2
Di puncak tebing Ryohan, di sisi timur dari Grishold, berdiri kastil batu segelap malam. Orang-orang menyebutnya Obsidian Castle tempat Raja bertangan besi memimpin kerajaan dengan rasa takut. Konon dinding gelapnya menyerap habis cahaya hingga yang tersisa hanya kekejian di baliknya.
—Esei, oleh Tristan Davis Roe
Tubuh-tubuh prajurit yang jatuh mati masih berserakan di dekat gerobak. Aku melihat sekelilingku dan bersyukur karena Selena dan tiga gadis lain tidak ada di sini. Mungkin mereka berhasil lari, setidaknya ada dari kami yang selamat dari nasib mengerikan. Prajurit yang menjagaku, mendorongku untuk kembali masuk ke dalam gerobak, dia memukul kepalaku hingga tersentak ke belakang. Cincin baja di jarinya merobek bibirku dalam prosesnya, rasa darah memenuhi mulutku. Matanya penuh kebencian menatapku dan aku mengembalikannya dengan sama gelapnya. Aku mengirim betapa kebencianku untuk mereka tumbuh tak terukur.
"Kamu hanya anjing Raja, bukan? Mengendus kakinya hanya untuk remah-remah tulang," ucapku. Dia akan memukulku lagi tapi Kapten penjaga itu datang di antara kami.
"Pergi! Tinggalkan dia sendiri!" bentaknya. Prajurit itu mengangguk, memberi salam hormat padanya lalu pergi, membantu prajurit lain untuk membereskan kekacauan.
"Kamu tidak lebih baik darinya, Kapten," ucapku. Aku menggunakan gelarnya untuk mengejeknya dan kali ini dia berbalik untuk menghadapiku.
"Siapa namamu?" Dia bertanya dan matanya melayang ke bibirku yang berdarah, aku meludah ke tanah.
"Kenapa Kapten? Ingin tahu agar bisa memesanku di rumah pembibitan nanti?" Dia menggertakkan rahangnya dan melangkah untuk mendekat. Aku duduk di gerobak jadi dia harus membungkuk untuk membuat wajahnya sejajar dengan milikku. Rambutnya yang cokelat seperti matanya di potong pendek, praktis untuk pertarungan. Hidungnya bengkok mungkin karena patah beberapa kali, dan bibirnya tebal. Dia beraroma seperti kayu dan tanah, aroma hutan.
"Kamu hanya akan membuat dirimu dalam masalah," ucapnya. Suaranya adalah baja yang keras dan tajam, seperti bilah pedang yang diasah.
Aku baru saja akan membalasnya saat gerakkan di sisi hutan menarik perhatianku. Selena keluar dari sana, tangan terikat ke punggung sepertiku dan prajurit berbaris di belakangnya. Mata kami bertemu dalam detak jantung dan kemudian dia didorong masuk ke gerobak bersamaku. Kami tidak mengatakan apa-apa. Kapten penjaga sekarang berjalan ke anak buahnya, langkahnya mantap dan keras, dia punya apa yang disebut Ayahku sebagai tubuh pejuang, tubuh yang dibangun untuk pertempuran. Jika aku adalah kecepatan, Ayahku adalah kekuatan. Dia yang melatihku ilmu pedang dan memanah. Bagaimana cara bertarung dan menjatuhkan pria yang dua kali lebih berat darimu. Sementara Ibu mengajari aku ilmu pengobatan. Dia memberi tahuku jenis-jenis tanaman obat dan racun, bagaimana mengolah dan menggunakan mereka, tapi sekarang aku di sini, terikat dan tidak berdaya. Menunggu untuk berakhir di rumah pembibitan.
"Tiga yang lain tidak ditemukan, Kapten." Salah satu prajurit melapor dan Kapan penjaga mengangguk, kemudian mulai memberi perintah.
Mereka membakar mayat prajurit yang telah terbunuh dan kami meneruskan perjalanan. Satu hari dari Jadecliff untuk menuju istana Raja Grishold. Obsidian Castle begitu orang-orang menyebutnya. Batunya hitam dan dingin menjulang tinggi di puncak Tebing Ryohan, konon cahaya tidak dapat menembusnya dan hanya ada kekejian di baliknya. Orang mengatakan Raja memiliki sihir dan menggunakannya untuk mengendalikan kerajaannya. Putra Mahkotanya, Pangeran Priam Alexandus III tidak banyak dikenal, tapi banyak rumor yang beredar bahwa dia sama kejamnya seperti Ayahnya. Sejak sepuluh tahun yang lalu, Grishold yang dulu dikenal sebagai Negeri Para Dewa kini mulai menjadi negeri di mana mimpi buruk hidup dan bernapas. Raja menaikkan upeti untuk membiayai perang dan ekspansi ke kerajaan lain. Rakyat yang tidak sanggup membayar upeti diambil untuk budak, dan kemudian Raja mendirikan The Radiant, rumah pembibitan di mana gadis-gadis yang dianggap sebagai putri pemberontak ditahan untuk perkosaan, menghasilkan bayi untuk mengisi posisi prajurit kerajaan di garis depan, yang biasanya berakhir dengan mati. Semua mimpi buruk.
Aku ingat saat Jadecliff masih indah dan subur, saat tebing-tebing batu giok memancarkan kilau kehijauan di bawah cahaya matahari. Masih ingat orang-orang yang bekerja di tambang yang makmur. Aku bertanya-tanya akankah aku melihat negeri itu lagi. Berlari di padang rumput tanpa rasa takut pada prajurit kerajaan yang mengintai, dan Dalia, aku berharap Gavin merawatnya, mungkin mereka dapat menyeberang ke selatan, menyebrangi laut Tidos dan pergi jauh ke Negeri Selatan, Ke Kerajaan Stacca. Jauh dari jangkauan tangan besi Raja Grishold. Aku jatuh ke dalam keheningan saat gerobak mulai bergerak, menatap mata Selena yang sekarang redup. Merasakan bagaimana keputusasaan gelapnya ikut menggerogotiku. Kami tahu bagaimana ini akan berakhir dengan satu kengerian atau yang lain.
***
Aku mengintip melalui celah di kanvas gerobak kami saat kami berhenti dan suara gerbang istana ditarik terbuka, suara derit yang berat dari logam yang bergeser, kemudian aku melihatnya. Dinding hitam seperti apa yang dikatakan Ayahku, menjulang tinggi dan kejam. Kuda kami kembali bergerak, membawa kami ke dalam penjara batu yang kelam, debum gerbang tertutup di belakang kami. Selena menatapku, meski tidak ada rasa takut darinya, aku juga tidak merasakan api panas keberanian lagi.
"Apa yang kamu pilih?" Selena mengepalkan jari-jarinya pada rok katun biru pudar yang dia kenakan. Rambut hitam tengah malam yang membayangi wajahnya kontras dengan warna pucat kulitnya. Matanya jernih, dia tidak menangis, aku juga tidak. Untuk satu tarikan napas yang lain kami diam kemudian aku menjawabnya.
"Aku akan hidup dan membalas. Untuk kematian ayah dan ibuku. Untuk setiap penghinaan yang aku dapat. Dan untuk tiap kengerian dari rakyat Grishold dan perjuangan pemberontak." Selena mengangguk.
"Ibuku ada di sana," ucapnya, suaranya mati. "Di The Radiant, mungkin menjadi salah satu yang tertua."
"Ibumu?" tanyaku terkejut. Bagaimana itu mungkin?
"Aku tidak bisa berakhir di sana. Ibuku mempertaruhkan segalanya untuk menyelundupkan aku keluar dari dinding kerajaan. Aku tidak bisa membiarkan dia melihatku berakhir di sana. Bisakah kau katakan padanya kalau aku mencintainya? Katakan terima kasih untuk enam belas tahun kehidupan yang layak aku jalani. Cari dia untukku, Breath of Storm, namanya Lis. Aku punya rambutnya, tinta hitam pekat. Dan jika entah bagaimana kamu menemukan cara untuk pergi, bawa dia. Bawa dia bersamamu karena aku akan memilih kematian."
"Aku akan," ucapku. Aku tahu dia akan memilih mati tapi meski begitu itu masih membuatku terkejut. Bagaimana api seperti dia memilih untuk padam. "Aku harap Dewa Tessos akan melepaskan jiwa pejuangmu dari dunia bawah dan Dewi Teffa akan menerimamu di langit."
Gerobak kami berhenti dan kanvas ditarik terbuka, prajurit mendorong kami untuk turun. Aku tidak dapat menemukan Kapten. Langit berwarna oranye, beberapa saat sebelum matahari jatuh menghilang di sisi barat tebing. Pantulan cahaya redup terhadap batu yang gelap saat prajurit menyeret kami dan mendorong kami berlutut di tengah-tengah halaman. Tepat di depan kami, bagunan besar dengan atap merah menyala berdiri. The Radiant, mimpi buruk untuk setiap perempuan. Hanya ada satu pintu masuk dengan penjagaan dua puluh empat jam. Jendela-jendela kecil dan kesuraman tanpa harapan. Aku menatapnya, tempat di mana aku akan berakhir. Bahkan meski aku mengatakan pada diriku untuk berani aku masih ketakutan. Masih merasa ngeri dengan apa yang terjadi di bawah atap bangunan itu.
Seorang pria dengan tunik cokelat keluar dari dalam rumah. Dia besar dan memiliki kulit hitam yang menyatu dengan malam. Rambutnya adalah warna tinta paling gelap, dan dia berjalan dengan cepat ke arah kami. Matanya bertemu dengan para prajurit. "Hanya dua?" Suaranya berat dan kasar.
"Tiga yang lain kabur. Hukuman cambuk untuk mereka berdua sebelum kamu membawanya," jawab salah satu prajurit. Pria gelap itu tersenyum, giginya putih hampir bersinar. Lalu matanya beralih pada kami, aku balas menatap. Merasakan bagaimana perasaan menjijikkan merayap di kulitku.
"Kalian bunga-bunga yang cantik, bukan?" Dia membungkuk untuk menyentuh daguku kemudian beralih pada Selena. Dia sama diamnya denganku. "Lalu ambil cambuk dan aku akan mengurus mereka setelah itu!" Pria itu menegakkan tubuhnya dan mundur.
Logam dingin pedang menyerempet kulitku saat prajurit memotong kain gaun di punggungku. Aku melirik Selena dan menemukan bagaimana dia tumbuh diam dan perasaan kehidupan meninggalkannya saat dia tidak lagi menginginkannya. Cambuk memecah punggungku, merobek kulitku di pukulan pertama. Aku menjerit kemudian Selena berteriak setelah aku.
Bukan apa-apa. Ini tidak seberapa.
Aku membentak diriku sendiri tapi tiap kali cambuk mengiris kulitku aku berteriak dan menangis. Perasaan tidak berdaya di bawahnya, itulah yang membuatku ngeri. Aku sering terluka dengan pedang saat melakukan penjarahan gudang penyimpanan kerajaan dengan Ayahku untuk para pemberontak tapi cambukan membawa kegelapan keluar. Rasa takut dan putus asa. Udara beraroma darah dan kekejian, lalu saat mereka selesai dengan kami mereka mendorong kami ke tanah merobek ikatan kami. Selen tidak bergerak, aku bertanya-tanya apakah dia sudah mati, tapi aku dapat melihat bahunya bergerak saat bernapas. Belum, dan dia tidak akan mendapatkan kematiannya jika tidak bergerak.
"Bangun!" bentakku. Dia mengerang kesakitan. Prajurit mundur berdiri cukup jauh di belakang kami.
"Tolong," bisiknya dan dia menoleh untuk menemui mataku. Rasa putus asa membasuhku darinya, hanya itu yang mendorongku untuk merobek kain gaunku yang hancur. Dalam gerakkan cepat yang menyakitkan aku mencekik lehernya dengan kain itu. Prajurit berteriak dan bergerak untuk menghentikan aku tapi sudah terlambat. Kepala Selena terkulai dan napas terakhir meninggalkannya. Aku di dorong kembali ke tanah oleh tangan baja. Lebih banyak cambuk menghujaniku. Aku penasaran seperti apa punggungku sekarang, apakah itu hancur dengan kulit terkelupas dan daging terkoyak. Apakah tulangku terlihat. Aku dapat merasakan hangat dari darahku yang basah tapi bahkan semua itu tidak mendorongku untuk mati rasa yang baik. Udara malam yang dingin hanya membuat lukaku terasa begitu perih.
"Aku rasa itu sudah cukup," ucap sebuah suara, aku pikir milik seorang pria, masih muda. Aku tidak punya kekuatan yang tersisa untuk menoleh, untuk melihat milik siapa itu, tapi cambukan berhenti.
"Yang Mulia," ucap Prajurit yang mencambukku. Suaranya gemetar.
Pangeran? Putra Mahkota?
"Bersihkan dan rawat lukanya!" perintahnya tajam dan merendahkan. Aku menyumpah dan marah di dalam diriku. Ingin merobek kesombongan dari dirinya. Jika saja aku bisa bergerak. Andai aku bisa memiliki pedangku. Aku akan merobek kepala dari lehernya.
"Yang Mulia," ucapku. Suaraku kasar dan mencicit tidak terdengar seperti milikku. Dia melangkah untuk berdiri di dapanku, sepatu bot kulit hitamnya memasuki pandanganku, mengkilap tanpa cacat dan debu. Perlahan aku mendongak. Terluka patah dan berdarah. Aku menemui mata hitamnya, bulu matanya panjang dan rambutnya yang gelap jatuh ke dahinya. Dia mengenakan tunik bersulam benang emas dengan bordir simbol kerajaan di dada kirinya. Pedang hitam yang menyilang, melindungi wyvern dengah cakar di belakangnya.
Aku meludah di kakinya. Prajurit membentak di belakangku tapi Putra Mahkota hanya melambaikan tangan dan mereka berhenti. Dia berjongkok di depanku dan mengambil wajahku. "Katakan namamu!"
"Aku mimpi burukmu." Dia menggeleng dan melepaskanku.
"Bawa dia! Pastikan tidak terjadi infeksi pada lukanya!" Dia kembali berdiri dan kami masih memegang tatapan di antara kami. Hingga dia berbalik, pergi menjauh dari kekacauanku.
***
Please comment and vote this story, tell me what do you think about Rose in the mist and flame :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro