#01
Gue terbangun karena sengatan perih yang tajam di sejumlah titik di sisi kanan wajah gue. Sebuah erangan samar terlontar, mengiringi bulu mata yang bergetar pelan sebelum kelopaknya terbuka. Awalnya, gue merasa silau, hingga bau antiseptik yang menyengat perlahan-lahan mengembalikan kesadaran gue yang sempat hilang.
"Hello, pretty."
Secara refleks, gue langsung menoleh ke sumber suara. Sebuah keputusan bodoh, karena gerakan yang tiba-tiba membuat kulit wajah gue bergesekan dengan sarung pelapis bantal. Rasanya perih, seperti kulit gue baru saja terparut di atas aspal. Tapi gue nggak punya waktu itu mengaduh, karena sedetik setelah gue mengenali wajah pemilik suara yang tadi bicara, gue langsung berpikir.
Namanya Faris Rafandra. Nggak mungkin banget gue nggak kenal dia. Bukan berarti karena gue mau. Gue nggak peduli mau bocah-bocah kayak dia kecemplung sumur atau kejebak di aula sehari semalam penuh. Nggak ada gunanya buat hidup gue. Tapi dia dan komplotannya termasuk jajaran orang-orang paling dikenal di kampus. Bukan karena kepintarannya, melainkan karena gayanya yang selangit.
Atau mungkin mukanya yang dianggap ganteng oleh banyak orang. Buat gue sih nggak. Muka dia biasa banget, seandainya dia nggak pandai mengatur ekspresi sehingga dia bisa agak terlihat tengil tapi cool.
"This pretty face of yours, you just ruined it." Faris kembali berkata sambil tangannya terulur memiringkan wajah gue. Detik pertama dia menempelkan kapas di luka gue, jeritan langsung terdengar. Sakit banget, sial. Gue yakin, kapas itu pasti sudah dilumuri oleh alkohol sebelumnya. Rasa panasnya menyebar, butuh beberapa saat hingga hilang tergantikan oleh perih yang berkurang.
"Pretty face means nothing to me."
"I guess you don't know that being pretty could help you, like, a lot?"
Gue mendengus gusar seraya memaksa badan gue yang selemah agar-agar cair untuk bangun dari ranjang. Baru gue sadari kalau ranjangnya empuk, terbungkus oleh bed cover putih bersih yang membuat gue merasa seperti sedang berada dalam president suite hotel ternama. Interior ruangan didominasi warna krem dan kuning gading. Satu-satunya warna hitam hanya bersumber dari televisi layar datar di salah satu dinding dan sebuah gitar yang disandarkan di atas sofa dekat nakas.
"Gimana gue bisa ada disini?"
"Mana gue tau."
"Gue nggak berminat bercanda."
"Emangnya siapa yang bercanda?"
Faris bertanya jengah sembari melempar bola kapas berbau antiseptik di tangannya ke atas baki tempat obat merah dan kain kasa tergeletak. Dia menggeser kursi yang didudukinya mundur, lantas melangkah menuju sofa dan bersandar dengan gestur tak peduli.
"Mana tas gue?"
"Maksud lo, ransel segede gaban yang bikin lo keliatan kayak pendaki baru turun gunung?"
Gue mengabaikan sindiran pedasnya. Emangnya siapa yang peduli soal fashion? Bocah kayak dia nggak akan pernah mengerti bahwa asas efisiensi jauh berada di atas kenyamanan, atau bahkan masalah sesepele dan se-nggak penting kriteria fashionable atau tidaknya seseorang.
"Disini nggak ada benda tajam, kalau itu yang lo cari." Faris memainkan ponselnya dengan cuek. "Kalau lo mau pergi, tunggu Adrian balik dulu. Lagian, emangnya lo mau naik busway dengan muka macam kuntilanak Susanti gitu?"
Gue menatapnya dengan mata menyipit.
"You know, kuntilanak Susanti? Kuntilanak yang separuh mukanya rusak, tapi separuh mukanya lagi cantik?" Melihat ekspresi gue yang dingin, Faris justru melengos. "You are no fun, you know that?"
"Sori. Bukan pelawak."
"Haha." ujar Faris dengan nada khas orang mengantuk.
Gue mengabaikan ucapannya dan nyeri di sisi wajah gue, memutuskan untuk merogoh ke dalam saku baju yang gue pakai. Jantung gue serasa jatuh ke perut ketika sadar kantung gue kosong. Nggak ada ponsel disana. Duh. Gila.
"Kalau lo nyari HP lo, udah diambil sama Adrian," kata Faris, seolah mengerti arah pikiran gue.
"Gue nggak mengira kalau lo semua emang sekurang-ajar itu."
"Weits, woles, Mbak. Jangan sembur gue. Sumpah, gue nggak ada hubungannya. Itu inisiatif Adrian sendiri."
Gue masih menatapnya lekat, berharap pandangan memang benar-benar bisa membunuh.
"Daripada lo melototin gue kayak gitu terus-terusan, kenapa lo nggak makan aja? Di kulkas gue lumayan banyak makanan, btw. Dan ketika gue bilang makanan, itu artinya bukan cuma air mineral, soda sama mi instan."
"Enggak usah, makasih." sahut gue ketus.
"Gue serius. Makanan yang ada di kulkas gue sekarang seribu persen cocok untuk manusia. Atau minimalnya buat cewek. Karena itu hasil belanjanya si Cleo."
Gue agak sedikit kepo tentang siapa Cleo yang disebut sama Faris, mengingat gue nggak ingat kalau ada deretan ayam kampus yang sering dia satronin yang bernama Cleo. Tapi well, bukan urusan gue juga. Gue udah cukup pusing dengan siksaan perih di muka gue--beserta kekhawatiran kalau lukanya bakal menimbulkan bekas serupa taburan tompel, reaksi nyokap begitu gue pulang nanti karena gue sama sekali nggak ngasih kabar dan ponsel gue. Meskipun ponsel itu bisa dibilang buluk dengan beberapa keypad yang udah bolong, tapi itu tetap ponsel.
"Azalea,"
"Enggak usah sok akrab."
"Oke, gue nyerah." Faris mengangkat kedua tangannya ke udara seperti buronan yang hampir ditembak oleh polisi yang sudah mengepungnya. "Untuk ukuran cewek, lo adalah cewek paling serem yang pernah gue ajak ngomong. Tapi gue tetap harus jujur. Muka lo pucat. Kalau lo nggak mau semaput lagi, harusnya lo sadar diri dan makan."
"Sadar diri?" gue mencebikkan bibir mendengar pilihan katanya.
"Secara nggak langsung, lo udah ngerepotin Adrian."
"Gue nggak minta."
"Iya, tapi nggak mungkin juga Adrian ninggalin lo tergeletak di halaman kafe-kafe dengan darah mengucur kayak pas tadi pertama kali Adrian dan lo sampai disini. Untung aja lo pingsan, karena kalau lo sadar, kayaknya lo udah histeris duluan. Hoodie Adrian sampai basah buat nampung darah dari luka lo."
"The funny thing is, girls see more blood than boys."
"Terserah lo."
"Gue mau pulang. Mana tas gue?"
"Tanpa adanya akses dari penghuni apartemen which is gue, lo nggak bisa cabut. Malah kalau lo bertindak radikal, gue bisa aja manggil security kesini. Gue tau lo galak, tapi gue juga tau kalau lo nggak gila."
"Gue udah mau gila gara-gara temen lo itu."
"Adrian?" Faris mengernyitkan dahinya, memandang gue dengan sorot tidak mengerti. "Gue nggak paham. Bukannya kemarin-kemarin lo yang ngemis-ngemis bantuan Adrian?"
"Gue nggak ngemis."
"Apalah itu."
"Gue emang butuh bantuannya. Tapi sekarang udah enggak. He seriously needs to stop bothering me."
"Bodo amat."
Sekujur badan gue terasa lemah. Persendian gue seperti menjerit protes setiap kali gue bergerak, namun gue tau ada yang lebih penting dari itu. Harga diri. Gue nggak bisa dan nggak boleh terlihat lemah di depan mereka. Harga diri adalah hal terakhir yang gue punya, setelah satu-persatu yang lainnya direnggut pergi, atau bergerak menjauh dengan kerelaan diri. Tanpa peduli pada Faris yang menatap gue dengan pandangan memerintah agar gue makan, gue melangkah keluar kamar.
Geez. Jadi kayak gini tempat tinggal bocah-bocah penghancur anak gadis orang itu? Mewah, rapi, bersih dan terkesan begitu ethereal buat gue. Nggak real, seperti datang dari dunia yang benar-benar berbeda. Gue bertanya-tanya, gimana bisa Manda sebegitu tergila-gilanya sama sosok bernama Adrian Cetta Arsenio hanya karena katanya Adrian punya wajah tampan yang sureal.
Dengan kaki yang masih telanjang, gue beranjak ke pintu depan. Mata gue mencari-cari sepatu gue, tapi tetap nihil. Lalu mendadak, pintu terkuak. Adrian muncul dari sana. Dia mengenakan hoodienya yang merah oleh rembesan darah di bagian bahu. Nodanya begitu lebar, membuat cowok itu jadi terlihat seperti baru saja mengalami luka tusukan. Alisnya terangkat saat dia melihat gue.
"Mana HP gue?!"
"Di gue." ujarnya sambil berjalan melewati gue dengan santai. Angin yang menyertainya menyisakan aroma anyir darah di udara. Sejenak, gue terdiam. Pikiran pertama yang terlintas adalah apakah gue memang berdarah sebanyak itu? Dan kedua, gimana bisa cowok itu pergi keluar dengan baju berbau amis kayak gitu?
"Jangan bercanda karena gue nggak lagi kepengen."
Adrian meletakkan bungkusan di tangannya ke atas meja ruang tengah. "Emangnya siapa yang bercanda?"
Faris muncul dari dalam kamar, lantas cowok itu berkacak pinggang di ambang pintu. "Tolong jangan ubah apartemen gue jadi Jalur Gaza."
"Enggak usah bacot."
"Gue bakal kasih HP lo balik, tapi dengan satu syarat." Adrian berkata sambil melepas hoodienya, membuat pikiran gue seketika terbang entah kemana. Dengan berang, gue memandangnya. Cowok ini memang brengsek kelas berat.
"I have no interest in getting laid tonight. Sorry. And I'm not one of your whores."
"Whores? Adrian? Lo pasti bercanda." Faris menggeleng-gelengkan kepalanya dengan wajah geli. "Boro-boro main sana-sini, nih bocah mah lebih banyak ngurusin kakak sama nyokapnya."
"No one asked for your opinion, Faris. So shut the shit up." Adrian menukas dingin, lalu matanya menatap lagi pada gue sementara tangannya membuang hoodie itu ke sofa. "Jangan GR. Gue buka baju bukan karena mau ngapa-ngapain lo. Tapi karena gue nggak tahan sama baunya."
"Baunya?"
"He might be look like an Asian version of Edward Cullen's long lost brother, but believe me, he is still human. He is not interested in sucking blood."
"Kalau emang nggak suka kenapa lo pake hoodienya keluar? Alasan aja, dasar bajingan narsistik."
"Karena kalau gue keluar dengan busana kayak gini, gue nggak bakal balik dengan badan utuh, ngerti?" sahut Adrian yang kini beranjak ke arah lemari es untuk mengeluarkan sebotol air mineral dari sana.
Jawaban cowok itu mau nggak mau membuat gue berpikir kalau dia ada benarnya juga. Di balik hoodienya, Adrian hanya mengenakan heavy tanktop warna hitam. Terlihat begitu kontras di atas kulitnya yang serupa pualam.
"Gue mau pulang."
"Enggak ada yang larang."
"Say that to your elf fellow over there."
"ELF?! Maksud lo apa ya?!" Faris mendelikkan mata dengan ekspresi tersinggung yang kentara. "Because of my ears, hah?! Sekalian aja panggil gue Master Yoda. Dasar cewek nggak tau diri."
"You said it right. Sekarang, balikin HP, tas dan sepatu gue."
"Gue bakal biarin lo pulang kalau lo paling nggak udah makan."
"Gue udah makan."
"Big liar. Lo kira, dengan darah lo yang ngalir segitu banyaknya, gue bakal mengandalkan Faris buat ngurusin lo? Ngurusin ikan mas koki aja dia nggak becus." Adrian menjawab dengan sebelah tangan agak tersandar pada lemari es sementara tangan yang lain masih menggenggam botol air mineral yang berembun.
Gue mengernyit tidak mengerti.
"He called his family doctor. All the way here." Faris menjelaskan. "Dokter bilang lo perut lo kosong. Ada gejala magh ringan karena lo hanya minum kopi sejak semalaman. Ada satu luka yang terluka cukup parah dekat telinga, dokter bikin jahitan disana."
Secara refleks, tangan gue terangkat ke tepi wajah, tepat pada bagian garis depan telinga. Terasa kasar, dan ada juntaian benang pendek disana. Membayangkan itu, gue nggak berani ngaca. Gue pasti terlihat seperti Frankestein versi cewek. Oh sial.
"Luka itu bakal ninggalin bekas. But at least, nggak akan begitu kentara karena bisa lo tutupi pake rambut."
"Apa peduli lo?"
"A lady shouldn't have any scar in her body." Adrian yang justru menyahut. "Scar is a reminder that this world is a cruel place as it could destroy such a delicate maiden. All girls were born to be loved. All girls were born to be queens. All girls were born to be protected. Scar means that men failed to protect the queens."
"Lo berbakat jadi pujangga. Tukang jual kata." ujar gue pedas.
"Terserah."
"Gue harus pulang. Nyokap gue mungkin panik sekarang."
"I talked to your sister, saying that you'll come home late."
"Lo--APA?!"
"Alamanda is a beautiful name." Adrian membalas hampir tanpa ekspresi, atau bahkan hanya seulas senyum. Dia begitu datar, tenang seperti permukaan samudera. "Jadi kapan gue bisa ketemu dia?'
"Nevermind. Gue udah bilang, bantuan lo udah nggak ada gunanya."
"Sejujurnya, lo mulai membuat gue kesal. But I'm a man. I wouldn't talk to a lady in a rude way. Simply, kalau lo mau pulang, lo harus makan dulu."
"Apa peduli lo?"
"Enggak, ada sebenarnya. Tapi gue paling nggak bisa ngeliat cewek yang sakit karena nggak makan, sampai pingsan dan terluka karena kebodohannya sendiri," Tatapan Adrian entah bagaimana berhasil membuat gue terdiam. "Gue dibesarkan dengan pemahaman kalau perempuan itu tanggung jawab laki-laki. Kita nggak kenal, gue tau. Karenanya, gue nggak punya alasan untuk peduli sama lo. Tapi kita saling tau nama masing-masing. Itu sudah cukup jadi alasan buat gue nggak membiarkan lo bertindak bodoh. Lagi."
Gue menggeram pelan, menahan segala makian yang hendak terlontar. Tapi dia tidak menanggapi, sementara Faris berdecak seraya melipat tangan di dada. Sepertinya cowok itu bahkan sudah pasrah seandainya pada detik berikutnya gue meraih vas bunga dan melemparnya ke arah Adrian yang akan dibalas Adrian dengan memiting lengan gue setelah menjatuhkan gue ke lantai. Tapi gue nggak melakukan itu. Begitupun Adrian. Cowok itu justru berlalu, masih dengan wajahnya yang begitu tenang. Tapi seuntai kalimat terlontar dari mulutnya saat dia berjalan melewati gue.
"You're a girl with pride. I know that very well. But don't let it gets to your head. It will destroy you with no mercy."
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro