Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#20

Sesaat setelah dia menutup pintu dengan gerakan yang terlampau keras di belakang punggungnya, Adrian langsung merasa menyesal. Azalea tentu akan mengiranya marah besar atau apalah—ketika pada faktanya dia tidak. Oke, Adrian harus mengakui kalau dia merasa kesal. Dia tahu bahwa makhluk bernama perempuan mempunyai rasa insecure lebih banyak daripada laki-laki, tetapi sumpah, Adrian hampir muak mendengarnya.

Dia telah puas melihat bagaimana Abby dan Aileen bisa menyiksa diri dengan melewatkan jam makan siang saat mereka masih lebih muda, hanya demi mendapatkan hasil angka yang lebih kecil ketika mereka berdiri di atas timbangan. Atau tentang bagaimana Abby pernah menolak menemaninya pergi ke pantai karena konon dia punya stretch mark memalukan di bagian atas pahanya—sementara di saat yang sama Abby tidak akan mau mengenakan terusan panjang macam daster di tempat yang menurutnya adalah lokasi tepat untuk bersenang-senang seraya bermain air. Jangan ingatkan dia tentang Raya yang lebih sering berjalan menunduk saat sendirian. Kini, Azalea menatapnya tepat di mata, berkata bahwa meskipun cewek itu juga merasakan sesuatu yang serupa, tapi menolak karena terlalu takut bersama dengannya.

Adrian menarik napas, melewati sepanjang koridor dan berhenti di sebuah spot yang penuh dengan pohon rindang. Spot itu berada agak menjorok ke danau, dan dari sana dia bisa melihat saung tempat makan yang berada di sekitar penginapan. Mata hazelnya menatap pada matahari yang mulai meninggi. Udara dingin menggelitik tengkuknya, membuat Adrian diam-diam merasakan seberkas penyesalan menusuk tajam pada dadanya.

Ah ya, seharusnya dia mencoba lebih mengerti sedikit mengenai keadaan Azalea. Gadis itu masih dalam suasana berduka. Keluarganya berantakan. Dia masih harus menghabiskan waktu luang untuk kerja part-time. Belum lagi jadwal ujian yang sebentar lagi menghadang. Azalea punya banyak hal untuk dipikirkan, mungkin belum ada tempat untuk sesuatu bernama perasaan.

Adrian menghembuskan napas perlahan. Harusnya dia tidak melangkah pergi. Harusnya dia tetap berada disana, mendekap Azalea dan mengatakan padanya bahwa Adrian akan menunggu selama apapun itu. Kekesalan sesaat sekarang membuatnya berada dalam situasi yang tidak dia inginkan.

Adrian menatap langit dengan gamang, lantas memutuskan untuk pergi ke salah satu dari deretan saung-saung. Cowok itu memesan segelas teh hangat, lantas menghabiskan waktu hingga sejam berikutnya memandangi hamparan air yang kehijauan. Rasa hangat dari cangkir di tangannya berangsur mendingin, menyadarkannya tentang berapa banyak waktu yang sudah berlalu. Perasaannya sudah jauh lebih tertata, dan kini Adrian tahu jika dia harus minta maaf pada gadis itu. Tetapi, tepat sebelum dia memanggil waitress untuk meminta bill, ponselnya berdering. Sebuah chat masuk. Bukan dari group, melainkan dari Jeviar.

J. Mahardika : Oy

Adrian : Oit

Adrian : Ape

J. Mahardika : Gue denger dari Faris lo di Bandung

Adrian : -_-

Adrian : Ember bat tuh anak

J. Mahardika : Tandanya kita peduli sama lo, bos

J. Mahardika : Sekalian nih gue mau nyampein pertanyaannya Hana

Adrian : Apa?

J. Mahardika : Bisa nitip Kartika Sari nggak katanya

J. Mahardika : Lagi kabita

J. Mahardika : Ngidam dia katanya

J. Mahardika : Padahal kalaupun dia bunting juga buntingnya paling gara-gara guling.

Adrian : DIH

Adrian : Disangka gue lagi liburan apa

Adrian : Bakal lanjut ke Jogja hari ini

Adrian : Jadi nggak ada yang namanya Kartika Sari

Chat itu dibaca tidak sampai setengah detik kemudian. Tetapi tidak ada balasan. Kening Adrian berlipat. Cowok itu masih bertanya-tanya mengenai apa yang terjadi ketika ponselnya mendadak bergetar. Jev meneleponnya. Tanpa ragu, meskipun sempat merasa sedikit heran, Adrian menjawab telepon yang masuk itu.

"KAMU JAHATTTTTT!!!!!!!!!"

Sebuah seruan sopran yang terdengar sepersekian detik berikutnya membuat Adrian menjauhkan ponsel dari telinganya secara refleks sebagai bentuk perlindungan diri agar telinganya tidak tuli. Tidak diragukan lagi, suara abstrak yang lebih sumbang daripada rintihan keledai itu adalah suara milik seorang Yohana doang yang telah dikenal di seantero kampus sejak masa pendidikan karakter karena keabsurdan tingkah lakunya.

"Na," Adrian menghembuskan napas. "Tolong ya."

"Jahat!" Hana masih berseru sebal. "Lo anggap apa gue selama ini, Iyannnn?!!"

"Stop panggil gue Iyan."

"Kenapa? Itu kan nama lo."

Adrian mendengus. "Nama gue bukan Iyan. Ngerti?"

"Nama lo tuh Ad-ri-yan. Iyan. Udahlah mulut-mulut gue ya suka-suka gue. No bacot no protes." Hana menyahut angkuh. "Lo anggap apa gue selama ini, hah?!!"

Adrian berpikir sebentar. "Teman?"

"Jawaban yang super sekali!" Hana berseru. "Kalau lo anggap gue teman, seharusnya lo rela dong gue titipin Kartika Sari."

"Yaelah, atas dasar apa dan teori dari mana?"

"Harusnya mengerti bagaimana gue membutuhkan Kartika Sari sekarang."

"Na,"

"Iya, Pangeran Bavariakuh?"

"Sumpah, gue makin geli denger panggilan itu." Adrian menggerutu. "Yaudah. Gue bawain pas balik. Tapi nggak janji loh ya."

"YA AMPUN ADRIANKUH SEANDAINYA AKU BISA MEMELUKMU SEKARANG SUDAH PASTI KAMU AKAN KUPELUK!!!"

Lagi, Adrian harus menjauhkan ponsel dari telinganya.

"Eits, tapi nanti ada yang marah. Hehehe." Hana meneruskan membuat Adrian bisa membayangkan bagaimana wajahnya diliputi oleh cengiran ala kuda.

"Siapa yang marah?"

"Ciwey lo lah."

"Siapa?"

"Azalea."

Adrian membuang napas pendek. "I did something bad to her."

"HAH?!! JANGAN KATAKAN PADAKU KALAU—"

"Heran, gue punya temen otaknya pada sekotor kandang sapi." Adrian memotong cepat.

"Bahkan Raya aja pernah ngayal bokep soal Adam Levine, apalagi gue."

"Emangnya lo siapa?"

"Pendiri sekte pemuja cogan."

"Ewh."

"Tapi serius. Lo lagi marahan sama Azalea?"

"Enggak tau juga sih." Hana adalah makhluk paling abstrak yang pernah Adrian kenal, namun Adrian tahu pasti kalau dia bisa percaya pada cewek itu. "Tapi suasananya nggak enak."

"Kenapa?"

"Gue... nggak sengaja ngomong dengan nada keras sama dia."

"Minta maaf dong."

Adrian jadi ragu. "Emangnya segampang itu?"

"Lo ganteng. Cewek manapun juga lemah sama lo."

"Deh. Azalea bukan lo."

"Emang. Tapi dia juga cewek." Hana membalas. "Ibarat kata nih, lo tuh kayak patung ganteng yang hidup. Lo gerak dikit aja cewek-cewek bawaannya udah pengen ngejerit. Apalagi kalau lo pake natap mata, meluk, cium, waduh, jangan cium deh. Ntar Azalea bisa tewas di tempat."

Tanpa sadar, Adrian tertawa.

"Yan, lo sehat."

"Hana,"

"Apa sih?" Nada suara Hana berubah gentar. "Jangan bikin gue takut gini, dong. Lo sehat kan, Yan?"

"Thanks."

"Deileh. Jangan lupa Kartika Sari."

"Iye."

"Mau ngomong sama Jev?" Hana terkikik. "Atau Raya?"

"Enggak. I have to go. Gotta do something."

"Sok sibuk."

"Emang sibuk."

"Yaudah."

Dan bunyi klik singkat mengakhiri percakapan mereka.

***

Adrian berjalan cepat melewati koridor, berniat langsung menemui Azalea untuk meminta maaf. Namun, langkah kakinya belum lagi sempat melewati meja resepsionis ketika wanita di belakang meja tersebut memanggilnya. Dengan agak ragu, Adrian menghentikan langkah, memutar arah dan justru mendekati meja resepsionis tersebut. Perempuan itu masih muda, paling banter hanya setahun di atas dirinya dan tampak rapi dalam balutan seragam kerja.

"Pak Adrian dari kamar 006?"

Adrian merasa dia belum setua itu untuk dipanggil 'Bapak', tapi jika pilihan yang tersedia hanya 'Aa' atau 'Dek', Adrian pikir dia lebih akan memilih dipanggil 'Bapak'.

"Ya, kenapa ya?"

"Adik anda baru saja pergi sekitar sejam yang lalu. Dia meninggalkan kuncinya disini." Resepsionis itu meletakkan kartu akses di atas meja besar, membuat kening Adrian langsung berlipat.

"Dia bilang mau kemana?"

"Katanya dia ada keperluan."

"Dia bawa barang bawaan nggak?"

Resepsionis itu kelihatan mengingat-ingat. "Kalau tidak salah, sebuah tas punggung."

Adrian hampir menggumamkan kata makian keras-keras, tetapi dia menahan diri. Sembari mengucapkan terimakasih, Adrian meraup kunci dari atas meja disusul melangkah cepat melintasi koridor. Kamar itu kosong ketika Adrian tiba disana. Selimut sudah terlipat rapi. Sisa sarapan mereka sudah dibereskan. Dan satu lagi, tidak ada satupun jejak Azalea disana. Adrian memberanikan diri memeriksa kamar mandi, laci meja—dan dia justru makin merasa ingin menggumamkan cacian kotor ke udara. Azalea tidak ada dimana-mana. Gadis itu pergi, bersama barang-barangnya.

Oh, shit. Everything is indeed fucked up.

***

Gue menghembuskan napas lega sesaat setelah menghempaskan diri di atas bangku angkutan umum yang akan membawa gue ke Terminal Ledeng. Gue nggak begitu memahami daerah ini, tapi untung sebagian besar orang yang gue tanya mau berbaik hati menunjukkan jalan dan rute-rute yang harus gue ambil—meskipun kenyataannya gue juga gue nggak tau mau pergi kemana. Gue nggak pernah pergi sejauh ini sendirian. Bahkan di Jakarta pun, gue cenderung menempuh rute yang nggak jauh berbeda setiap harinya.

Tapi tentu saja, gue nggak bisa tetap berada disana. Cowok kayak Adrian bukan tipikal cowok yang akan pergi sambil membanting pintu. Dia pasti benar-benar marah sama gue, karena seandainya gue jadi dia pun, gue akan marah. Gimana nggak? Mana ada orang yang balik suka sama orang tapi menolak untuk jadi lebih dekat daripada sekedar teman? Bulshit banget. Sama sampahnya dengan alasan putus yang nggak jauh-jauh dari kata kamu terlalu baik buat aku.

Gue kepingin minta maaf, tapi dari ekspresi wajah Adrian, gue ragu gue punya kesempatan melakukan itu. Dia nggak pernah menatap gue sedingin itu sebelumnya. Mungkin, dia memang semarah itu. Mungkin juga, dia nggak mau melihat muka gue lagi.

Rasanya sakit. Nggak tau kenapa. Padahal sebelumnya, gue adalah master ketika itu tentang mengabaikan kehadiran orang lain. Entah sejak kapan dia punya arti yang sangat besar buat dunia gue, seperti gue mengorbit di sekelilingnya. Kayak Bumi dan matahari. Matahari nggak butuh Bumi seperti Bumi butuh matahari.

And he is like a sun to me.

Gue nggak tau, apakah gue masih bisa berbicara lagi dengannya setelah ini. Membayangkan itu membuat dada gue terasa nyeri. Tapi gue tau, bukan hak gue untuk berharap.

Angkutan umum yang gue tumpangi berjalan dengan lambat. Penyebab pertama adalah karena angkutan yang cukup kosong sehingga supirnya ingin mencari tambahan penumpang. Penyebab kedua, tentu saja, masalah klasik di setiap kota besar alias kemacetan. Enggak apa-apa. Gue juga nggak seburu-buru itu karena sejujurnya, gue masih nggak tau harus pergi kemana. Apa yang gue punya di dalam dompet gue tentu nggak akan cukup membawa gue ke Jogja. Gue hanya berharap, gue bisa kembali ke Jakarta secepatnya. Tanpa perlu nyasar nggak karuan lagi.

Gue menggigit bibir bawah gue, menggumamkan permintaan maaf untuk Alamanda. Ah. Mata gue memanas. Rasanya gue jadi ingin menangis. Gue menghela napas panjang. Oksigen terasa sakit menggores paru-paru gue.

Tapi anehnya, gue nggak tahu pasti, apakah gue kepingin menangis karena gue merindukan Alamanda, atau justru gue sadar bahwa apa yang ada diantara gue dan Adrian mungkin nggak akan pernah sama lagi.

***

Adrian meninju roda kemudi dengan kesal ketika mobil yang dia kendarai terjebak dalam kepadatan jalan raya. Ya ampun, ini bahkan bukan weekend dan jalanan bisa sepadat ini—yah meskipun Adrian harus mengakui bahwa jalanan di depannya tidak bisa disandingkan dengan kepadatan jalanan ibukota setiap jam sibuk tiba. Tidak henti-hentinya cowok itu melirik pada arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Tujuan pertama yang akan dia sambangi adalah terminal terdekat. Dia tahu Azalea tidak punya kenalan di Bandung—dan juga terlihat seperti tidak terlalu mengerti kota ini. Terminal terdekat adalah tujuan paling mungkin yang bisa dia datangi.

Namun, tetap saja Adrian merasa khawatir dia tidak punya waktu yang cukup. Sudah satu jam lewat sebelum dia menyadari kalau Azalea sudah pergi. Dia hanya berharap jika gadis itu tidak kemana-mana. Adrian menghembuskan napas, membiarkan penyesalan menggerogoti dadanya.

Untunglah, setelah menempuh perjalanan yang terasa menguji mental juga tekanan darah, Adrian berhasil sampai di terminal tersebut. Terminal itu hanya terminal kecil. Kendaraan yang biasa mangkal disana tidak terlalu bervariasi, paling banter hanya angkutan umum, bus DAMRI atau elf tujuan kota-kota kecil di Jawa Barat. Menemukannya akan jadi jauh lebih mudah. Setelah memarkirkan mobil, Adrian baru menyadari jika hujan rintik-rintik mulai turun. Tidak deras, tetapi juga tidak bisa dikatakan ringan. Hujan jenis itu adalah hujan yang bisa membuat seseorang basah jika berada di ruang terbuka terlampau lama.

Melihat keadaan cuaca yang tidak bersahabat, Adrian justru semakin merasa khawatir. Dengan tergesa, cowok itu turun dari mobil, lantas mulai mencari. Area terminal yang tidak besar membuat Adrian bisa berkeliling sambil memperhatikan sosok-sosok bertas punggung yang dia jumpai. Beberapa orang menatapnya aneh. Mungkin mereka mengira dia adalah artis FTV karbitan kurang terkenal yang tengah syuting. Atau bule gila yang mendadak nyasar di lokasi antah-berantah. Entahlah. Lagipula, Adrian juga sama sekali tidak peduli.

Sesaat sebelum Adrian putus asa, akhirnya dia menemukan sosok yang dia cari. Azalea berdiri beberapa puluh meter di depannya, dengan rambut lembab karena terkena siraman air hujan dan sebotol air mineral tergenggam di tangan kanannya. Gadis itu terlihat bingung, tapi kemudian memutuskan mengikuti arahan dari seorang kenek bus yang memberikan jalan menuju sebuah bus kecil. Walau sempat ragu, Azalea akhirnya mengekori kenek itu. Melihat apa yang terjadi, sontak Adrian langsung berlari. Dia memanggil nama Azalea, tapi kelihatannya suaranya tidak cukup keras untuk terdengar.

Gadis itu tetap melangkah, membuat Adrian mempercepat laju larinya. Untunglah, tepat sebelum Azalea melangkah melewati pintu bus, tangan Adrian telah lebih dahulu meraih tangannya, lalu secara dramatis, cowok itu menariknya ke dalam sebuah dekapan.

Ada sesuatu yang meleleh dalam dada Adrian, dan itu bernama kelegaan. Lelaki itu menghembuskan napas, menarik Azalea makin rapat dalam pelukannya. Dadanya yang lebar dengan mudah menenggelamkan tubuh Azalea, menyelubunginya dalam sebentuk rasa mana yang hangat.

Sambil menghirup aroma dari rambut Azalea yang separuh basah terkena guyuran air hujan, cowok itu bersumpah dalam hati bahwa dia tidak akan membiarkan hal semacam ini terjadi lagi.

***

"Kalau bus ini tujuannya ke Leuwipanjang, neng. Emangnya neng mau kemana?"

Gue nggak tahu dimana letak Leuwipanjang yang dimaksud oleh bapak separuh baya di hadapan gue. "Saya mau ke Jakarta."

"Kalau gitu nggak apa-apa, ke Leuwipanjang dulu. Di Leuwipanjang baru cari bus yang ke Jakarta. Kalau elf yang kayak gitu sih biasanya tujuannya ke Subang, neng. Eneng bukan orang sini ya?"

Gue mengangguk canggung.

"Yaudah atuh, mangga." Bapak itu menunjukkan jalan menuju sebuah bus yang berada beberapa meter dari tempat kita berdiri. Gue menahan napas, sempat merasa ragu tapi lantas gue sadar gue nggak punya pilihan lain. Hujan yang turun adalah jenis hujan yang meskipun tidak deras tapi akan bertahan cukup lama hingga benar-benar berhenti. Gue nggak bisa membuang waktu di terminal ini. Selain karena gue nggak bisa menahan dingin terlalu lama, juga karena gue nggak merasa nyaman dengan tatapan beberapa orang yang tadi sempat berpapasan dengan gue selama gue sibuk mencari kendaraan di terminal.

Sambil melangkah, entah kenapa gue seperti mendengar suara seseorang memanggil gue. Namun, suarnya begitu samar, hingga gue berpikir bahwa mungkin itu hanya halusinasi belaka. Gue memutuskan mempercepat langkah kaki gue, lantas bernapas lega tatkala gue tiba di ambang pintu bus. Gue meraih pegangan pintu, bersiap untuk naik ketika sebuah tangan meregap pergelangan tangan gue, lantas sebentuk tenaga menarik gue hingga tubuh gue terputar dan berakhir dengan wajah menabrak sesuatu yang hangat.

Gue menghela napas, langsung membeku ketika mengenali aroma yang baru saja gue hirup. Ini adalah bau khas Adrian.

Lalu sedetik kemudian, lengannya melingkari badan gue, menarik gue tenggelam semakin dalam pada kehangatan dadanya.

"I'm sorry." Dia membisikkan kata yang sama berulang kali. Hidungnya tenggelam di puncak kepala gue, dan dia memeluk gue makin erat. Selama sejenak, gue seperti lupa bahwa bapak setengah baya yang baik hati itu masih berdiri terperangah di dekat kami berdua. Juga penumpang bus yang memandang ke luar jendela seakan kami adalah tontonan gratis. Tetapi kelihatannya, Adrian menyadari itu. Dengan cepat, dia melepas jaket yang dia kenakan, kemudian menggunakannya untuk menaungi kepala dan bahu gue. Tidak cukup sampai disitu, dia mengambil alih tas punggung dari bahu gue, menyampirkannya di bahunya sendiri.

Sebagian besar penumpang bus yang didominasi oleh ibu-ibu setengah baya dan satu-dua gadis muda sontak langsung menahan napas.

"Come on," ujarnya, mengulurkan tangannya pada gue. Gue memandang tangan itu, lantas balik meraihnya tanpa berpikir dua kali. Jari-jarinya terasa hangat. Dia membiarkan dirinya sendiri diterpa air hujan sementara kita melangkah cepat menuju mobil. Oh, God, apa cowok itu benar-benar tahu kelemahan gue, gimana bisa dia membiarkan dirinya jadi setengah basah di depan gue—lagi.

Akhirnya, kita berhasil tiba di mobil. Hujan masih turun. Tidak deras. Tapi juga bukan jenis hujan rintik-rintik yang bisa diabaikan. Gue masih terengah hasil dari berlari ketika Adrian menarik tissue dari kotak yang ada di atas dashboard, kemudian menggunakannya untuk mengeringkan titik-titik air di wajah gue. Secara refleks, gue menoleh padanya dan mata kita bertemu.

"I'm so sorry." Katanya, untuk yang kesekian kali.

Gue menggeleng. "I was wrong. I'm sorry."

"No, it was my fault." Adrian bersikeras. "Gue seharusnya mengerti. Gue nggak seharusnya memaksa lo. And for that, I'm really sorry."

"Adrian,"

"Gue bisa menunggu selama apapun. Just take your time. But, promise me something, will ya?"

Gue diam. Menunggu. Dan Adrian meneruskan kalimatnya.

"Stay close."

Gue tidak langsung menjawab, dan dia masih terdiam menanti balasan dengan wajah diliputi kecemasan. Gue berdehem, mengulurkan tangan untuk meraih beberapa lembar tissue sebelum akhirnya mencondongkan tubuh untuk mengeringkan sisa air yang menetes di pelipis dan garis rahangnya.

"I promise." 





Bersambung. 

[][][] 

a/n : Baik kan aku.

Hm, oke, sebelumnya gue akan memberitahu. 

Pertama, ending story ini sudah ditetapkan sejak era cerita J-Raya. 

Kedua, Cleo tidak jahat oke gais kalian hanya belum mengenal dia. Dan enggak, beda kok sama Lilin wkwk. 

Ketiga, hm. apa ya. ohya, gue bakal lebih suka kalau nggak ada promote story di section komen cerita gue. kenapa? Karena yah section komen diperuntukan untuk komen soal cerita, bukan ladang iklan atau promosi. So, i'm really sorry kalau akhirnya gue delete. 

Keempat, I do followback, tapi orang yang gue follow adalah user yang gue tau sering nongol di cerita gue. entah komen atau apalah itu. karena ini bukan sosmed ok, followers is not something you should brag about. 

Kelima, apa yeuh. Enggak taulah pokonya ga sabar nungguin Wangso dan Haesoo ena ena. 

Dah. 

Ciao. 

Gue kasih sedekah lagi yang lebih nyoy. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro