Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#31

Sampai berapa lama seseorang bisa menunggu?

Untuk yang kesekian kalinya hari ini, pertanyaan itu kembali terlintas di benak Azalea. Semua karena sebaris pesan singkat dari Adrian yang dia terima pagi tadi—tepat sesaat sebelum pesawatnya akan take off menuju Kepulauan Fiji. Pesan itu pendek, tapi sarat akan muatan rindu—yang entah kenapa tidak pernah berkurang walaupun dua tahun sudah berlalu.

Ah ya, dua tahun sudah berlalu sejak percakapan terakhir mereka di apartemen Adrian. Orang selalu bilang bahwa desir waktu berlalu tanpa terasa. Namun tidak bagi mereka yang tengah saling menunggu satu sama lain. Setelah telpon tidak terduga dari sebuah agensi yang Azalea jawab di terminal bus dua tahun silam, hidupnya telah banyak berubah.

Dia bukan Azalea yang kerap menggendong ransel macam pendaki baru saja turun gunung seperti yang sering Faris ejek. Dia bukan lagi gadis yang bekerja paruh waktu di sebuah toko bunga. Dia bukan lagi gadis yang hanya bisa menatap kagum sekaligus jengah pada beragam macam kemewahan yang terpajang di balik layar televisi atau lapisan bening kaca sebuah toko merek ternama. Seperti kembang api di malam tahun baru, kariernya melejit lebih tinggi jauh dari apa yang semula Azalea perkirakan.

Pada enam bulan pertama dia berada dalam agensi modelling itu, dia berhasil mendapatkan cover Nylon pertamanya. Semua orang tertarik pada background ceritanya yang tidak biasa. Tentang masalah yang menerpa keluarganya, kematian adik perempuannya dalam sebuah insiden kebakaran tragis, kuliahnya yang mendadak terputus di tengah jalan sampai berbagai macam artikel cerdas hasil tulisannya yang berada di salah satu kanal situs berita ternama. Mereka memandang Azalea sebagai sosok teguh yang cantik dan berpendidikan. Sekalipun kegiatan akademiknya di perguruan tinggi harus terhenti begitu saja.

Hanya Azalea, tanpa seorangpun sosok istimewa di sampingnya.

Dalam setiap artikel yang dirilis tentang dirinya, Azalea tidak pernah sekalipun menyebut nama Adrian. Kenangannya bersama pria itu terlalu berarti untuk dibagi. Anggap saja dia egois, tapi dia ingin menyimpan semua memori itu untuk dirinya sendiri. Mereka masih kerap berkomunikasi, pada bulan-bulan pertama pasca percakapan mereka di apartemen Adrian sore itu. Tapi jarak antar frekuensi kian melebar, sebagian besar adalah imbas dari kesibukan masing-masing.

Pada enam bulan pertama Azalea mulai membiasakan diri menerima profesi yang tidak pernah dia bayangkan akan dia pilih menjadi pekerjaannya, Adrian sempat menelepon. Cowok itu bertanya tentang kemungkinan Azalea hadir ketika dia wisuda. Azalea balik menanyakan tanggal, dan begitu Adrian menjawab, bahunya langsung melemas. Pada hari itu, dia tidak akan berada di Jakarta. Ada sesi pemotretan di Bali untuk katalog baru sebuah merek aneka baju dan celana denim buat remaja.

Adrian mengerti. Dan dia berbesar hati.

Atau terlalu banyak mengerti. Dan terlalu sering berbesar hati.

Karena hari ini pun, Azalea masih tidak tahu harus membalas pesan singkat yang Adrian kirimkan dengan jawaban macam apa. Cowok itu telah menunggu dengan sabar selama beberapa tahun belakangan. Tanpa sempat benar-benar bertemu. Hanya saling berkomunikasi via suara—yang mana sangat jarang terjadi mengingat kesibukan keduanya. Dunia yang sesungguhnya terang saja tidak bisa dibandingkan dengan situasi ketika mereka berdua masih mahasiswa—waktu menyedot apa yang mereka punya, dari mulai tenaga, masa senggang hingga tawa. Semuanya atas nama kemampuan hidup dengan standar tinggi ala ibukota.

"Something bothering you, missy?"

Azalea tersentak begitu dia mendengar suara dari seseorang. Suara itu milik Cindy Chou, salah satu makeup artist langganan agensi Five & Six. Tangannya masih bergerak lembut, menyapukan kuas berlumur bubuk perona pada pipi Azalea.

"It's my boyfriend," Azalea akhirnya menjawab jujur. Meski terkadang, dia meragukan apakah ada status yang benar-benar mengikat antara dirinya dan Adrian. Setelah semuanya, mereka hanya sepakat untuk saling menunggu kan?

"Ah, saya mengerti," Cindy tersenyum, hingga matanya yang sipit seperti menghilang dalam satu garis. Dari sekian banyak pekerja yang pernah bersinggungan dengannya, Cindy adalah salah satu orang favorit Azalea selain Naraya Nitisara—seorang model senior yang juga satu agensi dengannya. "kenapa? Dia minta ketemu ya?"

"Kurang lebih seperti itu."

"Temui saja," Cindy berkata masih dengan wajah yang terkesan cheerful, "Kalau saya perhatiin, sejak kamu baru masuk sampai sekarang, kamu terlalu sibuk bekerja. Jarang ada loh, laki-laki yang pengertian seperti dia."

Azalea tertawa.

"Saya serius," Cindy terkekeh, lantas mengganti kuas di tangannya dengan sebuah tweezer dan sepasang bulu mata.

Azalea tidak menjawab, walau bibirnya menarik seulas senyum. Walaupun begitu, ucapan Cindy mau tidak mau membuat benaknya memutar ulang kata demi kata dalam pesan pendek Adrian yang tadi dia terima.

Gue ada pameran hari Sabtu minggu ini.

Datang, ya?

***

Begitu dia melangkah melewati pintu masuk bangunan toko buku tersebut, matanya hanya terarah pada satu sudut yang pasti. Beberapa orang sempat melihat padanya sementara dia berlalu, dan berdecak sambil bertanya-tanya apakah dia artis atau bukan. Adrian mengabaikannya. Lain kali, harusnya dia tidak menuruti saran Hana untuk mengenakan setelan turtleneck hitam dan celana panjang yang kelewat rapi seperti ini. Sepanjang jalan, orang-orang memandangnya seakan dia adalah tokoh komik yang baru saja melompat ke dunia nyata.

Rak majalah itu sepi ketika Adrian tiba di dekatnya. Matanya yang hazel sempat bergerak mencari selama beberapa saat, dan ketika dia menemukan apa yang dia cari, tangannya gesit mencabut benda tersebut. Sosok Azalea yang memenuhi hampir seluruh bagian depan dari majalah tersebut seperti menyapanya. Senyum yang tersungging seakan tertuju hanya padanya, dan itu sudah cukup mengirimkan satu getar dalam dada Adrian.

Dia masih menunggu gadis itu.

Ketika Azalea berkata bahwa dia punya janji lain yang harus dia tepati—dan butuh kebanggaan miliknya sendiri untuk bisa dicintai, Adrian tidak pernah mengira gadis itu akan menjelma menjadi Azalea Pramudita yang sekarang wajahnya sering dia lihat menghiasi tembok-tembok pusat perbelanjaan sampai billboard di sudut-sudut kota. Dia masih merindukan gadis itu. Sangat. Namun, melihat dari banyaknya proyek yang Azalea ambil, dia menyadari kalau gadis itu terjebak dalam kesibukan yang tidak main-main.

Karenanya, Adrian memilih bersabar, sementara perlahan namun pasti dia juga mendaki bukitnya sendiri. Menuju puncaknya sendiri.

Seperti Azalea yang tidak pernah benar-benar memberitahu publik tentang hubungannya dengan Adrian, Adrian melakukan tindakan yang serupa. Orang-orang mengenalnya sebagai Adrian Cetta Arsenio, seseorang yang berpuisi melalui setiap goresan warna yang dia torehkan di atas kanvas. Pekerjaan utamanya tidak jauh-jauh dari latar belakangnya sebagai pendesain komunikasi visual, tapi orang banyak mengenalnya karena karya lukisnya yang dianggap selalu out of the box.

Namun, pada akhir pekan ini, Adrian sudah merencanakan pameran untuk menunjukkan karya-karyanya yang mungkin akan dipandang sangat biasa oleh kebanyakan orang. Begitu sederhana. Tetapi dalam setiap sapuan kuasnya, terangkum cerita antara dirinya dan gadis itu. Satu kisah tentang Adrian dan Azalea.

Sebab itu, Adrian ingin Azalea datang. Walau dia tahu Azalea sibuk. Lagipula, setelah dua tahun, apakah terlalu banyak jika dia meminta untuk bertemu?

Dia merindukan Azalea hingga sekujur tubuhnya terasa sakit.

"Dia cantik sekali, kan?"

Refleks, lamunan Adrian terbuyarkan. Kepala cowok itu langsung terputar ke satu arah, dan seketika matanya membelalak lebar-lebar tatkala dia mengenali seraut wajah milik gadis yang berdiri di sampingnya.

"Raya?!"

"Long time no see, Adrian," Raya tersenyum lebar, tetapi Adrian tidak balik tersenyum. Cowok itu justru menyipitkan matanya, mengamati penampilan terkini gadis itu. Raya terlihat lebih kurus dari yang pernah Adrian ingat. Rambutnya dipotong sebahu. Tetapi senyumnya masih saja sama.

"I mean, for real?"

"Kenapa lo melihat gue seperti melihat hantu?"

"Karena lo hobi menghilang seperti hantu," Adrian menyentakkan kepalanya. "It's a thing about girls, isn't it? Cewek hobi menghilang ketika cowoknya udah terlanjur sayang."

Wajah Raya memerah. "Is he happy now?"

Adrian menyentakkan kepala. "Gue nggak punya hak mengomentari love life orang lain."

"Sorry. My bad, then,"

"But I think he's not as happy as when he was with you."

"We gotta move on, Adrian. Because life goes on."

"Mengharap kebahagiaan itu nggak dosa, Raya. Kalau lo bahagia sama dia, ya kenapa enggak?"

"I have a boyfriend now. And so does he."

"That's the dumbest thing about both of you," Adrian mendengus. "Gue sih mending nungguin orang yang benar-benar gue mau daripada menjadikan orang lain pelarian. Atau pengisi kekosongan sesaat. It's cruel, you know that?"

"I know. I guess she is a lucky girl."

"Siapa?"

"Azalea Pramudita."

Adrian terdiam.

"Dia beruntung karena dia dicintai oleh seseorang seperti lo dengan begitu dalam," Raya tertawa. "I heard about it. Your exhibition."

"Iya, pamerannya akhir minggu ini."

"Am I invited?"

"No."

Keduanya berpandangan, lantas kemudian sedetik berikutnya tawa mereka pecah. Ringan dan lepas, seperti yang sering mereka lakukan di masa lalu.

***

Jarum pendek jam dinding telah merambat ke angka tiga saat Azalea menghambur masuk ke dalam unit apartemen yang telah menjadi tempat tinggalnya di Jakarta selama satu tahun belakangan. Kedatangannya yang tiba-tiba kontan saja mengagetkan Karen yang tengah bersantai di sofa ruang tengah sambil mengunyah stoples keripik kentang. Cewek yang rambutnya dicat pirang itu mnedesis pada Azalea yang langsung balik memberikan ringisan meminta maaf.

Karen adalah salah satu staff di agensi Five & Six. Dia lebih tua daripada Azalea, dengan jiwa labil layaknya anak muda baru puber. Perempuan itu telah lama bekerja di Five & Six, sehingga posisi yang dia miliki memungkinkannya untuk bisa memiliki satu unit apartemen di wilayah ibukota—meskipun bisa dikatakan, lokasi apartemen itu jauh dari CBD yang artinya tidak semahal unit apartemen di sepanjang Jalan Soedirman atau daerah Thamrin. Atas bantuan dari Naraya Nitisara, Karen sepakat menerima Azalea sebagai teman satu apartemen—tanpa harus membayar rent yang besar setiap bulan. Perempuan itu hobi menggerutu, tapi Azalea tau, Karen telah menganggapnya seperti adiknya sendiri.

"I bought you some bathbombs," Karen berkata ketika Azalea melangkah masuk ke kamar mandi setelah meletakkan kopernya di dalam kamar.

"Got no time for that, sis," balas Azalea dari dalam kamar mandi.

Karen mendengus. "Fiji itu nggak sedekat Bali, Lea. You sure need some rest. Kamu baru landing jam dua tadi kan?"

Azalea menjawab dengan suara tidak jelas, seperti dia tengah kumur-kumur. Karen menyentakkan kepala, lalu mengganti channel televisi. Hari ini hari Sabtu, dimana segala aktivitas di kantor agensi diliburkan. Tidak ada hari libur bagi mereka yang berkecimpung di bidang wardrobe, makeup dan model yang terlibat sesi pemotretan itu sendiri, tapi bagi orang yang bertanggung jawab di bidang manajemen dan keuangan, Karen punya cukup waktu luang untuk bisa bersantai sembari menonton gosip terkini artis ibukota di ruang tengah apartemennya.

Dia keluar dari kamar mandi lima belas menit kemudian hanya dengan kimono handuk. Setengah berlari ke kamarnya, Azalea mengabaikan decak tidak mengerti yang Karen berikan. Gadis itu langsung sibuk memilih setelan baju yang dapat menunjukkan keanggunannya dengan purna, lalu menata rambutnya dengan curling iron dalam gerakan yang gesit.

Pepatah yang mengatakan bahwa seseorang akan bisa melakukan sesuatu setelah terbiasa dengan itu adalah benar. Azalea yang dulu mungkin tidak tahu apapun tentang menata rambut atau menyapukan perona pipi di wajahnya. Tapi tidak dengan Azalea yang sekarang. Hanya butuh waktu dua puluh menit baginya untuk bisa bertransformasi dari sosok gadis yang lelah karena kurang tidur menjadi gadis manis yang telah berdandan untuk acara kencan pertama. Memberikan sentuhan terakhir lipstik merah muda di bibirnya, Azalea mematut diri di cermin.

Apakah dia sudah terlihat cukup cantik untuk cowok itu?

Azalea berharap begitu. Lantas dia beranjak, menyambar tas terdekat yang serasi dengan pakaian yang sekarang melekat pada tubuhnya. Setelah memastikan sepatu hak tinggi yang dia kenakan terpasang dengan sempurna, gadis itu pergi ke ruang tengah hanya untuk mendapati Karen memandangnya dengan alis yang terangkat.

"Kamu mau kemana?"

"Saturday date." Azalea tertawa seraya mengedipkan mata, membuat Karen menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali.

"Jam malam masih berlaku, oke? Jangan pulang di atas tengah malam,"

"Who knows?"

"Atau pulang sekalian pas udah pagi," Karen tertawa. "Have fun, kay? And tell him the importance of safe sex. Better safe than sorry, right?"

"You're thinking too far!" Azalea berseru geli. "Sampai ketemu, Kak."

Karen tertawa, dan Azalea balik tergelak. Dia melangkah menuju pintu, kemudian melangkah cepat di koridor setelah memastikan pintu telah tertutup dengan rapat di belakang punggungnya. Dia sudah terlambat, dia tahu itu dengan pasti. Tapi yang terpenting, dia telah berusaha datang kan? Sekarang, Azalea hanya berharap kalau Adrian akan tetap berada disana—setidaknya sampai dia muncul. Gadis itu sengaja memberitahu Adrian kalau dia tidak bisa datang, mengingat posisinya yang tengah berada di Fiji, dan bermaksud memberikan kejutan.

Karena, Azalea sadar bahwa dengan apa yang telah dia capai sekarang, dia telah memiliki sedikit kebanggaan untuk bisa tinggal di sisi Adrian.

Senyumnya mengembang, sementara taksi yang ditumpanginya bergerak membelah jalan protokol ibukota. Lalu-lintas cukup padat, mengingat ini hari Sabtu. Supir taksi yang mengemudikannya sempat bertanya apakah Azalea artis, menilik dari garis wajahnya yang familiar. Gadis itu hanya tertawa, lalu berujar dengan nada main-main,

"Wajah saya memang pasaran, Pak," ucapnya geli, yang membuat supir separuh baya itu mengangguk-angguk mengerti. Dalam hati, Azalea mengingatkan dirinya sendiri untuk memberikan tip dengan jumlah yang baik pada supir ini ketika dia turun nanti.

Lalu, mendadak ponselnya berdering. Ada telepon masuk. Bukan dari Adrian, tetapi dari Bunda.

"Halo?"

"Kamu sudah landing, Lea?" Bunda malah balik bertanya.

"Jam dua siang tadi, Bunda."

"Bunda baru dengar dari Mama-nya Adrian, katanya hari ini Adrian ada pameran."

"Iya. Aku tau. Aku lagi mau pergi kesana."

Senyap sejenak.

"Bagus," wanita paruh baya itu menghela napas. "Selama ini, Bunda pikir kamu sudah bersikap terlalu jahat sama Adrian. Tidak ketemu selama dua tahun, apa artinya itu? Dimana-mana, dalam sebuah hubungan itu ya pelakunya perlu bertatap muka. Bukan bicara via layar. Tapi ya sudahlah."

"Iya, Bunda."

"Bunda lagi kepikiran sesuatu."

"Hm, apa?"

"Gimana ya kalau Bunda pindah ke Jakarta lagi?"

Azalea sempat kehilangan suara sebentar. "Bunda yakin?" tanyanya hati-hati.

Tentu saja. Kota Jakarta menyimpan terlalu banyak kenangan akan Alamanda. Di tiap sudutnya. Dalam setiap jengkal tanahnya. Pada setiap hela udaranya.

"Bunda dan Mamanya Adrian ada rencana mau buka bisnis katering bareng," Bunda bercerita dengan antusias. "Kayaknya besok Bunda ke Jakarta. Sekalian mau ngobrol sama Mamanya Adrian."

"Naik kereta?"

"Kayaknya iya."

"Oke. Besok aku jemput," Azalea menyahut.

"Enggak usah. Kata Mamanya Adrian, nanti Adrian yang jemput Bunda di stasiun."

Azalea tertawa dalam hati. Diantara mereka berdua, para ibu itu adalah pihak yang paling tidak santai mengenai nasib hubungan mereka. Menurut Azalea, salah satu penyebab kenapa mereka berdua masih sama-sama bertahan saling menunggu satu sama lain sedikit banyak adalah karena koordinasi yang tidak pernah putus antara ibunya dan ibu Adrian.

Konon benar katanya, kalau ingin mengambil hati seorang cowok, maka lebih baik jika mengambil hati ibunya terlebih dulu.

"Oke."

"Azalea,"

"Hm, Bunda?"

"Setelah ini, kamu nggak akan pergi lagi kan?"

"Maksud Bunda?"

"Kamu nggak akan menyuruh Adrian menunggu lagi, kan?" Bunda bertanya dengan hati-hati. "Kalian itu sudah dewasa. Sudah cukup umur untuk—"

"For God's sake, Bunda! Aku masih dua puluh tiga tahun! Begitu juga Adrian. Kak Abby dan Kak Aileen aja belum nikah!"

"Yah, kalau jodoh kamu nyampe duluan gimana?"

"Call you later, Nda," Azalea tertawa. "Sampai ketemu besok."

Bunda menghela napas. "Dasar anak keras kepala," katanya, tapi kemudian wanita itu meneruskan. "Sampai ketemu besok juga."

Dan hanya dengan begitu saja, percakapan mereka berakhir.

***

Seharusnya, Adrian merasa senang hari ini.

Hari ini adalah hari dimana pertama kali dia mengadakan pameran secara mandiri. Semua karya yang terpajang adalah karyanya. Karya yang menurut Adrian sangat biasa, namun bagi beberapa orang yang datang, adalah sebentuk seni yang begitu sempurna. Kebanyakan berisi sosok seorang gadis. Siluet-siluetnya dalam berbagai suasana. Mata yang entah bagaimana terasa familiar bagi sebagian pengunjung yang datang. Ikal mayang yang menyapu punggung. Tangan yang bergandengan di bawah hamparan langit penuh gemintang. Permukaan hijau danau yang disesaki oleh lumut dan eceng gondok. Angkringan. Asap. Jogja. Dan Malioboro.

Semua karya itu adalah rangkuman dari roadtrip Adrian dan Azalea tiga tahun yang lalu.

Tapi Adrian tidak merasa sesenang yang seharusnya. Semua karena Azalea. Gadis itu datang, karena masih berada di sebuah tempat nun jauh dari tempat Adrian berdiri sekarang.

"What's with that long face, dude?"

Adrian tersentak begitu dia mendengar suara Jeviar. Cowok itu datang bersama Rama. Tidak ada Faris. Konon dia sedang berada di belahan dunia yang lain. Hana tadi sempat menyapanya, bersama dengan seseorang. Cewek itu bahkan sempat menggoda Adrian tentang tanggal pernikahan.

"Hai," Adrian menyapa pendek.

"Hay-hoy hay-hoy, hepi dikit kek kenapa?" Rama menyentakkan kepala. "Tapi serius, lukisan lo cakep banget deh. Kalau aja gue bisa melukis, gue mungkin udah ngegambar dia setiap waktu."

"Dianya yang mana, nih?" Jeviar mengejek, yang dibalas Rama dengan tinjuan di bahu.

"Raya nggak datang ya?" Adrian tiba-tiba bertanya, membuat ekspresi wajah Jeviar berubah sedikit.

"Emang lo ketemu dia?" Rama berujar.

"Emang lo pada enggak?" Adrian justru balik mengerutkan dahi. "Gue ketemu dia beberapa hari yang lalu. Di toko buku."

"Don't really know," Jeviar bergumam.

"She is fine, I guess. Skinnier than I ever remember, but she is okay," Adrian menambahkan keterangan lebih lanjut walau Jeviar tidak bertanya. "And prettier than ever."

Jeviar membuang napas panjang.

"Kebetulan banget, jir."

"Kebetulan apanya?" Adrian bereaksi pada ucapan Rama.

"Ini curut satu barusan putus dari Salwa,"

"Nevermind, she got herself a new boyfriend long time ago," Jeviar mengedikkan bahunya, kemudian melangkah menjauh. "Gue mau liat-liat yang lain dulu, oke?"

Adrian mengangguk, membiarkan dua sahabatnya itu berlalu begitu saja. Beberapa orang sempat mendekat padanya. mewawancarai, bertanya tentang sosok gadis di balik lukisan, hingga meminta izin mengambil foto bersama. Adrian melakoni itu semua dengan senang hati hingga ponselnya bergetar. Ada pesan yang baru saja dia terima. Dari Raya.

From : Raya

Is he still there?

Adrian menyentakkan kepalanya. Kelakuan dua orang ini memang konyol sekarang. Tapi tak urung, tangannya bergerak mengetikkan pesan balasan.

To : Raya

Yes. Lo dimana?

From : Raya

Kafe seberang jalan. Kasih tau gue kalau dia udah pergi.

To : Raya

Kenapa nggak kesini aja sih?

From : Raya

I have no courage to look at him in the eye

Adrian berdecak. Cowok itu mengedarkan pandang ke sekeliling sebelum kemudian memutuskan untuk pergi ke luar gedung tempatnya mengadakan pameran—tujuan tentu saja sudah pasti, ke kafe di seberang jalan. Menunggu Raya datang atas inisiatifnya sendiri meski Jeviar masih berada disana adalah sebentuk kemustahilan. Adrian merasa dia punya sedikit beban moral untuk mempertemukan dua orang itu sekali lagi.

Suasana ramai, tapi untunglah lampu untuk pejalan kaki tengah menyala hijau. Cowok itu memastikan situasi sudah aman sebelum mulai melintasi zebra cross. Dia melangkah cepat, tapi belum lagi selesai menapaki zebra cross ketika dia mendengar suara benturan keras di belakang punggungnya. Refleks, cowok itu menoleh hanya untuk mendapati sebuah mobil berwarna merah mengilat tengah berhenti. Di depannya, tepat di atas aspal, seorang gadis terkapar.

Rambutnya menyebar di sekeliling kepalanya, sementara darah mulai mengalir. Cairan kental itu memerahkan jari-jari, aspal dan setelan berwarna peach yang membalut tubuh gadis tersebut. Adrian menatap nanar. Tubuhnya diselimuti gigil sesaat setelah sebuah kesadaran menghantamnya dengan telak.

Dia mengenali gadis yang terkapar itu.

Gadis yang selama ini dia rindukan hingga dadanya terasa sakit.

Gadis yang membuat terjebak penantian selama bertahun-tahun.

Gadis itu adalah Azalea.

***

Ketika Azalea turun dari taksi, hal pertama yang dia sadari adalah tentang bagaimana dia begitu merindukan Adrian. Jalanan di depan gedung tempat Adrian mengadakan pameran tidak begitu ramai. Lalu-lintas malah cenderung lancar. Setelah memberikan tip dan mengucapkan terimakasih pada supir taksi yang telah mengantarnya, Azalea melangkah masuk ke dalam gedung.

Suasana ruangan itu ramai, membuat Azalea harus berusaha ekstra keras menemukan sosok yang dia cari. Pada akhirnya, dia memang menemukan Adrian. Cowok itu menuruni tangga dengan cepat, lantas langsung pergi ke pintu keluar gedung seperti tengah terburu-buru mengejar sesuatu. Sebuah kerutan muncul diantara alis Azalea, tapi akhirnya gadis itu memutuskan untuk mengekori Adrian.

Entah karena kaki Adrian yang lebih panjang dari kakinya atau karena sepasang sepatu hak tinggi yang membalut kaki Azalea, rasanya begitu sulit mengejar langkah kaki cowok itu. Azalea berusaha memanggil, namun suaranya hilang oleh keramaian. Merasa usahanya sia-sia belaka, Azalea mencoba menahan diri untuk tidak memaki dan mempercepat langkah. Adrian terus saja melangkah, lalu dia menyeberangi jalan. Masih tanpa melepaskan matanya pada punggung cowok itu, Azalea mengikuti.

Namun, hak lancip sepatunya belum lagi mengambil selusin langkah di atas aspal tatkala sebuah mobil datang entah dari mana, bergerak cepat ke arahnya. Azalea terperangah. Rentetan peristiwa terjadi dengan begitu cepat—hanya dalam hitungan milisekon dan ketika dia tersadar, mobil itu telah lebih dulu menghantamnya.

Ada suara benturan keras yang terasa begitu asing. Orang-orang terbeliak kaget. Beberapa mulai berkerumun. Pengemudi mobil turun dari mobilnya dengan wajah panik. Tetapi diantara denging yang merajai indera pendengarannya, pandangan mata Azalea masih hanya tertuju pada satu arah. Pada laki-laki di depannya yang kini menghentikan langkah.

Lalu, Adrian berbalik. Matanya terbelalak ngeri. Kepanikan seketika mewarnai wajahnya. Sebelum pandangan matanya menggelap, Azalea melihat Adrian menghambur ke arahnya.

Laki-laki itu menyerukan namanya.

Lantas, segalanya senyap. 






Bersambung. 

[][][] 

a/n : wqwqwqwqwqwqwqwqwq

kayaknya tinggal satu chap lagi + epilog deh 

Hm 

hm 

gimana eak

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro