#15
Jumat malam adalah salah satu dari sedikit hari dimana Faris tidak akan disibukkan merutuk sana-sini karena beban tugas kuliah yang menurutnya tidak manusiawi. Well, sebenarnya cowok itu juga tidak bisa benar-benar disalahkan. Meskipun darah seni mengalir dengan deras dalam pembuluhnya, Faris adalah Faris. Kalau ditanya apa yang dia cintai setelah Cleo, mungkin musik adalah jawabannya. Sayangnya, keluarganya tidak mendukung. Faris lebih suka memetik senar gitar, tetapi jika ingin terus kuliah, dia harus mengikuti pilihan yang diberikan kedua orang tuanya.
Keadaan yang berbanding terbalik dengan Edgar, maupun Adrian. Keduanya sama-sama seniman tulen. Mereka punya tangan dingin dan pikiran yang bergerak dalam spektrum tak biasa. Tidak peduli seberapa berat tugas kuliah yang menumpuk, keduanya selalu mampu menyelesaikan dengan senang hati dan hasil yang tidak bisa dianggap sepele. Mungkin itulah kenapa ada ungkapan jika pekerjaan paling menyenangkan di dunia adalah hobi yang dibayar. Yah, tapi tentu saja tidak semua orang seberuntung itu.
Malam ini keenam cowok itu berkumpul di Seven Eleven. Sebenarnya, acara itu tidak terencana. Tetapi karena kebetulan mereka semua sedang senggang—yang mana sangat jarang mengingat kesibukan Dio yang mahasiswa kedokteran sekaligus Ketua BEM fakultasnya—mereka pun memutuskan untuk hangout.
Orang pertama yang datang adalah Adrian karena memang rumahnya berada paling dekat, kemudian Jev. Lalu Dio. Kemudian Edgar. Mereka berempat memutuskan untuk duduk menunggu selama beberapa menit, dan masih tetap duduk seraya memainkan ponsel masing-masing ketika sebuah mobil berbelok masuk ke parkiran. Faris melangkah turun dalam balutan jaket hitam dan snapback warna senada, disusul oleh Rama yang terlihat seperti orang flu karena masker sekali pakai yang terpasang di wajahnya.
"Enggak on-time banget sih." Dio berkomentar begitu keduanya masuk dan mengambil tempat pada kursi kosong yang tersedia. Malam ini tidak begitu ramai, entah kenapa. Walaupun sebenarnya Jev sempat melihat serombongan anak-anak muda yang paling banter masih SMA tampak berniat masuk—tetapi mereka sepertinya membatalkan niat begitu melihat sederetan cowok-cowok tinggi berwajah dingin yang sudah duluan duduk di dalam lokasi tongkrongan favorit mereka.
"Kaku lo. Kayak kanebo kering." Faris menimpali sambil melempar kunci mobilnya ke meja sementara Rama telah lebih dulu melipir menuju deretan rak-rak berisi makanan sambil sesekali mengeluarkan suara batuk samar yang terkesan memelas. Mereka semua mengabaikan gestur itu. Bukan karena tidak peduli pada Rama, tapi biasanya, setiap kali Rama bersikap seperti itu dia sedang melempar kode tertentu alias minta dibeliin makanan.
Ogah banget deh.
"Tumben semuanya bisa ngumpul." Faris berkata lagi setelah dia mengambil sekaleng Pringles. "Pacar lo kemana?"
"Lagi datang bulan." Jev menjawab cuek.
"Oh. Jadi melarikan diri dari amukan Godzilla ya?" Edgar berkata.
"Bukan gitu." Jev mendengus. "Sori-sori ya, gue bukan tipe cowok yang akan meninggalkan cewek gue terutama pada saat-saat rawan kayak masa menstruasi. Cuma, dia sendiri yang bilang dia lagi butuh me time. Walaupun gue tau me time yang dia maksud nggak akan jauh-jauh dari nontonin video Adam Levine sambil nangis dan gigit bantal."
"The perks of having a fangirl as your girlfriend, isn't it?"
"She is my very first fangirl, anyway." Jev justru tersenyum dengan lagak sok jumawa yang membuat Adrian mengangkat salah satu alis sembari mengalihkan perhatian dari permainan solitaire di ponselnya. "Sebelum gue punya sederetan fans yang bejubel minta dihalalin, dia adalah fans pertama gue. Muehehe."
"Idih, najis."
"Kalau Raya denger, kayaknya lo bisa dijadiin samsak tinju."
"Sorry, ma bro," Jev menepuk-nepuk punggung Adrian dengan keras. "Tapi itu faktanya."
"Bah." Dio mencibir.
"Daripada lo. Keseringan ngegas tapi nggak pernah langsung ke intinya. Ati-ati kehabisan bensin."
Dio menampilkan ekspresi masam.
"Sebenernya gue agak surprised sih. Gue kira Raya bakal langsung bunting seminggu setelah pacaran sama lo."
"Gue nggak setokcer itu bro."
"Dan Raya juga bukan tipe cewek kayak gitu kali." Adrian mengedikkan bahu.
"I know that very well, Yan. Makanya kasih tau nih ke bocah gorilla satu." Jev mendelik pada Faris yang justru tertawa.
"Buat apa punya pacar cakep kalau cuma diliatin?"
"Gue bukan newbie. Dari ciuman sampe mandi bareng udah gue lakuin sejak kita masih SD."
"Sangar."
"Btw, lo juga tumben nggak ke tempatnya Cleo. Udah tobat?"
Faris melengos. "Dia ada acara bareng temen-temennya sesame beauty vlogger hari ini."
"Oh. Nggak nemenin?" Edgar ikut bicara.
"Sudah pasti tidak lah. Ayang Faris kan hanya milikku seorang!" Rama mendadak berseru sambil meraih salah satu lengan Faris dan memeluknya. Sang pemilik lengan mengerutkan kening, lalu dengan perlahan menarik tangannya lepas dari dekapan Rama.
"Sori, Ram. Udah nggak doyan lagi sama batang."
Rama menatap Faris dengan pandangan penuh luka.
"Oh ya, soal kemarin," Dio memulai, terlihat sekali dia sedang mengubah topik pembicaraan ke arah yang lebih serius dan berfaedah. "Cewek itu, siapa namanya? Azalea? Dia udah baik-baik aja?"
"Hm, pertanyaan yang super sekali." Faris berkata. "soalnya kemarin mau digodain kayak gimana juga, dia tetap diam aja. Gue nggak ngerti, dia emang nggak suka ngomong, atau dia bete sama kita-kita, atau dia lagi kebelet ee. Jadi gimana, Yan? Misi kita menghibur cewek lo kemarin udah berhasil kan?"
"She is okay. Actually, she enjoyed our time together a lot."
Ada sesuatu yang menarik perhatian Jev. Adrian adalah salah satu teman terdekatnya selain Faris, dan tentu saja Dio. Dia tahu benar karakter cowok itu. dan melihat bagaimana Adrian sama sekali tidak menyangkal kata-kata cewek lo yang digunakan oleh Faris sebelumnya, dia mulai berpikir bahwa kemungkinan besar memang ada apa-apa yang terjadi diantara sahabatnya dengan gadis itu. Dengan seorang Azalea Pramudita.
"I respect her." Ujar Edgar sambil tangannya bergerak menggulung mie dalam wadah tabung strefoam di depannya pada garpu. "She seems so strong. Setelah semua yang dia alami. Gue dengar, bokapnya bahkan nggak datang saat pemakaman adiknya? Geez, that old man doesn't deserve to live in this earth with that kind of filthy heart."
"Kita nggak tau apa-apa soal ayahnya Lea, Gar."
"Tetap aja." Edgar memberengut kesal.
"She hates her father, doesn't she? Keliatan aja dari gimana ekspresi mukanya pas kita mengobrolkan sesuatu yang menyerempet pada masalah bokap." Rama berucap. "Pantesan ya, ternyata bener apa yang dibilang pepatah kuno jaman dulu."
"Pepatah apaan dah?"
"Katanya hidup cewek cantik nggak akan pernah mudah."
"Alah, bulshit."
"Semua cewek itu cantik." Adrian langsung berkata.
"Bacot lo ngomong gitu, Yan. Belagak biar kelihatan pacar-able apa gimana?" Faris mencerca dengan salah satu sudut bibir yang diturunkan. "Kalau ceweknya Dijah Yellow, lo masih bakal tetap ngomong gitu nggak?"
"Eh, jangan salah, kerudung blondenya Dijah sangat menggodah tau." Rama terkikik.
Adrian mendengus. "Dia cewek. Gue bakal tetap bikin dia cantik, meskipun mungkin ada beberapa dari gayanya yang harus dia ubah jadi... lebih baik. Bukan biar dia terlihat menjadi orang lain sih, tapi biar dia lebih terlihat pintar dan menghargai dirinya sendiri aja."
"Dia fake kali. Ngapain buang waktu ngomongin seorang faker internet." Sahut Dio.
Faris mengangkat bahu, lantas merogoh ponselnya yang mendadak bergetar. Cleo baru saja mengirimkannya sebuah pesan. Atau lebih tepatnya sebuah foto. Gadis itu duduk dengan manis dalam pose kepala agak tertunduk dan mata yang terpejam. Atasan model Sabrina yang dia kenakan memperlihatkan lekuk kedua bahunya yang sempurna. Rambut cokelatnya terjatuh dengan lembut. Poni menyapu dahinya. Background dari foto itu adalah dinding hitam dengan sedikit aksen emas milik sebuah resto terkenal yang Faris ketahui. Cowok itu tertawa kecil, jarinya baru berniat mengetikkan pesan balasan tatkala angin ribut mendadak datang.
Entah darimana, sebuah armada Go-Jek muncul begitu saja. Sosok cewek yang dibonceng langsung turun, berkata dengan heboh pada sang driver untuk menunggu tanpa melepaskan helm. Kening Jev dan teman-temannya berkerut, lalu secara spontan mereka semua terperangah ketika cewek itu membuka helmnya. Bukan karena terpesona pada helai rambutnya, melainkan karena wajah absurd yang tidak mungkin tidak mereka kenali.
Itu Hana.
Keenam cowok terdiam pada meja yang menghadap kaca besar—dan secara langsung terlihat dari luar parkiran—dengan ekspresi yang serupa: mulut setengah terbuka dan mata tidak percaya. Mulanya, Hana tidak menyadari itu hingga dia melihat pada kaca dan mendapati enam cowok tengah terpana memandangnya seperti sekumpulan anak TK yang baru pertama kali melihat topeng monyet. Keningnya berlipat, tapi senyum iblisnya langsung tersungging kala sebuah gagasan bagus melintas dalam pikirannya.
"BROOO!!!" Hana berseru dari luar Seven Eleven, membuat beberapa orang di parkiran menatapnya dengan pandangan aneh. Reaksi pertama Jev adalah menutupi wajah dengan kedua telapak tangan, sementara Edgar langsung pura-pura menunduk sambil berkali-kali membisikkan serentetan kalimat berbunyi bukan temen gue. Faris menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Adrian pura-pura sibuk memainkan ponsel. Rama? Cowok itu buru-buru menghabiskan makanan di tangannya sebelum Hana tiba di dalam.
"Ya ampun, dunia sempit banget ya!" Hana berkata begitu dia masuk dan menghampiri cowok-cowok itu. "Ini lagi Boys Night Out apa gimana? Waduh, kacau nggak ngajak-ngajak."
"Haram hukumnya mengajak makhluk tidak bertitit turut serta." Faris berkata.
"Mulut lo nggak bisa disensor dikit apa, Ris?" suara sebal Dio terdengar.
"Titit masih lebih sopan daripada kon—"
"Stop." Hana meletakkan jarinya di depan bibir Faris, membuat Faris kontan langsung terdiam sementara Dio dan cowok-cowok yang lain memasang ekspresi wajah tidak percaya. "Jangan nodai telingaku yang suci ini, oke?"
Faris mendengus, kemudian menurunkan jari Hana dari mulutnya. "Ngapain lo disini?"
"Belanja makanan buat Raya."
"Buat lo juga maksudnya." Edgar mengoreksi.
Hana nyengir. "Tuh tau. Kita mau nonton film horor malam ini. Karena besok libur, jadi gue mau nginep di kost Raya. So, maafin ya Jev karena ada gue, lo bedua nggak bisa sunah rosulan."
"Sapa juga yang bakal sunah rosulan." Rama menimpali. "Raya lagi dapet. Makanya Jev ngabur kesini."
"Oh pantesan. Biasanya dia paling anti bobo bareng gue."
"Karena tidur lo macem kebo. Hobi tendang sana tendang sini." Edgar menyela.
"Tau banget, bos. Udah pernah bobo bareng ya?"
Seperti yang sudah bisa diduga, itu suara Faris.
"Kasian tuh abang gojeknya nungguin." Dio menyela tiba-tiba dengan wajah tidak suka.
"Oh iya bener!" Hana berseru seperti baru tersadarkan. "Makanya biar cepet, langsung ke intinya aja deh ya. Bagi duit dong buat beli makanan!"
"Lah, kenapa minta duit ke kita-kita?"
"Karena ini buat Raya, sahabat-sahabatku yang baik hatinya." Hana berkata dengan nada sungguh-sungguh bak ustadzah yang tengah meresapi tausiyah. "Kalian semua sayang sama Raya kan? Kalian nggak mau ngeliat Raya menderita kan?"
"Raya tuh nggak banyak ngemil kalau lagi dapet. Ujung-ujungnya juga pasti lo yang ngembat habis semuanya." Balas Jev dengan nada dongkol yang tidak repot-repot dia tutupi.
"YaAllah, kamu sebagai pacarnya kok perhitungan amat sih."
"Ogah, deh."
"Ayang Faris," Hana berkata dengan nada memelas pada Faris yang langsung bergidik jijik.
"Males banget."
"Pangeran Bavariakuhhhh... Pweaseeeee..."
"Jangan kebanyakan ngemil. Nanti lo obesitas." Kata Adrian.
"Alah, giliran beli makanan buat Azalea aja lo nggak pake mikir."
Ucapan Hana membuat Adrian mendengus, tapi tak urung dia mengeluarkan dompetnya dan mencabut keluar selembar uang dua puluh ribuan.
"Ih, inimah cuma dapet ciki taro empat biji atuhlahhhh."
"Azalea dikasih bubur kacang ijo seribuan juga bakal bilang makasih, Na."
"Deh." Hana mendengus, lalu beralih pada Edgar. "Batak sayang..."
"Nggak ada."
"Tai."
"Elo."
"Bodo." Cewek itu melipat tangan di dada, masih memasang ekspresi cemberut hingga Rama mendadak bicara.
"Enggak minta ke gue nih?"
"Emang lo mau ngasih?"
"Enggak."
Hana menatap Rama seperti dia ingin menelan cowok itu hidup-hidup. Tapi situasi tegang berhasil terhindarkan saat dengan gerakan smooth nyaris tanpa suara, Dio mencabut dompetnya keluar dan mengulurkan selembar uang seratus ribuan yang membuat Hana terperangah seperti baru saja menyaksikan keajaiban dunia nomor sekian.
"Nih. Kurang nggak?"
"Puja kerang ajaib." Hana berbisik, lalu matanya pun dialiri ekspresi haru. "Baik banget sih kamuuuuuuu. Huhu, makin cinta deh."
"Gas terossssss." Komentar Jev, membuat Edgar entah bagaimana mendadak terbatuk karena tersedak makanannya sendiri.
"Makasih ya, Dio. Huhu luv banget." Hana merangkul kedua bahu Dio yang masih duduk di kursinya sekilas, membuat Dio terperangah tidak percaya. Cowok itu masih membeku, dan baru tersadar ketika Hana sudah berlari diantara rak-rak dengan keranjang belanja yang siap diisi beragam makanan ringan dalam kemasan.
"Sadar, Yo."
Dio hampir gelagapan. "Gue nggak apa-apa."
Faris terkekeh. "Emang yang bilang lo kenapa-napa tuh siapa?"
"Ngerti kok, Yo. Ngerti." Jev nyengir. "Lo tau, kadang bahagia emang sesederhana itu kan?"
***
https://youtu.be/XFgNKFOdYi8
Dia datang pagi hari, hanya sejam setelah gue terbangun dan menghabiskan waktu untuk duduk di tepi jendela sembari memperhatikan bagaimana sorot matahari membiaskan warna pelangi pada bulir embun. Dedaunan itu masih sama. Warna bebungaan di luar jendela masih sama. Hanya saja, keadaan sudah benar-benar berubah. Gue nggak tau apakah gue benar-benar bisa beradaptasi sepenuhnya dengan situasi baru ini apa enggak. Namun satu yang jelas, menyebut namanya masih menimbulkan desir nyeri dalam dada gue.
Dia bercakap-cakap sejenak dengan Bunda. Dari mencuri dengar obrolan mereka, gue tau Adrian datang membawa sesuatu. Mungkin makanan. Dan buket bunga. Dia adalah cowok yang sangat manis. Gue menghela napas, memandang sejenak pada bingkai foto Alamanda di atas nakas sebelum meraihnya. Pagi itu, sebelum dia pergi, dia melontarkan sebaris tanya pada gue. Tanya yang tidak pernah sempat dia dengar apa jawabnya.
Gue menarik napas, memenuhi paru-paru gue yang sakit dengan oksigen sebelum mendekap bingkai tersebut ke dada. Manda bertanya apakah gue menyukainya. Gue menggigit bibir, kemudian berbisik pelan seraya berharap bahwa dia akan cukup dekat untuk mendengar.
Yes, Sissy. I like him. I always do. Like you always do.
"Azalea?" suara ketukan di pintu membuat gue buru-buru menyeka pelupuk mata gue yang basah sambil mengembalikan bingkai itu ke atas nakas. Gue menarik satu-dua hela napas panjang, berusaha untuk terdengar normal ketika mempersilakkan dia masuk. Namun dia tidak masuk. Dia justru membatu di ambang pintu, menatap gue dari sana dengan pandangan ragu.
"Enggak apa-apa?"
"Maksudnya?" Gue justru balik bertanya.
"Gue nggak pernah masuk ke kamar cewek selain kamar kakak-kakak gue." dia nyengir dengan ekspresi salah tingkah. Tampan. "Apa nggak apa-apa?"
"Enggak apa-apa." Gue menarik sebuah senyum tipis. "Terlalu banyak kenangan tentang dia di kamar ini. Bakal lebih baik kalau ada jejak orang lain selain Manda yang bisa gue ingat."
"Hm. Okay." Dia melangkah dengan gerak pasti. Gue memandang pada dada bidangnya sementara dia mempersempit jarak diantara kita. Dada lebar itu pernah menjadi sandaran gue lebih dari satu kali. Kedua tangan itu pernah merengkuh gue dalam dekapan. Ah, mendadak gue merasa ingin dipeluk.
"Sori gue datang sepagi ini."
"Enggak apa-apa. Kebetulan gue juga lagi bingung mau ngapain."
"Your bedroom is pretty." Adrian berkata sementara dia mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan, kemudian matanya berhenti pada gambar wajah gue yang dia buat beberapa waktu lalu. Gambar itu sudah gue bingkai dan gantungkan di dinding, bersama dengan gambar-gambar lainnya milik Alamanda.
"Ah ya. Gambar itu adalah gambar pertama yang bukan hasil karya Manda." Gue mencoba terdengar baik-baik saja. Well, gue memang baik-baik saja. Tapi sering sekali memori tentang adik gue menyerang gue pada titik terlemah. Gue belum bisa memikirkannya tanpa harus meneteskan air mata. "Gue harap lo mau menggambar buat gue... lebih banyak. So I can replace hers."
"Melanjutkan hidup bukan berarti harus melupakan mereka yang sudah pergi." Adrian berkata sambil mengulurkan tangan, menyelipkan sejumput helai rambut gue ke belakang telinga. Lantas dia tersenyum sebelum bangkit dari tepi ranjang dan melangkah mendekati tembok. Cowok itu berdiri sejenak dengan mata mengamati, memberikan gue pemandangan bebas pada punggungnya yang lebar. Lalu dia berbalik dan menunjuk salah satu gambar.
Gambar yang membuat kerongkongan gue serasa tersumbat oleh bongkahan pahit. Gambar itu adalah gambar yang Alamanda buat pada pagi hari sebelum dia pergi. Gambar seorang Ayah dan anak perempuannya yang dikepang dua. Gue membenci Ayah, tapi gue nggak bisa membuang gambar itu.
"Did she make this?"
Dengan terpatah, gue mengangguk. "In that morning right before she departed." Gue berkata pahit. "Dia selalu rindu Ayah. It's a shame that the old man is no longer care for her."
"Mungkin dia nggak tau apa yang terjadi? Did you call him?"
"Nomornya salah. Dan gue nggak tau. Gue udah lama putus kontak sama keluarga Ayah sejak laki-laki itu meninggalkan rumah dan pindah ke Jogja. Bareng istri barunya."
"Kenapa lo nggak nyamperin kesana?"
Bibir gue bergetar ketika gue menjawab. "Buat apa?"
"Untuk ngasih tau dia."
"Dia nggak akan peduli."
"Yah, mungkin aja dia nggak akan peduli." Adrian menatap dengan penuh pengertian. "Tapi setidaknya, lo bisa mendapat jawaban dari pertanyaan yang lo punya. Biar lo bisa berhenti mencari."
"Itu cuma buang-buang waktu, Adrian."
"Kita semua punya masa lalu, Lea. Baik atau buruk. Itu yang membuat kita menjadi kita yang sekarang. Lo nggak bisa terus-terusan memusuhi masa lalu lo. Lo harus mencoba berdamai dan menerima itu."
Gue nggak menjawab sementara Adrian berbalik dan kembali mendekati gue. Dia duduk di pinggir ranjang, lantas sebelum gue bisa menduga apa yang akan terjadi, tangannya terulur meraih jemari gue.
"Let's do a road trip and meet him."
Gue mengangkat wajah gue dengan ekspresi nggak percaya. Tapi dia masih tetap menatap gue dengan keyakinan yang sama. "Adrian..."
"Manda once told me that road trip to Jogja is one of your biggest dreams. Let's do that. Seminggu sebelum ujian adalah hari tenang. Kita bisa pergi. Mama bakal ngasih izin. Dan gue yakin, Bunda lo pun begitu." Katanya, senyum masih menghias wajahnya yang yang menawan. "Bring that artwork and give it to your father. Dia perlu tau, Lea. Bagaimanapun, Manda adalah anaknya."
Gue menarik napas. Mulut gue sudah siap melontarkan sejuta alasan untuk menolak, namun matanya berhasil membungkam mulut gue. Alih-alih membantah, gue justru mengangguk dengan terpatah.
"Good." Bisiknya.
Gue tidak melakukan apapun, selain menarik sebuah senyum. Sesuatu yang amat kontras dengan kondisi mata gue yang kini digenangi oleh air. Dengan sekali kerjapan mata, air mata itu meluncur jatuh. Tapi dengan cepat, Adrian mengusap pipi gue dengan jarinya, menghentikan air mata itu sebelum mencapai garis rahang.
"Don't ever cry again, okay?" dia berkata. "Because I'll always be here."
Kemudian dia pun tersenyum. Hingga beberapa menit berikutnya, tidak ada apapun selain suara kepak sayap tawon diantara dedaunan di luar jendela, hela napas, dan pandangan mata diantara kita berdua.
[][][]
a/n : Muehehehe
karena gue baik hati
gue kasih clue
ini adalah awal dari relationship adrian-lea
dan jogja akan jadi saksi (hasik)
tapi gue sedemen itu sama jogja jadi ya sehingga
wkwkwk
soal ending
ada dua pilihan
sad atau happy
sad tidak bersama azalea
happy tidak bersama azalea
eehhhh maksudnya bersama azalea wkwkwk
oke deh thanks udah baca luv
ciao.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro