#03
Adrian meraih kalender dari atas meja belajarnya, mencermati sebentar isi kalender itu hingga dia sadar kalau hari ini merupakan salah satu dari beberapa tanggal yang telah dia lingkari menggunakan spidol merah. Bukan, itu bukan jadwal kencan atau deadline dari tugasnya, melainkan tanggal-tanggal dimana ibu dan kedua kakaknya mengalami menstruasi bulanan mereka. Menjadi satu-satunya laki-laki dalam rumah yang penuh dengan perempuan pada usia yang masih belia membuat Adrian belajar tentang hal-hal kewanitaan. Bukan karena paksaan, atau karena penindasan dari para puteri dalam rumah setiap kali hormon mereka bergejolak kala datang bulan, tetapi karena Adrian berpikir itu dibutuhkan.
Meski tidak punya banyak memori dengan mendiang ayahnya, Adrian punya beberapa ingatan yang cukup berharga untuk terus dikenang. Ayahnya pernah bilang suatu kali, mengenai sesuatu yang harus dilakukan oleh laki-laki. Katanya, laki-laki ada lebih dahulu dari perempuan bukan untuk mengatur, menguasai, apalagi memerintah tanpa peduli pada keadaan. Laki-laki diciptakan untuk menjaga sosok istimewa yang tercipta dari salah satu bagian terpenting tubuhnya. Bagian yang paling dekat dengan kehidupan. Seruas jeruji yang menjaga jantung dan hati.
Karena itu, Adrian merasa perlu melindungi ibu dan kedua kakak perempuannya. Membuat mereka nyaman sekuat yang dia bisa. Termasuk memahami bagaimana kebiasaan dan karakter mereka tanpa mesti bertanya. Mulanya terasa sulit, karena Adrian juga tidak punya bakat jadi dukun yang pintar menebak-nebak. Tetapi setelah bertahun-tahun berlalu, Adrian jadi tahu apa yang harus dan tidak harus dilakukan ketika menghadapi perempuan.
Walaupun begitu, Adrian harus mengakui bahwa predikat cewek tergalak yang pernah ditemuinya patut disematkan pada sosok Azalea Pramudita. Sumpah, cewek itu sensian banget. Adrian berpikir bahwa Lea selalu menahan diri untuk tidak menusuknya setiap kali mereka bertemu pandang. Gadis itu terlihat seperti psikopat yang bernafsu membunuhnya dalam sekali lumat. Mengerikan, tapi justru membuatnya makin merasa penasaran.
Rumah sepi. Abby belum balik dari kantor. Begitupun dengan Mama. Aileen paling masih ada di kamarnya, nongkrong di depan laptop dengan mata berkaca-kaca menyaksikan drama korea. Tadi, ketika lewat di depan pintu kamarnya, samar Adrian mendengar isak lirih. Bukan berarti Aileen menangis karena sesuatu yang serius seperti masalah deadline pekerjaannya sebagai kreator konten komunikasi visual telah menggunung, melainkan karena mood yang tidak stabil akibat datang bulan. Adrian berani taruhan, cewek itu pasti sedang menonton melodrama korea sekarang.
Tanpa mengatakan apapun, Adrian meraih kunci mobil dan berjalan ke garasi. Tidak butuh waktu lama hingga mobilnya meluncur keluar dari sana. Setelah tersenyum singkat pada Pak Parjo yang sudah berjasa membukakan pintu pagar hingga Adrian tidak perlu bolak-balik turun-naik mobil, cowok itu melarikan kendaraannya ke jalan raya.
Dia tidak berniat pergi ke rumah Aries, meski ini jumat malam. Aneh, pikirannya justru tertuju pada Lea. Kesannya pada gadis itu tidak pernah tetap, serupa muka air laut yang terpengaruh oleh gravitasi rembulan. Ketika pertama kali bertemu dengan Lea, Adrian berpikir kalau Lea adalah cewek lancang yang egois, berpikir dirinya sungguh istimewa hingga dia harus mendapatkan apapun yang dia mau. Lantas tiba-tiba Lea berhenti memburunya, bahkan mengabaikannya dan menolak pertolongan yang dia tawarkan. Adrian tidak pernah lupa wajah Lea yang terlihat pucat ketika cewek itu menyandang ransel beratnya di bahu, berjalan hampir terseok dengan kepala yang tetap tegak--jika dipikir-pikir, gadis itu terlihat hampir selalu pucat. Entah karena wajahnya yang bersih dari sapuan kuas makeup, atau karena dia hanya mengisi perutnya dengan cairan kafein saban malam.
Citra gadis sombong yang manja perlahan memudar, terganti oleh sosok gadis keras-kepala yang berjuang keras untuk hidup. Paling tidak, itu yang Adrian simpulkan ketika dia melihat bagaimana telah usang sepatu yang gadis itu kenakan. Atau ponselnya yang lebih mirip peninggalan jaman purba daripada sebentuk teknologi era millenium. Wajahnya selalu dipenuhi kerut ekspresi yang dalam. Hanya satu kali Adrian melihat air muka Lea yang jauh dari kata tegang, yaitu ketika gadis itu tidak sadarkan diri pasca jatuh tersungkur di halaman kafe tempo hari.
Wajah gadis itu damai dalam ketidaksadaran, walau berlumur dengan cairan merah beraroma karat dan garam.
Bayangan wajah Lea yang terluka terganti oleh sosoknya yang berlari di tengah hujan pada seekor anak kucing yang terpincang. Mungkin dia lupa kalau dia memakai kemeja putih hari itu. Rembesan air membuat segalanya jadi transparan. Adrian bisa melihat dengan jelas warna pakaian dalamnya, membuatnya secara refleks langsung memalingkan muka ke arah lain. Dia tahu, Lea pasti merasa malu. Dan dia tidak mau membuat gadis manapun merasa dirinya dipermalukan. Karena itulah Adrian memberikan jaketnya, sambil berusaha menjaga matanya agar tidak jatuh pada lekuk tubuh Lea.
Adrian memejamkan matanya sejenak. Dia tidak memikirkan gadis itu karena dia punya rasa yang lain. Tentu saja tidak. Adrian bukan pakar cinta, juga bukan cowok yang hobi menghancurkan hati para gadis serupa Jeviar, Faris atau bahkan Rama. Dia hanya cowok biasa yang jarang jatuh hati, meski selalu memperlakukan setiap perempuan layaknya putri. Azalea hanya berhasil membuatnya merasa bersalah, sekaligus penasaran.
Terlalu dalam melamun membuat Adrian tidak sadar kalau kini dia telah dekat dengan sebuah toko kue di tengah sentral bisnis ibukota yang menjadi langganannya setiap bulan. Perempuan-perempuan tercinta di rumahnya mungkin punya hobi dan karakter yang saling berbeda satu sama lain, namun soal selera lidah, mereka tetap serupa. Entah sejak kapan, Adrian selalu menyempatkan diri mampir tiga kali ke toko kue tersebut tiap bulan. Kedua kakak perempuan dan ibunya paling suka menyantap pai kacang setiap kali jadwal menstruasi mereka tiba. Mungkin hanya sugesti, tapi itu terbukti membuat mood swings mereka mereda. Walaupun hanya sedikit. Hari ini, Adrian membelinya untuk Aileen.
Saat Adrian masuk ke dalam toko kue, sosok yang terasa familiar langsung membuatnya berhenti bergerak selama sepersekian detik. Seorang gadis tengah memunggunginya, tampak bicara serius pada pramuniaga di balik deretan etalase kaca. Rambut panjangnya tergerai. Dia mengenakan parka warna hijau army hari ini. Gadis itu bisa saja siapapun. Namun ransel besar yang disandangnya di pundak membuat Adrian yakin kalau dia memang mengenal gadis itu.
"Entah sejak kapan, kemana pun gue pergi selalu ada lo di sana." Adrian memulai. Bukan untuk modus. Apalagi ngegombal. Dia hanya tidak tahu kalimat yang paling tepat untuk dilontarkan. Sepotong kata sapa "hai" atau "halo" terkesan seperti basa-basi basi. Dan meski tidak pernah bertukar apapun selain kalimat bernada tajam dengan gadis itu, Adrian tahu kalau Lea benci berbasa-basi.
Secara refleks Lea menoleh. Wajahnya yang semula terlihat senang langsung berubah masam. Bibirnya tercebik, lalu dia membalas.
"Lo?"
***
Gue menatap pada kue tart berukuran medium yang berada dalam kotak kardus berlogo toko kue ini. Aroma cokelat dan ceri merah menguar di udara, membuat senyum gue tertarik makin lebar tanpa bisa ditahan. Hari ini Manda ulang tahun--dan itu salah satu alasan kenapa gue sempat mengejar-ngejar Adrian untuk memintanya bertemu dengan Manda--adik perempuan gue yang juga mahasiswa baru di kampus yang sama dengan gue maupun Adrian.
Walaupun gue nggak bisa memenuhi janji gue membuat Adrian datang menemuinya di hari ulang tahunnya, paling nggak gue bisa memberikan kue ulang tahun. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ada acara potong-kue di hari ulang tahun di rumah. Kepergian Ayah seperti membawa semua kebahagiaan yang tersisa. Namun, gue nggak bisa membiarkan kebekuan di rumah tetap bertahan sampai tahun ini. Manda udah berjuang keras untuk membanggakan bukan hanya Mama, tapi juga gue. Ulang tahun yang sepi dan tidak istimewa bukan sesuatu yang pantas dia dapatkan.
"Entah sejak kapan, kemana pun gue pergi selalu ada lo disana."
Sebuah suara terdengar, membuat gue sontak mengangkat wajah dan menoleh. Seraut wajah itu memenuhi pandangan gue, membuat senyum gue perlahan hilang terganti oleh lipatan di dahi.
"Lo?"
Adrian mengangkat bahu, mengalihkan pandang pada pramuniaga yang baru saja berjalan mendekatinya diiringi senyum manis. Adrian menyebutkan serentetan kalimat, dan pramuniaga itu langsung bergerak cekatan mengambilkan kue yang dia pesan.
"Selow. Gue nggak ngikutin lo. Gue selalu datang ke toko kue ini tiap bulan."
Bukan berarti penilaian gue buat dia udah berubah sepenuhnya, tapi setelah kejadian hujan di selasar gedung FISIP tempo hari, gue kira gue akan sangat kurang ajar jika bersikap nggak sopan atau sekasar sebelumnya. Dia sudah membantu gue. Gue nggak tau apa jadinya kalau dia nggak meminjamkan jaketnya. Kemungkinan paling apes adalah gue jadi bahan tontonan satu fakultas, dan skenario terburuk adalah gue jadi korban pelecehan seksual ketika pulang naik busway.
"Gue nggak bermaksud begitu."
Adrian menatap gue. "Good, then. Setiap kali gue ngeliat lo, gue ngerasa kalau lo punya obsesi untuk ngebunuh gue."
Gue nggak tertawa. Hanya diam. Dan dia pun begitu, tetap bungkam. Lantas, matanya melirik pada kue tart di atas etalase kaca. Kue untuk Manda yang belum diberi sentuhan lilin.
"So, today is her birthday?"
"It's tomorrow."
Pramuniaga yang melayani Adrian kembali dengan sebuah kemasan kue berukuran mungil. Dia mengangsurkannya pada Adrian, yang dibalas Adrian dengan menyodorkan kartu debitnya. Gue mencoba menahan diri untuk melengos. Gue tau gue nggak seharusnya merasa iri dengan hidup serba kecukupan yang ditinggali orang lain, tapi tetap saja terasa sulit untuk berlapang dada. Lo tau, susah untuk berpikir kalau dunia itu adil saat hidup lo terkatung-katung, baik secara emosional maupun finansial sementara di luar sana ada orang yang hidupnya begitu mudah dan tinggal beli kalau kepengen apa-apa.
"Happy birthday, then. Gue menebak dia pasti sangat mirip lo."
Tanpa bisa ditahan, gue tersenyum. Kelihatannya Adrian nggak menebak itu sama sekali, karena dia tercekat. Selama sejenak, cowok itu tampak membeku di tempat.
"No, she is prettier. And softer."
"You know, all of women are beautiful. Gue bilang ini bukan basa-basi. Semua perempuan itu tercipta dengan indah. Ada yang terberkati dengan keindahan pada hampir semua sisi. Ada yang nggak seberuntung itu. Tapi setiap perempuan pasti punya keindahan. Only the right person that can see that beauty. And every woman deserves that kind of right person." Adrian menjawab, yang kontan membuat gue terdiam. "She must be as pretty as her sister. Tapi gue harap dia nggak sejutek dan semenyeramkan kakaknya."
"Thanks." gue menjawab dengan nada sarkastik diiringi satu putaran bola mata.
"Kurang lebih dua minggu dari sekarang, jahitan lo harus dibuka." Adrian menukas tiba-tiba, mengubah topik dengan cepat sesaat setelah matanya jatuh pada luka di dekat telinga gue. Memarnya sudah jauh berkurang, menyisakan semburat kuning yang sebentar lagi akan pudar. Luka lecetnya juga sudah mengering. Tapi benang jahit itu masih menyembul, membuat gue terlihat seperti pacar Frankestein.
"It's getting better."
"I know. Lo bisa hubungi gue dua minggu dari sekarang. I'll take you to my doctor."
Pramuniaga itu kembali dengan kartu debit dan bon di tangannya. Adrian menerima kartu debit dan bon tersebut dari tangan si pramuniaga, lantas memasukkannya ke dalam dompet sebelum berpaling pada gue. Matanya terlihat tenang, tapi tidak lagi dingin. Ada secercah hangat yang menyeruak disana.
"Gue duluan."
Dia baru beranjak beberapa langkah ketika dengan ragu, gue bicara dalam nada terpatah.
"A.. drian?"
Sumpah, rasanya aneh banget memanggil nama dia tanpa nada nyolot untuk pertama kali.
"Ya?"
"Gue bakal kembaliin jaket hari senin nanti. Di kampus."
Senyum tipisnya tertarik. "Bagus. Karena jujur aja, jaket itu jaket kesayangan gue."
"Makasih." kata gue. Tulus.
Adrian tidak langsung menjawab. Cowok itu diam sejenak. Kemudian senyum menguak wajahnya. Lebih lebar dari semula. Senyum paling lepas yang pernah gue lihat dari dia.
"Anytime." jawabnya. "Anyway, do me a favor."
"Hng?"
"Be safe until you get home. Send my regards to your sister."
Ucapannya mau nggak mau membuat gue berpikir, bahwa mungkin dia nggak seburuk itu.
Bersambung.
***
a/n : Haloh.
Sepertinya untuk saat ini gue akan fokus menulis ini, karena masalah inspirasi juga. Terus, dalam setiap visualisasi gue akan pakai sketch atau bukan foto-foto asli artisnya biar apa ya biar nggak dikira fanfiction aja gitu.
Di chapter #01 adalah visualisasi Azaela.
Di chapter #02 adalah visualisasi Adrian.
Di chapter ini adalah visualisasi Aries.
Alur cerita ini mungkin bakal cepat, biar nggak kebanyakan part juga. Alamanda alias adiknya Lea akan jadi salah satu tokoh yang sangat berjasa buat Lea-Adrian, but in unusual and heartbreaking way. Seperti yang pernah dibilang Lea, Manda ini punya "keunikan". Manda cuma kagum ala-ala fangirl doang sih sama Adrian, she likes him not in a romantic way.
Terus kenapa gue post lagi hari ini?
Karena besok gue bakal nugas, ditambah lagi ada survey lapangan so yah daripada kelupaan posting.
Sebelumnya, thanks buat yang udah baca (PADAHAL GA GUE KASIH COVER LOH KEMAREN, SAMA DESKRIPSINYA JUGA LARANGAN BUAT DIBACA) karena kemarin tuh males banget ngedesain covernya cuma mau nuangin ide doang gitu kan huff
Ide tentang Lea-Adrian mendadak banjir setelah mantengin aesthetic pantone and tumblr. Entah kenapa kayak streotype cowok idola sekarang tuh kayak macam-macam badboy dan gue udah mulai jenuh so lets start a brand new story with a gentleman in it. Adrian jarang pacaran. Nggak pernah grepe cewek. Dan yah begitulah karakternya. Nggak banyak omong. Straightforward dan nggak bisa gombal. Apapun yang dia bilang ya emang karena dari hatinya udah begitu.
Anyway, ada satu bagian yang sangat membuat gue excited untuk ditulis. Itu berkaitan dengan mimpinya Lea.
Dan kalau ada yang nanya kenapa gue kasih judul Rose Quartz, itu karena batu Rose Quartz adalah simbol untuk cinta yang menyembuhkan. bukan cuma menyembuhkan hati dan menciptakan keterbukaan, tapi juga trauma masa kecil.
Adrian lost his father in such a young age. He is longing to meet him, at least once. Which is, sadly impossible.
Lea lost her father in such a young age. She is longing to forget him. at least once. Which is, also impossible.
Dan Krystal x Sehun tuh bener-bener aesthetic banget nggak sih like wow so ethereal.
Lets see if their journey will make them together, or even make them drifting apart.
Cheers!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro