#10
Abby sedang duduk di depan laptop ketika pintu kamarnya diketuk dengan perlahan. Cewek itu melepas kacamata, merebahkan punggung ke sandaran kursi lantas memberikan persetujuan pada si pengetuk untuk masuk. Tanpa melihat, Abby sudah tau siapa orang itu. Tentu saja, Adrian. Mama masih di kantor, dan Aileen tidak akan mengorbankan harga dirinya hanya untuk mengetuk pintu sebelum masuk ke kamar Abby. Sebagai anak tertua, Aileen punya gengsi yang besar.
Adrian tersenyum lebar sesaat setelah wajahnya muncul dari balik pintu yang terkuak. Hari ini adalah hari kosong. Tidak ada jadwal di kampus karena dosen yang mengajar membatalkan kelasnya sebab sebuah urusan--yang tidak cukup penting untuk diketahui mahasiswa. Jadwal kosong adalah sebentuk anugerah, meskipun tidak jarang kelas tersebut harus membayar untuk jadwal kosong itu di kemudian hari, pada slot waktu yang sama sekali tidak manusiawi. Kelas pengganti pada jam tujuh pagi bukan sesuatu yang mudah disyukuri.
"Kenapa?" Abby bertanya. Meskipun sudah merasa bertanggung jawab pada kakak-kakak dan ibunya di usia yang sangat muda, tapi Adrian tetaplah Adrian. Dia adalah anak terkecil dalam keluarga. Juga bocah laki-laki satu-satunya. Adrian kerap meminta perhatian, entah dalam bentuk afeksi atau materi.
"Mau nanya."
"Hm?" Abby memutar kursinya mengarah pada Adrian yang kini duduk di pinggir ranjang.
"Lo nanti malem di rumah?"
"Kenapa?"
"Gue mau pergi."Adrian membalas dengan ringan, yang membuat mata Abby sontak menyipit. Jika diperhatikan, akhir-akhir ini Adrian lumayan sering pulang malam. Bahkan Abby pernah memergoki Adrian membawa jaketnya dalam sebuah kantung plastik. Bukan sesuatu yang aneh, seandainya tidak tercium aroma pakaian berbau floral dari sana. Wangi yang benar-benar khas seorang gadis.
"Pergi kemana?"
"Ke tempat temen."
Hening sejenak.
"Cewek apa cowok?"
Adrian termenung sebentar.
"Kok gue ngerasa kayak diinterogasi ya?"
"Karena gue emang lagi menginterogasi lo." Wajah Abby dialiri oleh ekspresi nakal yang terkesan jenaka. "Hayo, mau nge-date ya?"
"Bukan. Temen beneran kok."
"Cewek apa cowok?"
"Cewek."
"Gue kenal lo udah dua puluh tahun, Adrian sayang. Lo jarang punya teman cewek dari dulu. Bahkan dari TK. Kalau sekarang lo tiba-tiba mau-mau aja pergi malam-malam sama cewek itu, berarti cewek itu bukan hanya sekedar teman."
"Lo bicara seolah-olah gue ini gay."
"Percaya atau enggak, gue, iblis neraka sama Mama pernah hampir ngebawa lo ke psikiater." Iblis neraka yang dimaksud Abby adalah tentu saja tidak lain dan tidak bukan, Aileen.
"Hah?"
"Iya, soalnya lo dingin banget sama cewek. Khawatir aja lo homo."
"Kak!"
"Apa?"
"Gue normal."
"Iya tau. Makanya sekarang punya pacar kan?"
"Dia bukan pacar gue."
"Tapi kepengen lo jadiin pacar."
"Bukan gitu."
"Terus gimana?"
"Ah, anjir! Mana pernah gue menang debat kalau sama lo!" Adrian hampir saja mengacak rambutnya karena frustrasi.
Abby tertawa. Renyah. "Tuh udah tau."
"Ya intinya, nanti malem lo ada di rumah apa enggak?"
"Apa hubungannya?"
"Karena kalau lo udah ada acara lain di luar, gue nggak jadi pergi."
"Kok gitu?"
Adrian menarik napas. "Soalnya nanti rumah kosong. Aileen lembur hari ini. Gue nggak mau Mama makan malam sendirian."
Abby membisu. Selama sebentar, matanya menatap pada Adrian dengan lekat. Lalu gadis itu menarik napas panjang sambil menyunggingkan segaris senyum. Sejak dulu, Adrian memang begitu. Dia bukan tipikal anak yang benar-benar rumahan, tapi juga selalu tahu waktu setiap kali pergi keluar bersama teman-teman sepermainan. Terutama, Adrian berusaha agar Mama tidak merasa kesepian. Mereka semua sudah tahu bahwa kematian Papa bertahun-tahun lampau telah turut pula membawa separuh nyawa Mama. Cowok itu selalu berusaha menjadi pengganti kehadiran Papa di rumah, meskipun dia tahu kalau usahanya tidak akan pernah cukup.
"Yaudah, pergi aja."
"Maksudnya?"
"Gue di rumah malam ini."
"Beneran?"
Abby menyentakkan kepala. "Kapan gue pernah bohong?"
"Sering."
Cewek itu melengos. "Untuk yang kali ini gue nggak bohong."
"Thanks, Kak." Adrian bangkit dari tepi ranjang, melangkah melewati Abby sebelum kemudian berbalik sepersekian detik berikutnya. Pemuda itu mencium pipi Abby sekilas, lalu sibuk tertawa keras setelahnya.
"Yan," Sejenak sebelum Adrian berjalan melewati pintu, Abby memanggil.
"Iya?"
"Kalau udah jadian jangan lupa bawa cewek lo ke rumah."
"Dia bukan pacar gue."
"Tapi calon kan?" Abby terkekeh dengan wajah mengejek. "Makanya gue bilang 'kalau udah jadian'."
"Terserah lo."
Abby melepaskan gelak kecil, yang Adrian balas dengan gerakan menutup pintu. Setelah memastikan Adrian sudah benar-benar melangkah pergi, Abby meraih ponselnya. Dia mengetikkan sebarisan pesan pendek untuk sosok di seberang sana. Sebentuk jiwa yang telah menjadi teman hatinya hampir tiga tahun lamanya.
To : Rei
Malem ini nggak usah makan di luar. Makan di rumah gue aja.
Kasian Mama sendirian.
***
Adrian tidak tahu sejak kapan dia suka mengamati Azalea bekerja. Dia bahkan hampir bisa menebak bagaimana gestur yang Azalea tunjukkan pada satu waktu, lalu akan berubah menjadi apa pada waktu berikutnya. Cara gadis itu meraih cup atau menyapa pelanggan dengan sarkasme berbalut keramahan palsu terasa menggelitik. Azalea jelas tidak menyukai hampir segala jenis pelanggan yang datang--yang mayoritas didominasi anak-anak sekolah berlagak sok keren dengan pakaian seksi yang lebih pantas dipakai oleh wanita berusia pertengahan dua puluhan. Atau bagaimana bulu mata palsu yang mereka pakai lebih mirip kipas daripada bulu mata.
Entah sejak kapan, anak-anak itu seperti sudah mendewasa sebelum waktunya. Masa-masa terlewat. Serupa frame dalam sebuah video yang dipercepat. Betapa menyedihkan. Mereka tidak pernah tahu, bahwa saat mereka sudah benar-benar dewasa nanti, memori masa kecil adalah salah satu hal yang akan paling mereka rindukan.
Tapi toh mereka tidak punya kenangan apapun untuk diingat. Mungkin. Karena mereka sudah melompati satu waktu paling berarti. Hanya demi satu alasan: agar tidak tertinggal oleh pacuan zaman.
Sesuatu yang kemudian mengalihkan perhatian Adrian dari sosok barista di balik konter adalah getaran dari ponsel. Adrian membukanya. Ada beberapa pesan baru di grup kelasnya, juga satu postingan Hana pada grup anak-anak cowok--yang telah dikudeta oleh seorang Yohana dengan sempurna.
Perkumpulan Para Ajudan (7)
Hana : Nyoyyyyyy!!
Parama SW : Baru ngeh gue
Parama SW : Ini anak kenapa belum di-kick juga?!!
Hana : Apa sih kamu kira aku bola
Faris Rafandra : Iyanya, gimana sih Ram.
Faris Rafandra : Nih anak mana punya bola.
Hana : MAKSUD KAMU
Faris Rafandra : Badan lo sedatar jalan tol Cipali
Dio Alvaro : Jangan gitu sama cewek
Edgar D. S : Badan Hana nggak datar kok
Hana : Aku padamu :*
J. Mahardika : Padamunya sama siapa nih
Parama SW : Padamunya sama siapa nih (2)
Faris Rafandra : Padamunya sama siapa nih (3)
Edgar D. S : Badan Hana kaga datar
Edgar D. S : Banyak tonjolan lemak disana-sini
Edgar D. S : Bayangkan kalau ada gempa bumi
Edgar D. S : Lemaknya bergoyang-goyang
Hana : Beraq scheboon.
Faris Rafandra : Sesama berak jangan saling menghina.
Hana : Berisik lo bintang iklan shampoo
Hana sent a photo
Hana : Aku?
Hana : Jadi bintang iklan shampo lain?
Hana : WAGWAGWAGWAGWAG
Faris Rafandra : ETAI
Edgar D. S : Sourcenya darimana sist
Parama SW : Faris ternyata kamu
Parama SW : Selama ini kutiada menyangka
Faris Rafandra : TOLOL
Faris Rafandra : Itutuh udah lama banget
Faris Rafandra : Buat portofolionya Cleo, nyet
J. Mahardika : Pesan moral
J. Mahardika : Jangan punya FWB yang seorang makeup artist.
Hana : Wkwkwk muka lo
Hana : Kayak tomingse
Hana : Sanchai
Hana : Zhi pa wo zi ji hui ai shang niiiiiii~
Hana : Bu gan rang zi ji kao de tai jin~
J. Mahardika : Lo tuh tai
Edgar D. S : Tapi daripada Faris, masih lebih cocokan elo sih jadi bintang iklan shampo
Hana : Karena aku badai kan~
Edgar D. S : Karena muka lo kayak ketombe.
Hana : Bacot, mulut lo bau jamban.
Hana sent a photo
Hana : Ampun kak jangan nodai aku :'(
Edgar D. S : Bekantan
Hana : Kamu
J. Mahardika : Tolong jangan bawa masalah rumah tangga kesini
Edgar D. S : Daripada berumah tangga sama nih kutu kasur
Edgar D. S : Mending gue tenggelam dalam lumpur lapindo
Hana : Siapa yang juga mau sama orang kaya lu
Adrian : Stop
J. Mahardika : Kau telah mencuri hatiku, hatikuuu~
Adrian : Tai
J. Mahardika : Yang gak ngampus mah diem aja.
Adrian : Bebas
Faris Rafandra : Yaelah, nggak ada kelas malah nongkrong di rumah
Faris Rafandra : Apa enaknya
Adrian : Gue nggak di rumah
Parama SW : Dimana lo?
Adrian : Sbux
J. Mahardika : Bau-baunya
J. Mahardika : Ngedate
Adrian : Engga
Edgar D. S sent a photo
Edgar D. S : Karma itu ada :)
Edgar D. S : Roda itu berputar :)
Dio Alvaro : Cute
Hana : Apasih lo kira kipas angin berputar
Faris Rafandra : Bacot
Faris Rafandra : Tebak-tebakan aja
Faris Rafandra : Hewan-hewan apa yang nggak bisa nyantai?
J. Mahardika : Apa?
Parama SW : Bolot kenapa ditanggepin
J. Mahardika : Kepo, bray
Faris Rafandra : CANT CHILL
Hana : ...
J. Mahardika : Hah
Parama SW sent a photo
Edgar D. S : Kick Hana
Edgar D. S removed Hana from the group
Dio Alvaro : ...
J. Mahardika : Fix besok perang dunia
"Iced americano. Lagi. Lo abis ngeronda apa gimana sih?" suara Azalea disusul oleh sebuah gelas berisi cairan kelat dengan embun di atas permukaan mika membuat Adrian mengangkat wajah dari ponsel. Mata Azalea adalah hal pertama yang dia lihat, sempat membuatnya bingung harus berkata-kata meski hanya sejenak.
"Because your iced americano is the best."
Azalea tertawa, lantas menarik kursi di depan Adrian dan duduk. Dengan sekali lirik pada arloji yang melingkari pergelangan tangannya, Adrian langsung mengerti. Shift Azalea sudah berakhir. Langit di luar juga sudah mulai dipenuhi oleh bias jingga, menunjukkan tanda-tanda petang yang akan segera menjemput.
"Nggak usah bermulut manis, Adrian."
"Gue bermulut manis kayak gimanapun juga nggak akan ada efeknya buat lo kan?"
Senyap sedetik.
"Enggak."
Adrian tersenyum lebar. Menawan. Sesuai dugaan, batin Azalea bergumam.
"Good. Because I really like you." Adrian terkekeh. "as a friend."
"Lucunya, kadang sesuatu yang berbeda seperti yang lo tau... Kayak pacaran or even marriage, semuanya bermula dari satu kata. Teman."
"Karena orang nggak akan berteman dekat dengan orang yang nggak bikin mereka merasa nyaman."
"So, do I make you comfortable?"
Adrian tertawa kecil. "Lo lebih dari rasa nyaman."
Azalea terdiam tapi kemudian matanya menatap ke luar kaca kafe saat dia mendengar suara rinai hujan yang jatuh menerpa tanah. Hujan mulanya hanya berupa tirai jarang, gerimis yang jatuh satu-satu pada jarak relatif jauh. Tapi kemudian perlahan, curahan air itu kian menderas, membentuk tabir tebal yang memperpendek jarak pandang.
"Pretty."
"Apanya?" salah satu alis Adrian berkerut.
"Hujan."
"You know what's prettier than the rain?"
Ekspresi geli tersirat di wajah Azalea, disusul oleh sebuah gelengan kepala.
"You."
"Bohong." ujar gadis itu, setengah tergelak.
"Lo tau, gue suka merasa heran sama lo. Juga cewek-cewek yang lain. Kalian begitu mudah menilai seseorang cantik. Oh, bajunya bagus. Oh, rambutnya rapi. Oh, dia cantik. Oh, kakinya kecil. Oh, dia langsing." Adrian berujar. "But why can't you tell it to yourself?"
"Karena--"
"Jangan bilang karena lo nggak ngerasa cantik. Karena semua perempuan, undoubtly, tanpa terkecuali, terlahir cantik."
"Silly." gumam Azalea dengan suara yang lebih mirip bisikan. Lalu gadis itu tersentak, seperti baru teringat sesuatu. Dia berucap pada Adrian, meminta Adrian menunggu sekejap sebelum kembali lagi tidak sampai setengah menit kemudian. Kali ini dengan sebuah buku sket di tangannya. Adrian mengenali buku sket itu. Buku itu milik Alamanda.
"Manda bikin ini buat lo." kata gadis itu sambil membuka buku sket tersebut pada satu halaman. "Awalnya dia bikin pake cat air. Tapi ternyata dia belum sejago itu. Jadi dia bikin lagi. But she's too scared to show it directly by herself. Jadi gue yang bawa ini. Kalau menurut lo bagus, lo bisa ambil gambarnya. Kalau lo mau yang pake cat air, Manda bakal coba bikin lagi."
"I look like a son of Hermes."
"Actually, no." Azalea terkikik. "You're an angel."
"Angel?"
"Because you're so ethereal. Almost too good to be true."
"If I'm an Angel then Alamanda must be goddess." Wajah Adrian terangkat, matanya memandang ke kedalaman iris cokelat gelap Azalea. "And you too."
Azalea tidak menyahut, tapi setangkai senyum merekah di wajahnya.
"Gue akan terima yang ini. Thank you. Your sister is really a talented artist."
"So are you."
Kemudian mereka berdua saling melempar ekspresi sumringah. Segalanya terlihat baik-baik saja. Setenang telaga musim semi yang begitu dalam. Tanpa riak. Tanpa gejolak. Tapi seperti pepatah lama yang teruntai tanpa pernah hilang oleh sapuan masa, keadaan tidak akan pernah sama. Segalanya berubah.
Dan mereka selalu berkata, tenang senantiasa ada sebelum badai menerpa.
Bersambung.
[][][]
a/n : Haluw.
Maaf baru posting lagi.
Maaf juga agak-agak gimana gitu hahahak.
Di chapter ini masih tenang, but next chapter would be a heartbreaking one.
Anyway, visualisasi Abby itu Jisoo Black Pink. Ada di konten mulmed.
Buat Aileen.
Mm, ntar yah.
Oke deh, sekian dan terimakasih.
Ciao.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro