Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

epilog

"Aku masih harus ketemu temanku. Mama bisa antar Lea ke rumah sakit hari ini?" Adrian bicara pada telepon. Sudah lewat satu bulan sejak Azalea pulang dari rumah sakit. Minggu-minggu pertama dihabiskan di apartemen Adrian. Hanya berdua. Beruntung Adrian tidak memiliki profesi mengikat layaknya pekerja kantoran, jadi dia bisa menghabiskan hampir sepanjang waktu bersama gadis itu.

Ibu-ibu mereka berkelakar tentang Adrian yang akan direpotkan oleh Azalea, tapi anehnya, Adrian merasa hari-hari mengurus Azalea terasa menyenangkan. Dia adalah anak bungsu, tidak pernah punya pengalaman mengurus orang lain. Karenanya kehadiran Azalea membuatnya mengerti bagaimana lelahnya membantu seseorang pergi ke kamar mandi setiap tiga jam sekali. Menyiapkan makan untuk mereka—dan jangan lupakan, rengekan Azalea yang selalu protes setiap Adrian membuatkan hidangan yang dia sebut sebagai makanan orang sakit.

Adrian menyukainya. Dia menyukai bagaimana Azalea akan memandangnya takjub sementara dia melukis atau bekerja di depan laptop yang terbuka. Dia suka bagaimana Azalea akan memberengut bosan, kemudian menyetel serial Gossip Girls keras-keras tanpa ditonton sama sekali. Yang terbaik dari semuanya adalah ketika Adrian mendapati Azalea di dekatnya, tertidur dengan detak jantung lembut dan napas yang teratur. Cowok itu tidak pernah merasa puas, sekalipun tiap malam dia terlelap dengan Azalea berada dalam peluknya.

Namun hari ini, Jeviar memaksa menempati urutan pertama dalam daftar prioritasnya.

"Oke," Mama menjawab singkat, dan dari nada suaranya, Adrian tahu wanita paruh baya itu merasa senang. Jujur, Adrian tidak pernah melihat Mama sesenang akhir-akhir ini. Kesepiannya di hari tua setelah tiga anaknya beranjak dewasa perlahan terobati dengan kehadiran Azalea, juga ibu gadis itu. Keduanya berencana membuka usaha katering bersama, yang awalnya sempat membuat Adrian skeptis. Mama adalah tipe orang yang mudah bosan hanya berkecimpung pada satu bidang. Namun begitu melihat bagaimana Mama merasa memiliki teman setiap bersama dengan ibu Azalea, Adrian akhirnya mengizinkan orang tua mereka melakukan apa yang para ibu itu inginkan.

"Hati-hati," Adrian diam sejenak. "And I love you."

"Buat Mama? Atau buat Lea?"

Adrian tertawa. "Buat dua-duanya."

"Oh, Mama kira cinta kamu sudah habis kamu kasih untuk Lea."

"She might be your soon-to-be daughter in law, Ma," Adrian menukas lembut. "But forever, you will always be my Mama. And for that, I'll always love you."

"Kamu selalu semanis Papa. Sejak dulu," Mama tertawa. "Pulang dari rumah sakit, baiknya Mama bawa Lea ke rumah atau ke apartemen kamu?"

"Apartemenku. Aku mau ngajak dia ke suatu tempat."

"Oke," Mama mengiyakan sebelum memutus percakapan telepon mereka, meninggalkan Adrian dalam keramaian kafe bertemankan segelas es kopi di atas meja di depannya. Mereka sengaja berjanji bertemu di kafe dekat kampus. Kafe tempat Jeviar pernah merayakan ulang tahunnya bersama anak-anak basket—termasuk Adrian, sebelum hubungannya dan Raya memburuk untuk alasan yang sedikit-banyak dapat Adrian mengerti.

Tidak lama kemudian, lonceng di pintu kafe berbunyi saat seseorang mendorong pintunya dan masuk. Adrian menoleh, mendapati Jeviar melangkah mendekatinya. Tidak ada sapa. Cowok itu menarik kursi dan duduk di depan Adrian, lantas tanpa menunggu, tangannya merogoh bagian dalam jaketnya. Ada selembar undangan keluar dari sana. Kening Adrian berkerut, tapi lantas dia tertaw.a

"Ah ya, gue sempat mendengar dari Hana waktu pameran tempo hari. Gue kira dia hanya bercanda dengan nggak tau diri, sama kayak dulu," Adrian terkekeh, menatap pada undangan itu sekali lagi. "Tapi ternyata bener. Unbelievable. She is finally getting married with... unexpected person."

"Kata orang yang sebentar lagi juga akan menikah," Jeviar menimpali, tersenyum masam.

"Jangan marah, oke?"

"Enggak. Gue nggak marah, hanya saja," Jeda sejenak, sementara Jeviar membolak-balik buku menu setengah hati. "I don't know what to do with my life. Gue sepenuhnya sendirian sekarang."

"Chill. Bentar lagi juga lo bakal menemukan yang lain."

Jeviar tersenyum miring. "I'm not sure."

"Kenapa?"

"Ghost of her is still haunting me."

"Raya?"

Jeviar tertawa pahit. "Siapa lagi?"

"Gue pernah ketemu sama dia."

"SERIUS?" Praktis, mata Jeviar dibuat membulat.

"Beberapa kali," Adrian mengedikkan bahu. "Waktu gue pameran, dia datang. Cuma dia nggak mau ketemu lo, makanya dia stay di kafe seberang jalan. Ketika gue keluar, gue berniat ngejemput dia. Selebihnya lo tau apa yang justru terjadi. Sebelum gue sempat ngejemputnya pergi dari kafe itu, Azalea kecelakaan."

"Why didn't you tell me?!"

Adrian menyeringai. "Lo nggak nanya."

"Kampret." Jeviar mengumpat.

"Je, lo nggak bisa terus-menerus menunggu dia datang dengan sendirinya pada lo. Kalau lo nggak melakukan apa-apa, semesta juga ogah membantu lo."

"Apa gunanya? Kalau gue deketin dia, dia bakal balik ngejauh."

"Menurut gue nggak begitu."

"Maksud lo?"

"The new Raya is nothing like the old her. Dia bukan lagi anak kaku yang bingung bicara di depan orang banyak. She is smarter. Prettier. And more successful than you've ever imagine, I guess? Melihatnya, lo nggak akan bisa membayangkan jika dia pernah jadi orang yang meninggalkan lo karena merasa dia nggak pantas buat lo." Adrian mencondongkan tubuh, kemudian merendahkan suaranya. "Don't tell anyone, but if didn't get to meet Azalea, I'll be the very first one to steal her from you."

"She has Kenzo."

"Everything is fair in love and war."

Jeviar menyentakkan kepala.

"Pakai undangan Hana sebagai alasan untuk ketemu dia."

Jeviar tampak berpikir.

"Come on, Je!"

Jeviar berdecak. "Oke."

"Bagus. Sekarang, giliran gue yang nanya sesuatu sama lo,"

"Apa?"

"I was about to ask Faris to be my bestman, but since he seems nowhere to be found, I decide to ask you instead," Adrian menatap Jeviar. "Be my bestman?"

"Duh."

"I'll take that as yes," Adrian menyesap es kopinya sekali lagi, kemudian beranjak bangkit. "Gotta go. Setelah ini, gue masih harus nemenin Azalea."

"Masukkin aja slogan kita ke tempat sampah," Jeviar mengerutkan hidung. "Bros before hoes. Bah, sekarang justru lo pada lebih mengutamakan cewek-cewek lo masing-masing daripada sohib lo."

"You're still my bro, Je," Adrian tampak geli. "But still, I gotta go," ujarnya sebelum benar-benar berlalu, meninggalkan Jeviar bersama riuh-rendah suara mengobrol pengunjung kafe yang lain dan segelas es kopi yang tinggal setengah.

***

Azalea sedang duduk di depan cermin ketika dia mendengar suara pintu depan yang dibuka, disusul langkah kaki yang telah dia nanti selama tiga puluh menit terakhir. Itu pasti Adrian. Siapa lagi yang bisa masuk begitu saja tanpa mengetuk dan minta dibukakan pintu? Dia lega dia sempat merias wajahnya sedikit sebelum pergi ke rumah sakit. Kini pipi itu merona. Bibirnya sewarna camelia. Sapuan produk kosmetik mampu menyamarkan kelam muram yang menggelayuti wajahnya.

"Baby, you're there?" tanya Adrian terdengar, disusul oleh sosoknya di ambang pintu yang turut terpantul di cermin. Azalea tidak menoleh. Bahu gadis itu justru melemas. Pandangan matanya menusuk lantai.

"Lea?" Adrian mendekat, menyentuh pundak Azalea. "Kenapa?"

Gadis itu mengangkat wajah, menatap Adrian dengan sendu. "Why didn't you tell me?"

"Tentang apa?"

"My health condition."

Adrian menarik napas. "Enggak perlu ada yang dikhawatirkan."

"Adrian,"

"Lo mungkin sudah nggak cukup sehat untuk jadi model, tapi bukan berarti lo hanya bisa jadi model kan? Lo tetap bisa jadi jurnalis lepas. Atau blogger. Apapun."

"I'm not healthy enough to be a mother."

"Don't," Adrian berbisik penuh penekanan. "Don't say something like that."

Azalea menatap Adrian. Matanya berkabut. "I just... can't..."

Adrian tidak menunggu gadis itu menyelesaikan ucapannya. Dia memeluk Azalea, mendekapnya erat dengan hangat. Sekuat tenaga, Azalea berusaha menahan diri untuk tidak menangis. Matanya terpejam, aroma Adrian lagi-lagi memenuhi hidungnya. Dia tidak boleh menangis. Lelaki ini sudah terlalu sering melihatnya hancur, dan Azalea benci jadi orang yang harus selalu diperbaiki.

Kalau saja bisa, dia juga ingin meringankan apapun beban yang mungkin Adrian punya.

"Jangan pikirin yang begitu," Adrian berkata saat pelukannya terlepas, kemudian telapak tangannya membingkai kedua pipi Azalea. "You're mine. I'm yours. It's enough for me."

"Tapi tetap saja kan—"

"Dokter itu bukan Tuhan, Lea. If something destined to happen, it will happen."

Azalea menyadari apa yang Adrian katakan itu benar. "Oke."

"Now, shall we go?"

Kerutan muncul diantara alis gadis itu. "Kemana?"

Adrian tersenyum, mengulurkan tangannya untuk membantu Azalea beranjak dari kursi meja rias—yang Adrian beli sesaat setelah gadis itu memutuskan untuk tinggal di apartemennya pasca kepulangannya dari rumah sakit.

"To my Mars."

***

"Sudah sampai?" kening Azalea berlipat sesaat setelah Adrian menghentikan mobil di depan sebuah bangunan rumah—hm, mungkin lebih tepat disebut ruko daripada rumah. Bagian luar bangunan itu dicat dengan warna-warna tumpang tindih yang kontras, membuat Azalea teringat potongan latar belakang penuh warna yang biasa hanya dia lihat dalam gambar-gambar estetik internet. Ruko itu agak menyendiri, berada di sudut jalan. Separuh lebih halamannya dipenuhi oleh hijau pepohonan, sejumlah arca batu dan sederet pot bunga beraneka ukuran dengan jenis tanaman bunga yang sama.

Lidah Azalea mengelu saat dia mengenali jenis tanaman bunga yang berderet itu. Bunganya berwarna merah muda dan putih. Tampak menonjol diantara warna abu-abu patung dan hamparan hijau rumput gajah. Itu tanaman azalea.

Sisa halaman yang tinggal seperempat dikeraskan dengan jenis pengerasan paving block. Disanalah kemudian Adrian memarkirkan mobilnya dengan rapi nan teratur seperti biasanya. Jika Azalea pikir, hampir tidak ada yang tidak rapi jika sudah menyangkut Adrian. Segalanya tentang pria itu adalah teratur, mulai dari janggutnya yang tidak pernah dia biarkan memanjang, hingga sweater cokelat gelap yang kini dia kenakan. Bau aftershavenya masih tersisa, membuat Azalea merasa dilambungkan ke langit.

"Emangnya lo pikir kita akan kemana?"

"Ke Mars." Azalea menjawab lugu. "Kirain kita harus naik roket dulu."

"Oh, darling, you'll never have idea about how much I love that."

"Love what?"

"Your smile."

Pipi Azalea menghangat, namun dia tidak punya waktu untuk tersipu karena Adrian segera beranjak turun dari mobil. Laki-laki itu melangkah mengitari mobilnya, lantas membuka pintu passenger seat yang Azalea tempati. Tangannya lagi-lagi terjulur, yang balik Azalea raih.

Tempat itu terkunci. Butuh beberapa lama buat Adrian untuk menemukan kuncinya, sebelum mereka benar-benar bisa membuka pintu dan masuk ke dalam. Semula, Azalea menebak ruangan penuh debu yang kosong serta berantakan akan menyambutnya. Dugaannya salah telak. Bukannya terbatuk karena debu seperti yang dia kira, Azalea justru tercengang. Tubuhnya membatu di tempatnya berdiri, sementara panas merambat hingga ke matanya. Ada gumpalan yang terasa menyumbat tenggorokannya—sesuatu yang kerap dia rasakan setiap kali dia akan menangis.

"Ini..." Azalea menoleh, mendapati Adrian tengah menyunggingkan sebentuk senyum terindah padanya.

"Welcome to my world."

Ruangan itu lebih mirip galeri seni daripada ruangan ruko. Seluruh temboknya dicat dengan warna gelap, dengan lis berwarna cerah yang kontras di bagian tepi menuju langit-langit. Bingkai-bingkai penuh warna tergantung teratur, menciptakan suasana serupa di museum. Ada pula beberapa karya yang lain seperti jam dinding yang dibuat dengan menggurat lapisan cat berwarna cokelat. Atau bentuk tidak simetris yang terbuat dari lengkungan kayu. Tangkai-tangkai bunga Azalea yang dikeringkan tertempel ke dinding, mengisi jarak diantara setiap kanvas. Sangat indah.

Adrian mulai bercerita tentang bagaimana dia mendapatkan tempat ini—yang disebutnya sebagai workshop. Latar belakang pendidikannya bukan seni rupa, melainkan desain komunikasi visual, namun Adrian tidak pernah bisa meninggalkan hobi melukisnya, atau kesenangannya menggerakkan jari mencipta karya penuh nuansa estetika. Adrian menambahkan pula bahwa jika bukan karena sumbangan dana dari kedua kakak perempuan dan ibunya, dia mungkin belum akan memiliki tempat itu dalam usia yang sangat muda. Lelaki itu masih membangun karirnya, tentu saja, namun keluarganya tidak akan sampai hati membuatnya hanya bergantung pada gaji dari pekerjaannya.

Adrian sempat berkelakar tentang bagaimana dia masih saja menjadi anak manja, spoiled brat seperti yang dulu Azalea katakan. Tapi Azalea tidak membalas. Matanya telah tertancap pada satu demi satu objek yang bersembunyi dalam sapuan penuh warna cat yang sudah mengering. Jajaran lukisan yang Azalea lihat di kamar Adrian tiga tahun lalu bukan apa-apa. Lukisan-lukisan itu hanya sebagian kecil dari apa yang Azalea saksikan kini.

Ada banyak sekali dirinya disana. Sosoknya dalam gelap dengan bulan berwajah murung di atasnya. Sosoknya diatas bola dunia merah muda, dikitari oleh lukisan kelopak-kelopak bunga Azalea. Lukisan setangkai bunga kamelia pucat yang digantungi sehelai kartu ucapan. Wajahnya di depan kue bertancap dua puluh tiga lilin—seperti Adrian tengah berkhayal merayakan ulang tahunnya. Kumpulan potongan pengalaman mereka di Jogja yang Adrian tuangkan dalam warna dengan sangat apik. Lalu wajah Alamanda. Sketsa pensil yang pernah Alamanda hadiahkan untuk Adrian. Selebihnya Azalea, Azalea dan Azalea.

Selain lukisan, ada sesuatu yang lain disana. Sesuatu yang begitu Azalea lihat, langsung membuat tetes-tetes air matanya jatuh ke pipi. Adrian terlihat kaget, namun tangannya merengkuh bahu Azalea lembut.

Sesuatu yang Azalea maksud adalah meja dan rak penuh majalah, juga lembar-lembar katalog. Bukan majalah dan lembar katalog biasa. Katalog itu adalah katalog sejumlah produk yang sempat menggunakan jasa Azalea sebagai model mereka. Majalah-majalah itu sendiri punya satu persaman yang sangat nyata; mereka semua memiliki wajah Azalea di sampulnya. Dalam beragam pose. Dengan berbagai ekspresi.

Adrian tidak pernah melupakannya. Lelaki itu selalu mengawasinya. Tak alpa merindukannya. Semua dilakukan Adrian dari jauh.

"Tiga tahun cukup mengubah cewek jutek yang gue kenal menjadi cewek cengeng," Adrian bergumam geli sambil menyeka pipi Azalea yang basah dengan jarinya. "Kenapa?"

"It's too wonderful."

Adrian tersenyum. "My world is wonderful."

"Lo sangat berbakat, Adrian. Seniman paling berbakat yang gue kenal."

Adrian tidak mengatakan apa-apa, namun matanya masih menatap lekat pada Azalea.

"Your Mars... is breathtaking."

"Didn't you understand?"

"Apa?"

"That my world... is you?"

Apa yang sudah dia lakukan hingga pria ini dihadirkan dalam hidupnya?

"Adrian," Azalea memanggil. "I love you."

Adrian menyelipkan helai rambut Azalea ke belakang telinga, lalu bisiknya, "I love you too,"

Kemudian laki-laki itu mencondongkan tubuh, menunduk untuk meraih bibir Azalea dengan bibirnya. Masih saja sentuhan lembut yang sama. Berada dalam pelukan Adrian selalu saja membuat Azalea menyadari sesuatu; bahwa bersama orang yang dicintainya, dia mampu mengalahkan waktu.

Waktu seperti berhenti. Seakan tidak ada yang lain lagi. Dunia terbang menjauh, dan yang tersisa hanya mereka berdua.

Hanya Adrian dan Azalea.


aku tak akan menyimpanmu

tidak dimanapun

tidak pada cahaya senja yang sendu

atau pada memori yang mampu digerus waktu


karena kamu tak pantas terbelenggu

meski karenanya aku cemburu

tidakkah kamu tau,

aku tidak ingin ada yang menemukanmu

selain aku?


aku akan menjelma menjadi udara

aku akan berhembus dimanapun kamu ada

aku akan bergerak melewati celah jendela

menemanimu saat kamu bangun di pagi buta


aku akan menjadi langit

menyaksikanmu di tiap detik

menontonmu terkepung ragu,

dibalut senyum,

hingga melepas tawa


lalu aku akan menjadi hujan

dalam setiap gerakku diantara jarimu

selalu ada pinta agar kau mau bercerita

tentang hatimu;

tentang bagaimana ia mencuri setiap napas yang terhela

lalu menghangatkan nadi

dan memperbaiki luka


Cerita Adrian dan Azalea – SELESAI 

[][][] 

a.n : GILA COY SELESAI JUGA WKWKWKWKW 

oke 

sebelumnya gue mau bilang makasih untuk kalian semua yang sudah menemani gue dari awal Rose Quartz sampai sekarang muehehehe makasih buat komennya, buat komen teloletnya ku terharu ;''''3 

akhirnya daku bisa menyelesaikan kisahnya Adrian mi Bavarian Prince huhu osehun makasih sudah menjadi muse ku selama empat bulan terakhir (kalau ga salah gue posting ini pertama kali bukan november) wkkwkw 

Gue nggak tau, kalau gue mood mungkin gue bakal bikin ekstra chapter lagi disini macem yang gue bikin di KITA

(sapa tau ada yang kepo kan gimana gitu malem pertamanya Adrian dan Azalea) 

(Ea) 

#RenitaPerusakMoralBangsa #RenitaMasukTakis2017

intinya makazeh aLL,,,,,,, taNpA kElYaN Adrian wont made it this far lulz nomu nomu nomu jakku jakku jakku saranghae :*******************

buat yang nanya ceritanya Rama, ceritanya Hana-Dio-Edgar, ceritanya Faris, percayalah gaes aku tidak akan melupakan mereka. Mereka semua akan debut di wattpad kok, nggak akan ada yang gue lewatkan wkwk 

Soal Snowflakes, coba tar gue menelaah hati dan pikiran, enanya dirilis lagi pha ga wkwkwk 

Soal The Dust dan The Seven Serpents pun sama yha 

Sori banget inimah 

terus di konten multimedia ada gambarnya adrian-azalea yang membuatku baper 

oke sekian. 

CIAO. 

JANGAN LUPA, TRIO CETTA-CHANDRA-CALVIN AKAN SEGERA DEBUT!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 

Wkwkwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro