#30
"Jadi gini, Na," Adrian baru mengeluarkan beberapa patah kata ketika Hana mengangkat jari telunjuknya ke depan bibir cowok itu. Matanya menatap penuh pengertian, membuat Adrian nyaris saja melepaskan sebuah dengusan pelan. Namun begitu, Adrian harus mengakui bahwa Hana adalah pribadi yang jarang bisa dia temukan. Di tengah semua masalah, mulai dari sahabat terdekatnya yang menghilang begitu saja setelah beberapa bulan menetap di Tokyo untuk program magang sampai hubungannya dengan Dio maupun Edgar yang memburuk beberapa pekan terakhir, Hana masih saja seorang Yohana. Dia tidak pernah kehilangan kekonyolannya.
"Gue mengerti, Pangeran Bavariaku. Tenang. Selama Hana masih bernapas, niscaya tidak akan ada cogan yang tidak mendapatkan pertolongan."
"Emang lo udah tau alasan kenapa gue ngajak lo jalan hari ini?"
"Karena lo nggak punya temen jalan," Hana menyahut lugas. "Enggak apa-apa. Meskipun jujur hari ini harusnya gue ngelarin laporan praktikum, tapi tentu aja, menghapus beban seorang cowok ganteng dunia akhirat kayak lo lebih penting daripada tugas seorang Nana Supena."
"Pantesan lo ngulang mulu."
"Galakin adek, bang."
Adrian menyentakkan kepala. "Sori, kalau gue udah ganggu rencana lo hari ini."
"Enggak usah minta maaf."
"Tapi, Na—"
"Traktir Sushi Tei aja udah cukup buat gue, Yan."
"Kampret. Itu sih enak di lo, tapi nggak enak di gue."
"Eits, ganteng-ganteng nggak boleh perhitungan."
"Solaria aja deh, nggak apa-apa. Gue lagi bokek."
"Makanya, jangan kebanyakan mimik-mimik nggak jelas."
"Gue nggak mimik-mimik nggak jelas."
"Terus yang lo minum sampai lo suka mabok saban malam itu apa? Air rebusan kolornya Faris?"
Adrian mengerang. "Kadang, ada beberapa hal yang berada di luar kontrol lo. Dan untuk tetap waras, lo butuh pelarian."
"Gue juga punya masalah. Banyak banget malah. Mulai dari kalkulus yang nggak kelar-kelar juga sampai tahun jebot karena gue ngulang terus. Raya kampret yang nggak ngasih kabar sama sekali—awas aja nanti kalau tau-tau dia ngirim undangan nikah sama Sen Mitsuji. Dan yang lainnya," Hana melotot. "Tapi gue nggak mimik. Gue nggak sibuk gonta-ganti pacar. Gue nggak nyebat. Gue nggak ketagihan ena-ena kayak kalian."
"Ye, itu sih karena lo nya emang nggak laku."
"Semoga Tuhan mengampuni dosamu, Yan."
Adrian tertawa. "Faris dan Jeviar nggak cerita apa-apa sama lo?"
"Hah? Emang ada apa?"
"Hm. Yaudah, lupakan aja."
"NGGAK BOLEH!" Hana hampir saja menggebrak meja. Nada suaranya demikian tinggi, cenderung agresif hingga menarik perhatian dari orang-orang yang duduk di sekeliling mereka. Adrian mengeluarkan ringisan, kemudian merendahkan nada suaranya.
"Last night, we kissed."
"WHAT?! LO SAMA FARIS APA LO SAMA JEVIAR?!"
Adrian kepingin membenturkan kepalanya ke tembok.
"Gue sama Aries."
"Oh—WHAT THE FUCK?!!!"
"Yohana,"
"Astagfirullah, gue baru saja berkata kotor." Hana berlagak khilaf. "Lo gila. Katanya lo mau nungguin Azalea. Kenapa lo malah nyipok Aries?!"
"I was drunk."
"Itu bukan alasan."
Adrian menghembuskan napas perlahan. "Gue juga tau. Itu semua salah gue. Hari ini, Aries ngajakin ketemuan. Gue sengaja ngebawa lo biar at least, ada yang bisa mencegah supaya tidak terjadi hal-hal yang nggak gue inginkan."
"Harusnya lo kontrol diri, dong, Cakep."
"Susah, Na," Adrian membalas. "Gue kesepian. Gue kangen dia. Di sisi lain, ada cewek cantik yang bersedia menemani gue, bahkan mau sabar menunggu sampai hati gue bisa berubah. Laki-laki manapun bakal susah menghadapi situasi yang kayak gitu. Azalea percaya sama gue. Gue nggak mau menghancurkan kepercayaannya."
"So sweet."
"Gue serius."
"Menurut lo, gue enggak?!"
"Muka lo begitu terus, sih. Gue nggak bisa ngebedain lo lagi nge-troll apa lagi bercanda."
"Kenapa? Selalu cantik ya?"
"Blah." Adrian mencibir, yang kemudian di balas Hana dengan gelak. Mereka sempat mengobrolkan sesuatu yang tidak penting seperti kenapa derajat kengerian seekor kecoak yang merayap bisa bertambah seribu kali lipat ketika kecoak tersebut melayang di udara selama beberapa menit sampai kemudian mata Hana terarah pada seorang gadis yang muncul di pintu masuk area foodcourt tempat mereka duduk menunggu.
"Eits, tuh si Nyai udah dateng," Hana berbisik dengan suara rendah, membuat kepala Adrian langsung terputar pada satu arah yang sama. Aries ada disana. Dia cantik, semampai dan rapi seperti biasanya. Ekspresi wajahnya berubah sedikit begitu dia menyadari kehadiran Hana, tetapi itu tidak menyurutkan langkahnya untuk berjalan menghampiri meja tempat Hana dan Adrian berada.
"Udah lama?" gadis itu bertanya setelah dia sampai di dekat meja Adrian.
"Enggak. Barusan."
"Hampir satu jam sih." Hana membalas dengan nada suara yang jauh berbeda dengan Adrian. Adrian memutar bola matanya, sementara Aries berdehem canggung seraya menarik salah satu kursi. Dia duduk dengan hati-hati, sempat sesekali melirik salah tingkah pada Hana yang mengaduk-aduk minumnya pakai sedotan dengan setengah hati.
"Sori ya, gue telat banget. Tadi jalanan macet, dan berhubung supir gue lagi berhalangan, gue harus nyetir sendiri," Aries menatap sebentar pada Hana. "Gue Aries. Lo Yohana anak teknik industri itu, kan?"
"Udah tau."
Adrian tahu kalau Hana bisa sangat ketus jika diperlukan, tapi dia tidak menyangka kalau cewek itu akan bersikap demikian defensif pada Aries. Matanya menatap Aries seolah Aries adalah wabah penyakit. Berani taruhan, Hana hanya menatap seperti itu pada cewek-cewek yang berpotensi menghalangi kisah asmara antara dirinya dengan laki-laki pujaannya.
"To the point aja, oke?" Adrian berkata dengan nada manis, matanya menatap Aries dengan hati-hati agar tidak terjadi kesalahpahaman.
"Soal yang kemarin... gue mau minta maaf."
"Gue udah maafin lo. Dan gue juga minta maaf, karena itu pun bukan sepenuhnya salah lo."
"Tapi bukan berarti gue menyesal."
"What?!" Itu suara Hana. Kedongkolan yang luar biasa terdeteksi dalam suaranya, tanpa ada usaha untuk ditutupi. "Lo gila ya?!"
Aries mengernyitkan dahi pada Hana, tetapi perhatiannya langsung kembali teralih pada Adrian tatkala cowok itu berdehem untuk memecah ketegangan yang mulai bertumbuh.
"Maksud lo apa?"
"Gue nggak menyesal dengan apa yang gue lakukan kemarin. Hanya saja, gue tau itu mengganggu lo. Jadi, gue minta maaf," Aries menarik napas, lantas seulas senyum perlahan tergaris di wajahnya yang cantik. "Tapi gue nggak akan pernah menyerah, Adrian. Gue akan selalu nungguin lo."
"Gue rasa gue perlu meluruskan sesuatu," Adrian berujar cepat. "Pertama, Aries, lo jelas tau kalau gue nungguin orang lain. Dan orang lain itu bukan lo. Kedua, gue nggak bisa melihat lo lebih dari teman. Kalau lo mengharapkan sesuatu yang lebih dari gimana kita sekarang dari gue, gue menegaskan sekali lagi kalau itu semua nggak mungkin, oke?"
"Adrian,"
"Aries, dunia itu luas. Laki-laki baik di luar sana ada banyak," Adrian melanjutkan, matanya menatap Aries dengan lekat. Dengan sorot mata yang mampu membuat dada gadis manapun menghangat. "Jangan melakukan sesuatu yang nggak seharusnya lo lakukan. You were born to be a queen, not a beggar. Find yourself someone who will treasure you like you're the rarest diamond in this world. Dan orang itu bukan gue."
Aries menggigit bibirnya. Ucapan Adrian terasa begitu menohok, sekalipun cowok itu mengatakannya dengan kata-kata dan nada suara yang amat lunak. Kepala Aries tertunduk, seiring dengan bahunya yang melemas. Hana mengernyitkan dahi, matanya menyipit mengamati situasi. Selama sejenak, keheningan mewarnai hingga ponsel dalam saku jaket Adrian meraung mengeluarkan bunyi.
Adrian mengeluarkan ponselnya, sempat heran sebentar ketika melihat nama dan serangkaian nomor yang tertera di layar. Itu nomor ponsel Abby. Tidak biasanya kakak perempuannya itu meneleponnya, terutama di akhir pekan seperti sekarang. Setelah berpikir sejenak, Adrian menjawabnya dengan satu kali swipe pada layar.
"Halo?"
"Azalea hari ini mampir ke rumah."
Adrian hampir tersedak. "What?!"
"Lo kok kaget banget, sih?! Emang dia nggak menghubungi lo sebelumnya? Katanya dia mau mampir ke apartemen. Jadi, gue minjemin kunci ke dia. Btw, lo lagi di apartemen, kan?"
Adrian menarik napas. Ada yang bertalu-talu di dalam dadanya seperti genderang yang tak henti ditabuh. Jantungnya. Bayangan gadis itu melintas cepat dalam benaknya, menegaskan bahwa ada rindu tiada terkira yang bercokol pada dirinya. Rindu untuk gadis itu. Sebentuk rasa yang tidak pernah beku.
"Gue balik sekarang. Dia ninggalin nomor HP-nya nggak? Kalau iya, tolong bilang ke dia buat nungguin gue sebentar."
"Ck. Dasar pasangan aneh," Abby bergumam, tapi dia sempat mengiyakan permintaan Adrian sebelum akhirnya percakapan diantara mereka terputus. Setengah tidak percaya, Adrian sempat mengamati layar hitam ponselnya sejenak. Lalu, matanya beralih pada dua gadis yang kini menatapnya dengan alis berkerut heran.
"Siapa?" Hana bertanya lebih dulu sebelum Aries sempat membuka mulut.
"Lea," Tidak ada seorangpun yang tidak akan bisa mendengar nada bahagia dalam suara Adrian. "She is coming."
***
Azalea masih ingat ketika pertama kali dia sadar bahwa Alamanda tidak akan pernah pulang. Lututnya terasa melemas dan tanah tempatnya berdiri seperti berputar. Seolah gaya gravitasi tidak lagi menahannya, ada sebagian dari dirinya yang ingin membumbung tinggi. Terbang bebas di angkasa, menyentuh kemerlip debu bintang dan berharap kalau dia tercipta tanpa kemampuan merasakan sakit. Kini, sensasi itu muncul lagi. Tidak serupa, tapi cukup familiar. Ada denyut tak nyaman pada nadinya, sesuatu yang muncul setelah matanya bertemu pandang dengan mata sosok gadis dalam lukisan setengah jadi.
Ada yang bilang bahwa hati manusia itu seperti musim. Selalu berganti. Selalu berubah. Seperti Bumi yang tidak pernah berhenti bergerak pada porosnya dan berotasi di sekitar matahari, hati manusia pun tidak pernah berdiam hanya pada satu tempat. Kini, Azalea berdiri kaku di ambang pintu dengan tanya berdesakan dalam batok kepalanya.
Apakah hati Adrian bukan lagi miliknya?
Mungkinkah cowok itu sudah berubah? Masa adalah sebentuk kekuatan mahaperkasa yang tidak bisa dilawan. Jika waktu mampu meratakan gunung dan menghijaukan apa yang semula tandus, maka bukankah tidak mustahil jika geraknya yang selalu memaksa jarum jam bekerja keras mampu mengubah hati seseorang?
Azalea masih berdiri tanpa tahu bagaimana harus bereaksi kala ponselnya berdering tiba-tiba. Hampir gelagapan, gadis itu merogoh saku. Ada serangkaian nomor telepon dan nama yang telah begitu kenal. Nomor ponsel yang tidak pernah diganti. Nama yang tidak meninggalkan bibirnya, bahkan dalam mimpi. Itu nomor ponsel Adrian.
Ragu-ragu, Azalea menjawabnya. "Halo?"
Senyap sebentar. Tapi samar-samar, Azalea mendengar suara klakson dan deru kendaraan di kejauhan. Sepertinya Adrian sedang mengemudi.
"Lea? Is that you?"
Ada air mata di pelupuk gadis itu, yang membuat butuh satu tarikan napas panjang sebelum menjawab. "Ya."
"Good. Lo di apartemen gue?"
Lagi-lagi, Azalea menjawabnya dengan kata yang sama. "Ya."
"Stay still. I'm coming."
"No, Adrian."
Hening lagi.
"Kenapa?" suara Adrian terdengar frustrasi.
"Karena... setelah gue pikir-pikir lagi, gue belum siap ketemu lo."
"But... why?"
Azalea menarik sebuah senyum sedih meski dia tau Adrian tidak bisa melihatnya. "Karena gue baru sadar, ada janji lain yang belum gue tepati."
"Apa? Damn it, I miss you, Lea. I miss you too much. Too much that I'll get drunk almost everynight with your name on my lips." Ada deru yang terdengar. "Just let me see you. Please."
"Dia cantik."
"Siapa?"
"Aries."
Adrian berdecak. "Jangan salah paham. Tolong."
"Gue nggak salah paham, Adrian," Azalea berbisik. "Hanya saja, gue baru menyadari sesuatu."
"Please don't tell me that you're jealous with her and you're going to leave me. No. Big no. Listen, kalaupun gue harus mencari lo sampai ke ujung dunia, gue bakal melakukannya dan gue bakal menemukan lo. Jadi, jangan pernah berpikiran untuk lari. Apalagi lari dari gue. Dan Aries... that painting is a late birthday surprise for her. Bukan sesuatu yang istimewa."
"Lo nggak perlu menjelaskan semua itu pada gue."
"Kenapa? Biar lo bisa terus-menerus salah paham dan merasa kalau hati gue udah berpindah ke yang lain?" Kadang, Azalea bingung karena Adrian terlihat seperti bisa membaca pikirannya.
"Bukan begitu."
"Terus apa? I'm coming to you. Jangan pergi lagi. Plis."
"Akan selalu ada cewek yang lebih cantik, lebih pintar, lebih lembut dan lebih berpendidikan daripada gue."
"Tapi mereka bukan lo." Adrian memotong dengan tegas.
Azalea tertawa. Pelan dan renyah. "Gue belum selesai ngomong, oke? I see that you're doing good. I'm happy for you. Kemudian gue sadar, gue butuh melakukan satu hal lagi untuk bisa bener-bener balik sama lo. Gue harus bisa menjadi seseorang, sehingga gue bisa menemui lo dengan bangga."
"Mendaki bersama jauh lebih mudah daripada mendaki sendirian, Lea."
"Hey, don't underestimate me, you brat." Azalea mendengus geli. "I'm doing fine. I'm sure, you'll heard something great from me. In the near future."
"Lea,"
"Gue udah baikan sama bokap gue."
Adrian hampir tersedak. "What?!"
"Gue udah baikan sama bokap gue."
"I heard you," Adrian memberengut jengkel. "I meant, for real?"
"Yap. Gue sadar, butuh kekuatan besar untuk bisa membenci seseorang selama bertahun-tahun. Apalagi kalau orang itu adalah orang yang sebenarnya kita sayangi. Gue nggak mau merusak diri gue sendiri dengan kebencian yang nggak akan mengubah apapun. Ayah juga sudah minta maaf. So I guess, now we're good."
"You're never broken to become with."
"Because you fixed me from the very start."
"Azalea,"
"Iya?"
"I want to hug you. So bad. Stop being so adorable."
Azalea tertawa. "Jangan kebanyakan minum."
"I wouldn't need any liquor if I have you by my side."
"I'll call you later, kay?"
"Tunggu. Gue hampir sampai."
"Seperti yang gue bilang tadi, Adrian, gue rasa kita belum bisa ketemu sekarang."
"Kenapa?"
"Gue juga kepingin punya sedikit kebanggaan saat nanti gue ketemu lo lagi," Azalea tertawa. Manis. Membuat rindu dalam dada Adrian meringis. "Biar penantian lo nggak sia-sia. Dan biar gue juga bisa menepati janji yang sudah gue buat."
"Azalea Pramudita,"
"Adrian," Azalea berbisik. "Plis?"
Menyerah karena sudah ditodong dengan nada suara seperti itu, Adrian menghembuskan napasnya dengan kesal. "Oke. Tapi jangan pernah menghilang. Jangan ganti nomor telepon lo. Let me call you whenever I want to. And call me whenever you want to."
"Hm, gue pikir-pikir dulu ya."
"Azalea!"
"Gosh, you scared me!" Azalea balik berseru. "Oke. We have a deal now."
"Jadi, kapan kita bisa ketemu?"
Azalea mengerling. "I'll call you later."
***
Apartemennya sepi tanpa satupun tanda kehidupan begitu Adrian sampai. Terengah, cowok itu menyusuri tiap ruangan sembari memanggil nama Azalea. Tetapi hasilnya nihil. Tidak ada seorang pun disana. Tidak ada jejak apapun, bahkan udara enggan menyisakan aroma gadis itu. Adrian menggigit bagian dalam bibirnya. Dia nyaris saja melontarkan makian frustrasi ke udara tatkala matanya tertuju pada satu arah.
Setangkai bunga camelia berwarna merah muda tergeletak di atas meja. Ada sebuah kartu berukuran mungil terikat pada batangnya. Adrian melangkah cepat mendekati meja tersebut, meraih tangkai bunga cantik itu dan membaca kata demi kata yang tertera di atasnya—menggunakan tinta hitam dan tulisan rapi yang benar-benar khas Azalea.
Dedicated to you who wonder if I'm thinking of you all the time,
I am
Adrian menyentuh goresan tinta di atas kertas dengan jarinya. Dia mulai membayangkan seperti apa wajah Azalea terlihat ketika dia menulis ini. Keningnya yang berkerut, alis yang nyaris bertaut dan wajah yang serius. Sebuah senyum tertarik di wajah Adrian, sementara dia membawa bunga tersebut ke hidungnya. Tidak ada semerbak khas yang menguar seperti saat dia mencium aroma bunga mawar atau melati. Adrian memejamkan matanya, dan keping-keping rindu itu kembali berserakan dalam hatinya.
***
Ceracau dalam aneka ragam logat-bahasa, kesemrawutan dan lalu-lalang orang serta beragam macam aroma dari mulai bau tengik tembakau hingga pesing air seni yang mengering dari sudut-sudut bangunan adalah hal pertama yang menyambut Azalea pada detik pertama dia menginjakkan kakinya melewati pintu depan terminal. Gadis itu mengedarkan pandang, sempat mencari sejenak dan setelah menemukan bus yang akan membawanya kembali ke rumah, dia kembali berjalan. Beruntung tidak banyak orang yang benar-benar memperhatikan kehadirannya—meskipun satu-dua kondektor sempat mencegat langkahnya untuk menanyakan tempat yang dia tuju. Dalam waktu singkat, Azalea telah menapaki tangga bus dan duduk di salah satu kursinya.
Dia tidak menebak dia akan kembali pulang secepat ini. Mulanya, dia memang benar-benar ingin menemui Adrian. Tetapi keberadaan lukisan setengah jadi wajah milik Aries yang dia temukan menerbitkan kesadarannya akan sesuatu yang lain. Adrian bukan tipe orang yang mudah dicintai. Bukan karena dia memiliki terlalu banyak kekurangan, namun justru karena lelaki itu tercipta dengan terlampau sempurna. Dia terlalu baik. Dan Azalea ingin menjadi orang yang pantas buatnya. Bukan hanya menjadi orang yang membuat Adrian memilih tinggal hanya atas nama cinta, tetapi juga karena dia adalah perempuan dengan kebanggaan.
Seperti yang sudah dia ucapkan pada Adrian sebelumnya, di luar sana akan selalu ada perempuan yang lebih cantik, lebih semampai dan lebih pintar darinya. Dia bukan apa-apa, untuk saat ini. Dan Adrian bukanlah tangga baginya untuk mencapai sesuatu yang lebih tinggi. Dia ingin berada di puncaknya sendiri, memiliki pencapaian yang mampu membuat harga dirinya tetap utuh.
Sebab itu, Azalea memutuskan untuk pulang. Dia mulai memikirkan satu dan beberapa kemungkinan. Sejumlah pilihan yang mungkin bisa dia lakukan serta tekuni dengan baik. Sebuah target. Sebentuk puncak yang siap dia capai dengan pendakiannya sendiri.
Azalea tengah menyandarkan kepalanya ke kaca bus ketika ponselnya mendadak berdering. Bukan dari Adrian, panggilan masuk itu datang dari serangkaian nomor yang tidak Azalea kenal. Meragu sebentar, Azalea akhirnya memutuskan untuk menjawabnya.
"Halo?"
"Selamat sore. Apakah ini dengan Azalea Pramudita?"
Kening Azalea berlipat. "Iya, saya sendiri. Anda siapa ya?"
"Perkenalkan, saya Maggie dari Five & Six Modelling Agency and Management. Saya mendapat rekomendasi tentang anda dari beberapa sumber terpercaya dan setelah melihat beberapa proyek lepas yang sempat anda ikuti, pihak manajemen ingin mengetahui kesediaan anda mengikuti casting yang akan segera diadakan. Sebelumnya, kami sudah mencoba mencari email anda atau kontak yang lain, tetapi kami hanya menemukan nomor ponsel ini."
Tunggu. Kepala Azalea mendadak terasa pusing.
"Apa?"
"Begini saja, bagaimana kalau anda memberitahukan alamat email anda lewat sini, nanti untuk keterangan lebih lanjutnya akan saya sampaikan melalui email?"
Azalea mengernyitkan. "Hm, oke." Adalah satu-satunya jawaban yang bisa dia berikan karena kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh orang itu terasa begitu asing sekaligus sulit dia mengerti.
"Oke, bisa minta tolong sebutkan alamat email anda?"
Azalea menyuarakan serentetan kalimat. Hening beberapa detik. Sepertinya penelepon itu sedang sibuk mencatat.
"Saya sudah pegang alamat email anda. Untuk keterangan lebih lanjut, nanti kita diskusikan di email ya."
"Iya."
"Oke, terimakasih, Nona Pramudita."
Begitu resmi. Terlalu resmi. Azalea lupa bagaimana caranya untuk berbahasa meskipun hanya sepersekian detik.
"Oke."
Lalu sesingkat itu, percakapan tersebut pun berakhir. Azalea masih terdiam, termenung seraya berpikir keras selama satu menit berikutnya. Dengan mulut terkunci, matanya menatap pada layar ponsel yang kini menggelap. Kemudian, sebuah kesadaran menghantam benaknya.
Agensi apa tadi katanya?
Modelling?
Azalea mengernyit.
Takdir memang terkadang punya selera humor yang buruk, dan seringkali caranya bercanda begitu mengejutkan sampai-sampai tidak lagi terasa lucu.
Bersambung.
[][][]
a/n : Hola. gue udah di rumah wkwkw
Hm. Berapa chapter lagi ini ya.
Kayaknya dua atau tiga chapter lagi.
Muehehe.
Ditunggu yak.
Wkwkwkwk.
Btw di konten mulmed ada bunga camelia wkwk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro