#17
https://youtu.be/9Ko9QshUOP8
Adrian belum pernah melihat raut wajah seorang gadis yang sedang tidur selain wajah kedua kakak perempuannya. Memang sih, beberapa kali dia melihat Raya hampir setengah tertidur dengan kepala tergeletak di atas meja perpustakaan, tapi cewek itu tidak pernah membiarkan penampakan wajahnya ketika sedang terlelap terekspos jelas. Kalau Hana sih boro-boro, Adrian sempat sanksi jika Hana punya kemampuan untuk tidur, mengingat energinya yang senantiasa bejibun seperti ponsel yang tidak pernah alpa dicolokkan pada power bank.
Azalea langsung jatuh ke dalam alam mimpi dalam waktu kurang dari lima belas menit, membuat Adrian bisa menarik kesimpulan jika gadis itu tidak kurang tidur—melainkan benar-benar belum tidur. Dia mengangkat kakinya ke atas jok mobil, dengan tangan tergeletak lunglai dan helai rambut panjang yang tersebar di sekeliling kepalanya. Cahaya matahari yang kian meninggi menerpa sebagian wajahnya, menciptakan ilusi yang terkesan ethereal. Azalea tidak terlihat seperti manusia. Dia tampak serupa dengan patung porselen hasil karya seniman yang terpajang di museum-museum ternama.
Jika tidak ingat kalau dia sedang mengemudi, Adrian mungkin bisa menghabiskan sepanjang hari hanya untuk memandang wajah gadis itu.
Tapi well, tentu saja Adrian tidak segila itu. Dia melirik sekali lagi pada Azalea, kemudian berusaha fokus pada jalanan. Lalu-lintas tidak begitu padat, mungkin karena hari ini adalah hari Minggu dimana arah kendaraan yang padat justru menuju ke Jakarta. Tentu saja, bagi mereka yang memilih menghabiskan akhir pekan di daerah Puncak dan sekitar, waktu paling tepat untuk kembali ke ibukota sebelum memulai rutinitas seperti biasa adalah hari Minggu. Satu dari banyak hal yang Adrian syukuri hari ini.
Keheningan menyelimuti mobil hingga beberapa jam berikutnya. Begitu mobil yang mereka kendarai semakin mendekati kota Paris van Java, cuaca berubah. Langit yang semula cerah kini digelayuti mendung tebal. Tidak butuh waktu lama hingga hujan turun berderai, membuat jarak pandang menyempit dan udara menjadi lebih dingin daripada sebelumnya. Mulanya, Adrian tenang-tenang saja dengan perubahan keadaan yang terjadi, namun langsung mengangkat sebelah alis tatkala pandangan matanya secara tidak sengaja jatuh pada gadis yang masih terlelap di sampingnya.
Gadis itu menggigil. Wajahnya terlihat pucat, dengan bibir yang hampir kehilangan rona. Keheranan Adrian dengan cepat berganti menjadi kekhawatiran ketika dia menyentuh lengan Azalea dengan tangannya dan mendapati kalau suhu tubuh gadis itu tidak lagi bisa dikatakan normal. Dia pasti demam. Entah karena kurang tidur seperti yang dia katakan, atau memang sebenarnya dia sudah kurang sehat sejak awal mereka meninggalkan rumah. Adrian beberapa kali mencoba membangunkannya, tapi itu semua sia-sia.
Cowok itu menghela napas, mencoba menenangkan diri. Azalea tidak akan kenapa-napa. Gadis itu akan baik-baik saja. Tindakan paling penting yang Adrian perlu lakukan sekarang adalah fokus pada jalanan di depannya untuk menemukan rest area terdekat. Dia melirik sekilas pada arloji yang melingkari pergelangan tangannya sebelum kakinya menekan pedal gas dalam-dalam, menambah kecepatan. Sesuatu yang sebenarnya sudah pasti akan Mama larang, mengingat air hujan yang mengalir pasti membuat jalanan menjadi lebih licin dari biasanya. Namun tentu saja Adrian tidak bisa membuang waktu. Dia harus segera berada di tempat yang memungkinkannya mengecek keadaan Azalea lebih lanjut.
Tidak sampai setengah jam kemudian, Adrian menemukan apa yang dia cari. Cowok itu membelokkan mobilnya masuk ke sebuah rest area, berhenti di tempat paling teduh yang bisa dia temukan tanpa mempedulikan pandangan heran dari beberapa penjaga resto mini yang menjual makanan instan kala Adrian memberhentikan mobilnya dengan dramatis, hingga suara decitan rem terdengar.
"Lea," Adrian memanggil, menyentuh pipi Azalea yang terasa panas di bawah kulitnya yang dingin. Azalea menjawab tanpa membuka mata, namun apa yang terlontar dari mulutnya lebih mirip gumaman samar. Mengetahui usahanya membangunkan gadis itu hanya akan sia-sia, Adrian memutuskan untuk melepas jaket yang melekat di tubuhnya, lantas menghamparkan jaket itu di atas tubuh Azalea. Tubuhnya jadi terlihat begitu mungil di bawah jaket Adrian yang besar, membuatnya terlihat begitu rapuh—namun di sisi lain, begitu menggemaskan.
Usai melepas jaketnya, Adrian keluar dari mobil dan berlari cepat di bawah guyuran hujan sebelum akhirnya masuk ke kursi bagian belakang, tempat tas Azalea dan kopernya tergeletak. Diam-diam, dia berterimakasih pada Mama yang sempat mengemas sejumlah obat-obatan dan multivitamin sebelum dia berangkat tadi pagi. Seperti mampu meramalkan apa yang akan terjadi, Mama bahkan menambahkan beberapa strip plester pengompres demam di dalam sana. Adrian merobek beberapa strip sekaligus, kemudian kembali keluar dari mobil untuk berpindah ke kursi pengemudi. Dengan cekatan, tangannya menempelkan plester demam di kening Azalea tanpa mempedulikan sebagian kausnya yang sudah basah di bagian punggung dan dada.
Ketika pada akhirnya selesai menambahkan sehelai lagi sweater yang dia cabut dari dalam koper untuk menjaga gadis itu tetap hangat, Adrian memutuskan untuk tidak langsung meneruskan perjalanan. Hujan masih turun dengan deras, derainya yang rapat menciptakan semacam tirai yang terkesan magis. Angin berhembus, membuat orang-orang memaksa tubuhnya berteduh lebih dalam di bawah naungan atap bangunan. Untuk mengusir sepi, Adrian menyalakan radio, membiarkan alunna petik musik akustik mengisi indera pendengarannya sementara matanya masih tetap mengawasi Azalea dengan seksama.
Astaga, gadis ini memang selalu punya cara membuat Adrian tidak bisa tidak memperhatikannya. Dimulai dari kejadian tidak terduga di pelataran kafe. Insiden anak kucing dan kemeja putih Azalea di halaman gedung FISIP. Apa yang terjadi pada Alamanda. Dan sekarang... Adrian menghela napas. Lagi. Lalu tanpa berpikir, tangannya terulur. Ibu jarinya menyapu pipi Azalea yang hangat sementara matanya masih menatap lembut. Gadis ini, entah sejak kapan dia telah menjelma menjadi pusat dunia Adrian yang baru.
Dan anehnya, Adrian tidak merasa keberatan dengan itu.
***
Gue nggak tau berapa lama gue tertidur, tapi ketika gue terbangun, cahaya matahari tidak lagi terasa menyilaukan. Awan mendung berarak, bergantungan di sudut langit. Gue mengerjapkan mata, merasakan denyut samar mengaliri kepala gue hingga sebuah erangan pelan terlontar tanpa bisa gue tahan. Tangan gue bergerak, menyentuh dahi hanya untuk menemukan sebuah plester tertempel di dahi. Rasa heran gue belum habis ketika gue mengamati sekeliling, lantas menyadari bahwa kini gue berada di bawah sebentuk selimut yang tercipta dari pakaian Adrian.
Jelas itu pakaiannya. Kehadirannya sudah terasa begitu familiar, hingga aroma yang menguar dari sana bahkan bisa gue kenali tanpa perlu waktu yang lama. Gue mendecakkan lidah. Gue nggak seharusnya seperti ini kan?
"Lo kebo juga ya kalau lagi tidur."
Sebuah suara membuat leher gue menegak secara refleks, dan ketika gue menoleh, gue mendapati Adrian berada di luar mobil, tepat di sisi jendela penumpang bagian depan. Rambutnya terlihat lembab, seperti dia telah terguyur oleh air hujan sebelumnya. Begitupun bagian depan pakaiannya—yang terlihat sudah mulai mengering. Oh, tolong. Gue nggak kuat dikasih pemandangan cuma-cuma kayak gini. Kini gue mengerti kenapa ada gadis-gadis kampus yang bisa begitu histeris sampai kepingin menggaruk tembok setiap kali Adrian lewat.
"Gue... kenapa?"
Mata Adrian menyipit. "Tunggu. Jangan bilang kalau lo amnesia."
"Hah?" Gue terperangah, tidak mengerti arah ucapannya. "Apa sih, Yan? Gue nggak ngerti."
"Thanks, God. Ternyata lo nggak amnesia dan masih inget gue. Nggak apa-apa. Nih, minum dulu." Adrian mengulurkan sebuah gelas kertas yang menguarkan asap tipis dari luar jendela. Dengan ragu, gue menerimanya. Senyum gue kontan langsung melebar saat gue mengenali aroma harum cokelat yang tercium. Milo panas adalah salah satu hal terbaik untuk diminum setelah hujan. Gue nggak pernah bilang sama siapapun kalau gue sesuka itu sama Milo panas, dan disinilah cowok ini, memberikannya pada gue tanpa bertanya.
"Thanks."
Adrian mengedikkan bahunya sebelum dia kembali menghilang diantara kios-kios yang menjual berbagai jenis makanan instan. Tidak sampai sepuluh menit kemudian, dia muncul lagi. Kali ini tanpa bicara pada gue lewat luar jendela, karena dia lebih memilih langsung masuk ke mobil dan duduk di kursi pengemudi—tepat di sebelah gue.
"Ini buat lo," ujarnya seraya meletakkan satu kemasan besar roti isi keju-cokelat di atas dashboard. "Dan ini buat gue."
Gue cemberut. "Gue juga kepengen mie."
"Sayangnya, gue nggak akan ngasih lo izin makan mie."
"Ih, apa banget."
Gue kira Adrian akan berdecak kesal. Tapi tidak. Dia justru berhenti menyeruput kuah mie instan dalam cup sterofoam di tangannya untuk menatap gue lembut, seperti seorang Ayah yang tengah berusaha memberi pengertian pada anak perempuannya yang sedang ngambek.
"Lo nggak boleh makan mie karena lo lagi sakit."
"Gue nggak sakit."
"Jangan keseringan pura-pura kuat. Nanti capek sendiri."
"Adrian!"
"Hm?"
Gue mendengus pada wajah tanpa dosa yang dia tunjukkan. "Gue nggak suka keju."
"Bagus, dong. Gue suka keju. Jadi kita bisa saling melengkapi kan."
"Ih."
"Lo nggak suka cokelat juga?"
"Gue pengen mie!"
"Yaudah." Adrian menyeruput kuah mie instannya sekali lagi, lalu menelan terlebih dahulu sebelum bicara. "Nanti gue beliin. Tapi nggak sekarang. Nanti, pas lo udah sehat."
"Maunya sekarang."
"Makanya jangan sakit."
"Gue nggak sakit!" Gue berseru, masih ngotot ketika mendadak dia meletakkan cup strefoam mie instannya ke atas dashboard sebelum meraih kemasan roti yang masih teronggok begitu saja. Gue kira dia bakal menyerah dan mengizinkan gue membeli mie instan—sumpah ya, gue bukan maniak mie instan tapi adakah insan di Indonesia Raya ini yang akan menolak jikalau ditawari mie instan? Apalagi kalau dimasakkin. Bah, nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kau dustakan.
"Gue mau beli mie."
Gue nggak tau sejak kapan gue punya bakat merengek. Mungkin karena ini semua menyangkut mie instan. Dan karena orang yang ada di sebelah gue adalah Adrian.
Adrian masih tidak menjawab. Dia justru sibuk menyobek kemasan plastik roti. Tingkahnya membuat gue merasa gregetan. Gue hampir kembali bicara, mencoba membantah ungkapannya soal gue yang sakit dan tidak boleh makan mie, tapi apa yang dia lakukan pada waktu berikutnya justru membuat gue terdiam tidak tahu harus berbuat apa. Gimana enggak? Adrian mengambil sepotong bagian roti, kemudian mengulurkannya tepat di depan mulut gue.
"Aaa." Katanya, seperti seseorang yang sedang menyuapi anak kecil.
Gue masih diam, namun ekspresi dan aroma cokelat yang berasal dari bongkahan makanan di depan mulut gue akhirnya membuat gue menyerah. Dengan sebuah gerakan singkat, gue membuka mulut untuk menerima suapan roti tersebut.
"I'm so sorry."
Kata-katanya membuat gue berhenti mengunyah. "Kenapa minta maaf?" gue balik bertanya.
"Because you don't get to eat proper lunch." Jawabnya. "Ini udah jam makan siang tapi kita masih kejebak di tol. Lo demam, jadi gue nggak mungkin biarin lo makan makanan instan. Tapi begitu kita nyampe Bandung, gue bakal ajakin lo ke tempat makan yang bagus. Jadi, jangan ngambek, oke? Oh ya, anggap aja gue punya hutang neraktir lo mie instan. Ingetin gue nanti kalau kita udah nyampe di Jakarta lagi, oke?"
"Gue cuma bercanda. Gue emang pengen banget makan mie, but you don't have to say sorry."
"Sekarang giliran lo."
"Apanya?"
"Minta maaf ke gue." Adrian nyengir. "Lo nggak tau gimana paniknya gue begitu liat lo tiba-tiba menggigil, sementara keadaan kita lagi ada di jalan tol, dimana hujan deras turun dan gue bukan aliennya Ben Tennyson yang punya empat tangan. Kalau gue punya sakit jantung, kayanya gue udah mati deh tadi. Kalau emang nggak enak badan tuh bilang, jadi kan kita bisa undur waktu keberangkatannya."
"I want to do this. And there's no reason to postpone it."
Adrian diam sejenak, tapi kemudian dia tersenyum. "You miss your Dad that much, don't you?"
Gue tercekat, lalu melepaskan mata gue dari pandangannya dengan cepat. Bukan karena gue membenci caranya menatap atau membantah apa yang dia katakan, melainkan... gue hanya takut kalau dia bisa menyelami perasaan gue kelewat dalam. Bukan hanya tentang Alamanda, atau Ayah. Tapi juga tentang bagaimana gue memandang dia.
Gue hanya takut, kalau dia tau gue memandang dia sebagai seseorang yang lebih dari sekedar teman, dia akan menjauh.
Because he has no reason to choose me.
"Maafin gue." akhirnya gue berkata.
"Good girl." Adrian menyahut dengan senyum puas. Lalu dia sibuk memutar tubuhnya hingga menghadap kursi bagian belakang. Gue hanya mengamati, tapi salah satu alis gue terangkat kala dia selesai dengan urusannya dan di tangannya telah terpegang sehelai kemeja lainnya juga sebuah kotak plastik berpengait berisi berbagai macam obat-obatan yang bisa dibeli bebas di drugstore.
"Pake sweater gue." Katanya dalam nada perintah yang nggak mungkin bisa gue bantah. Gue menurut. Dengan gerak lambat, gue meraih sweaternya, memasangnya di atas pakaian yang gue kenakan. Sweater itu kebesaran, terasa begitu longgar namun nyaman. Lagi-lagi, wangi Adrian yang khas melekat dalam seratnya.
"Cute." Dia berkomentar dengan nada geli sesaat setelah mengamati bagaimana penampilan gue dalam sweater miliknya yang kedodoran di badan gue. Gue cemberut, mendengus sewot padanya yang langsung tertawa sambil melepas plester demam dari kening gue dan menggantinya dengan yang baru. "Habisin rotinya. Juga Milo-nya. Begitu kita sampai Bandung, gue bakal cari tempat yang enak buat lo makan siang dan istirahat."
"Istirahat?"
"Road trip is a road trip. Tapi dengan kondisi lo yang lagi kurang sehat kayak sekarang, lo butuh tempat tidur yang nyaman." Adrian membalas. "So tonight, we're gonna find a nice hotel."
It doesn't sound right.
"Ng, bukan single bed, tentu aja. Atau yah sekalipun mentok-mentok dapetnya yang single bed, gue ikhlas kok disuruh tidur di lantai. Atau di sofa." Adrian buru-buru menambahkan, seperti bisa mengerti kemana arah pikiran gue bermuara. "I will never touch a lady without her consent, Lea. Mungkin menurut lo gue terlalu konservatif atau gimana, but I'm not into sex before marriage."
"So, you're a virgin?"
"So, you aren't one?" Dia balik bertanya tanpa nada yang bertujuan untuk menyinggung atau menyindir.
Wajah gue memerah. "Gue nggak pernah punya pacar. Nggak pernah clubbing. Menurut lo? Tapi lo tau, dengan teman-teman lo yang rata-rata pada begitu, gue agak kaget mendengar lo punya prinsip yang berbeda dengan mereka."
"Gue menghormati prinsip dan gaya hidup orang lain, kok. Dan meskipun berteman, bukan berarti isi kepala harus sama kan?"
"Apa lo punya prinsip yang kayak gitu... supaya nantinya lo juga mendapatkan pasangan yang masih perawan?"
Adrian menggelengkan kepalanya. "Not really. It's just a hymen, after all. I doesn't define a woman's value. If I love her, I wouldn't care about such thing. Hanya saja, gue nggak mau melakukan sesuatu yang menurut gue sakral di luar hubungan pernikahan. Setiap gadis pasti adalah anak yang disayangi banget sama nyokapnya. Dijaga banget sama bokapnya. Bayangin gimana perasaan orang tuanya kalau anak yang mereka besarkan dari kecil disentuh oleh orang lain hanya atas dasar cinta tanpa ikatan resmi. Tapi itu balik lagi ke prinsip orangnya sih. Kalau emang dua-duanya suka sama suka, who am I to judge?"
"Blackhole."
"Apa?" salah satu alisnya terangkat setelah mendengar ucapan gue.
"Your mind is a blackhole. It attracts me more."
"Gue rasa, sesuatu yang sama juga berlaku pada gue?" Adrian tersenyum. "At this rate, we will fall into each other's orbit."
Gue menggigit bibir bawah gue. Terkenang pada bagaimana gue menilainya dulu, gue nggak akan pernah menduga berada di bawah tatapan sepasang matanya yang hazel akan membuat gue merasa senyaman ini. Gue menghela napas. Jika gue boleh punya satu keinginan, gue pengen waktu berjalan sedikit lebih lama lagi. Biarkan gue menjadi pusat dari dunianya dan dia menjadi pusat dari dunia gue... hanya sedikit lebih lama.
"Shall we go now?"
Ketika gue menganggukkan kepala, hanya ada sedikit dari bagian diri gue yang tahu tentang apa yang akan terjadi malam ini.
Bersambung.
[][][]
a/n : Hehe di hotel ngapain ya hehe.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro