#24
Adrian mungkin akan menganggap gue aneh. Atau mungkin sekarang, dia sedang sibuk menyumpah dalam hati karena sudah membiarkan dirinya terlibat dengan cewek ribet yang nggak jelas kayak gue. Bagaimana nggak? Kita membuang hampir satu minggu hari tenang yang berharga untuk pergi ke Jogja, hanya untuk melihat gue mundur tiba-tiba layaknya orang baru melihat hantu. Kalau gue jadi dia, gue akan kesal luar biasa. Meski begitu, gue nggak bisa. Hanya dengan melihat rumahnya dan bagaimana kehidupannya tampak luar biasa baik telah menciptakan retak dalam dada gue. Bukan karena gue marah. Atau karena gue iri. Namun, karena kesadaran lain yang menghantam benak gue dengan telak, di bagian yang paling tepat.
Tetapi Adrian tidak mengucapkan apa-apa. Dia hanya membisu. Matanya menatap lurus pada jalanan Kota Jogjakarta. Bahkan ketika mobil yang kita kendarai berhenti di persimpangan jalan karena lampu lalu-lintas yang menyala merah, dia masih tidak mengatakan apa-apa.
"Yan," Setelah setengah jam keheningan dalam mobil yang Adrian bawa berputar-putar menyusuri jalanan utama kota para seniman ini, akhirnya gue mencoba memberanikan diri untuk bicara. Suara gue terdengar ganjil. Seperti ngeong kucing yang tersedak bulu. Atau tikus yang terjepit pintu. Gue berdehem, tapi sebelum gue bisa bicara lagi, Adrian sudah lebih dahulu menepikan mobil. Cowok itu menoleh pada gue. Ekspresi dalam relung matanya begitu sulit untuk dibaca.
"Udah cukup nangisnya?"
Gue tergugu. "Gue nggak-"
Adrian berdecak. "Walaupun gue agak kecewa, gue tau lo punya alasan lo sendiri. Entah takut. Entah khawatir. Atau insecure. Apapun itu. Selow aja. Kita masih punya waktu seenggaknya dua hari lagi disini sebelum kita harus balik ke Jakarta. Just take your time. Nanti kalau lo udah ngerasa siap, kita bisa balik lagi ke rumah bokap lo."
Masalahnya... gue kira, sampai kapanpun gue nggak akan pernah siap.
Namun mengucapkannya di depan Adrian tidak semudah memikirkannya. Gue nggak mau membuat dia marah. Cukup sekali dia membalikkan punggungnya pada gue, pergi begitu saja disudahi pintu yang tertutup. Gue nggak bisa melihat punggungnya pergi menjauh. Oke, bukan nggak bisa. Lebih tepatnya nggak mau.
Kalau boleh jujur, ini adalah salah satu hal yang paling gue takutkan ketika dia mulai mendekat. Gue akan terlalu terbiasa dengan kehadirannya. Seperti gue terbiasa pada udara. Terbiasa pada sesuatu yang nggak akan tetap ada selamanya adalah sebuah kesalahan. Karena gue nggak pernah tau kapan dia akan pergi. Dan karena nggak ada seorang pun yang akan bisa membiasakan diri setelah mengalami sebentuk kehilangan.
Gue memutuskan untuk mengangguk, dan tampaknya itu membuat Adrian merasa lega. Cowok itu menghembuskan napas, kemudian menarik sudut-sudut bibirnya ke dalam sebuah senyum tipis. Nyaris tidak terlihat, tapi cukup untuk membuat kupu-kupu beterbangan dalam perut gue. Lutut gue serasa melemas di tempat.
"Oke. Gimana kalau kita jalan-jalan aja hari ini?"
Gue balik membalas senyumnya. "Kemana?"
"Kemanapun." Ada teduh dalam matanya. Seperti gerimis. Pandangannya adalah lembayung menjelang senja. Sejuk yang indah. Sebongkah tenang sebelum gelap bertahta. "Kita bisa pergi kemanapun."
Kalau begitu, tunjukkan pada gue satu tempat dimana gue bisa bahagia.
Tetapi, lagi-lagi gue hanya bisa mengangguk. "Kemanapun. Sama lo... gue bisa pergi kemanapun."
Adrian tertawa, lantas dia kembali menjalankan mobil. Tangannya sempat sibuk mengeluarkan ponsel, mengecek sesuatu yang gue kira aplikasi Google Map hingga Waze. Dia membiarkan ponselnya tersandar pada sebuah hiasan keramik di atas dashboard, menuruti perintah demi perintah yang diberitahukan oleh asisten virtual dalam aplikasi tersebut. Gue melirik sekilas petanya. Entah dia mau menuju kemana. Gue bisa saja menebak, tapi gue lebih memilih menikmati ketidaktahuan ini. Buta. Tanpa arah. Hanya berbekal rasa percaya.
Melihat bagaimana dia tersenyum pada gue, ada yang meletup perlahan dalam dada. Makin lama makin membesar, seperti nyala kembang api yang membasuh gelap. Perlahan, gue membiarkan bayangan wajah ayah dan anak perempuan barunya terlupa. Gue nggak seharusnya bersedih. Karena hidup gue nggak seburuk itu. Paling tidak, Bunda nggak lagi menangis sesering dulu. Paling tidak, Alamanda nggak perlu lagi mengisi malam-malam sepinya dengan bulir-bulir rindu buat Ayah yang tidak pernah tersampaikan. Paling tidak, gue punya... dia.
Lantas kenapa harus bersedih?
Maka gue mencoba membuat diri gue mati rasa. Mencoba melupakan dunia dimana semua masalah gue berada. Karena sejenak, walau hanya sejenak, gue ingin berpikir bahwa dunia adalah tempat indah dimana gue memilikinya dan dia memiliki gue.
Perjalanan berlangsung lumayan lama. Sepanjang jalan, gue menghabiskan waktu untuk menatap ke luar jendela, pada rumah-rumah yang berderet, genteng jingga yang mulai dirayapi oleh hijaunya lumut, hingga dahan-dahan pohon yang terentang. Cuaca panas, terlihat dari bagaimana teriknya matahari menyorot punggung-punggung mereka yang berlalu-lalang di jalan. Namun tentu saja, udara yang berhembus masih lebih bersahabat ketimbang udara di Jakarta yang sarat oleh muatan polusi segala rupa, dari mulai polusi kegiatan industri, hitamnya asap knalpot kendaraan hingga makian para penduduk bantaran sungai pada pemimpin yang katanya tak pernah berpihak pada mereka.
Setidaknya, masyarakat Kota Jogjakarta terlihat jauh lebih ramah daripada kebanyakan penghuni sebuah utopia penuh gedung pencakar langit seperti Jakarta.
Ternyata Adrian membawa gue ke sebuah objek wisata kesejarahan yang telah begitu umum-bahkan mungkin telah muncul anggapan bahwa tidak afdol datang ke Jogjakarta jika tidak mengunjungi objek wisata tersebut. Meskipun teknisnya, objek wisata itu tidak terletak di Kota Jogjakarta. Tempat itu adalah situs peninggalan candi Buddha terbesar di Indonesia. Tempat yang mungkin pernah gue kunjungi bertahun lampau tapi sosoknya lebih gue kenali melalui lembaran kartu pos atau cover buku sejarah.
"Borobudur?" Gue bertanya setelah dia berada di sebelah gue-sudah selesai memastikan kalau mobil udah terkunci.
"Sebenernya bagusan Prambanan sih." Adrian nyengir.
"Terus kenapa jadinya ke Borobudur?"
"Karena ada mitos katanya orang nggak boleh pacaran di Prambanan." Senyum Adrian kian melebar. Tolong. Amal macam apa yang sudah gue perbuat hingga gue bisa melihat pemandangan semacam ini. Senyumnya itu bisa ngalah-ngalahin indahnya matahari terbenam di Maldives, tau nggak?
Oke. Mungkin ini lebay. Mohon dimaklumi.
"Gue nggak ngira kalau lo percaya mitos kayak gitu."
"Percaya nggak percaya." Adrian berkilah. "Better safe than sorry, right? Gimana kalau nanti mitosnya ternyata bener, hayo?"
"Emangnya mitos kayak gimana sih?" Gue mengangkat salah satu alis, terdorong oleh rasa penasaran-karena jujur, gue nggak terlalu memperhatikan hal-hal semacam itu.
"Katanya nanti pasangan bisa putus kalau pacaran di Prambanan."
"Emangnya kita mau pacaran?"
Adrian hampir tersedak. "Ng... nggak gitu juga, sih." Lalu lamat-lamat, wajahnya mulai dirambati ekspresi salah tingkah. Gue terkekeh. Dia terlalu menggemaskan, hingga gue nggak bisa menahan diri untuk nggak melangkah mendekatinya, lalu mengusap garis rahangnya.
"Gue cuma bercanda."
Tangannya terangkat, menangkap pergelangan tangan gue, lantas dia tersenyum. "I know."
Gue memandangnya, membuatnya balik menatap gue sebelum akhirnya tertunduk sedikit untuk menyembunyikan tawa kecil yang baru saja lepas dari bibirnya. Lantas wajahnya kembali terangkat, irisnya memandang gue lekat.
"Kalau mau peluk gue sekarang, peluk aja."
Gue mendengus dengan pipi merona. "Jangan keGRan."
"Abis, gue capek." Dia mengedikkan bahu. "Selama ini, selalu gue duluan yang meluk lo. Kenapa nggak sekali-kali-" Ucapannya belum lagi selesai ketika gue melingkarkan lengan gue pada punggungnya, memeluknya dengan erat. Hening sejenak, sampai akhirnya dia berhasil lepas dari keterkejutan dan balik melingkarkan lengannya pada punggung gue. Tangannya mendekap gue dengan hangat.
"Puas?"
Adrian nyengir. Lagi. "Belum."
"Lo nih demanding banget ya."
"Kalau sama lo, nggak bisa nggak demanding." Adrian meraih tangan gue, membiarkan jemarinya mengisi ruang kosong di sela-sela jari gue. "Let's make Jogja unforgettable."
Gue tidak menjawab, tapi gue yakin dia mengerti. Karena senyum gue sudah cukup untuk menerangkan semuanya. Menjelaskan apa yang tak mungkin dijabarkan oleh kata.
***
Kita menghabiskan hampir sehari penuh untuk memutari Jogja dan sekitarnya. Dari mulai candi Borobudur-dimana Adrian harus rela menjadi objek foto bersama sekumpulan anak-anak sekolah dan beberapa gadis remaja karena disangka bule-hingga pergi berjalan-jalan ke Taman Pintar. Ah ya, kita juga sempat mampir di Toko Mutiara-kata Adrian itu adalah tempat bagus rekomendasi Hana. Gue langsung kaget begitu kita sampai disana karena dari ujung ke ujung isinya produk makeup dan berbagai jenis barang kewanitaan lainnya. Mulanya, gue sempat mengira Adrian akan jengah berada di tempat seperti itu.
Tapi ternyata enggak. Yang ada justru kebalikannya-gue yang merasa salah tempat. Dengan cekatan, Adrian menarik gue ke salah satu sudut, meminta bantuan salah seorang beauty assistant untuk menerangkan produk-produk yang dia jual-yang mana berakhir dengan gue keluar dari toko bersama beberapa kantung plastik berisi belanjaan. Ketika gue bertanya kenapa Adrian sampai mau merasa perlu repot-repot melakukan itu semua, jawabannya tidak disangka-sangka.
"Gue nggak pernah lihat lo benar-benar pakai lipstik. Atau punya lipstik. Atau bedak. Bukan berarti gue merasa lo butuh itu semua, because I swear you're still the prettiest without all of them," cowok itu memberi jeda. "Tapi karena mungkin, suatu hari nanti, lo akan butuh sedikit magic dari benda-benda kayak gitu. Makeup itu seperti sepatu. Dia menunjang penampilan, terutama penampilan perempuan. When you dress yourself up, people will think that you come from or going to somewhere good. Somewhere special."
Can I marry this guy already?
Duh. Ralat. I wasn't in my fucking right mind.
Begitu malam menjemput, Adrian mengarahkan mobil pada pinggiran kota. Tidak terlalu jauh, namun gue bisa merasakan kontur tanah yang perlahan berubah seiring dengan waktu yang berlalu. Seperti mobil yang kita kendarai terus naik dan naik, hingga kemudian berhenti pada sebuah tempat. Gue memandang ragu keluar jendela sejenak, sebelum kemudian mendorong pintu hingga terbuka. Adrian mengikuti, dan setelah memastikan gue sudah berada di luar, dia menekan salah satu tombol pada panel kunci mobilnya. Sebuah suara terdengar, menandakan pintu-pintu mobil telah terkunci dengan sempurna.
"Ini dimana?" Gue bertanya.
"Bukit Bintang."
Secara spontan, gue menengadah untuk menatap langit. "Langitnya mendung."
"Bukan bintang yang itu."
"Terus bintang yang mana."
Sudut-sudut bibirnya terangkat, membentuk seringai yang menciptakan aura tengil-sesuatu yang mana amat sangat jarang gue temukan pada dirinya.
"Nanti juga lo tahu." Katanya, dan tanpa berucap lebih jauh, dia meraih tangan gue dalam sebuah gandengan. Kita berjalan mendekati sebuah bangunan serupa restoran yang sangat sederhana. Adrian memesan makanan. Dua gelas teh panas dan dua mangkuk mie rebus. Lantas, sambil menunggu, dia menarik gue masuk ke dalam sebuah ruangan yang dipenuhi oleh meja-meja kecil berkaki pendek-sebuah tempat makan dengan gaya lesehan beralaskan tikar.
Begitu berada disana, akhirnya gue mengerti kenapa tempat itu disebut Bukit Bintang. Bintang itu tidak tampak ketika gue melihat ke atas, tapi ketika gue melihat ke bawah, titik-titik cahaya itu tersebar serupa pasir di pantai. Indah. Saling berdesakan, seperti belantara penuh kunang-kunang.
"Its... breathtaking." Gue hampir tidak bisa berkata-kata.
"Pretty, isn't it?" Adrian tidak menatap pada titik-titik cahaya kota Jogja di malam hari. Matanya memandang lurus pad ague. Beruntung tempat kita berada sekarang tidak terlalu ramai, karena sudah bisa dipastikan, tindakan terlampau romantisnya itu akan mengundang banyak perhatian.
"The city light is. I'm not."
"I was talking about the city light."
Wajah gue memanas. "Tapi kenapa mata lo ngeliat ke gue?"
"Because you're as pretty as them." Adrian terkekeh. "But really, isn't it pretty? The city light."
Gue mengangguk.
"Just like the life itself. Tanpa gelap, terang itu nggak ada. Terang adalah ketiadaan gelap. Gelap adalah ketiadaan terang. Sama seperti hidup." Dia tersenyum. "Nggak ada bahagia tanpa sedih. Atau sedih tanpa bahagia."
Ucapannya membuat gue menggigit bibir, meskipun diam-diam gue setuju dengan ucapannya. Namun, untunglah Adrian tidak membahas lebih jauh. Gue hampir bisa melupakan tentang bokap dan keluarga barunya ketika ucapannya mendadak membuat ingatan gue kembali. Jika kita terus mengobrolkan topik itu lagi dan lagi, gue khawatir gue akan melakukan tindakan yang bodoh. Seperti misalnya, menangis.
Kita makan dalam keheningan. Sesuatu yang sebenernya nggak kepingin gue lakukan. Gue selalu suka melihat Adrian bicara. Caranya berkata-kata. Bagaimana matanya akan memandang penuh perhatian setiap kali gue berucap. Tapi gue perlu menenangkan diri gue sendiri. Badai dari apa yang gue saksikan tadi pagi ternyata belum selesai. Tidak sampai satu jam kami berada disana. Setelah menandaskan isi mangkuk dan gelas, Adrian menunggu hingga lima belas menit, sampai akhirnya dia kembali buka suara.
"Ayo pulang. Lo pasti capek."
Tunggu.
Bukan ini yang gue pengen.
Tapi entah kenapa, kepala gue hanya terangguk begitu saja.
Gue mengekori langkahnya menuju mobil, meskipun diam-diam masih mencuri pandang pada bentangan gemintang yang berada nun jauh di bawah sana. Indah. Seandainya gue bisa tetap berada disana agak sedikit lebih lama.
Adrian masih tetap diam sampai kita masuk kembali ke dalam mobil. Sesuatu yang membuat gue bertanya-tanya. Namun gue tetap bergeming, menahan diri hingga mobil Adrian pergi meninggalkan area parkir menuju jalanan. Ruas jalan itu kini sepi, tidak seramai sore tadi ketika kami mulai mendaki.
"Adrian," gue memanggilnya. "Lo marah?"
"Kenapa lo berpikir kayak gitu?"
"Karena kelihatannya begitu." Gue menarik napas. "Lo tiba-tiba diam."
Alisnya terangkat. "Gue kira lo terlalu capek untuk diajak ngobrol."
"Gue lebih prefer lo nanya atau ngomong daripada diam." Gue hampir tergugu. "Gue nggak mau lo marah."
Adrian menarik napas, memandang gue sejenak sebelum menepikan mobil. Dari tepi jalan, dari balik jendela, hamparan bintang serupa cahaya kunang-kunang itu masih terlihat.
"Gue nggak marah. Gue hanya bingung." Adrian akhirnya berkata. "Kita sudah datang sejauh ini. Kenapa... lo langsung menghindari bokap lo bahkan sebelum lo benar-benar bertemu dengannya."
Gue tertunduk diam.
"Beranilah, Lea. Lo tetap anaknya."
Masih tidak tahu harus menjawab apa.
"Lea,"
"I can't destroy somebody else's life, Adrian." Gue mengangkat wajah, memandangnya dengan mata yang kini perlahan basah. "Gue nggak bisa memperbaiki apapun. Gue nggak bisa membuat keadaan jadi lebih baik. Karenanya, gue nggak mau menghancurkan."
"Gue nggak ngerti."
"That girl." Gue berusaha menahan getar pada bibir. "Anak itu, yang tadi pagi kita lihat. Menurut lo, akan gimana perasaannya kalau tiba-tiba gue muncul, menyebut ayahnya sebagai ayah gue, kemudian memberitakan mengenai kematian saudara tiri yang bahkan mungkin nggak pernah benar-benar dia tau keberadannya?"
Adrian tercekat.
"It will destroy her." Air mata turun berkejaran di pipi gue tanpa bisa gue kontrol. "Cukup gue. Cukup Manda. Nggak perlu ada orang lain merasakan sakit yang sama karena ternyata Ayah yang dikiranya sempurna nggak sesempurna itu."
"Azalea,"
Tangis gue berubah jadi isak keras yang membuat kedua bahu gue terguncang. "I'm sorry. I'm so sorry." Air mata yang turun semakin deras, melebur menjadi hujan yang mengaliri pipi gue tanpa henti. Seperti bendungan jebol. Air bah menerjang, berkejaran sampai jauh hingga ke garis rahang.
"Silly you." Bisiknya, sebelum dia menghapus air mata di wajah gue dengan jari untuk kemudian menarik gue dalam pelukan. Pelukan itu masih sehangat biasanya. Gue terisak di bahunya, membanjiri bajunya dengan air mata sementara tangannya menepuk-nepuk punggung gue dengan perlahan. "Silly you, my cry baby."
Gue tidak menjawab. Hanya tangan gue mendekapnya makin erat.
***
Jarum pendek jam dinding telah merambat menuju angka dua belas ketika pada akhirnya gadis itu tertidur. Adrian berlutut di sisi tempat tidur, mengamati wajah Azalea yang terpejam selama beberapa saat sebelum akhirnya menarik selimut hingga menutupi sekujur tubuh gadis itu. Tangannya bergerak merapikan helai rambut yang menempel di pipinya, lalu membungkuk untuk memberikan satu kecupan selamat malam di dahinya. Matanya sembab, mungkin akan bengkak ketika dia bangun besok pagi, tapi itu masih lebih baik daripada melihatnya menangis terus-menerus.
Dia mengerti. Mulanya, dia memang sempat terkejut mendengar pengakuan gadis itu, tapi kemudian dia mengerti. Sekarang Adrian tahu kenapa jauh lebih mudah mencintai seseorang ketika mereka terkontrol dan bahagia ketimbang mencintai seseorang ketika mereka berada di titik terendah dalam hidup. Mencintai orang yang bersedih akan membuat seseorang tertular kesedihan yang sama-dan sialnya, dia tidak bisa melakukan apapun itu meniup kesedihan itu pergi.
Atau mungkin bisa.
Cowok itu berjalan mendekati meja, meraih zipper clutch tempat Azalea meletakkan sehelai kertas berguratkan gambar Alamanda. Karya terakhir yang gadis itu buat sebelum maha pemilik kehidupan membawanya terbang tinggi, membumbung menembus lapisan langit hingga tak terlihat lagi. Matanya menatap sekali lagi pada jarum pendek jam, seiring dengan tekad yang perlahan mulai terbangun dalam dirinya.
Tidak bisa tidak. Dia harus melakukan ini. Sekali lagi, demi gadis itu.
Masih untuk Azalea.
Bersambung.
[][][]
a/n : SELAMATKAN AKUH DARI PER KULI AHAN INI :(
Intinya
Selamat hari pembebasan pak antasari!!!!
MERDEKAH!!!
btw kasusnya Pak antasari dimulai pas gue masih SD
Waktu itu gue sumpah gatau apa-apa
cuek bat bikos politik itu ribet
cuma kebetulan masih apal tuh
siapa si BHD yang disebut sebut
tidak lain dan tida bukan adalah
bambang hendarso danuri wkwk
inget banget nama bapak itu soalnya unik gitu :(
Oke ini gapenting
kalau dipikir-pikir
pak mantan tuh ya
tiap "diduga" framing orang
kenapa polanya selalu sama gitu
pembunuhan karakter - kriminalisasi - lengser dah dari jabatan atau pemerintahan
kea pak antasari kan
isu cinta segitiga aka selingkuh - pembunuhan karena cinta segitiga - terus nonaktif jadi ketua kpk
padahal si ciwey yang direbutin juga udah kaga tau rimbanya ada dimana, mungkin udah ditelan bumi dalam artian sebenarnya aka masuk kuburan ehehehe
terus pak abraham samad
isu foto centil ma ciwey - pemalsuan dokumen - terus nonaktif jadi ketua kpk
terus pak ahok
ah malas bahas ahok tar ribut wkwkwk
intinya gitu.
kalo kata socrates mah
i wouldnt show you what to think
i just want you to think
anggap saja author notes renita adalah pojok curhatan
intinya
merdeka pak antasari!!!!!!!!!!!!!!!
Wkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro