#13
https://youtu.be/eD0XEH3qVCk
Gue ingat ketika pertama kali gue bertemu dengan Alamanda.
Rasanya aneh, mengingat jeda antar usia kita yang hanya terpaut tiga tahun. Orang-orang bilang gue terlalu kecil untuk mengerti, tapi faktanya, benak gue merekam semua yang terjadi hari itu dengan rapi. Hari itu adalah hari berhujan, dimana Ayah membawa gue ke sebuah tempat. Bau antiseptik mewarnai udara, tembok putih berderet dimana-mana. Ada secercah rasa takut yang mengecupi perasaan gue, namun semuanya menghilang kala Ayah membuka pintu, dan gue melihat Bunda melambaikan tangan.
Dia begitu kecil. Begitu rapuh. Tidak lebih besar dari boneka beruang yang kerap gue peluk sebelum gue pergi tidur. Makhluk itu tidak mengeluarkan suara apapun. Matanya terpejam. Pipinya merah seperti semburat warna sakura di musim semi. Bunda masih tersenyum, tetapi gue menatap makhluk itu dengan aneh. Siapa dia? Kenapa dia ada disini? Dari mana dia datang? Kenapa dia hanya diam, tertidur dan mendengkur? Kenapa dia tidak berdiri dan berjalan seperti gue?
Lalu kemudian, makhluk itu bersendawa, disusul oleh kedua matanya yang perlahan terbuka. Bening, irisnya mengarah pada gue. Dalam sekejap, gue seperti kehilangan kata-kata. Dia masih memandang gue, seperti tengah mencoba meneliti. Kami seperti orang asing yang baru dipertemukan dan sedang berusaha mengenali satu sama lain. Gue sudah siap seandainya dia mengeluarkan suara-suara aneh atau bahkan tangisan. Bukannya bayi selalu seperti itu? Mereka menangis keras, menuntut orang lain untuk mengerti apa yang mereka maksud ketika mereka belum bisa berkomunikasi dengan jelas.
Tetapi Alamanda tidak menangis.
Bibirnya justru bergerak, membentuk sesuatu yang gue sebut sebagai tawa. Dengan ragu, gue mengulurkan tangan untuk menyentuh lengannya yang mungil. Lembut. Dan lagi, dia kembali tertawa.
Sejak hari itu, gue punya tambahan orang yang akan gue cari setiap gue pulang ke rumah selepas bermain. Bukan hanya Bunda. Bukan hanya Ayah. Tapi makhluk mungil dalam kain bedong berwarna merah jambu yang gue panggil Alamanda. Lantas waktu berjalan. Dia merangkak. Berjalan. Bicara. Ada yang meleleh di hati gue ketika dia memanggil 'Kak Lea' untuk yang pertama kalinya. Seperti ada fase baru yang terlewati. Gue ingin memeluknya, meraihnya ke dalam dekapan gue, namun waktu itu gue hanya tersenyum sambil menusuk pipinya yang tembem dengan jari telunjuk.
Lalu gue mulai masuk sekolah. Jaraknya tidak begitu jauh dari rumah. Alamanda yang waktu itu baru berumur empat tahun tidak pernah absen mengantar gue sampai gerbang tiap pagi. Bersama Ayah, jika kebetulan beliau sedang libur. Atau bersama Bunda. Alamanda akan melambaikan tangan, menyemangati gue sebelum gue berjalan melewati gerbang seraya mengucapkan janji kalau dia akan kembali menjemput gue nanti siang. Hari berlalu. Dan pada akhirnya, gue pun melakukan hal yang sama ketika Alamanda masuk ke sebuah taman kanak-kanak. Gue akan mengantarnya sampai pintu depan bangunan sekolah taman kanak-kanaknya—tentu hanya jika gue sedang libur atau mendapat jadwal masuk sedikit lebih siang dari jam biasa.
Rasanya hidup gue tidak bisa lebih sempurna lagi. Gue punya Bunda yang tidak pernah luput menyajikan masakan enak di meja makan. Gue punya Ayah yang selalu menyempatkan diri mendongengkan cerita tentang puteri dan pangeran dari antah-berantah sebelum kami pergi tidur. Gue punya Alamanda, yang lebih dari hanya sekedar adik perempuan. Dia adalah teman. Bahkan mungkin, satu-satunya sahabat terbaik yang pernah gue miliki.
Kemudian mimpi buruk itu datang.
Ayah menghilang. Pergi begitu saja. Alamanda tidak mengerti. Dia terus-menerus bertanya dimana Ayah berada, yang akan diakhiri dengan pecahnya tangis Bunda. Bunda tidak pernah bicara, tapi diam-diam gue tahu. Ayah sudah pergi, bersama orang lain. Cintanya yang baru, entah siapa itu. Perih terasa menusuk, pelan-pelan merayap dalam dada dan menetap bertahun-tahun disana. Kehidupan gue seperti limbung. Keseimbangan menghilang. Gue sempat berpikir untuk menyudahi semuanya, kalau saja gue nggak ingat gue masih punya tanggung jawab.
Bukan hanya Bunda, tapi juga Alamanda.
Gue bertahan. Bukan untuk gue, namun untuk mereka. Karena mereka pantas mendapatkan yang lebih baik. Karena nggak seperti Ayah, gue nggak akan menyerah untuk keduanya.
Tapi kini alasan itu nggak berarti lagi.
Ada sebagian dari diri gue yang menolak untuk percaya. Alamanda mungkin berada di suatu tempat sekarang. Tersesat. Tidak punya cukup ongkos untuk pulang. Disekap orang jahat. Atau apapun itu. Dia masih hidup. Dia bukan sosok asing yang terbakar di dalam gedung toko buku yang sudah rata dengan tanah. Dia nggak akan bersikap seegois itu meninggalkan gue. Dia sudah berjanji dia akan selalu ada untuk gue. Dia nggak akan seperti Ayah yang pergi tanpa pesan, menghilang tanpa jejak, bahkan tanpa satu titik pun aroma di udara.
Alamanda nggak akan pernah mengingkari janjinya.
Meski mereka bilang tiga hari sudah berlalu. Walau Bunda sudah terlihat menerima semuanya. Tanpa peduli bagaimana orang-orang sudah berkumpul dan melantunkan ayat suci untuk mereka yang tidak lagi berada di dunia. Gue nggak mau percaya. Alamanda akan pulang. Gue yakin itu. Entah besok. Lusa. Atau keesokan harinya lagi. Dia akan pulang. Dia akan muncul di ambang pintu dengan raut wajah penuh bersalah, meminta maaf karena sudah membuat khawatir semua orang.
Dia akan pulang.
Tanpa gue ketahui apa penyebabnya, sekujur gue gemetar. Seolah ada sebentuk rasa dingin asing yang menyerang. Gigil itu kian nyata, membuat gue harus menekuk lutut dan memeluknya dengan kedua tangan. Tembok terasa begitu keras di belakang tulang punggung gue, namun gue nggak peduli. Rasanya seperti beku datang entah dari mana, membuat getar tubuh gue semakin kentara. Lantas tanpa gue sadar, satu-dua air mata berjatuhan. Turun berkejaran, seperti aliran air pada tebing yang erosi. Tak terkontrol. Tak terbendung. Hanya butuh sejenak, dan wajah gue tergenangi air mata.
Dia akan pulang.
Tapi kenapa tangis gue justru kian keras? Seperti ada bagian dari diri yang mengingkari. Seolah menegaskan bahwa sekeras apapun gue mencoba menolak, dia memang tidak akan pernah kembali. Karena dia sudah pergi. Tanpa kesan. Tanpa pesan. Hanya dengan meninggalkan resah. Dan sekubang luka.
"Azalea." Pelan, gue mendengar suara ketukan di pintu. Itu Bunda. Gue nggak perlu melihatnya untuk bisa membayangkan bagaimana letih wajahnya sekarang. Keletihan yang sia-sia, Bunda. Sia-sia, karena Alamanda belum mati. Karena entah kapan, dia akan kembali.
Gue tidak menjawab, terlalu sibuk membekap mulut gue sendiri untuk mencegah ada suara tangis yang keluar.
"Azalea,"
Kenapa gue harus hidup seperti ini?
Bunda berhenti mengetuk. Dia menarik napas panjang. Pasti terasa menyakitkan. Lantas dia berlalu pergi dari muka pintu yang tertutup tanpa mengatakan apa-apa. Sementara air mata gue masih terus turun. Selebat dan serapat intensitas hujan di bulan Desember.
Gue masih terduduk di atas hamparan ubin dingin dengan tubuh menggigil ketika mata gue yang berkabut secara tidak sengaja jatuh pada sesuatu yang tergeletak di atas ranjang. Itu buku sket Alamanda. Buku yang sempat dia gambar pada pagi hari sebelum dia menghilang entah kemana. Buku dengan gambar seorang bapak dan anak perempuan yang sempat membuat lidah gue kelu. Gue tahu persis bagaimana melihat buku itu akan menyakiti gue, namun gue sama sekali kehilangan kemampuan untuk berpikir.
Pada detik berikutnya, gue telah beranjak ke arah kasur untuk meraih buku sket. Dahan pohon di luar hanya menyaksikan. Titik hujan di jendela membisu, mengiringi duka yang merambati dinding.
***
"Lo nggak ikut pulang bareng kita?" Aileen bertanya begitu prosesi pemakaman selesai. Setelah mendengar apa yang terjadi tiga hari yang lalu, Aileen, Abby dan Mama memutuskan untuk menyempatkan diri datang ke pemakaman. Entah karena Mama merasa bisa memahami bagaimana perasaan keluarga Azalea—terlebih dengan Ayah Alamanda yang sama sekali tidak menunjukkan dirinya sejak prosesi pemakaman dimulai hingga selesai—atau karena diam-diam Aileen dan Abby mengerti bahwa tidak tahu sejak kapan, Azalea punya posisi spesial bagi Adrian.
Meskipun mungkin Adrian tidak menyadarinya.
Pertanyaan Aileen membawa Adrian menghela napas panjang sebelum menatap kakak perempuannya dengan gamang. Azalea tidak menunjukkan dirinya sama sekali hingga acara pemakaman selesai. Dia tahu bagaimana gadis itu mengunci dirinya di kamar, mungkin akan selalu menolak makan jika ibunya tidak memaksanya. Dengan keadaan yang seperti itu, bagaimana bisa Adrian pulang ke rumah dan bersikap seperti seseorang yang baru saja melayat acara kematian tetangganya? Tentu saja tidak.
"Gue masih punya urusan, kak. Lo pulang duluan aja. Nyetirnya hati-hati, oke? Inget, lo bawa Mama."
Aileen berdecak. "Gue dapet SIM lebih dulu dari lo, btw. Jadi jangan songong."
Adrian tertawa kecil, namun ekspresinya langsung berubah ketika Aileen menyambung kata dengan sebuah pertanyaan.
"That girl means something to you, doesn't she?"
"Alamanda was like my little sister. Of course her death breaks my heart."
"No, not the one that departs." Aileen menatap mata hazel adik laki-lakinya dengan lekat. "Her sister. Azalea."
"She is my friend, sis."
"Kalau lebih dari temen juga gue nggak ngelarang kok."
"Gue rasanya bukan waktunya ngomongin yang kayak gitu sekarang."
"Nggak usah sensi." Aileen menimpali, sepertinya berniat bicara lebih banyak kalau saja kehadiran Abby yangt tiba-tiba tidak membuat perhatiannya teralih. Gadis itu melangkah serampangan dalam balutan terusannya yang kelam. Dia memberengut sedikit pada Aileen, yang dibalas Aileen dengan decakan berbalut sarkasme.
"Mama udah nungguin di mobil," Abby berkata dengan setengah hati sebelum berpaling pada Adrian. Well, bisa dibilang Abby dan Aileen adalah tipikal saudara ala Tom and Jerry. Mereka jarang akur. Mama pernah bercerita bahwa sebenarnya dulu, Abby dan Aileen tidak bertengkar sesering sekarang. Hubungan diantara mereka berdua memburuk begitu Adrian lahir. Keduanya berebut, sibuk ingin menjadi kakak perempuan terbaik untuk Adrian. Konyol sekali, tapi yah, meski begitu Adrian tahu bagaimana keduanya diam-diam tetap saling menyayangi.
"Bawel." Aileen menggerutu.
"Ba-cot."
"Jangan berantem," Adrian memperingatkan. Terkadang cowok itu lupa bahwa kedua gadis tersebut adalah kakak perempuannya, mengingat bagaimana dia lebih sering jadi penengah diantara mereka.
"Lo nggak balik?" Abby bertanya, persis sama dengan apa yang Aileen lontarkan sebelumnya.
"Gue masih ada urusan."
"Yaudah." Abby mengangguk.
"Hati-hati."
"Tell that to the witch." sahut Abby masam, yang langsung mendapat respon cepat dari Aileen.
"LO BILANG APA?!!"
Sepertinya baik Abby dan Aileen tidak mau membuang satu hari pun. Mereka akan selalu berdebat tidak peduli dimana pun atau kapan pun. Selama masih ada yang bisa diperdebatkan.
Setelah kedua kakaknya melangkah pergi dan berbaur dengan orang-orang yang tadi sempat hadir di pemakaman, Adrian memutar tubuhnya ke arah yang berlainan. Matanya sempat mencari-cari selama sejenak, kemudian berhenti ketika dia menemukan sosok yang dia cari. Cowok itu melangkah diantara batu nisan yang berderet, memanggil orang yang sejak tadi ingin dia temukan. Orang itu adalah Faris dan temannya yang lain. Hanya Rama dan Dio yang tidak datang karena mereka punya urusan lain.
Yah, sebetulnya teman-temannya tidak mengenal baik keluarga Azalea atau Alamanda seperti Adrian. Tetapi mereka datang sebagai wujud dukungan, juga tanda belasungkawa mengingat baik Azalea maupun Alamanda adalah rekan satu almamater mereka. Adrian sempat terkejut ketika melihat mereka datang, terutama Hana dan Raya. Dia tahu, keduanya bukan tipe orang yang mau meluangkan waktu untuk menghadiri acara milik seseorang yang tidak begitu mereka kenal, sehingga diam-diam dia bersyukur mereka mau menyempatkan diri untuk turut hadir hingga prosesi pemakaman selesai.
"You look awful, dude." Faris berujar begitu dia menyadari keberadaan Adrian, sementara yang lain ikut menghentikan aktivitas apapun yang tadi mereka lakukan.
"Tapi tetep ganteng kok, Pangeran Bavariaku." Hana menimpali.
Adrian tertawa kecil. "Makasih udah dateng."
"So, you and her are officially in relationship now?" Jev mendadak bertanya dengan salah satu alis yang diangkat. "Maksud gue, cewek galak itu. Azalea. Dia pacar lo sekarang?"
"Atas dasar apa lo ngomong gitu?"
"Karena... lo kelihatan begitu peduli. Lo bahkan mau turun ke liang lahat. People won't do that if the dead was not someone that really close to them, will they?" Raya berujar.
"She was like my little sister." Adrian mengulangi apa yang tadi sempat dia katakan pada kakaknya. "and her older sister is my friend. One of my closest friends. Jadi wajar kan?"
"Terserah lo. But I pity them," Edgar berkata. "It must be painful, isn't it? Bokap udah nggak ada. Masih harus ikut kerja part-time segala macam untuk kebutuhan sehari-hari. Adiknya meninggal dengan cara yang nggak wajar. Mana dua minggu lagi ada ujian. If I were her, I would think about suicide."
"She is not that weak."
"Lo mau ikut pulang bareng kita?"
"Enggak. Gue masih ada urusan."
"Yaudah. Sampai ketemu lagi." Jev menepuk pundak Adrian sebelum dia berlalu, diikuti oleh teman-teman mereka yang lain. Adrian menyempatkan diri berdiri sejenak, menatap hingga mereka melangkah melewati pintu gerbang komplek pemakaman sebelum menunduk untuk melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan. Hampir jam dua siang. Matahari redup karena awan mendung yang bergelayut. Bunda-nya Azalea pasti sudah kembali ke rumah, karena tadi Adrian sengaja meminta Aileen turut mengantarkan perempuan setengah baya itu. Jarak antara lahan pemakaman dengan rumah Azalea tidak terlalu jauh, sebetulnya, tapi di tengah suasana duka seperti sekarang, apapun bisa terjadi.
Kini satu-satunya kekhawatiran yang tertinggal di pikiran Adrian adalah Azalea. Gadis itu terlihat begitu hancur. Bukan sesuatu yang mengherankan, mengingat bagaimana Alamanda begitu berarti bagi gadis itu. Tapi tidak seharusnya Azalea terlampau dalam menyelami lautan duka. Hidup harus terus berjalan. Mereka yang pergi tidak akan pernah kembali tidak peduli betapa keras dia memohon pada langit. Kematian akan menjaga mereka, memeluknya erat seperti dekapan seorang ibu. Itulah mengapa yang hidup tidak seharusnya mengasihani yang mati. Karena dunia akan terus berjalan tanpa mau menunggu.
Adrian menghela napas. Dia harus menemui gadis itu. Segera.
***
Ketika Adrian tiba di rumah Azalea, suasananya tidak seramai sebelumnya. Meski begitu, Adrian bersyukur karena masih ada dari beberapa ibu-ibu tetangga sekitar yang berada disana, kebanyakan untuk menenangkan Bunda-nya Azalea. Perempuan itu terlihat terluka, rapuh, seperti dia bisa hancur menjadi partikel-partikel tanpa arti dalam hitungan detik. Melihatnya membuat Adrian terkenang pada peristiwa bertahun-tahun lalu, tentang bagaimana Mama terlihat sangat terpukul karena kematian Papa. Memori itu juga yang membuat Adrian langsung mendekat dan memeluk perempuan setengah baya itu dengan erat tanpa berpikir. Beberapa pasang mata menatap mereka, sebagian tampak berkaca-kaca. Bunda tidak mengucapkan apa-apa, namun ketika Adrian melepaskan dekapannya, mata perempuan itu terlihat basah.
"Dia di dalam?"
Bunda mengangguk, sekaligus memberikan izin bagi Adrian untuk beranjak masuk. Adrian menyempatkan diri mengusap pelan bahu Bunda sebelum berjalan melintasi ruang tengah rumah, dan berhenti tepat di depan pintu yang tertutup. Semula, Adrian mengira pintu itu terkunci. Tapi dia tetap mencoba meraih kenopnya. Sebelah alisnya terangkat tatkala pintu terbuka dengan mudah, menunjukkan bahwa Azalea sama sekali tidak menutup akses bagi orang lain untuk menyambanginya.
Bahkan mungkin, gadis itu justru menginginkan seseorang untuk datang. Seseorang yang bisa membantunya menahan rasa sakit. Seseorang yang bisa membasuh lukanya hingga denyutnya tidak lagi terasa.
Azalea berada dalam posisi yang tidak Adrian bayangkan begitu dia masuk ke kamar gadis itu. Dia terduduk di lantai, namun kepalanya berada di tepi ranjang. Gadis itu tertidur berbantalkan lengan, dengan sebuah buku sket di bawahnya. Ada jejak air mata yang jelas di sudut mata hingga pipinya. Dia terlihat begitu pucat dan kacau. Melihatnya membuat Adrian ingin menangis. Seperti ada sensasi pedih nan asing yang merambati rongga dadanya, menusuk hingga diafragmanya terasa sakit setiap kali Adrian menarik napas.
She deserves better.
Perlahan, seperti takut membuatnya terbangun, Adrian duduk di sampingnya. Mata hazel pemuda itu menatap setiap inchi bagian wajah Azalea dengan lekat. Pada garis hitam di bawah matanya. Pada kulitnya yang sembab. Pada rambutnya yang berantakan. Pada bulu matanya yang kaku karena terlalu banyak menangis. Pipinya tidak lagi memerah. Dia kehilangan rona. Kehilangan warna. Seakan tengah menunggu punah.
Lalu secara tiba-tiba, bulu mata itu bergetar disusul oleh kelopak mata yang terbuka. Adrian terkesiap saat berhadapan dengan sepasang mata cokelat gelap yang menusuk wajahnya. Awalnya, Adrian mengira Azalea akan marah. Atau berteriak menyuruhnya menjauh. Atau menamparnya seperti di rumah sakit waktu itu. Tetapi ternyata tidak. Azalea justru mengerjapkan mata, menatapnya dengan senyum lelah yang tertahan.
"She'll come home. All I have to do is wait for her."
"Enggak, Lea. Dia sudah pergi." Adrian menggigit bibir. "yang harus lo lakukan sekarang adalah merelakan."
"You're too cruel. My sister won't ever leave me. She'll come home. I know that." Azalea banyak menangis. Terlalu sering, membuat Adrian merasa muak. Dia benci melihat air mata itu. Kalau saja dia bisa melakukan sesuatu untuk membuatnya berhenti... Adrian bersumpah dia akan melakukan apapun.
"Lea,"
Bahu Azalea terguncang oleh tangisnya yang kembali pecah. Dengan suara parau, diantara isak dia kembali bicara. "You're cruel, Adrian. She is alive. I know she is."
"Listen to me." Adrian bergumam sementara tangannya terulur. Jari-jarinya menyentuh pipi Azalea, menghapus titik basah yang mengalir disana. "Dia udah pergi. Tapi itu bukan berarti lo nggak akan ketemu lagi. You'll meet her. But not today. Not tomorrow. Or the day after tomorrow. It's a long time to go. Tapi lo akan ketemu dia lagi. Saat waktunya udah tiba."
Azalea menggelengkan kepalanya berungkali. Tangisnya bertambah keras.
"I won't try to drag you out of your cave of sadness. You have to do it on your own. But I promise, I'll be here for you. I don't care if its midnight. Or even in the daylight. Until you're ready to face the reality, I'll sit with you in the dark."
Jari-jari gadis itu bergetar hebat. "If my sister is gone... then... I have no reason to stay in this world."
"You have." Adrian berkata tegas. "Liat gue, Azalea. Liat gue. Be strong. For your mother. For your friends."
Azalea masih menggeleng. Air mata kian membanjir. Matanya berlarian tanpa fokus, dipenuhi oleh kekosongan yang menyedihkan.
"Look at me!" Adrian berseru sambil menahan kedua sisi wajah Azalea. Tangannya menyentuh pipi yang basah. Matanya melebur ke kedalaman iris cokelat gelap gadis di depannya, penuh dengan nuansa tegas yang terkesan memaksa. "Be strong."
"I can't."
"Stay strong." Adrian berbisik, seperti nyaris putus asa. "For me."
"Gue nggak bisa, Adrian. Gue nggak bisa." Azalea menggigit bibirnya. "Ini menghancurkan gue lebih dari yang lo tau. Lebih dari yang gue kira."
"Yaudah. Be broken as much as possible. Then, I'll make you whole again." ujarnya. "I'll make you forget about your pain. But please... stay."
Ucapan Adrian membuat Azalea terdiam. Gadis itu tidak berhenti menangis. Air matanya masih terus turun, berkejaran hingga melewati garis rahang sampai menetes ke pakaian. Dan ke lantai. Adrian masih memandangnya dengan lekat. Dalam kesenyapan, pandangan mereka terkunci. Lalu kebekuan itu pecah saat Adrian kembali menariknya erat ke dalam pelukan.
Dia benci ini. Dia tidak seharusnya begini. Dia tidak boleh begini. Bukan karena dia tidak menyukai Adrian. Namun karena dia merasa takut.
Bagaimana jika kemudian pada akhirnya dekapan Adrian menjadi sesuatu yang paling dia butuhkan?
Bersambung.
[][][]
a/n : no comment wkwkwkwkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro