#21
Setelah mandi untuk menghilangkan sisa-sisa lembab dari air hujan yang sempat mengguyur, kita check out dari hotel. Untuk pertama kalinya dalam hidup, gue merasa gue sudah mengambil keputusan yang sangat tolol. Kepergian gue yang tiba-tiba dari hotel tanpa memberitahu dan tindakan Adrian yang langsung tergesa meninggalkan hotel untuk menyusul gue pasti mengundang tanda-tanya di benak beberapa pegawai hotel, khususnya mereka yang berada di balik meja resepsionis ketika gue pergi—dan kami tiba kembali di hotel. Gue menghela napas. Harusnya gue berpikir panjang sebelumnya. Sembari mengekori langkah kaki Adrian melintasi koridor hotel, gue berjanji gue nggak akan bertingkah segegabah itu selama sisa perjalanan kita sampai ke Jogja.
Mendung masih bertahta di langit ketika mobil yang Adrian kemudikan meluncur keluar dari area parkir menuju jalan. Bandung adalah sebuah kota yang padat, mengingat posisinya sebagai ibukota Jawa Barata, namun jika dibandingkan dengan Jakarta, Bandung tentu saja punya geletar yang berbeda. Maka wajar jika seorang penulis pernah menyebutkan bahwa konon Bandung adalah sebuah kota yang diciptakan Tuhan ketika Dia sedang tersenyum. Segala sesuatu tentangnya adalah romantis, seperti tetesan air hujan di lekuk daun kelor sebelum jatuh menerpa tanah. Dan keberadaan Adrian sama sekali tidak membantu.
Cowok itu masih saja terlihat surealis. Seperti manekin tidak nyata yang entah bagaimana dapat bergerak dan berbicara. Matanya yang dinaungi sepasang alis tebal menatap dengan penuh konsentrasi ke jalan. Pandangan mata gue berpindah pada lekuk hidungnya. Lantas pada bibirnya. Lalu pada kedua tangannya. Tangan itu bukan tipikal tangan cowok kurus tanpa otot. Juga bukan lengan sebesar batang palem layaknya milik binaragawan. Melihatnya membuat gue kepingin menyentuhnya.
"Sekarang, selain hobi kabur tanpa pesan, hobi baru lo sepertinya menatap gue seolah gue adalah makhluk asing dari Planet Namek."
Wajah gue memerah secara otomatis. "Cuma merhatiin."
"Kenapa?" Kepalanya tertoleh sekilas, lalu salah satu sudut bibirnya terangkat. Sedikit saja, sehingga dia lebih terkesan seperti sedang menyeringai daripada tersenyum. Duh, tolong. Jantung gue nggak sekuat itu.
"Karena... gue baru sadar lo seganteng itu."
Adrian tertawa. Tawanya renyah dan menyenangkan. "Biasanya cewek lebih suka digombalin daripada ngegombalin."
"Gue nggak ngegombal," tanpa sadar, gue merengut seraya menyandarkan kepala gue di sandaran jok kursi. "I'm saying the facts."
"Percuma lo bilang gue ganteng kalau lo nolak gue."
Gue tertohok. "Bukan begitu."
"Nggak usah dibawa serius, Lea. Gue cuma bercanda." Adrian berujar, sebelum menyambung. "Langitnya bagus. Ada pelangi disana."
Gue ikut melihat, memandang sejenak pada garis setengah lingkaran penuh warna yang terbentang di langit kelabu mahaluas. "Oh."
"Mau tau kenapa pelangi cuma setengah lingkaran?"
"Karena setengah lingkarannya lagi ada di mata gue?"
Adrian mengernyit. "Lo udah tau gombalan itu?"
"Sorry to say, tapi gombalan itu udah basi, Yan."
"Jeviar bilang gombalan itu nggak akan pernah basi."
"Iya sih, kalau yang bilang Jeviar dan cewek yang jadi target gombalannya adalah pacarnya. Raya, isn't it her name?"
"Yap."
"She is indeed so lucky."
"Lo terdengar seperti iri sama dia."
"I am."
"And why?"
"Because she has such a good life. Gue mungkin akan terdengar jahat, but it's true. Hidupnya baik-baik saja. Dia bisa bersama dengan orang yang dia sayang tanpa harus mempertimbangkan banyak hal. Dia punya pandangan bagus tentang dunia."
"Rumput tetangga selalu kelihatan lebih hijau."
"Maksudnya?"
"Hidup Raya nggak semenyenangkan itu, Lea." Adrian melirik gue, matanya menatap lembut. Jenis tatapan yang membuat gue seperti lupa kalau tubuh gue terdiri atas tulang dan sendi. Rasanya gue teronggok begitu saja di atas jok seperti kubangan daging.
"Lagian, lo nggak seharusnya merasa iri sama Raya," sebuah kekeh terlintas di wajahnya yang serupa lukisan sempurna hasil karya seniman masa Renaissance. "Karena lo punya gue."
Gue seperti lupa bagaimana caranya berbahasa.
"Sori. Gue nggak bermaksud mendesak. Just take your time."
"Santai aja, Yan."
Keheningan menjalar, entah darimana datangnya. Sesuatu yang terasa tidak nyaman dan begitu canggung. Secara otomatis, tangan gue terulur menyentuh sebuah tombol untuk menyalakan radio. Suara seorang penyiar terdengar, disusul oleh alunan lagu. Gue mengenali intronya. Lagu itu adalah lagu lama, keluar pada jaman ketika mungkin kedua orang tua gue masih sibuk saling titip salam dalam menggaet hati gebetan berhubung teknologi seperti ponsel dan komputer belum diciptakan. Judulnya Nothing's Gonna Change My Love For You dan versi yang diputar adalah versi George Benson.
Gue tau lirik lagu itu dengan baik, karena dulu bokap gue suka sekali sama lagu itu. Dia tidak pernah tidak memutarnya. Selalu, setiap pagi, sesaat sebelum jarum pendek jam menyentuh angka tujuh. Saat kami sarapan, dia akan menyenandungkan lagu itu seraya memandang Bunda dengan tatapan penuh cinta.
Yah, sulit dipercaya kalau ternyata dulu, gue pernah punya waktu dimana rumah terasa indah karena keluarga yang masih lengkap.
"If I had to live my life without you near me, the days would all be empty. The nights would seem so long."
Lantas tanpa gue duga, Adrian ikut bersenandung pada lagu itu, mengikuti apa yang sudah gue lakukan sebelumna. "With you I see forever oh so clearly. I might have been in love before. But it never felt this strong."
Kemudian, apa yang memenuhi ruangan dalam mobil adalah suara George Benson, berpadu dengan senandung gue dan Adrian yang tidak bisa dikategorikan merdu. Gue bernyanyi seadanya, begitu pula Adrian, tetapi ketika secara tidak sengaja kita saling menoleh pada satu sama lain dan menatap, senyum langsung terkembang dengan lebar tanpa bisa gue kontrol.
"Our dreams you and we both know, they'll take us where we want to go. Hold me now. Touch me now. I don't wanna live without you."
"Nothing's gonna change my love for you. You ought to know by now how much I love you. One thing you can be sure of, I'll never ask for more than your love."
"Nothing's gonna change my love for you. You ought to know by now how much I love you. The world may change my whole life thru but nothing's gonna change my love for you."
"If the road ahead is not so easy, our love will lead the way for us like a guiding star. I'll be there for you if you should need me.You don't have to change a thing. I love you just the way you are."
"So come with me and share the view. I'll help you see forever too. Hold me now. Touch me now. I don't wanna live without you."
"Nothing's gonna change my love for you. You ought to know by now how much I love you. One thing you can be sure of, I'll never ask for more than your love."
"Nothing's gonna change my love for you. You ought to know by now how much I love you. The world may change my whole life thru but nothing's gonna change my love for you."
Ketika pada akhirnya lagu berhenti dan baik gue maupun Adrian sama-sama menghentikan senandung kita yang berpotensi merusak telinga setengah dari populasi umat manusia—oke, mungkin gue berlebihan karena suara Adrian nggak sejelek itu juga—keheningan kembali mengambang. Hanya saja, kali ini kesunyian yang ada tidak terkesan awkward. Gue menarik kedua kaki gue naik ke jok, menyelimuti diri gue sendiri dengan sehelai selimut tartan yang entah Adrian dapatkan darimana sambil memandang keluar jendela mobil. Hujan mulai turun lagi. Rintiknya menitik di bagian depan kaca mobil.
"I don't know if you have a thing for old songs."
"Akui aja, gaya fashion gue emang terlihat kuno kan?" Gue balik menyahut dengan alis terangkat padanya. "But nope. Gue lebih suka Paramore daripada Diana Ross dan Lionel Richie. Lagu itu mungkin satu-satunya lagu jadul yang gue hafal karena dulu bokap sering banget mutar lagu itu. Lo tau... sebelum dia pergi dari rumah."
"Nah, its okay. Lo nggak perlu memaksakan diri berbicara tentangnya seolah-olah hati lo nggak kenapa-napa, Azalea."
The truth is, I think I'm okay. Gue sendiri agak terkejut, tapi entah kenapa membicarakan tentang Ayah atau Alamanda pada Adrian tidak lagi sesakit seperti kalau gue membicarakan itu dengan orang lain. Seperti... gue merasa kalau Adrian akan mengerti gimana perasaan gue.
"Gue nggak apa-apa." Gue enggak tau apa yang gue pikirkan, yang jelas tangan gue terulur begitu saja, menyentuh tangan kirinya yang tidak memegang roda kemudi. Jari-jari gue berada di atas urat nadi di punggung tangannya, merasakan denyutnya lantas tersenyum. Sampai kapanpun, rasa syukur gue karena sudah diizinkan mengenal dia nggak akan pernah cukup. "Karena ada lo disini."
Adrian terperangah sejenak, lalu kemudian seulas senyum menggurati wajahnya. "You'll always have me. I promise you that."
Tanpa kata janji pun, gue tau apa yang dia katakan itu benar. Seiring dengan meter demi meter jalan yang terlalui, jari gue menempati ruang-ruang kosong diantara jemarinya. Lalu mengenggamnya kuat. Gue berikrar pada diri gue sendiri, bahwa sampai kapanpun, gue nggak akan melepaskan orang itu.
Dia akan terjebak bersama gue selamanya.
***
Adrian memainkan ponsel di tangan kanannya sambil duduk di atas kap mobil. Mereka memutuskan untuk tidak melewati jalan tol, dan disinilah dia terdampar sekarang—di sebuah lahan kosong pinggir jalan yang berada dekat sejumlah pedagang penganan kecil seperti kacang rebus dan bandrek hingga warung pecel lele dalam bentuk tenda. Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah satu dinihari. Azalea berada di dalam, mendengkur halus dalam tidurnya yang nyenyak. Seharusnya Adrian tidur, tapi dia tidak bisa. Alih-alih memejamkan mata, tangannya justru tak lepas memandang jemari tangan kirinya. Dia masih merasakan jejak kehangatan kulit gadis itu disana. Karena itulah Adrian mengeluarkan ponsel, berusaha membuat dirinya terdistraksi.
Entah kenapa, jika Adrian perhatikan, grup chat berisi teman-teman iblisnya sudah sepi beberapa hari belakangan. Entah karena masing-masing terlalu sibuk—atau mungkin mereka memiliki masalah masing-masing. Sejujurnya, Adrian merindukan celoteh random Faris-Rama atau kata-kata ajaib dari Hana. Tapi tidak peduli berapa lamapun Adrian memandang jendela chat grup itu, yang ada hanya kesunyian. Hening.
Ah ya, lagipula apa yang dia harapkan. Ini jam setengah satu dinihari. Orang gila macam Hana pun pasti lebih memilih tidur daripada mengetikkan kalimat random di sebuah grup chat.
Adrian menarik napas, lalu memasukkan ponsel kembali ke saku jaket sebelum menyesap kopi kaleng hangat di tangannya. Matanya menatap pada langit. Langit tidak bisa dikatakan cerah, tapi juga tidak suram. Ada titik-titik gemintang bertebaran. Juga bulan separuh yang bersinar malu-malu. Adrian menarik napas, memandangi benda-benda langit itu hingga suara langkah kaki gontai milik seseorang mengejutkannya.
Itu Azalea. Gadis itu melangkah keluar dari mobil dalam balutan sandal jepit yang Adrian belikan untuknya sebelum mereka meninggalkan Lembang. Dia tampak lucu, dengan rambut tergerai berantakan dan selimut besar yang membalut bagian atas tubuhnya. Matanya digelayuti kantuk, tetapi senyum tipis tergurat di wajahnya yang cantic saat mereka bertemu pandang.
"Hello, sleepy head." Adrian menyapa, lantas mengulurkan tangan untuk membantu Azalea turut naik ke kap mobil ketika gadis itu tiba di dekatnya. Dalam hitungan sepersekian detik, mereka telah duduk bersebelahan. "Wanna some?" Adrian kembali bicara, kali ini seraya menyorongkan kaleng kopinya pada Azalea.
Secara tidak tertebak, Azalea meraih kaleng tersebut dari tangan Adrian, lantas menyesap isinya pelan. Tindakan yang kontan saja membuat Adrian sempat menatap Azalea dengan lekat selama sepersekian detik.
"Kenapa?" Azalea bertanya begitu dia sadar jika perhatian Adrian tengah tertuju padanya.
"Kalau Hana ada disini, dia pasti bakal mulai sibuk nyerocos tentang indirect kiss."
Azalea tertawa kecil. "I don't mind."
"Excuse me?"
"I said, I don't mind." Azalea bergumam samar, terdengar seperti sedang mengigau. "Direct or indirect kiss, I don't mind it as long as the person is you."
Adrian nyaris tersedak. "Did you drink something before? You sound like a drunk girl."
"Nah, I'm just sleepy." Azalea membalas, kali ini seraya merebahkan kepalanya di bahu Adrian. Lalu dia menguap, sebelum kembali menyambung ucapannya. "And I love you."
"Lea, kayaknya lo butuh balik tidur deh." Adrian tertawa kecil. "Lo terdengar seperti lagi mimpi."
"Of course." Adrian menunduk, hanya untuk mendapati sepasang mata cokelat gelap yang bening milik Azalea tengah tertuju padanya. Mata itu terlihat sedih, dan seketika membuat senyum Adrian lenyap tanpa bekas. "Mungkin gue emang bermimpi. Karena dalam dunia nyata, seorang pangeran nggak akan mengorbankan waktunya untuk upik abu tanpa gaun indah dan sepatu kaca."
"Azalea,"
"Kalaupun ini mimpi, gue nggak mau bangun sekarang." Azalea memejamkan mata, bernapas dengan tenang seraya kepalanya masih melekat di bahu Adrian. "Don't wake me up. Just let me... enjoy this... a little bit longer."
Adrian menghela napas dengan panjang. Jantungnya berdebar di luar frekuensi yang seharusnya. Sesuatu yang tidak pernah dia alami ketika dia berdekatan dengan seorang gadis—selain beberapa mantan crushnya dulu dan yah tentu saja, seorang Raya Alviena.
"Adrian,"
Adrian masih melempar pandangan pada langit ketika dia merespon. "Hm?"
"Tell me that this is real."
"It's real. Like I said, you'll always have me."
"If so," Azalea membuka mata. "Is it possible for you to grant my wish?"
Jeda sejenak.
"Just tell me your wish." Katanya, dan mata mereka kembali saling terkunci pada satu sama lain.
Azalea menarik kepalanya dari bahu Adrian. Matanya terlihat begitu dalam. Ada beragam emosi disana. Dari sedih, senang, rasa kantuk, luka, kebahagiaan... layaknya pusaran blackhole yang mampu menyedot seluruh dunia Adrian seketika.
"Let me be your Cinderella."
Lagi-lagi sunyi. Samar terdengar suara batuk di kejauhan dari salah satu pedagang. Mereka tengah membereskan barang dagangan mereka. Jarak mereka yang cukup jauh membuat Adrian dan Azalea mendapatkan privasi yang lebih dari cukup. Lagipula, well, cahaya yang temaram tidak membuat orang-orang memberikan perhatian khusus pada mereka.
"Can I?" Azalea kembali bicara, memecah keheningan dengan suara penuh harap.
Meskipun begitu, Adrian masih tidak menjawab.
Dan kekhawatiran Azalea mungkin akan sudah tumpah ruah jika pada detik berikutnya, dia tidak merasakan telapak tangan Adrian menyapu pipinya. Terasa hangat. Nyaman menyebar, membuat dadanya dialiri kehangatan. Belum cukup sampai disana, lantas Adrian membungkuk, meraih bibir Azalea dengan bibirnya. Sebuah tindakan yang membuat kepala Azalea terasa begitu ringan. Kakinya kebas, seperti dia tidak lagi tertarik pada gravitasi, melainkan justru pada pesona sosok yang berada di dekatnya.
Adrian menatapnya dengan dalam ketika ciuman mereka pada akhirnya terlepas.
"You're not a Cinderella, Azalea Pramudita." bisiknya dengan tegas. "You're a Fa Mulan. Because you're strong. You are independent. You're stubborn. But still, like I said before, I love you."
Azalea terperangah, namun ketika Adrian menariknya dalam dekapan, selama sesaat, dia ingin waktu berhenti.
Atau mungkin, tidak perlu berhenti. Hanya saja, biarkan dia berada dalam pelukan Adrian agak sedikit lebih lama.
Bersambung.
[][][]
a/n : Ehehehe.
Belon ini belon konflik.
Muehehe.
Kayanya kelar di chapter 30an deh.
dan target gue pun nggak kecapai *sigh*
Doain aja bisa kelar sebelum ganti tahun dah.
Oh ya sori gue jarang nongol, kuliah efektif tinggal sebulan lagi dan itu artinya tugas besar makin mendekati tanggal pengumpulannya so yah begitulah.
Oke deh, thankyou uda baca vote dan comment.
Mwah.
Ciao.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro