Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9

Orang hanya mendengar apa yang ingin mereka dengar dan hanya melihat apa yang ingin mereka lihat. Bahkan jika apa yang mereka dengar dan lihat adalah kebohongan dan ilusi.

Art of lying, Oleh Liriope of Dumont

Panci rebusan di depanku mendidih dan aku mengambil satu suap untuk mencicipinya. Bukan karya sempurnaku tapi itu harus baik-baik saja, andai aku punya beberapa daun thyme di sini itu akan jadi lebih baik. Aku menuang sup ayam ke dalam delapan mangkuk kecil dan Irene sudah melompat-lompat di sebelahku.

"Itu terlihat enak, aku tidak ingat kapan terakhir kali kami makan sesuatu selain lobak," gumamnya. Aku tertawa menyodorkan mangkuk padanya, dia mengambil itu tanpa bertanya tapi gadis-gadis lain hanya membeku di meja makan.

"Ayo ambil sebelum supnya dingin," ucapku. Tidak ada satu pun dari para gadis yang bergerak. Mereka menatap diam-diam ke sudut dapur, ke tempat Kapten Moringan berdiri seperti patung. Memelototiku seolah aku melakukan dosa besar. "Abaikan saja pria itu, dia tidak akan melakukan apa pun pada kalian. Bukankah begitu, Kapten?" Dengan sangat enggan dia mengangguk. Baru setelah itu mereka mengambil mangkuk mereka dan makan.

Aku menatap gadis-gadis itu makan, merasakan benjolan yang sekarang menyumbat tenggorokanku. Itu bisa menjadi aku atau lebih buruk, Dalia. Tidak akan, apa pun yang terjadi aku tidak akan pernah membiarkan Dalia berakhir di sini. Aku kembali menarik pikiranku dan menuangkan sup pada satu mangkuk yang lain dan mendekati Kapten.

"Kau mungkin juga ingin memakannya." Aku menyodorkan mangkuk pada Kapten. Dia menarik alisnya ke atas.

"Berikan saja lagi pada gadis-gadis itu," ucapnya kaku. Aku memaksa dia untuk mengambilnya dan ikut bersandar ke dinding tepat di sampingnya, mengamati wajahnya. Teffa! Dia tampan dengan mata cokelat itu dan rahangnya yang keras. Bukannya aku peduli jika dia tampan tapi aku tidak mengerti dengan perasaan sedih yang aku rasakan karena dia percaya apa yang dia lakukan itu benar.

"Ada cukup banyak untuk mereka. Itu untukmu karena membantuku mendapatkan ayam." Dia diam saja hingga aku percaya dia tidak akan memakannya tapi kemudian dia mengambil suapan pertama, aku menunggu komentar tapi dia hanya terus makan. "Bagaimana kamu bisa melihat apa yang terjadi pada anak-anak ini dan tetap mengabaikannya?"

Dia tegang dan perasaan yang sebelumnya datar kini berubah menjadi malu, sedikit percikan frustrasi. "Tidak ada yang bisa kulakukan."

"Kau bisa membantu mereka lari." Dia kembali memelototiku sekarang dan menyodorkan mangkuk yang setengah kosong padaku, aku mendorongnya kembali ke tangannya. "Habiskan itu! Kamu tidak tahu bagaimana rasanya kelaparan."

"Aku tidak bisa."

"Apa? Menghabiskan supnya?"

"Membantu mereka lari, itu melanggar hukum ... dan aku tahu rasanya kelaparan." Dia makan lagi, lebih cepat dari sebelumnya dan mengembalikan mangkuk padaku begitu dia selesai.

"Apa kau punya saudara perempuan, Kapten? Kekasih?" Aku tidak mendapat jawaban. "Bagaimana dengan ibu?"

"Aku hanya punya ayahku dan satu kakak laki-laki. Aku tidak mengambil kekasih dan sebelum kamu menuduhku itu karena aku mengambil wanita acak di The Radiant untuk menghiburku di tempat tidur, aku beri tahu kamu, aku tidak pernah menyentuh satu pun wanita di sini." Suaranya kasar dan marah tapi tidak di kepalanya. Itu adalah malu dan malu, penyesalan dan goyah.

"Aku benci tempat ini, benci dengan apa yang terjadi di dalamnya." Aku terus menatap anak-anak, memperhatikan Irene saat dia mengambilkan tambahan sup untuk gadis-gadis lain. "Tempat ini busuk, gadis-gadis itu layak lebih dari tempat ini."

"Tapi kamu di sini, apa yang sebenarnya kamu lakukan, Catalya?" Perubahan pertanyaan itu membuatku meliriknya. Dia tidak meninggalkan aku sendirian setelah menangkapku hampir menikam Talal, membuatku tidak bisa bicara dengan Lis sebelum aku berhasil membujuknya untuk mendapatkan daging atau ayam. Aku bahkan masih terkejut dia mau melakukanya.

"Aku perlu bicara dengan seseorang dan aku punya janji dengan Irene."

"Sebuah janji?" Dia sedikit curiga, mungkin berpikir aku cukup tolol untuk mencoba membantu mereka lari tanpa rencana yang jelas.

"Aku berjanji untuk menceritakan lebih banyak kisah pada gadis-gadis ini. Tapi kemudian aku diambil ke istana, bukannya aku mengeluh, tapi janji adalah janji."

"Kamu seorang Penjaga Cerita?" Dia tumbuh lebih santai, mungkin lelah menjaga sikap buruknya yang terus menerus padaku.

"Ibuku, bukan aku, dia punya suara yang mengalun saat bercerita, hangat seperti perapian tempat di mana dia membuat legenda hidup sekali lagi." Aku melihat ke matanya. "Apa kisah favoritmu?"

"Kau akan menertawakan aku begitu aku mengatakanya." Sudut bibirnya tertarik ke atas, menciptakan seringai bengkok yang melembutkan wajahnya. Napasku tiba-tiba tertahan. Teffa Yang Baik, apa yang salah dengan kepalaku?

"Putri Angin dan Gembala, itu favoritku," ucapku dan aku merasakan panas merangkak ke wajahku. Demi Teffa! Apa yang akan dia pikirkan sekarang. Kisah Putri Angin dan Gembala adalah kisah cinta dan dendam, pembalasan berdarah dengan akhir yang tragis.

"Pedang Api dan Prajurit miskin. Itu kisah konyol tapi aku selalu menyukainya." Dia diam seolah merenungkan itu, dan aku berharap bisa membaca pikirannya, tidak hanya merasakan gulungan perasaan acak yang sekarang memancar darinya.

"Bukankah akhirnya prajurit itu menikah dengan Putri kerajaannya dan menjadi penasihat pribadi Raja? Kau ingin menikahi seorang Putri?"

"Tentu saja tidak! Aku suka bagaimana prajurit itu setia pada kerajaan yang dia sumpah bahkan saat dia mendapatkan perintah mustahil untuk membunuh naga." Aku merengut pada kata-katanya. Bukankah itu sangat menggambarkan dia?

"Tentu saja kamu suka itu, sama seperti kamu yang patuh melakukan apa pun yang diperintahkan Raja meski itu salah. Raja bukan Dewa, dan bahkan jika dia Dewa. Kita harusnya tahu apa yang baik dan buruk, kemudian kita akan memilih untuk melakukan yang terbaik." Perasaan bersalah dan malu kembali dengan kuat padanya. Dia terlihat ingin mengatakan sesuatu dan wajahnya berkerut menatapku tapi aku sudah berjalan menjauh darinya, jengkel pada diriku sendiri karena membuat percakapan dengannya.

***

Aku kembali ke istana masih dalam suasana hati yang tidak menyenangkan jadi aku pergi langsung ke kamarku. Mungkin Pangeran akan mencariku sebentar lagi untuk bertanya tentang Laksamana, apa saja yang sudah aku pelajari darinya. Aku membuka pintuku, itu berayun dengan mudah dan kemudian aku membeku di jalanku.

"Demi Teffa Yang Suci!" Langkahku berhenti di ambang pintu dan tanganku terbang untuk menutup mulutku. Mataku melayang ke tiap sudut kamar, setengah berharap pemandangan di depanku akan berubah. Ketika itu tidak, aku terhuyung keluar dan membanting pintu kembali tertutup. Aku bergegas kembali ke lorong, mencari siapa pun, temukan siapa saja, dan seakan Dewa mendengar pikiranku, Kaia berjalan tepat di jalanku. Aku menangkap lengannya untuk membuat dia berhenti dan mataku lebar padanya.

"Lady apa yang terjadi? Anda begitu pucat seolah baru saja melihat hantu."

"Lebih buruk! Demi Teffa, itu lebih buruk dari hantu!"

"Bernapas Lady, dan katakan apa yang terjadi." Aku menurutinya dan bernapas tapi gambar itu telah terbakar ke ingatanku. Merah, darah disemprotkan ke permadani dan kepala terpotong serta isi perut yang dikeluarkan. Mata kosong yang menatapku dari kepala yang telah terpisah dari tubuhnya. Aku telah melihat banyak pembunuhan, telah melakukannya, tapi aku belum pernah melihat kekejaman seperti itu. Tanpa sadar aku telah mencengkeram Kaia lebih erat. "Apa yang terjadi? Apakah Yeva masih di kamar Anda? Aku menyuruhnya untuk membereskan satu jam yang lalu tapi dia tidak juga kembali."

Dia tidak akan kembali. Dia tidak akan pernah muncul lagi. Karena dia mati. Dewa! Yeva mati di kamarku, kepala terpenggal dan dengan perut yang digorok. Aku hampir muntah.

"Kaia, Yeva sudah mati. Cari penjaga aku akan—" Aku tidak tahu akan melakukan apa. Bayangan Yeva yang ramah saat memujiku terlintas di kepalaku. Yeva yang tersenyum dengan manis dan tidak ingin ikut campur urusan orang lain, siapa yang ingin dia mati. Dan dengan cara mengerikan seperti itu.

"Kaia! Dapatkan penjaga!" Aku membentaknya saat dia masih diam dan menatapku dengan mata lebar ketakutan. Dia mencoba melewatiku untuk mencapai kamarku tapi aku menghentikannya. "Tidak! Dapatkan penjaga! Sekarang!"

"Tidak! Yeva tidak mungkin mati!" Kaia terisak dan akhirnya air mata lolos dari matanya aku menariknya, memeluknya dengan erat. "Bukan Yeva."

"Aku tahu, aku juga tidak ingin ini terjadi. Tapi kamu harus tenang dan dapatkan penjaga." Aku melepaskan dia ketika dia mulai hanya terisak. "Dia dibunuh, karena itu aku mau kamu mendapatkan penjaga. Aku akan mencari Pangeran, dia akan ingin tahu tentang ini."

Kaia mengangguk dengan tegas kembali pada dirinya yang tenang. "Pangeran ada di perpustakaan. Dan Lady ... siapa pun yang membunuh Yeva mungkin dia juga tidak suka dengan Anda." Dia berbalik setelah itu, berlari untuk menemukan penjaga. Aku tumbuh dengan perasaan dingin di punggungku.

Kata-kata Kaia membuatku menggigil, mungkin bukan Yeva yang seharusnya mati. Mungkin aku yang diinginkan pembunuh ini. Pikiran itu membuatku gelisah.

Oke Rose, pikirkan itu nanti, sekarang bergerak dan lakukan apa yang perlu dilakukan.

Seperti yang dikatakan Kaia, aku menemukan Pangeran di perpustakaan, tenggelam dalam membaca jurnal-jurnal kerajaan. Keterkejutan jelas di wajahnya saat dia melihatku. "Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Kamu harus ikut denganku." Aku menariknya berdiri, melupakan sopan santun saat aku menyeretnya di koridor yang untungnya sepi.

"Neraka yang berdarah, Rose! Apa yang kamu pikir kamu lakukan? Apa kamu kehilangan akalmu?" Dia menyentak tangannya bebas dan berjalan mengimbangiku.

"Ya! Ya aku kehilangan akalku saat aku melihat mayat berdarah di kamarku!" Aku setengah berlari sekarang. Dewa! Yeva yang baik, bagaimana dia bisa mati dengan begitu mengerikan?

"Mayat? Siapa—"

"Yeva, kau tahu pelayanku yang lebih muda dari Kaia. Aku pikir itu pembunuhan." Aku merasakan perasaan panik yang meningkat dari Pangeran, aku buru-buru mengabaikan itu, aku punya cukup kepanikan dalam kepalaku sendiri. "Kepalanya terpenggal dan perutnya ... Demi Teffa! Isi perutnya digorok keluar. Darah menggenang dan menyemprot permadani. Aku tidak bisa mengusir gambarnya dari kepalaku."

Aku melirik ke arahnya hanya untuk menemukan warna hilang dari wajahnya, dia pucat seperti hantu. Kami diam setelah itu dan ketika kami mencapai kamarku sudah ada beberapa penjaga di sana. Begitu juga Kapten Moringan. "Yang Mulia, Anda sebaiknya tidak berada di sini."

"Aku harus melihatnya, Kapten," balas Pangeran. Dia mendorong ke puntu untuk menyeruak masuk tapi Kapten tidak bergerak dari tempatnya memblokir pintu.

"Kami akan menangani ini, Yang Mulia."

"Drake! Aku perlu melihatnya, sekarang menyingkir dari pintu sialan itu!" bentak Putra Mahkota, Dia bertindak sama seperti saat aku memberi tahunya bahwa aku tahu dia mungkin membunuh kakaknya. Pandangan gila di matanya. Tapi meski begitu Moringan tidak bergeser satu inci pun.

"Kapten, tidakkah kau mendengar perintah Yang Mulia? Dia menyuruhmu minggir dari jalannya." Aku maju selangkah, tinggiku hanya mencapai dadanya jadi aku harus mendongak untuk menemui matanya. "Aku pikir kau prajurit yang patuh."

Dia menggertakkan giginya saat dia terlalu fokus ke wajahku, aku mengambil kesempatan itu untuk mendorong pintu di belakangnya terbuka dan Pangeran tidak membuang waktu untuk menyeruak masuk. Kapten mengutukku sebelum mengejar Pangeran masuk, aku di belakang mereka. Dan meskipun aku sudah tahu apa yang akan aku lihat, aku masih kehilangan napasku. Darah di mana-mana, memercik warna merah yang tajam, uadara dipenuhi aroma kematian dan mata Yeva masih balas memandangku dengan hampa. Itu seperti pukulan di perut, seolah dia menyalahkan aku. Aku melangkah lebih dekat, dengan ngeti menutup matanya terpejam meski itu tidak dapat memberi ilusi tidur yang damai karena kepalanya terpisah beberapa inci dari tubuhnya. Para penjaga menggeledah ruangan itu dan aku bersyukur Kaia belum membawa belati atau tanaman beracun kemari.

Aku menunduk dan berbisik ke udara yang berat. "Semoga Dewa Tessos menerima jiwamu yang baik dan memberimu rahmatnya yang akan menjagamu di dunia bawah." Aku mencium tiga ujung jari tengahku dan mendorongnya ke arahnya sebagai penghormatan, kemudian aku mundur.

Pangeran masih membeku menatap mayat Yeva, perasaannya penuh dengan rasa takut, dan matanya liar. Bibirnya terus bergumam. "Ini tidak mungkin. Ini tidak terjadi."

"Yang Mulia?" Aku melangkah untuk menyentuh bahunya, dia tersentak dengan sentuhan ringan itu.

"Ini tidak mungkin. Bagaimana ini mungkin?"

"Apa?" Dia tidak menjawabku, matanya masih tertuju pada tubuh tak bernyawa Yeva.

"Yang Mulia Anda harus pergi." Kapten berdiri di belakangnya dan untuk sekali ini aku setuju dengannya.

"Dia benar. Aku akan mengantarmu ke—"

"Bawa dia ke sayap penyembuh, Catalya. Minta tabib untuk memberinya ramuan penenang." Aku mengangguk dan dengan itu aku berbalik, menuntun Pangeran yang masih terus bergumam dengan wajah ngeri. Bertanya-tanya apa yang membuatnya begitu shock.

"Itu sama persis," gumamnya kacau.

"Apa yang sama?"

"Tapi itu mustahil. Bagaimana mungkin?" Dia tidak mendengarkanku dan aku menyerah untuk mencari tahu apa yang terjadi di kepalanya.

Setelah kami tiba di sayap penyembuh, salah seorang tabib mengambil alih Pangeran, memberinya sesuatu dari mangkuk untuk dia minum dan beberapa menit kemudian Pangeran mulai tenang dan tertidur. Aku pergi meninggalkannya, kembali ke kamarku untuk mencari lebih banyak petunjuk. Jika si pembunuh mungkin menjadikan aku target maka sebaiknya aku mencari sebanyak mungkin informasi. Kapten masih berada di sana saat aku tiba tapi tubuh Yeva telah dipindahkan. Aku sedikit bersyukur dengan itu. Dan untuk satu detak jantung kami saling mengunci pandangan. Aku dapat merasakan kecurigaan berkobar darinya.

***

Uhh, updatenya molor mulu, maaf yah
Jangan lupa vote, komen, dan syukur kalau mau bantu share :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro