Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5

Dewa Tessos akan mengutukku sendiri. Dia akan memotong jiwaku yang rusak dari tubuhku seperti mesin penuai. Bakar aku selamanya di kedalaman dunia bawah. Maafkan aku Saudara, maaf untuk takdir kematianku yang menodai tanganmu.

Halaman Terakhir, Catatan Buku Harian Putra Mahkota Grishold

Dua prajurit yang mengawalku ke istana memakai baju zirah dengan pelindung dada perak yang diukir dengan simbol pengawal pribadi kerajaan, pohon zaitun dengan lima cabang subur, wyvern hitam melayang di atasnya. Masing-masing cabang untuk mengambarkan lima wilayah besar Grishold. Ryohan, Jadecliff, Celdron Gap, Briar, dan Cenesty. Dan wyvern untuk menghormati pasukan udara mematikan Grishold. Aku belum pernah melihat wyvern dari dekat tapi itu sering melintas di langit Jadecliff, begitu tinggi hingga bahkan dari tebing tertinggi batu giok wyvern itu tampak kecil. Semua orang telah mendengar bagaimana pasukan udara Grishold menghancurkan sebuah kerajaan, pengepungan sepuluh hari kerajaan Tananian yang jauh di utara. Sekarang tanah itu jatuh diperbudak mungkin bernasib lebih buruk dari orang-orangku.

Aku mengusir pikiran itu dan lebih memperhatikan lorong yang aku lewati, mereka membawaku ke sayap barat istana, kediaman Putra Mahkota. Raja ada di sisi yang lain, sayap timur, tempat yang menurut orang-orang memiliki keindahan yang menipu. Tentu saja ruang takhta ada di sana, tempat banyak pemberontak mendapatkan vonis mati mereka sebelum eksekusi di halaman kerajaan. Hukuman di tiang gantungan, pembakaran, dan pemenggalan kepala aku tidak bisa menghitungnya. Pikiran tentang hal itu membuatku ingat apa yang dikatakan Lis. Pangeran memenggal saudaranya sendiri. Benarkah itu? Tapi apa yang dikatakan kerajaan tidak seperti itu, Pangeran Leander mati karena penyakit, jantung yang lemah, tidak dapat bertahan hidup. Namun setelah semua kekejian yang aku lihat, tidak akan mengejutkan untukku jika kerajaan memintal kebohongan untuk menutupi Putra Mahkota baru mereka.

Lalu jika itu benar apa yang bisa aku lakukan? Aku tidak bisa membunuh Putra Mahkota begitu saja, bahkan jika aku bisa itu tidak menyelesaikan satu masalah pun. Mungkin baik jika monster saling bunuh, baik jika mereka saling menghancurkan satu sama lain. Dan jika Pangeran Priam memang semengerikan itu maka akan bagus jika aku memiliki mata padanya. Simpan musuhmu dekat, itu yang selalu Ayahku katakan. Aku berjanji pada Lis untuk memberi tahunya jika ada yang mencurigakan tapi selama Pangeran tidak keluar jalur aku akan menyimpan semua pengetahuan untuk diriku sendiri.

Kami berakhir di depan pintu sebuah kamar, prajurit yang mengantarku membuka pintunya dan sudah ada dua pelayan wanita di dalam. Prajurit bergumam padaku kalau Pangeran akan segera menemuiku dan akhirnya aku ditinggalkan. Dua pelayan itu mendekat, satu lebih muda dari yang lain, rambut mereka dibentuk menjadi sanggul ketat yang tinggi, gaun cokelat sederhana terlihat pas di tubuh mereka, yang lebih tua akhirnya mulai bicara lebih dulu.

"Adakah yang bisa kami lakukan, Lady?" Aku berjengit pada panggilanku tapi menekannya dan menggeleng.

"Tidak, aku ingin berbaring beberapa saat sebelum pertemuan dengan Pangeran. Jadi kalian bisa pergi, aku akan memanggil kalian jika aku butuh sesuatu." Mereka berdua membungkuk, menghilang ke balik pintu. Ketika aku sendirian, mataku mulai memindai kamarku. Ada dua pintu lain, satu mengarah ke sebuah kamar mandi, dan yang lain terkunci. Ada pintu kaca yang mengarah ke balkon kecil di luar. Lemari yang penuh dengan gaun sutra yang halus dan cerah, meja rias dengan cermin lebar. Sebuah lukisan, potret dari Raja dan Ratu duduk di singgasana ruang takhta, tergantung di dinding. Aku membuka tiap laci, mencari apa pun untuk senjata tapi tidak ada. Bunyi 'klik' pintu membuatku waspada dan berbalik ke arah suara. Pintu yang sebelumnya terkunci kini terbuka dan Putra Mahkota berdiri di sana. Aku menatapnya, terdiam untuk beberapa saat.

"Gelisah, Catalya?" ucapnya, aksenya tebal dan kaya dari orang-orang Ryohan. Aku mengangkat alis.

"Catalya?" Aku mencoba mengucapkan nama yang diucapkannya, merasakannya di suaraku. Dia tersenyum, aneh sekali melihatnya seperti itu, seolah kami sama.

"Rose tidak akan berhasil, Catalya Bianca akan lebih baik. Orang-orang akan berpikir kamu dari Briar, gadis polos dan lugu yang aku temukan di sana dalam perjalananku minggu ini, beberapa prajurit mungkin mengenalimu tapi aku sudah membungkam mereka begitu juga gadis-gadis dan penanggung jawab di The Radiant."

"Dan kamu percaya mereka akan tutup mulut, Yang Mulia?" balasku sinis.

"Mereka tidak ingin menyeberangiku, reputasiku akan memastikan itu." Dia melangkah sepenuhnya ke kamarku, menutup pintu di baliknya, tapi sebelum itu aku dapat melihat sekilas kamarnya. Tentu saja kamar kami terhubung, aku di sini sebagai simpanannya, wanita yang menghangatkan ranjangnya untuk sementara waktu, orang-orang harus percaya itu. "Aku harap kamu menyukai pengaturan kamar kita."

"Aku yakin aku tidak memiliki pilihan lain. Dan tentang reputasimu, aku percaya mereka melayanimu dengan baik," ucapku pelan, sindiran atas kemungkinan dia memang telah membunuh saudaranya sendiri.

Dia mengangkat alis tapi tidak berkomentar tentang itu. "Aku ingin kamu menemaniku makan malam bersama anggota pengadilan kerajaan yang lain. Itu akan menjadi awal yang bagus untuk memperkenalkanmu pada mereka." Aku perhatikan dia selalu bicara dengan ketenangan dan mata yang terlatih tajam. Seolah dia selalu curiga. "Buat dirimu terlihat cantik." Komentar terakhirnya diikuti seringai yang menggerakkan sudut bibirnya.

"Siapa yang harus aku dekati?" Dia memikirkan pertanyaan itu sejenak.

"Aku curiga mereka berencana untuk menyerang Stacca. Armada laut mulai dikumpulkan, mereka juga mengangkut dan menimbun mesiu di dermaga selatan. Jika perang itu pecah," dia menghela napas, "Grishold akan cukup berantakan, Stacca adalah penghasil gandum dan rempah terbesar, bahkan Grishold masih melakukan perdagangan dengan mereka setelah gencatan senjata dua tahun lalu. Akan ada banyak kelaparan jika itu terjadi."

"Stacca, negeri besar di seberang laut Tidos. Kamu yakin? Bukankah Raja sedang menyerang wilayah pesisir kerajaan Dumont? Berbatasan langsung dengan Tananian yang baru saja ditakhlukkan?" Aku ingat kengerian kelaparan dua tahun lalu,saat Raja memaksakan ekspansi melewati laut, kekurangan gandum untuk roti, hipotermia karena tidak ada rempah-rempah yang tersisa untuk menghangatkan tubuh di musim dingin keras dan panjang tahun itu. Musim dingin yang hampir mengambil nyawa adikku akibat radang dingin. Jika perang ini pecah, apakah kengerian itu akan terulang?

"Dumont adalah kerajaan kecil, meski tambang minyak mereka membuat kerajaan itu kaya. Ayahku memalingkan mata darinya aku rasa dan aku tidak ingin dia menjangkau Stacca."

"Kenapa?" Ada sesuatu saat dia mengatakan tentang Stacca, itu lebih dari sekadar dia tidak menginginkan kengerian terulang. Sesuatu yang dia tidak ingin bagi denganku. Belum.

"Bukankah sudah cukup alasan bahwa aku tidak ingin kengerian dua tahun lalu terulang lagi?"

Oke, biarkan dia lepas dari ini, biarkan dia berpikir aku bodoh dan mudah diyakinkan. Orang yang tidak waspada selalu lebih mudah untuk dibujuk. "Baiklah, jadi siapa yang kamu ingin aku dekati?"

"Jenderal Angkatan Laut, Laksamana Young." Dia melangkah lebih dekat kali ini, jarak di mana dia bisa meraihku. Jarinya menyentuh helaian yang lepas dari jepit rambutku, dia menyelipkan itu ke telingaku. Panas tubuhnya merasap padaku, aku melihat ke wajahnya dan jantungku berdetak lebih cepat. Jantung bodoh, bisikku di kepalaku. "Laksamana menyukai wanita muda yang bersemangat dan berani. Pakai sesuatu yang gelap itu bagus untuk kulitmu." Dia membungkuk lehih rendah. Dewa Yang Baik! Kenapa aku baru menyadari kalau dia begitu tinggi. Napasnya panas di pipiku, aku tersentak mundur darinya, ingin membuat jarak yang lebih aman di antara kami tapi tangan bayangan menghentikanku. Menahanku tetap dekat dengannya. "Apa yang sudah kamu dengar tentangku?"

Kali ini suaranya mengancam dan jari bayangan yang dia buat menekan lebih erat lenganku. Aku meringis kesakitan dan dia mengendurkannya. "Jawab aku Rosemary!"

"Seseorang memberi tahuku monster macam apa kamu!"

"Dan?"

"Kamu membunuh saudaramu sendiri. Kakakmu, Pangeran Leander." Dia melepaskanku setelah itu dan membuang napas kasar. Dia terlihat malu dan tidak lagi menemui mataku saat dia bicara.

"Kamu percaya aku bisa melakukan itu?"

"Apakah kamu melakukannya?" Dia mengepalkan tinju dan menggeleng panik, untuk sekali ini meski dia berada dalam jubah kerajaannya, dia terlihat seperti pria, anak laki-laki bahkan. "Kamu tidak?"

"Aku tidak tahu." Dia membentak, aku mundur, berharap untuk hidupku aku memiliki pedang saat ini, atau Demi Teffa! Senjata apa pun akan lebih baik dari pada tidak memiliki apa pun.

"Apa maksudmu?" Aku merapat ke dinding, lebih dekat ke pintu bersiap untuk lari jika ini menjadi lebih buruk.

"Aku tidak ingat! Hanya kami berdua di ruangan berdarah itu. Aku tidak ingat membunuhnya, aku juga tidak ingat bagaimana dia bisa mati. Aku hanya tahu dia mati dan aku menjerit."

Mungkin Putra Mahkota gila, mungkin aku harus lari darinya selagi aku bisa. Perasaan yang dia pancarkan saat ini menghancurkan. Perasaan bersalah dan kebingungan, itu memakannya dan membuat perasaan membenci yang gelap, memberi makan keputusasaan di dalam dirinya.

"Kamu tidak percaya itu! Aku tahu! Tidak ada yang percaya. Tidak pernah ada."

"Jangan menebak, Yang Mulia," balasku. "Ingat saat aku memberi tahumu kalau aku bisa merasakan perasaan orang lain? Ingat berkatku? Aku tahu saat seseorang berbohong. Kamu tidak melakukannya saat ini."

Bahunya sedikit relaks dan matanya mencari milikku. Ada sedikit pengakuan aneh di ekspresinya seolah dia bersyukur akhirnya menemukan seseorang yang mungkin bisa mempercayainya. "Priam."

"Apa?"

"Tidak perlu menggunakan gelarku saat kita sendirian."

"Yang Mulia baik-baik saja untukku," balasku.

"Baiklah terserah kamu, Catalya. Sampai jumpa untuk makan malam nanti." Dia mengangguk ringan dan menghilang ke kamarnya, meninggalkan aku dengan misteri dan kekhawatiran baruku sendirian.

Dekati Laksamana dan cegah serangan ke Stacca jika itu yang direncanakan Raja. Cegah kelaparan dua tahun lalu terulang. Baiklah buat diriku cantik kata Pangeran, jadi aku perlu memanggil pelayanku sekarang.

***

Tangan Yeva cekatan di rambutku saat dia membuat sanggul sederhana dan menyisakan beberapa helai di punggungku. Dia terus memuji betapa lembut dan cantik rambut yang aku miliki, betapa halus kulitku, betapa indah bentuk bibirku. Aku penasaran apakah dia juga semanis itu di belakangku. Begitu dia selesai dengan rambutku dia membantuku dengan riasan wajah, mengaplikasikan bubuk gelap di kelopak mataku dan pewarna merah di bibirku, dia memujiku lagi. Mungkin aku akan bosan mendengarnya mengatakan betapa cantiknya aku malam ini. Kemudian Kaia, pelayan yang lebih tua masuk. Dia melihatku, membungkuk sebelum mendekat dan menyerahkan benda yang aku minta dia cari untukku. Wajahnya penuh pertanyaan tapi dia tidak bertanya, keputusan yang pintar.

"Aku akan mengambil alih mulai dari sini, kalian bisa meninggalkan aku sendiri." Yeva melakukan itu tanpa pertanyaan tapi Kaia tinggal.

"Anda perlu bantuan untuk memasang hiasan rambut Anda?"

"Aku bisa melakukanya sendiri." Aku tersenyum. Dia melirik ke daun Belladonna yang dibawa Yeva untukku.

"Apakah Anda akan menggunakan Belladonna untuk mata?" Yah itu yang aku katakan pada Yeva, untuk membuat tampilan mataku lebih lebar dan lembut.

"Aku ingin terlihat menawan malam ini," jawabku. Apakah Kaia curiga?

"Itu mungkin akan memicu iritasi, Lady. Lebih baik tidak menggunakannya."

Apa dia khawatir padaku? Tapi tidak pernah ada yang benar-benar menghargai wanita simpanan. Apakah Kaia curiga aku akan menggunakan itu untuk racun atau dia benar-benar peduli padaku? Aku hanya bisa merasakan perasaan khawatirnya, tapi khawatir untuk apa atau siapa aku tidak tahu.

"Baiklah aku tidak akan menggunakannya. Kamu bisa pergi, Kaia." Dia membungkuk masih terlihat khawatir tapi dia menghilang ke balik pintu. Begitu pintu tertutup aku meremas daun Belladonna dan mengoleskannya pada bagian tajam hiasan rambutku dan menyelipkannya dengan aman di sanggulku.

Aku menatap diriku di cermin tersenyum pada bayanganku sedetik kemudian aku melompat dan memekik saat bayangan lain muncul tiba-tiba di cerminku. Aku berputar dan melihat anak laki-laki mungkin berusia enam belas berdiri di sudut kamarku. Bukan pria, bukan manusia. Terlalu pudar untuk menjadi manusia. "Bagaimana kamu masuk?"

Aku sudah menarik hiasan rambutku detik itu. Dia hanya menatapku dengan pasif, tidak bergerak tapi matanya menatapku. Awalnya aku tidak mengenalinya tapi kemudian aku mengamati matanya yang hitam, kemudian rambut gelapnya dan garis tegas wajahnya. Aku mengenalinya. Putra Mahkota pertama. Hantu kakak laki-laki Priam, berdiri di depanku.

"Apa yang kamu inginkan?" Aku mundur. Aku belum pernah melihat hantu dan aku tidak tahu mereka bisa membunuh atau tidak. Bahkan sebelumnya aku tidak percaya mereka nyata.

Bibirnya bergerak tapi tidak ada suara yang keluar. Meski begitu aku bisa merasakan perasaan sedih yang begitu dingin dan gelap darinya. Lebih dari kesedihan yang bisa dipahami oleh orang yang hidup.

"Apa? Aku tidak tahu apa yang ingin kamu katakan." Matanya frustrasi menatapku dan dia menggerakkan bibirnya lagi. Saat aku masih tidak mengerti dia menunjuk lukisan di dindingku. Potret Raja dan Ratu Grishold. Aku melihat dan masih tidak mengerti tapi saat aku kembali melihat ke sudut tempat Putra Mahkota Grishold yang telah mati berdiri, dia sudah lenyap. Sedetik kemudian pintu kamarku terbuka dan Pangeran Priam masuk.

"Apa yang kamu lakukan?" Aku sadar detik itu aku masih menggenggam hiasan rambutku dengan erat. Aku buru-buru menurunkannya dan tersenyum dengan tegang.

"Bukan apa-apa, Yang Mulia."

Entah bagaimana aku yakin memberi tahunya tentang hantu saudaranya yang muncul di kamarku tidak akan baik. Entah dia akan panik atau dia akan berpikir aku gila. Jadi aku diam.

***

Kalau R boleh tahu, apa sih yang bikin kalian paling penasaran sama RITMAF?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro