Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#23

Jogjakarta adalah sebuah bagian romantis dalam hidup seorang Azalea. Memori pertamanya tentang kota itu adalah ketika pertama kali, ayahnya mengajaknya menonton sebuah pementasan sendratari. Gadis itu masih ingat bagaimana takjubnya dia tatkala melihat para pelakon itu larut dalam peran, seakan jiwa mereka bukan lagi jiwa mahasiswa tingkat akhir yang sedang bergelut dengan skripsi atau seorang bocah kecil yang bertanya-tanya kapan dia bisa membeli sepasang sepatu baru untuk dipakai pergi ke sekolah. Mereka melebur ke dalam sosok Rama, Sinta, Hanoman—dan entah apalagi karena nalar anak enam tahun Azalea tidak begitu kuat untuk dapat mengingatnya.

Dan kini, setelah sekian tahun berlalu, Jogja tidak berubah. Dia masih tetap gempita oleh denyut kehidupan yang mengaliri jalanan kotanya. Suaka bagi para pelajar. Rumah bagi banyak seniman. Angkringan. Jalan Malioboro kala malam menjelang. Langit yang sakit oleh polusi kendaraan namun tetap berjuang keras untuk mampu menampilkan kilau gemintang. Pengamen. Suara petik ukulele di kejauhan. Tembang dengan nada khas yang seperti tak bosan mengingatkan dimana mereka berada sekarang.

Jogjakarta selalu menawarkan apapun bagi Azalea, kecuali kesedihan.

Kening Adrian berkerut segera setelah mereka turun ke lobi. Matanya memandang bergantian ke luar jendela, dimana langit terlihat gelap meskipun kentara jika suasana di luar hotel masih tetap semarak. Lalu matanya menyipit pada Azalea yang hanya mengenakan sweater berwarna gelap. Tidak butuh waktu lebih dari sekian detik bagi Adrian untuk kemudian melepaskan jaket yang dia kenakan, menyampirkan secara tiba-tiba di bahu Azalea hingga cewek itu terperangah tidak menyangka.

"Kenapa?"

"Lo nggak pake jaket."

"Hm, emang harus ya?"

"Pencegahan sih. Daripada lo masuk angin atau demam lagi."

"Kalau gitu," mata Azalea menatap tidak enak pada Adrian yang kini hanya mengenakan kaus rajut lengan panjang berwarna navy. "Gue bisa balik ke kamar bentar. Ambil jaket."

"Enggak usah."

"Cuma bentar kok."

"Gue lebih suka liat lo pake jaket gue." Adrian mengedikkan bahunya, menjawab dengan nada tanpa beban yang mau tidak mau membuat Azalea hanya bisa terdiam.

"It's a nice city." Adrian bergumam ketika mereka berjalan beriringan di trotoar, sambil matanya mengamati keramaian Jalan Malioboro yang terlihat berada beberapa puluh meter di depan mereka. Kereta kuda, para pengamen dengan dandanan nyentrik dan tungku arang dari warung tenda penjual bakmi Jawa memenuhi pandangan. Suara berisik minyak dalam penggorengan. Bau daging sate yang dibakar. Denting bongkahan es batu yang membentur tepi gelas. Mereka seperti baru saja menginjakkan kaki di sudut paling estetik negeri.

"Lo nggak pernah ke Jogja?"

"Pernah, sih. Tapi udah lama banget."Adrian berhenti, membiarkan Azalea melangkah lebih dulu hingga cewek itu berjalan di depannya ketika mereka tiba di bagian tepi jalan yang tidak memiliki trotoar. "Hampir nggak inget apa-apa. Dulu juga nggak sempat mampir lama ke Malioboro."

"Tunggu." Azalea berhenti berjalan. "Kan lo yang ngajak. Kenapa jadi gue yang jalan di depan? Mana gue tau kita mau makan dimana?"

"Karena jalannya nggak cukup buat kita jalan sebelahan."

"Bukan itu maksud gue," Azalea menyahut dengan suara agak jengkel.

"Hm, karena ratu harusnya nggak jalan di belakang?"

"Rian, tolong ya."

Adrian tertawa. "Gue serius."

"Gue juga serius. Kita mau makan dimana?"

"Angkringan Lik Man. Pernah denger?"

Mata Azalea menyipit. "Kayaknya pernah. Tapi kok lo bisa tau? Katanya udah lama banget sejak terakhir kali lo ke Jogja?"

Adrian nyengir. "Gue punya informan yang masih kerabatan sama keraton."

"SIAPA?"

"Hehehe. Kalau dikasih tau juga kayaknya lo nggak akan nyangka." Cowok itu terkekeh. "Tapi kayaknya kita masih harus jalan agak sedikit lebih jauh. Keberatan?"

Azalea mengerutkan dahi. Apakah pertanyaan Adrian itu benar-benar pertanyaan? Soalnya kalau dipikir pakai logika, mana ada cewek yang menolak diajak jalan kaki bareng seorang Adrian Cetta Arsenio? Like, sumpah deh, kayaknya jarak Anyer – Panarukan juga nggak akan kerasa kalau dilalui bersama Adrian. Hasik. Kenapa dia jadi berpikiran ala-ala anak salah gaul begini.

Tapi ya begitulah. Kalau sudah ada di dekat Adrian, kayaknya sulit berpikir menggunakan akal sehat. Bawaannya pengen menjerit mulu setiap kali cowok itu gerak.

"Asal sama lo sih," Azalea menyahut dengan ragu-ragu, berusaha keras menutupi rona merah yang hampir-hampir muncul di wajahnya. Dalam hati dia berdoa semoga keremangan cahaya mampu menyamarkan ekspresinya dari pandangan mata pria itu. "gue oke-oke aja."

Adrian tersenyum. Manis. Membuat Azalea yakin jika mungkin di kehidupan sebelumnya, dia adalah pangeran paling tampan dari sebuah dinasti terkuat di sebuah negeri. "Lo bisa percaya sama gue."

Duh. Azalea pusing.

***

Tempat itu ramai ketika mereka tiba. Meskipun bentuknya tidak jauh berbeda dengan gerobak pedagang kaki lima yang biasa menyemut di setiap tepian ruas jalan protokol ibukota, entah kenapa suasana yang terasa begitu berbeda. Azalea menyadari beberapa orang sempat menolehkan kepala walau hanya sepersekian detik ketika mereka tiba—dan tentu saja, dia paham kenapa. Itu semua karena Adrian. Tidak akan ada seorang pun yang percaya jika Adrian bukan orang berdarah campuran. Tampilan fisiknya begitu khas, dengan tinggi yang melampaui rata-rata tinggi orang Indonesia. Azalea bersyukur dia terlahir dari kedua orang tua yang tidak pendek-pendek amat, karena jika tinggi badannya sedikit lebih pendek lagi, mungkin dia akan terlihat seperti liliput di samping cowok itu.

Mereka mengambil tempat duduk agak di sudut, sengaja mengambil jarak dari sekumpulan pria setengah baya berpenampilan nyentrik yang Azalea tebak adalah seniman. Atau mungkin penyair. Mereka memesan kopi hitam yang sudah bercelup arang, sibuk berdiskusi entah apa. Sebagian besar obrolan tentang carut-marut politik negeri, atau guyon satir yang membuatnya mau tidak mau menahan senyum. Ah ya, begitu ironis. Seperti bercermin dan tertawa karena melihat buruknya bayangan milik sendiri.

"Lo mau makan apa?"

Azalea hampir tergagap. "Hah?"

Adrian menatap gadis itu, lalu tertawa. Kilau iris matanya yang cokelat madu hampir-hampir membuat Azalea lupa akan eksistensi oksigen. "Lo mau makan apa, hm?"

"Apa aja."

"Yaudah, ini aja." Adrian meraih sebungkus nasi kucing dengan label empat huruf lalu menyorongkannya pada Azalea.

"Ayam?"

"Karena kayaknya lo nggak suka jeroan dan dibandingkan bakso atau teri, lo bakal milih ayam?"

Azalea mendelik. "Sejak kapan lo bisa baca pikiran?"

Adrian tersenyum. Untuk yang kesekian kalinya. "Gue bener kan? Terus lo mau minum apa? Kopi juga?"

"Dikasih arang?"

"Terserah. Lo mau coba?"

"Enak?"

Cowok itu tergelak. "Mana gue tau. Gue juga belum pernah nyobain."

"Mas dan mbaknya bukan orang asli Jogja ya?" sebuah suara tiba-tiba terdengar, membuat kepala keduanya serentak terputar ke arah yang sama hanya untuk mendapati seorang bapak separuh baya dengan rambut yang mulai diwarnai sehelai-dua helai uban tengah tersenyum lebar pada mereka. Wajah bapak itu terlihat ramah. Ada hangat dalam tarikan bibirnya, membuat siapapun yang melihatnya pasti ingin ikut membalas senyum itu.

"Nggih, Pak."

"Kowe iso bahasa Jawa?"

"Oh nggak, Pak. Hehe, cuma bisa sedikit-sedikit doang. Teman saya yang di Jakarta kebetulan orang Jogja."

"Oalah, dari Jakarta toh. Selamat datang di Jogja kalau begitu," Bapak setengah baya itu tertawa renyah. Suaranya agak sedikit mengingatkan Azalea pada gelak yang biasa dia dengar dari kakeknya—dulu, hampir sepuluh tahun yang lalu. Mendadak dia jadi merindukan beliau yang telah lama berpulang.

"Iya, Pak."

"Sudah berapa hari di Jogja?"

"Baru sampai hari ini, Pak."

Azalea tidak ikut bicara, meskipun dia masih dengan cermat mendengarkan. Sambil menyimak obrolan ringan antara Adrian dan bapak tersebut—dan entah bagaimana, intonasi cowok itu dapat langsung berubah dengan drastis. Siapapun yang mendengar bagaimana caranya berbicara dengan bapak setengah baya itu pasti akan menebak jika pemiliknya adalah anak muda penuh sopan-santun yang tidak pernah mengenal pergaulan liar ala ibukota—yang tentu saja sebaliknya, mengingat bagaimana karakter mayoritas cowok yang menjadi sahabat dekat Adrian.

"Selamat datang di Jogja, kalau begitu. Walaupun kalau harus jujur, Jogja mungkin sudah tidak sama lagi seperti dulu." Diam-diam, Azalea mengulurkan tangan, meraih setusuk sate usus dan mengambil satu gigitan hampir tanpa suara. "Semakin lama, Jogja semakin menjakarta. Bukan berarti Jakarta itu jelek, loh, Mas. Tapi ya itu, karakter orang Jogja beda dengan orang Jakarta."

"Iya, Pak. Saya mengerti. Jogja memang tidak sama dengan Jakarta. Jakarta itu ibukota, sementara Jogja itu tempatnya seniman, pelajar dan budaya." Adrian berujar. "Saya pernah ke Jogja. Tapi sudah lama, jadi tidak ingat lagi gimana keadaannya dulu."

"Ada keluarga disini?"

"Enggak, Pak. Kebetulan hanya mengantar teman saya," Azalea berhenti mengunyah ketika mata Adrian terarah padanya. Wajahnya seketika memerah. Masih dengan mulut penuh, cewek itu mengangukkan kepalanya sedikit pada si bapak. Demi alasan kesopanan. Entah seperti apa bentuk ekspresi yang kini tampak di wajahnya, karena Adrian terlihat menahan tawa geli mati-matian.

"Wah, mbaknya orang Jogja?"

Azalea menggeleng, memaksa diri menyelesaikan kunyahan secepat mungkin. "Enggak." katanya, agak terdengar sedikit lebih dingin daripada yang seharusnya. "Hng, maksud saya... A—ayah saya dari Jogja."

Segalanya terasa ganjil. Ini adalah kali pertama Azalea menyebut laki-laki itu secara langsung sebagai ayahnya setelah sekian tahun berlalu. Seberkas perasaan tidak enak menelusupi batinnya, membuatnya mencoba mengalihkan perhatian dengan mengambil setusuk sate lagi. Kali ini telur puyuh.

"Oalah, di daerah mana, Mbak?"

Azalea tidak tahu harus menjawab apa, namun Adrian langsung menyela. "Umbulharjo, Pak."

"Tidak terlalu jauh dari sini berarti." Bapak itu tersenyum, masih dengan kadar keramahan yang tidak berkurang. "Yah, selamat datang di Jogja. Selamat menikmati Jogja dengan cara yang beradab. Kota ini kota bebas, tapi jangan dikotori, atau dirusak." Bapak itu tertawa, sehingga dia tidak terdengar seperti tengah memarahi. "Seperti pepatah lama, kalau tidak bisa membuat sesuatu jadi lebih baik, mbok ya paling tidak jangan dihancurkan. Betul, toh?"

Azalea terdiam. Bukan diam karena menyimak obrolan, tapi karena serentetan kalimat yang baru saja dia dengar terasa seperti peluru yang menghantamnya tepat di ulu hati. Gadis itu berhenti mengunyah untuk yang kesekian kalinya, hingga dia tidak lagi benar-benar mendengar apa yang Adrian dan bapak itu bicarakan pada detik-detik berikutnya. Gadis itu seolah terhisap ke sebuah pusaran tak bernama, baru sadar tatkala Adrian menepuk pundaknya tiba-tiba. Matanya mencari, lalu dilihatnya bapak itu telah bergabung dengan beberapa rekan sebayanya, mengobrolkan perkara entah apa.

"Lo nggak apa-apa?"

Azalea hampir gelagapan. "Kenapa?"

"Gue yang harusnya tanya. Lo kenapa?"

Hening sebentar.

"Gue nggak apa-apa."

Dari cara cowok itu memandangnya, Azalea yakin Adrian tidak percaya. Tapi alih-alih mendesak, cowok itu justru memilih diam lantas beranjak sedikit untuk memberitahu pemilik angkringan mengenai minuman yang akan mereka pesan. Baguslah, karena entah sejak kapan, makanan yang sedari tadi dia telan terasa mulai menyumbat di kerongkongan. Entah betulan, atau hanya perasaan.

"Ah ya," Azalea berkata seperti baru teringat sesuatu. "Darimana lo tau kalau bokap gue ada di... mana tadi?"

"Umbulharjo?"

"Iya. Itulah pokoknya." Azalea hampir bersorak senang ketika tidak sampai setengah menit kemudian seseorang datang membawakan dua gelas teh hangat untuk mereka. Dia menyempatkan diri menelan seteguk-dua teguk sebelum kembali menatap Adrian, meminta penjelasan.

"Dari nyokap lo."

"Bunda tau?"

"Dia punya catatan alamat lengkap. Gue asumsiin dia tau."

"Tapi kenapa Bunda nggak pernah ngomong—"

"Karena dia tau kalau membicarakan bokap lo bukan sesuatu yang gampang. Paling nggak buat lo. Ketika bokap lo pergi dari rumah, Alamanda mungkin belum ngerti apa-apa. Tapi nggak dengan lo." Adrian menjelaskan. "I think she didn't want to hurt you more than it should."

Mata Azalea terasa panas. Sepertinya karena uap air teh yang menerpa wajahnya. Atau mungkin karena tiba-tiba saja, dia punya alasan baru untuk menangis.

"Kalau kita tau alamatnya, kita nggak perlu datang sejauh ini."

"Ada beberapa masalah yang nggak bisa diselesaikan lewat surat atau telepon." Adrian tersenyum. "Jangan berpikir terlalu banyak soal itu. Besok pagi, kita bakal ke rumah bokap lo."

"Tapi, Adrian,"

"Besok kita akan ke tempat bokap lo." Adrian berkata, mengulangi apa yang dia ucapkan sebelumnya. "Malam ini, bisa nggak buat gue aja?"

Azalea tidak langsung menjawab. Mata cokelatnya justru menatap lekat pada Adrian, dengan dalam selama beberapa detik. Meski hanya sesaat, walau hanya untuk sesaat, segala yang ada diantara mereka seperti memudar. Tidak ada keramaian jalanan kota pelajar di malam hari. Tidak ada tawa menggelegar dari sekelompok pria separuh baya yang berdiskusi ditemani pekatnya aroma kelat kopi. Tidak ada suara musik pengamen di kejauhan. Hanya ada mereka. Azalea, menatap pada Adrian dan sepasang mata hazelnya.

Gadis itu menarik napas, lalu mengangguk. Satu gerakan yang berbalas senyum Adrian. Dalam hati Adrian berjanji, bahwa dia akan menjadikan malam itu sebagai salah satu malam yang menjadikan Jogjakarta pantas dikenang. Sampai kapanpun. Setidaknya, buat dia.

***

Jarum pendek arloji yang melingkari pergelangan tangan Adrian tengah dalam perjalanannya merayap menuju angka sepuluh ketika mereka selesai makan. Suasana kota masih tetap ramai, dengan lalu-lintas yang jauh lebih teratur dibandingkan dengan lalu-lintas kendaraan di jalan protokol ibukota. Mereka berjalan beriringan di trotoar. Udara alam bertiup. Mencumbu tengkuk dan menggoyang pucuk-pucuk pepohonan.

"Let me take your pictures." Adrian berujar tiba-tiba, membuat Azalea hampir memekik.

"Hah?"

"Let me take some of your pictures."

"Buat apa?"

"Simply karena kayaknya gue nggak pernah punya foto lo. Lo nggak punya Line. Lo nggak mainan social media. Ponsel lo... hm, bukannya jahat atau gimana ya, tapi lo inget-inget aja gimana kondisinya pas pertama kali kita ketemu. Gue frustrasi banget ngehubungin nyokap lo sampe harus nyoba nekan keypad yang bolong pake cotton bud."

Wajah Azalea bersemu. "Nggak ada yang minta juga kan lo ngebantu gue waktu itu?" katanya galak, yang kini membuat Adrian tergelak.

"Tapi kalau gue nggak membantu lo waktu itu, lo nggak akan ada disini sekarang." Adrian berkata. "Karena lo itu kayak kopi. Tanpa gula."

"Item dong."

"Ye, beda." Adrian terkekeh. "Kopi. Tanpa gula. Hanya ada. Gelap. Tapi apa adanya. Pahit. Tapi seperlunya. Seteguk, mungkin terasa berbeda. Namun setelah tandas, baru tersadar kalau itu bukan hanya sekadar kopi tanpa gula."

Azalea menunduk, menarik sebuah senyum yang berusaha keras dia sembunyikan. "Lo seperti pujangga kesiangan."

"Memisahkan Jogja dan puisi itu dosa, Lea."

Azalea tertawa.

Gelak yang mendadak membuat Adrian bertanya-tanya. Tawa itu. Kenapa setiap kali dia melihat tawa itu, dia menemukan dirinya lagi dan lagi... bersedia jatuh dengan sukarela?

"Okay. You may take my picture. But please, make sure that I look good in it." Ucap gadis itu, yang membuat Adrian tidak lagi menunda untuk membuka tas yang dia bawa dan mengeluarkan sebuah kamera polaroid dari sana. Cowok itu mulai membidik pada Azalea yang berdiri diam, namun menyunggingkan senyum lebar.

"You're smiling."

Azalea baru menjawab setelah shutter kamera ditekan. "Dan apakah itu membuat gue terlihat jelek?"

"Nggak. Tapi kalau dipikir-pikir, lo jarang banget senyum." Adrian mengedikkan bahu. "You walk first. Inget jalan ke hotel kan?"

"Gue nggak sepelupa itu."

"Yah, mungkin aja ingatan lo sama jeleknya kayak orang yang hampir jadi nenek-nenek."

"Jangan menghina gue, oke?" Azalea memutar bola mata. "Gue mungkin agak lamban, tapi bukan berarti gue pikunan." Selesai berkata begitu, Azalea menuruti apa kata Adrian. Dia berjalan lebih dulu. Sementara Adrian berjalan di belakangnya, mengikuti sambil diam-diam menekan shutter kamera pada momen-momen tertentu. Ketika gadis itu memperbaiki rambutnya yang dihempas angin. Atau sesaat sebelum dia melintasi zebra cross untuk menyeberang.

Indah dan Jogja adalah dua kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang ada dalam lembar-lembar foto polaroid hasil jepretan tangan Adrian.

Pada suatu titik, Azalea menoleh. Lalu senyumnya merekah ketika dia menyadari Adrian masih ada di belakangnya. Tidak kurang dari tiga langkah. Jarak yang selalu saja sama setiap kali cewek itu memutar kepala.

Tetapi Azalea tidak langsung membawa mereka kembali ke hotel. Dia justru berbelok ke sebuah taman, membuat salah satu alis Adrian sempat terangkat walau cowok itu tetap juga mengekorinya. Mereka berhenti di depan sebuah lampu taman. Azalea terdiam, membatu seperti patung dengan mata menatap pada bola berselimutkan cahaya. Betapa kontras. Kegelapan, dedaunan dan bola yang menguarkan sorot kekuningan. Seakan mereka berada di negeri dongeng.

"They said, there is nothing more painful than grieving someone who's still living." Azalea berbisik, lalu sebuah senyum ironi bermain di bibirnya. "awalnya, gue nggak pernah berpikir kalau itu nyata. Karena paling nggak, ketika orang itu masih hidup, lo masih punya kesempatan untuk melihatnya—meskipun dari jauh. Tapi setelah Manda pergi, akhirnya gue sadar kalau itu benar. Kayak Manda udah pergi. Ya udah. Gue nangis. Tapi kemudian gue sadar kalau dia nggak akan pernah balik lagi, dan mungkin, sekarang dia ada di tempat yang jauh lebih baik. Beda dengan Ayah."

Adrian hanya mendengarkan, namun sesuatu terasa retak di dasar dadanya ketika dia melihat mata gadis itu mulai berubah menjadi kaca.

"All my life, I've been grieving for him. I'm crying everyday, with a little hope that one day, he'll come back." Gadis itu menggigit bibirnya. "Now, I'm afraid. What if he doesn't want to see me?"

Tidak ada suara apapun selain klakson kendaraan di kejauhan dan suara gemerisik dari batang yang saling bergesekan karena dihempas angin. Adrian mengambil sehela napas, lantas berjalan mendekati gadis itu dan pada detik berikutnya, melingkarkan tangannya di leher dan bahu Azalea dari belakang. Dia menunduk, membiarkan hidungnya terkubur di rambut gadis itu.

"You have suffered enough. It's time for you to win."

"Gimana kalau dia nggak mau ketemu gue?"

"He won't. Percayalah. Sampai kapanpun, nggak akan ada yang namanya bekas anak. Just believe in yourself."

"I'm afraid."

"Wajar. Tapi lo harus selalu tau, kalau lo nggak perlu merasa sekhawatir itu." Adrian mengeratkan dekapannya. "Ada gue, inget? Ada gue."

"Tapi—"

"Sshh..." Adrian mengeluarkan sebuah desis pelan, lalu menunduk sedikit. Bibirnya menyentuh sisi wajah Azalea. Di pipi kanan gadis itu. "You promise that tonight will be mine, remember?"

Azalea diam sebentar. Lantas gadis itu mengisi paru-parunya dengan oksigen sebelum tangannya terangkat, menyentuh punggung tangan kanan Adrian yang ada di bahu kirinya. Menggenggam pergelangan tangan cowok itu dengan erat.

"I remember."

"And one more thing,"

Gadis itu berdehem untuk melegakan tenggorokannya yang terasa kering. "Ya?"

"If we are together, if you're by my side... you know, just thinking about it makes me tear. I will always look upon you. And protect you. I promise."

Azalea tidak menjawab. Namun dalam hati, seiring dengan genggamannya pada tangan Adrian yang kian mengerat, benaknya menyimpan sebentuk harap: bahwa semesta turut mengamini segalanya.

***

Mereka berangkat dari hotel menjelang jam delapan pagi. Perjalanan tidak memakan waktu lama, karena jarak yang tidak terlampau jauh—ditambah fakta bahwa Jogjakarta bukan kota yang super macet seperti Jakarta. Sepanjang perjalanan, Azalea hanya terdiam, meskipun dia tidak lepas mendekap zipper clutch yang memuat gambar hasil karya Alamanda. Matanya memandang khawatir ke luar jendela, dan Adrian hanya membiarkannya. Bagaimanapun, gadis itu pasti butuh waktu untuk berpikir.

Setelah sempat berputar sebentar untuk mencari alamat, tidak sampai satu jam kemudian mereka tiba di depan sebuah rumah. Keduanya sengaja tidak langsung turun. Azalea mengamati sebentar dari luar, lalu wajahnya dirambati oleh riak yang sukar didefinisikan. Rumah itu besar, dan tidak bisa dikatakan sebagai rumah milik seorang berpenghasilan rendah hingga menengah. Pagarnya tinggi.

Azalea menarik napas. Dia tidak tahu apakah dia harus senang karena kehidupan ayahnya tampak baik-baik saja. Atau justru marah karena kehidupan ayahnya juga tampak baik-baik saja. Bilangan tahun demi tahun terlewati, dan Azalea tidak pernah membayangkan jika Ayah tinggal di tempat yang jauh lebih bagus dari atap yang selama ini menaunginya dan Bunda.

"Lea?"

"Hm?"

"Mau turun?"

"Iya." Gadis itu baru bersiap mendorong pintu mobil hingga terbuka ketika seorang anak perempuan keluar dari rumah. Anak itu paling banter baru berusia belasan tahun. Mungkin baru menapaki tahun pertamanya di sekolah menengah pertama. Dia melangkah untuk mengambil surat kabar yang berada di dekat pintu depan, kemudian mengecek lembarannya sebelum beranjak masuk kembali ke dalam rumah sambil menyebut kata 'Ayah' dalam seruan bernada antusias.

Pemandangan tersebut kontan membuat hati Azalea terasa tenggelam seketika. Ayahnya sudah punya keluarga baru. Dan kelihatannya mereka bahagia. Jauh lebih bahagia dari dirinya. Jauh lebih bahagia daripada yang seharusnya.

"Azalea?"

"Kayaknya..." bibir gadis itu bergetar ketika dia bicara. "Kayaknya gue nggak bisa turun."

"Tapi kenapa?"

Dia menggigit bibirnya dengan kuat. Ada perih, lalu asin. "Enggak apa-apa. Kayaknya gue nggak bisa."

"Azalea,"

"Jangan paksa gue, Yan." Gadis itu pias, tampak seperti hampir menangis. Adrian menghela napas, sebelum akhirnya kembali melajukan mobil. Entah apa yang dipikirkan oleh gadis itu, Adrian tidak tahu. Namun yang jelas, sepersekian detik sebelum mereka berlalu dari sana, Adrian mendapati Azalea menatap rumah itu sekali lagi dari balik kaca jendela mobil—bertepatan dengan seorang pria separuh baya melangkah keluar. Entah disengaja atau tidak, tatapan mata pria itu sempat tertuju pada mobil mereka, seperti merasa heran sekaligus penasaran.

Adrian tidak bertanya. Dia tahu siapa pria itu. Pria itu jelas adalah salah satu alasan dari keberadaan Azalea di dunia. Sosok yang pada dirinya tersematkan figur Ayah yang pernah Azalea kenal.

Karena jika pria itu bukan ayahnya, Azalea tidak akan menatap pria itu hanya untuk membiarkan hujan melebur di pipinya. 





Bersambung. 

[][][]

a/n : Hehehe 

I skipped two classes today :'3 

Gak niat 

Cuma semalem gue abis jadi pahlawan kesiangan untuk teman-teman yang tidak bisa mengerjakan soal menghitung drainase 

Terus diajak ujan-ujanan 

Makan gitu yah makannya sepuluh menit ngobrolnya dua jam. 

Pake bahas mental mental masyarakat pencari kutu (kata dosen gue nggak guna mau pembangunan kea gimanapun kalo masyarakatnya masih mental yang suka nyari kutu) 

sama donal tram jadi presiden waw 

gue kira indonesia doang yang sakit. 

ternyata penduduk mamarika juga banyak yang sakit wkwkw. 

meskipun gue juga gak mendukung hileri. 

orang endonesya gausah sok sok an panik dah donal jadi presiden. 

kalo lu masih suka nyuruh orang Indonesia keturunan tionghoa balik ke negara asal, masih suka ngeledekin mereka yang kulitnya lebih sawo matang, masih suka ngetawain orang papua, masih suka teriak orang kafeer tida layak jadi pemimpin bangshut cina kristen blablabla. 

lo sama jha kaya donal. 

hehehe. 

buat yang ngerasa aja loch. 

qu gamo ribut oke. 

Kalo tuh orang-orang warung penyet denger gimana gue ngomong diantara temen-temen gue mungkin gue disangka pinter abis kalik ya mana pake ngebantuin temen ngerjain PR (ceileh pake istilah PR) nya yang ngitung perbandingan luas ini itu lah   

Padahal kalo di kelas mah 

melongo. dan menghindari eye contact dengan dosen. 

Hidupku penuh kepalsuan. 

terus ku sakit perut mbikos dapet. ku stress. abis ini mo nyusun laporan. 

tapi buat kelyan. 

kurelakan mengetik ini dulu.

enjoy and hv a good day. 

peace. 

luv. 

and gawl. 

ciao. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro