#00
PROLOG
Did I ever say something like,
You are wonderful
Too unreal,
that you deserve only the entire universe
While sadly,
I am just a star
So far away, cold and lonely
Light a dim light, in a misty night
But today,
Let me tell you something
Could you, at least for
24 hours
1440 minutes
86400 seconds
Be mine?
Could you,
Stay?
Semarang, September 5th 2016
***
Entah sejak kapan, gue seperti lupa bagaimana caranya bermimpi.
Ah gila, kata-kata itu membuat keseluruhan cerita jadi terdengar seperti serangkaian kisah sedih yang akan menguras air mata. Enggak. Hidup gue bukan sesuatu yang bakal diidamkan oleh banyak orang, tapi bukan berarti gue semenyedihkan itu. Ada kalanya kebahagiaan datang sesederhana dengan hujan yang turun, seperti dengan kesedihan yang muncul sesempurna melihat bokap lo pergi bersama cintanya yang lain. Tapi hidup emang seperti itu kan? Lo nggak bisa sedih terus-terusan. Lo nggak bisa seneng terus-terusan.
Karena hidup bukan telenovela, ataupun cerita dongeng ala Disney.
Well, gue mungkin pernah punya satu mimpi dulu ; gue kepingin jalan-jalan. Ini serius. Nggak perlu jauh-jauh travelling sampai luar negeri dengan jet pribadi dan barang-barang merek terkenal melekat di badan. Esensi travelling lebih dari itu. Gue nggak muluk-muluk lah. Gue hanya pengen menjalani sebuah road trip, dari Jakarta hingga Jogjakarta bersama orang yang keberadaannya berarti buat gue. Kenapa Jogja? Gue nggak tau. Gue selalu jatuh cinta sama kota itu, sejak pertama kali gue menginjakkan kaki di Bukit Bintang.
Namun seiring dengan gue semakin dewasa dan peristiwa nggak enak yang gue alami, gue sadar kalau hidup itu lebih dari sebatas mimpi. Hidup nggak seindah cerita dalam film, atau novel. Mengurusi keluarga yang sunyi oleh kebisuan dari nyokap lo pasca ditinggal oleh satu-satunya laki-laki yang pernah tinggal di rumah dan adik perempuan yang punya prilaku "unik" adalah sesuatu yang cukup membuat gue lupa apa itu arti dari mimpi dan cita-cita.
Yah, bukannya begitu? Mau dibilang seperti apapun, di dunia ini uang adalah yang terpenting. Lo nggak bisa makan cinta. Lo nggak bisa makan sayang. Lo nggak bisa makan angin, apalagi batu. Logikanya, enak mana nangis di atas mobil Mercedes keluaran terbaru sama tertawa di jok belakang sepeda? Pepatah pasaran yang udah mainstream, gue tau. Tapi gue terlalu malas memikirkan perumpamaan yang lain.
Sampai kemudian, orang ini datang. Mulanya gue berpikir dia adalah self-centered jerk yang nggak pedulian sama masalah orang lain. Gue harus nahan diri mati-matian untuk nggak ninju dia pas ngeliat gimana nyinyir mukanya ketika gue meminta bantuan. Emang kayaknya udah jadi sifat alami cowok ganteng, dimana-mana songongnya selangit, belagak seolah dia udah jadi kembarannya Brad Pitt. Padahal sih, menurut gue dia nggak seganteng itu.
Yah, oke. Dia emang ganteng. But still, it doesnt give him the right to treat someone that badly, does it?
Siang itu udaranya panas. Kedai kopi tempat gue bekerja part-time cukup ramai oleh suara cekikikan anak-anak remaja yang paling nggak baru masuk SMP atau SMA. Terkadang, gue membayangkan seperti apa orang tua mereka ketika gue melihat anak-anak itu. Papa yang berdasi. Mama yang jago dandan dan mungkin kerap ikut arisan berlian. Hidup mereka benar-benar berbeda dengan gue, meskipun kita ada di ruangan yang sama dan menghirup udara yang juga sama.
Gue masih menunduk, memandangi cup plastik dengan spidol di tangan kala gue bertanya tanpa melihat pada pelanggan dalam antrian.
"Atas nama siapa, Kak?"
"Adrian."
Jawaban yang sontak membuat gue melotot. Ternyata itu memang dia. Dia berdiri di depan gue, rambutnya agak basah oleh keringat. Matanya menatap gue sebentar, kemudian dia memiringkan wajahnya. Gayanya kayak Cristiano Ronaldo lagi syuting buat iklan shampoo. Gue melengos saat menyadari beberapa anak berseragam SMA di belakangnya langsung bergumam tertahan dengan ekspresi wajah hampir histeris.
"Akhirnya ketemu juga." katanya pendek.
"Oke, Adrian ya," Gue mengabaikan dia dan menulisi cup dengan spidol.
"Jutek banget."
Gue menarik sebuah senyuman kelewat lebar yang hanya bertahan kurang dari satu setengah detik. "Thanks."
"Untuk ukuran orang yang butuh bantuan, lo terlalu songong."
"You know, there's this little thing called karma. Something means, what goes around comes around," gue menyahut blak-blakan. "Pesenannya apa, Kak?"
"Vanilla Frappucino with additional hazelnut syrup and raspberry syrup." Cowok itu menjawab. "Soal adek lo." katanya lagi, meneruskan pembicaraan dengan topik yang benar-benar berbeda.
"Gue nggak lagi butuh bantuan lo."
Wajah Adrian terlihat susah untuk dibaca. Entah karena ekspresinya yang kelewat datar atau karena memang dia tipe orang yang mudah menyembunyikan isi hati. Ah elah, bodo amat. Emangnya gue peduli.
"Antriannya udah panjang." gue melirik pada cewek remaja di belakangnya yang kelihatannya sama sekali nggak keberatan berdiri lama-lama karena Adrian kebanyakan bacot.
"I'll see you later at the end of your shift," matanya menatap gue. Masih dengan emosi yang tidak bisa gue terka. "Azalea Pramudita."
Gue mendelik nggak mempedulikan dia sama sekali dan meneruskan pekerjaan gue selama sisa siang itu. Pengunjung datang silih berganti, hingga tiga jam kemudian shift gue yang memang hanya berlangsung empat jam selesai. Gue menyeka keringat dari dahi, berjalan ke ruang belakang untuk berganti pakaian. Mata gue sempat mencari ketika gue melintasi ruang kedai menuju ke pintu keluar.
Batang hidung cowok itu nggak keliatan. Cih, pembohong. Bukan berarti gue berharap dia ada disana. Malah, gue bersyukur dia nggak benar-benar menepati janjinya.
Langit tidak lagi terang benderang dengan cahaya matahari yang menyengat kala gue berjalan keluar. Jalanan ramai. Gue melirik arloji. Gue harus segera sampai di halte sebelum jalanan mulai macet. Tapi sebelum gue bisa berlalu, sebuah genggaman erat meraih prgelangan tangan kanan gue, membuat gue tertarik ke satu arah. Gue hampir saja melontarkan serangkaian protes, namun mulut gue terbungkam seketika saat gue menyadari siapa yang udah narik gue.
"I said earlier, I'll see you later."
Gue menarik tangan gue lepas. "Tapi gue nggak mau ketemu apalagi ngomong sama lo."
"Azalea,"
"Stop calling my name, you jerk." gue berjalan cepat melewatinya, tapi baru beberapa langkah terambil ketika sengatan nyeri berdenyut di kepala gue. Oh shit. Ini pasti karena gue nggak makan apapun dari semalam. Tugas membuat gue harus rela begadang bertemankan segelas kopi, dan ketika pagi tiba, gue nggak menyentuh karbohidrat sama sekali karena nggak selera.
"Lea,"
Gue ingin menyuruhnya menjauh, tapi keinginan nggak sinkron dengan badan. Satu-satunya yang gue ingat adalah gue kehilangan keseimbangan sebelum tersungkur keras di atas permukaan paving block. Ada perih menyebar di sisi wajah, kemudian aroma karat dan merah darah. Kemudian semuanya gelap.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro