi ranjang, hanya mengenakan celana pendek dan kaus Adrian yang jelas kebesaran. Well, sejujurnya bukan Azalea yang mengenakan pakaian itu sendiri, tetapi Adrian yang memakaikannya ketika dia bangun menjelang fajar beberapa jam yang lalu.
"Morning, sweetheart." Adrian menyapa, tapi keningnya seketika berkerut saat dilihatnya Azalea justru cemberut. "Loh, kenapa? Mimpi buruk?"
Azalea menggeleng. "Nggak apa-apa."
"Terus kenapa? Ada yang sakit?"
"Nggak ada."
"Pusing? Mau aku bikinin sarapan? Kayaknya aku masih bisa bikin makanan sebelum ketemu klien. Kamu mau makan apa?"
"Nggak ada."
"Beneran nggak mau makan apa-apa?"
"Nggak mau makan."
"Kamu mual ya? Morning sick? Mau aku beliin biskuit? Bikinin teh manis?"
Lagi-lagi, Azalea menggeleng dan kontan saja itu membuat Adrian kian bingung. "Aku nggak mual. Nggak kepingin muntah juga."
Adrian menghela napas, lalu melepaskan handuk dari bahunya dan menyampirkannya begitu saja ke sandaran kursi meja rias Azalea. Hampir tanpa suara, laki-laki itu bergerak mendekati istrinya. Dia lantas berjongkok tepat di depan Azalea sambil meraih jari-jari perempuan itu ke dalam genggamannya.
Seraya meremas jemarinya pelan, Adrian memandang Azalea lekat-lekat. "Kamu kenapa, Sayang? Mau apa?"
Azalea balik menatap Adrian dengan pandangan sendu. "Mau kamu."
"Loh, aku kan memang punya kamu."
"Mau kamu." Azalea cemberut, membuat Adrian merasakan dorongan kuat untuk mencubit pipinya. "Aku mau kamu."
"Aku disini. Punya kamu. Dan ada di depan kamu."
Di luar dugaan Adrian, bahu Azalea justru berguncang mengiringi isaknya yang benar-benar pecah. Kontan saja, Adrian dibikin melongo karenanya. Air mata mengalir deras menuruni wajah pucat gadis itu, tetapi dia tidak menarik lepas tangannya dari genggaman Adrian.
"Sweetheart, ya ampun, jangan nangis. Aku salah ya? Aku bikin kamu sakit ya? Don't cry, okay? I'm here."
Namun tangisan Azalea tidak kunjung berhenti dan itu membuat Adrian tak punya pilihan lain selain beranjak duduk di sebelah perempuan itu, tepat di tepi ranjang dan menarik kepala Azalea ke dalam dekapannya. Selama beberapa menit, Azalea masih saja larut dalam sedu sedan. Adrian sendiri tak mengatakan apa pun, hanya saja lengannya tetap merengkuh tubuh kurus Azalea dengan kuat, mendekapnya sambil sesekali berbisik jika dia ada disana dan Azalea akan baik-baik saja.
Akhirnya tangis Azalea lega, hanya untuk terganti oleh sederetan kalimat yang membuat Adrian ternganga untuk yang kedua kalinya. "Jangan pergi kemana-mana hari ini. Aku nggak mau sendirian di rumah."
"Sayang, kan aku udah bilang kalau aku ada meeting sama klien hari ini." Adrian berusaha menjelaskan dengan sabar. "Gini aja deh, aku telepon Mama atau Kak Aileen atau Kak Abby sekarang ya? Biar nanti salah satu dari mereka nemenin kamu disini. Tenang aja, nanti aku berangkat pas mereka udah sampe sini."
Azalea menggeleng kuat-kuat. "Nggak mau ditemenin yang lain. Aku maunya sama kamu."
Jawaban Azalea membuat kerut yang tercipta di dahi Adrian semakin dalam. Dia sudah tau jika Azalea memang bisa sangat manja terkadang, tapi tidak semanja dan selabil ini. Azalea bukan tipikal perempuan yang akan menangis tanpa alasan, apalagi bersikap layaknya anak kecil ketika dia berniat pergi untuk urusan pekerjaan. Lagipula, bukankah semalam dia juga sudah memberitahu Azalea tentang meetingnya hari ini? Perempuan itu tidak terlihat keberatan semalam. Bagaimana bisa dia berubah seratus delapan puluh derajat ketika pagi telah datang?
"Azalea,"
"Aku nggak mau yang lain. Aku udah bilang, aku maunya sama kamu." Lantas secara tiba-tiba, Azalea mendongak, menatap pada Adrian dengan mata berkaca-kaca. "Kamu nggak mau ya? Jadi kamu lebih milih urusan pekerjaan daripada aku sama Acil? Ih, jahat."
Ditatap seperti itu, terutama sambil membawa-bawa Acil, tentu saja Adrian tidak punya pilihan lain. Akhirnya, laki-laki itu membalas masih dengan suara yang terkesan begitu sabar. "Iya, iya. Meetingnya aku cancel buat kamu, Sayang. Tunggu bentar, aku telepon klienku dulu."
"Bukan cuma buat aku. Buat Acil juga."
"Iya, buat Acil juga."
"Jangan lama-lama." Azalea melepaskan dekapannya pada lengan Adrian. "Sana telepon klien kamu. Tapi jangan lama-lama. Kamu harus balik kesini lagi. Aku kasih waktu dua menit."
Azalea hari ini benar-benar tidak seperti Azalea biasanya, dan itu membuat rasa heran kian mengkristal dalam benak Adrian. Namun laki-laki itu tidak membantah. Dia justru tersenyum manis pada Azalea sebelum beranjak dari ranjang dan pergi ke luar kamar. Untung saja, kliennya mengerti ketika Adrian menjelaskan situasinya. Sesuai keinginan Azalea, Adrian kembali ke kamar. Perempuan itu sedang sibuk mematut dirinya di cermin meja rias ketika Adrian masuk.
"Mau sarapan apa, Lea?"
"Aku kurus banget, ya?" Azalea bergumam lirih sambil menatap pada pantulan dirinya sendiri di cermin, lantas dia kembali cemberut. "Aku memang jarang makan makanan manis sih belakangan ini. Soalnya kamu bilang gula berlebih itu nggak bagus."
"Memang nggak bagus, Sayang. Emang kamu mau makan apa?"
"Aku mau bubble tea."
"Sekarang?"
"Iya, sekarang."
"Loh, tapi ini kan masih jam enam pagi. Belum ada tempat yang buka jam segini, Azalea."
"Hm... benar juga."
"Mending sekarang kita sarapan aja dulu. Kamu mau sarapan apa? Nanti aku bikinin."
"Nggak mau sarapan, maunya bubble tea."
Adrian berpikir sebentar, lalu tiba-tiba saja sebuah gagasan terlintas dalam kepalanya. "Ini... maunya kamu apa maunya Acil?"
"Maunya aku sama Acil."
"Iya, iya, aku ngerti."
"Kalau ngerti kenapa nanya melulu dari tadi?" Nada suara Azalea berubah jutek, membuat Adrian lagi-lagi harus menghela napas panjang.
"Buat mastiin doang, Sayang. Jadi sekarang gimana?"
"Kita ke mall."
"Kan mallnya belum buka."
"Nggak apa-apa. Kita tunggu mallnya sampai buka."
Adrian dibikin ternganga untuk yang ketiga kalinya.
"Kenapa?" Azalea langsung bereaksi saat melihat perubahan ekspresi wajah suaminya. "Kamu nggak mau? Ngerasa direpotin?"
"Nggak, Sayang. Nggak. Oke. Kita ke mall sekarang. Tapi kamu mandi dulu, ya? Apa mau aku mandiin?"
"Nggak."
Spontan, Adrian nyengir. "Hehehe, kirain."
"Tapi nanti sisirin rambut aku."
Adrian hanya bisa merespon dengan kalimat yang lagi-lagi sama. "Iya, Sayang. Iya."
***
"Gue nggak ngerti apa yang terjadi dengan bini gue dan sifat clingynya yang muncul tiba-tiba." Adrian berkata jujur di depan teman-temannya saat mereka menanyakan penyebab keterlambatan Adrian dalam acara temu kumpul bulanan mereka.
"Bawaan bayi kali." Je berujar santai. "Makanya, kalau belum siap tuh jangan buru-buru amat. Kayak gue sama Raya, dong. Alon alon asal kelakon."
"Ah, lo sih bukan alon-alon, cuma emang lo terlalu egois aja buat berbagi perhatian bini lo dengan si Ucrit." Edgar menyahut asal, membuat Dio mendelik padanya diikuti deheman.
"Saudara Edgar, tolong kontrol bahasa anda."
"Sori, Pak Bos." Edgar mesem-mesem. "Emangnya lo diapain sama si Lea sampai nggak habis pikir begitu? Bukannya lo tuh budak cinta yang kayaknya bahkan rela-rela aja seandainya Lea nyuruh lo lompat ke dalam sumur."
"Dia bilang dia kepingin martabak telur pake mozzarella. Tapi maunya dibeliin sama gue, bukan sama abang Go-Jek. Soalnya Acil anaknya gue, bukan anaknya abang Go-Jek."
"Acil?" dahi Faris berlipat heran.
"Adrian Kecil. Nama pendek buat dedek dalam perut."
"Idih, sok imut banget lo. Norak." Je mencibir, yang tak Adrian ambil pusing karena laki-laki itu kembali meneruskan ceritanya.
"Terus gue beliin dong. Lo tau sendiri martabak hits kayak gitu ngantrenya udah ngalah-ngalahin antrean BLT. Mana hampir semua yang ngantri pada pake jaket ojek online pula. Terus udah gitu, gue masih harus kejebak macet juga karena baliknya bertepatan sama arus orang pulang kerja."
"Masih begitu doang lo udah ngeluh." Dio berujar.
"Yah, gue kan nggak berpengalaman menghadapi orang ngidam." Adrian membela diri. "Terus tau nggak Azalea bilang apa begitu gue sampai di rumah?"
"Apa?"
"Katanya gini," Adrian berdehem, melegakan tenggorokannya untuk mempersiapkan suaranya dalam melakukan impersonasi Azalea. "Iiih, kok pake mozzarella? Kan aku mintanya martabak telur pake sambal Taichan!"
Tawa teman-temannya seketika meledak, sementara Adrian justru mendengus.
"Padahal gue udah yakin seribu persen kalau Azalea mintanya dibeliin martabak telur pake mozzarella. Gue bahkan dikirimin screenshoot gambar martabaknya lewat WhatsApp. Pas gue tunjukkin gambar yang dia kirim, dia malah langsung jutek, bersikap seolah-olah gue ogah-ogahan ngebeliin dia makanan yang dia mau. Dan lo semua mau tau dalam omelannya dia bilang apa?"
"Apa?" Rama bertanya antusias.
"Katanya gini, 'Kamu tuh ya harusnya ikhlas, dong. Ini kan bukan mauku aja, tapi mau Acil juga. Kamu keberatan sama maunya Acil? Enak banget ya kamu. Pas proses bikin aja kamu semangat, pas udah jadi calon bayi kamu malah ogah-ogahan kayak gini'. Padahal demi kerang ajaibnya Spongebob Squarepants, yang kepingin banget punya anak kan Azalea. Bukan gue."
"Ah, tapi sebenarnya lo pengen juga, kan?"
"Iya, sih. Tapi gue khawatir... lo tau kana pa maksud gue? Meski sampai sekarang dokter bilang semuanya bakal baik-baik saja, tapi gue tetap khawatir." Adrian membawa jari-jari tangan kanannya ke pelipis. "Duh, pusing kepala deh gue jadinya."
"Namanya juga calon bapak. Wajar kalau pusing kepala." Dio berkata, lalu dia tersenyum. "Semangat ya, Adrian."
"Eh by the way, berhubung bini lo lagi bunting, jatah lo tiap minggu apa kabar, tuh?" Rama iseng bertanya, yang lantas direspon oleh Je dan Faris dengan tawa mesum.
"Dia sih bukan jatah tiap minggu, tapi tiap hari." Faris bersiul, membuat wajah Adrian sempat merah padam.
"Mulut lo emang kampret ya, Ris."
"Gue bicara fakta."
"Tapi emang iya, sih." Adrian akhirnya membenarkan. "Kebetulan jatah jalan terus."
"Gila. Super sekali, bos."
"Meski begitu, gue nggak seganas lo berdua kalau udah urusan yang macam itu." Adrian menyergah, ogah disamakan dengan Faris dan Je yang merespon ucapannya dengan gelak kencang karena merasa menemukan teman sejenis. "Gue adalah suami yang sangat pengertian."
"Idih, geli gila gue dengernya." Edgar mendesis.
Obrolan mereka terhenti ketika tiba-tiba saja, ponsel Adrian berdering.
"Cie, Home is calling." Faris yang sempat mencuri lihat pada layar ponsel Adrian berkomentar, berhasil meledakkan tawa dari orang-orang yang mengitari meja. Adrian mengabaikan ledekan dari Faris dan menjawab telepon tersebut.
"Halo, Sayang. Kenapa?"
"Kamu dimana?" Azalea langsung bertanya tanpa basa-basi.
"Di kafe temannya Dio. Kenapa? Kamu nggak apa-apa, kan?"
"Kan aku tadi bilang kalau aku nggak mau kamu pergi!"
"Loh, kamu nggak bilang gitu."
"Emang aku bilang apa?"
"Kata kamu tadi terserah."
"Itu tandanya nggak boleh!"
"Iya, Sayang. Iya." Diam-diam, Adrian melotot pada teman-temannya yang kini terlihat berusaha mati-matian menahan tawa. "Kenapa? Kamu mau dibeliin apa? Atau kamu ada perlu?"
"Aku makan Nutella."
"Kemarin kan sudah aku beliin. Ada di dapur, kok."
"Iya, tapi aku nggak bisa bukanya."
"Nggak bisa?"
"Maunya dibukain sama kamu."
"Tapi, Lea, aku masih di—"
Adrian tidak punya kesempatan menyelesaikan ucapannya karena Azalea sudah keburu memutus percakapan telepon. Cowok itu terperangah, menatap tidak percaya pada layar ponselnya selama beberapa jenak hingga ledakan tawa teman-teman brengseknya refleks membuat kepalanya terangkat. Berpikir sejenak, akhirnya Adrian memutuskan meraih jaketnya yang sengaja dia sampirkan di sandaran kursi dan mengenakannya dengan cepat.
"Kayaknya gue harus pulang. Urusan darurat."
"Panggilan bini atau bawaan bayi?" Rama bertanya jahil.
"Kayaknya sih dua-duanya."
"Selamat berjuang, Bos."
Adrian tidak menjawab, tapi ada rasa dongkol yang mewarnai perasaannya ketika kepergiannya diiringi oleh suara kompak teman-temannya yang menyanyikan lagu Gugur Bunga.
***
Saat Adrian tiba di rumah, Azalea sedang duduk di lantai dapur hanya dengan mengenakan celana pendek sambil menatap nanar pada setoples Nutella yang tergeletak tidak jauh di depannya. Adrian menarik napas dalam-dalam, berusaha menekankan pada dirinya sendiri jika dia tidak boleh berbicara dengan nada suara atau kalimat yang terlalu tajam pada istrinya karena mood perempuan itu pasti sedang lebih sensitif daripada pantat bayi sekarang ini.
"Sayang, belum dibuka Nutella-nya?"
"Belum, kan maunya sama kamu."
"Yaudah, sini aku buka ya." Adrian berjalan mendekat, lalu ikut duduk di depan Azalea dan meraih setoples Nutella dari lantai. Dengan mudah, dia memutar tutup setoples dan membukanya sebelum menyodorkannya pada Azalea. "Ini, udah aku bukain."
Namun Azalea hanya menatap dingin sebelum dia mulai menangis lagi.
"Aku salah lagi ya, Sayang?"
Di tengah sedu-sedannya, Azalea mengangguk.
"Kenapa? Salah aku apa? Aku minta maaf kalau aku bikin kamu sedih."
"Bau parfum kamu... kayak bau parfum cewek."
Damn, Adrian merutuk. Ini semua gara-gara Je yang secara tidak sengaja membawa body mist milik Raya dalam mobilnya dan menggunakan body mist tersebut untuk bermain-main dengan mereka begitu dia tiba café tempat mereka janjian ketemu tadi. Astaga, tadinya Adrian menganggap ini sebagai sesuatu yang sepele. Hanya body mist, apa masalahnya? Dia lupa jika kini, istrinya tengah bersikap tidak seperti biasanya yang konon disebut orang-orang sebagai bawaan bayi.
"Ini bukan karena aku ketemu cewek, Sweetheart. Tadi Je nggak sengaja kebawa body mistnya Raya. Dia mainin. Nggak sengaja kena ke aku juga. Aku nggak ketemu cewek lain. Beneran!"
"Nggak apa-apa. Wajar kalau kamu mau ketemu cewek lain. Aku nyebelin banget kan akhir-akhir ini? Aku juga sadar, kok. Maunya aku sih nggak ngerepotin kamu. Tapi mau gimana lagi?" Azalea mulai menangis keras seperti anak kecil kehilangan balon. Dia bahkan menggosok kelopak matanya yang basah dengan tangan. "Terus bentar lagi aku jadi gendut. Jadi jelek. Makanya kamu mau ninggalin aku buat cewek lain, iya kan?"
"Azalea, Sayang, kamu berpikir terlalu—"
Ucapan Adrian tidak bisa tersambung karena isak tangis Azalea yang kian mengeras. Adrian paling tidak bisa melihat perempuan meneteskan air mata sebenarnya, namun melihat Azalea menangis tanpa henti dengan begitu kencang seperti sekarang membuatnya hampir gila. Mengikuti instingnya, Adrian akhirnya menarik Azalea ke dalam pelukan. Tidak seperti biasa, perempuan itu sempat memberontak dengan meninju dada Adrian. Namun tentu saja Adrian lebih ngotot dengan mempererat dekapannya pada tubuh Azalea hingga akhirnya Azalea menyerah.
"Kamu mau ninggalin aku karena aku udah nyebelin dan bakal jadi jelek, iya kan?"
"Kapan aku bilang gitu?"
"Kamu nggak bilang." Azalea tergugu, menghela napas dengan susah payah di dada Adrian. "Tapi kelihatannya begitu."
"Azalea,"
"Kamu emang mau ninggalin aku."
"Azalea, you better listen to me right now!" Adrian berseru, kontan membuat Azalea terdiam walau dia masih saja terisak. "Pikiran kamu itu ya... aku nggak apa-apa kalau kamu banyak nyuruh aku ini-itu atau ngotot minta aku temenin tiap hari, I can handle that, meskipun nggak terlalu baik. Aku paham itu bukan semuanya mau kamu, tapi mau Acil juga. Tapi nggak bisa sabar kalau kamu berpikiran buruk kayak gitu ke aku."
Azalea tidak membalas lagi, seakan-akan memberi kesempatan bagi Adrian untuk bicara.
"Dengar ya, kalau aku cuma cari yang cantik dan nggak nyebelin, aku nggak akan nungguin kamu selama bertahun-tahun. Apalagi harus tersiksa waktu kamu kecelakaan dan ketabrak mobil di depan mataku sore itu. Kamu tau, rasanya aku mending dibunuh sekalian daripada ngebayangin kamu nggak berhasil bertahan, terus ninggalin aku. Kamu tau, aku ngerasa hampir mati setiap hari selama bertahun-tahun buat nungguin kamu. Kamu ngasih kabar ke aku sesuka hati kamu. Kamu beberapa kali susah kutelepon tapi wajah kamu ada dimana-mana, di majalah, di papan reklame, di televisi." Adrian mengembuskan napas pelan sementara jari-jarinya mulai mengelus pelan helai rambut Azalea yang kini diam. "Tapi kalau aku harus memilih dari awal, aku bakal tetap memilih buat ketemu kamu. Hari itu, waktu kamu nemuin aku di kantin buat ketemu sama adik kamu. Hari itu, waktu kamu pingsan di depan Starbucks. Hari itu, waktu kamu kehujanan karena nolongin Jackie. I love you that much, please understand that. I love you too deep that there will be no space for another woman."
Azalea tetap diam.
"Sekarang, kamu ngerti kan maksud aku apa? Aku nggak ketemu sama cewek. Ini semua karena tingkah usil Je."
Azalea tidak mengatakan apa-apa, tetapi menganggukkan kepalanya dalam pelukan Adrian.
"Terus sekarang kamu mau apa? Makan Nutella?"
Azalea menggeleng.
"Terus?"
"Mau tidur."
"As you wish then, Love."
"Mau tidur tapi nggak sama kamu."
"Hah?" Adrian melongo. "Maksud kamu?"
Azalea menarik dirinya lepas dari dekapan Adrian, kemudian memandang suaminya sambil menghapus jejak basah air mata dari wajahnya. "Aku nggak jadi marah sama kamu. Aku percaya sama kamu. Tapi aku nggak mau tidur sekasur sama kamu malam ini. Jadi kamu tidur di sofa aja ya? Please?"
"But Sweetheart, kalau tidur di sofa nanti badan aku sakit semua."
"Iya, aku tau. Tapi aku benar-benar lagi nggak mau tidur sama kamu malam ini. Atau aku yang tidur di sofa?"
"Nggak. Aku aja." Adrian membalas cepat.
Azalea tertawa riang, lalu mencondongkan tubuh untuk memberikan kecupan di pipi Adrian. "Makasih, Sayang."
Adrian mengangguk sambil berusaha menyabarkan diri. "Iya, Sayang. Iya."
Malam itu, Adrian tidur di sofa—meskipun sepertinya tidak tepat disebut 'tidur' karena faktanya dia lebih banyak mengawasi Azalea yang tertidur di ranjang. Selama berjam-jam, dia memperhatikan bagaimana Azalea tetap saja terlihat cantik di tengah ketidaksadarannya. Entah itu lekuk hidungnya, mulutnya yang agak sedikit terbuka hingga bulu mata lentiknya yang menyapu pipi. Semuanya meneriakkan sesuatu yang sama; indah. Azaleanya yang menawan. Azaleanya yang kuat. Azaleanya yang manja. Azaleanya yang kini begitu clingy karena keberadaan calon anak mereka dalam tubuhnya.
Seharusnya, Adrian berpikir sambil diam-diam bibirnya menyunggingkan senyum, bukan hanya kasih ibu, tetapi kasih Ayah juga sepanjang masa.
***
Cie akhirnya ada ekstra lagi. Ekstra ini gue berikan sebagai excuse karena gue mau cabut ke Bogor malam ini (ada acara keluarga) dilanjut main sebentar di Jakarta dan mungkin baru bakal balik lagi ke Lampung (yep sekarang gue pindah rumah ke Bandar Lampung tapi masih kuliah di Semarang) sekitar tanggal 2 dan gue pikir sepertinya gue nggak akan bawa laptop. Again, karena ini acara keluarga lol.
Acil masih bertahan disini. Apakah di episode extra berikutnya dia akan bertahan? Wwkwkw baiknya diterusin nggak nih extranya?
Oke deh, sekian dari aku.
Adrian pusing gara-gara Azalea.
Tapi tetap sayang kok.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro