19
Sering kali aku hanya melihatnya, menunggu, dan membayangkan dia akan tersenyum. Lalu aku tidak pernah mengatakan padanya apa yang aku pikirkan saat aku menatapnya.
—Gadis Pelayan di Kastil Para Dewa, oleh Gresya Solandis
Turun kembali ke kedalaman tambang tidak memberiku kenyamanan sedikit pun, bahkan meski aku tahu matahari masih tinggal di atas sana, di suatu tempat. Hawa dingin tidak pernah meninggalkan tempat ini, terasa tajam pada kulit dan memberi ilusi bahwa dunia tidak lagi berputar dan itu terjebak untuk menjadi malam abadi selamanya. Mungkin itu juga yang dipercaya oleh tahanan di sini, berpikir dengan putus asa bahwa dunia tidak lagi nyata. Hanya ada lubang gelap dan dingin ini untuk kenyataan mereka.
"Jadi Lis adalah rekanmu?" kata Torin, dia melangkah dengan yakin saat melewati beberapa lorong dengan lantai yang buruk. Beberapa serpihan batu jatuh dan lubang-lubang bergerigi yang terkikis membuatku harus memperhatikan setiap langkah yang aku ambil.
"Dia membantuku mengeluarkan gadis dari The Radiant," Torin mengangkat sebelah alisnya, "dan aku tidak berpikir itu hal yang bodoh untuk dilakukan!" desisku sebelum dia sempat mengatakan apa pun.
Dia tidak mengomentari nada tajamku, malah mengajukan pertanyaan lain. "Apa kamu serius tentang idemu? Tolong katakan padaku lagi, kamu ingin berbicara dengan wyvern? Itu masih terdengar seperti hal bodoh untukku."
"Bawa saja aku pada wyvern yang menjaga lorong tempat eksekusi akan berlangsung. Aku akan urus sisanya, aku tahu apa yang aku lakukan." Setidaknya aku pikir aku tahu apa yang aku lakukan.
"Demi kebaikanmu, aku harap kamu benar."
"Ceritakan padaku lebih banyak tentang Dreadbringer, bagaimana mereka membuatnya? Apa yang mereka bisa lakukan? Selain yang sudah jelas."
Torin menggosok telapak tangan ke celananya, seolah dia baru saja menyeka keringat yang membasahinya. Seolah pertanyaan tentang makhluk itu membuatnya gugup. Aku tidak menyalahkannya, itu memang mengerikan. "Dreadbringer, itu nama yang tepat."
"Jadi?"
"Yah, mereka butuh tubuh fana untuk membangun makhluk seperti itu, untuk bejana." Dia menoleh memperhatikan wajahku, mencari tahu apakah aku mengerti.
"Tubuh manusia untuk wadah?"
"Ya."
"Bagaimana? Apakah manusia itu mati? Atau dia hidup di suatu tempat berbagi dengan hal kengerian itu?"
"Aku tidak tahu." Dia menggeleng, wajahnya tertimpa cahaya merah dari api obor. "Aku hanya pernah melihat sekali. Awalnya dia seorang pria, begitu keras dan penuh kehidupan lalu dia hilang. Tidak ada yang tersisa."
Kuku-ku menggali ke telapak tanganku, aku membayangkan apa yang mungkin perlu dilakukan untuk menciptakan sesuatu seperti itu. "Beri aku detailnya! Apakah kamu mengenal pria ini?"
"Tidak. Aku hanya tahu dia seorang pemberontak dari Celdron Gap. Saat pertama kali dia tiba di sini, ada api itu, pemberontakan. Dia tidak pernah menundukkan kepalanya pada siapa pun, seolah dia menantang dunia itu sendiri untuk melawannya. Kemudian minggu-minggu berlalu, dia dikurung di Womb, tentu saja. Ada pengurangan. Sedikit bagian dari dirinya mulai hilang, itu bukan hal yang aneh. Setiap tahanan di Womb tidak pernah keluar dengan sesuatu yang sama seperti saat mereka masuk, seolah dinding-dinding di sana memakan mereka. Tapi api itu masih di sana, dia masih menatap setiap orang ketika dia dibawa keluar. Tatapan gila, ingin mencabik, ingin menghancurkan, dia masih di sana."
"Lalu bagaimana itu hilang?" Aku memikirkan Lis, apakah dia akan berubah ketika aku berhasil membawanya keluar. Seberapa banyak bagian yang bisa aku selamatkan?
"Jenderal Moringan menghancurkannya. Membuatnya ingin menukar apa pun dari dirinya yang tersisa untuk mengakhiri setiap penyiksaan." Torin mengucapkan itu seolah dia sendiri masih belum cukup mempercayainya.
"Begitu buruk?" Kami mencapai ujung dari terowongan, Torin mengambil belokan ke kanan, lebih banyak lantai retak, debu dan kerikil tersebar. Aku terus mengikutinya, mengabaikan perasaan dari lorong-lorong yang aku lewati, perasaan bahwa ada seseorang yang mengawasi kami. Itu hanya paranoid, aku mengatakannya berulang kali di kepalaku. Bahkan saat aku berpikir mendengar set langkah kaki yang lain. Itu hanya gema, pikirku, meski aku tetap menoleh ke belakang. Torin tetap tenang.
"Jenderal tahu banyak cara untuk membuat rasa sakit," dia mengusap telapak tangannya lagi ke kain celana sebulum dia melanjutkan, "lalu ketika pria itu menyerah, Jenderal membuatnya mencium cincin dengan batu merah gelap di jari telunjuknya."
"Cincin? Aku tidak pernah melihat hal semacam itu di tangannya."
"Dia hanya memakainya di saat penyiksaan. Ketika tidak, dia akan menghubungkannya dengan rantai di lehernya."
"Kenapa?"
"Siapa yang tahu?" balasnya, hampir terdengar seperti sindiran. "Mungkin takut seseorang akan mencurinya, atau mungkin sesuatu yang lebih buruk."
Aku membiarkan diriku mengangguk, menambahkan cincin ke daftar misteri baruku. Hantu kengerian, cincin, tempat ini, semuanya harus terhubung dengan Raja, entah bagaimana. "Lalu apa?"
"Pengorbanan darah dan merapalkan mantra, tentu saja."
Aku diam, menetap Torin berharap dia tertawa dan memberi tahuku itu lelucon, ketika dia tidak, aku bertanya, "Mantra seperti memanggil sihir?"
"Memanggil makhluk itu, kekejian itu. Jenderal memotong telapak tangannya dan membiarkan darahnya membasahi bumi, menggumamkan bahasa yang tidak aku mengerti. Itu terdengar seperti lagu, lalu kegelapan muncul dari bayangan. Tidak berbentuk, hanya berupa asap hitam pekat dengan dua titik cahaya putih yang aku tebak menjadi semacam mata mereka. Dan kemudian benda itu, asap hitam, mereka masuk melalui mulut. Pria itu menelannya, hanya tersisa transformasi setelah itu. Daging mengering, kulit menyusut, tulang menjadi asap hitam padat. Itu bukan manusia, dan orang paling bodoh sekali pun akan tahu itu adalah sihir hitam. Darah, mereka selalu membutuhkan darah untuk ritual."
"Apa menurutmu makhluk asap ini?" Aku menggosok lenganku, menjadi terlalu sadar dengan kegelapan di sekitar kami. Berpikir itu bisa hidup dan menelan kami utuh.
"Percaya pada cerita-cerita yang dinyanyikan di tengah api unggun?"
"Setelah semua yang aku lihat, mustahil untuk tidak mempercayainya," jawabku.
"Anak-anak malam, mereka yang menunggu di dalam bayangan untuk dipanggil keluar. Mereka yang tercipta dari kegelapan Shade, Raja Setan. Itu tebakan terbaikku." Torin berhenti melangkah, aku melakukan hal yang sama. "Hanya berjalan lurus dari sini dan kamu akan menemukannya. Penjaga biasanya tidak memeriksa tempat ini, kita tidak menyimpan tahanan di sekitar, hanya ruang eksekusi jadi seharusnya tidak akan ada masalah selama kamu bisa menangani wyvern seperti yang kamu katakan."
Aku mengisap napas ke paru-paruku, mengangguk dengan perlahan. Itu akan berhasil, aku akan membuatnya berhasil. "Tunggu saja di sini! Aku akan kembali."
"Lakukan! Aku tidak akan mengikutimu." Dia menyeringai mengejekku. Aku tidak mengatakan balasan apa pun pada Torin, aku hanya berjalan ke lorong yang dia tunjukkan. Hingga aku melihat siluet besar meringkuk di tanah. Tubuhnya bergerak saat bernapas dan begitu aku cukup dekat untuk melihatnya dengan jelas, mata wyvern terbuka. Oranye terbakar terang seperti api.
Tidak seperti Keagan dengan sisik merah api, dia memiliki warna hijau lumut yang gelap dan kusam. Giginya mencuat keluar dan rantai yang terhubung ke menset besi di lehernya menambatkannya ke dinding. Menahannya di sana. Tidak mungkin bergerak lebih dari beberapa meter. Sayapnya yang besar terlipat ke tubuhnya, aku penasaran apakah dia masih ingat cara menggunakannya, apakah dia ingat bagaimana terbang. Aku mengambil langkah lebih dekat, masih di luar jangkauan dari panjang rantainya sehingga dia tidak akan bisa mencabikku jika dia mau. Kami saling mengamati, menilai satu sama lain. Aku menemukan banyak bekas luka, beberapa sisik yang dicungkil meninggalkan petak kecil dari daging, moncong yang dirobek dengan buruk, dan aku meringis saat melihat sayapnya yang cacat, itu robek di tepi, seolah sesuatu yang tajam dan berat telah menghancurkan mereka. Menjepit mereka seperti rahang.
"Aku bisa membantumu," kataku, manahan mataku untuk fokus pada matanya yang berapi-api. Dia mengedipkan selaput matanya, senyum hantu mucul di moncongnya, memamerkan set gigi yang masih tajam. Aku mendekat. Masih cukup jauh jika aku harus melompat mundur untuk menghindari serangan.
Lebih dekat Gadis kecil! Lebih dekat! Biarkan aku mencicipi daging dan tulang.
Aku bergidik pada ucapannya tapi tetap mencegah gemetaran muncul ke permukaan. Alih-alih aku malah membiarkan belatiku meluncur ke telapak tanganku dari lengan gaun. "Kamu tidak tahu apa yang kamu katakan! Aku bisa membantumu atau membunuhmu. Itu pilihanmu."
Dia berkedip lagi. Wyvern suka bertarung.
"Aku bisa memberimu lebih banyak pertarungan." Dia memperlihatkan lebih banyak gigi, satu set penuh yang mengerikan. Ada noda hitam di beberapa tempat, mungkin sisa dari daging yang dia makan. Aku menolak memikirkan daging jenis apa itu jadi aku hanya terus bicara, "Dan kebebasan."
Menggoda. Gadis kecil suka menggoda.
"Tidak. Bukan aku." Aku mengeluarkan set kunci pick dari kantung gaunku. Aku tidak tahu di mana Torin menemukannya, karena satu-satunya jawaban yang dia berikan saat aku bertanya adalah, 'Setiap orang perlu melarikan diri setidaknya sekali.' Kemudian dia hanya memberiku senyum bermain-main. "Aku bisa melepas belenggumu dan akan melakukanya. Hanya jika kamu bersumpah padaku."
Lalu lakukan Gadis kecil dan lihat apakah aku akan mencabikmu.
"Jika aku melepaskan belenggu, kamu akan tinggal di sini lebih lama hingga matahari terbenam hari ini. Akan ada beberapa orang yang datang. Aku ingin kamu mengacaukan mereka untukku. Buat kekacauan dan kemudian hancurkan atap untuk lari. Bisakah kamu melakukan itu?"
Aku mengambil langkah lain tidak menunggu dia menjawab, ketika aku cukup dekat dan dia tidak mengubahku menjadi potongan aku menganggap itu sebagai persetujuan. "Bisakah kamu terbang?"
Tidak. Sayap terlalu rusak tapi Caonach akan melakukan apa yang Gadis kecil inginkan. Sudah lama menunggu.
Jadi aku membuka belenggunya dan pergi.
***
Saat aku kembali ke kamarku Kapten ada di sana, duduk dengan tegang di atas dipanku. Dia melompat berdiri begitu aku masuk, kemarahan panas bocor darinya berembus langsung ke arahku. "Kemana saja kamu?"
"Beberapa tempat, Kapten."
"Kamu hampir mati semalam!"
Aku memiringkan kepalaku, bingung dengan ledakkannya. "Dan sekarang aku baik-baik saja." Dia mengangguk dengan putus asa sepertinya tidak yakin bagaimana menanggapi itu. "Sekarang ... sekarang, dengarkan aku!"
"Apa?" Dia mendongak, menemui wajahku yang tersenyum. Itu hanya membuat dia mengerutkan dahi.
"Aku punya rencana dan aku perlu bantuanmu di dalamnya," ketika dia membuka dan menutup mulutnya untuk menyangkalku, aku meneruskan kata-kataku, "aku sudah menyiapkan semacam gangguan untuk saat-saat eksekusi Lis. Aku tidak peduli jika gangguanku membunuh setiap penjaga di sana, aku akan menganggap setiap prajurit bersalah dan pantas mati."
"Lebih banyak kematian? Itu idenya?"
"Persetan! Ada lebih banyak ketidak adilan di luar sana, jika aku harus mengotori tanganku untuk membuat semuanya kembali benar, maka biarlah." Tidak akan ada cara yang mudah. Itu selalu membunuh atau dibunuh, melukai atau dilukai. Berdarah atau mengambil darah.
"Tidak harus seperti itu, Rosemary."
"Itu selalu seperti itu, Kapten. Kamu juga pernah melakukanya!" bentakku. Aku tidak bermaksud itu, tidak bermaksud melukainya dengan kata-kataku tapi aku muak dan aku ingin dia melihat kebenarannya. Sama seperti saat dia dulu yakin pemberontak pantas mati.
"Aku tidak pernah bermaksud mengambil nyawa. Aku tidak pernah menginginkan itu. Aku terikat dengan sumpah dan tugasku."
"Lalu aku juga. Aku tidak ingin mengambil nyawa siapa pun, tidak bisakah kamu melihat itu? Ini bukan tentang apa yang aku inginkan, ini tentang apa yang harus aku lakukan." Dia masih tidak menjawabku. "Kamu berjanji akan membantu. Aku memintamu sekarang, tolong aku Drake."
"Baiklah, apa yang kamu butuhkan?"
"Aku hanya butuh kamu memandu jalan keluar. Terlalu banyak labirin, aku tidak bisa mengingatnya. Dan aku perlu sedikit penyamaran. Seragam penjaga yang cukup kecil harus berhasil." Aku berjalan gelisah di lantai kamarku. Tidak menyadari saat Drake mendekat dan menghentikanku untuk membuatku menatapnya.
"Kemana kamu akan membawanya pergi?" Dia bertanya dengan wajah berkerut. Perasaannya bertentangan antara lega dan takut. Aku berkedip mencoba hanya fokus pada wajah dan pertanyaannya. Bukannya menyelidiki lebih jauh tentang perasaannya yang sekarang membingungkan.
"Bukan aku. Aku hanya akan membawa Lis ke pos penerbangan selatan. Torin akan ada di sana siap dengan wyvern untuk lepas landas. Ini akan berhasil, aku sudah memikirkannya."
"Torin?" tanyanya bingung. Dia mungkin sedang mengacak memorinya tentang daftar nama prajurit yang bertugas di sini.
"Torin Kellan. Berambut merah, penjaga di pintu masuk saat pertama kali kita tiba. Ingat?"
"Kamu percaya dia?"
"Dia ingin pergi dari tempat ini. Aku tahu dia tidak berbohong. Jadi yah ... aku percaya padanya." Anehnya itu membuat Kapten mendengus. "Apa yang salah denganmu, Drake?"
Dia kemudian tertawa. "Hanya lucu."
Aku mengangat daguku dan memberikan tatapan tajam, bahwa tidak ada yang lucu dariku, atau rencanaku. "Apa?"
"Kamu."
"Aku?" tanyaku jengkel. Aku banyak hal tapi pasti bukan lucu.
"Begitu banyak untuk membuatmu percaya padaku dan memanggilku Drake. Tapi hanya butuh dua hari untuk Torin. Apakah aku sangat mengerikan, Rose?"
Tangan yang sebelumnya ada di pergelangan tanganku kini berada di lenganku, menahanku untuk tidak mundur. Matanya menuntut sebuah jawaban yang tidak yakin aku miliki. "Itu berbada." Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.
"Apa yang berbeda?" tuntutnya. Aku hanya tahu dia tidak akan melepaskan ini.
Aku memejamkan mata, tidak ingin memenuhi tatapan yang meminta terlalu banyak perhatian saat aku menjawab, "Torin tidak ada di sana saat orang tuaku mati. Torin tidak memimpin pasukan prajurit yang mengeksekusi mereka. Aku pikir itu banyak perbedaan."
Aku dapat merasakan dia menghela napas dan saat aku mengintip di antara bulu mataku, aku menemukan dia juga memejamkan mata. "Kamu benar, itu banyak perbedaan. Betapa bodoh pertanyaanku."
"Maaf," ucapku meski aku tidak yakin untuk apa. Itu bisa apa saja. Maaf sudah menempatkannya dalam risiko masalah, maaf sudah mengacaukan ketenangan hidupnya, maaf sudah membuatnya terlibat lebih jauh. Tapi aku tahu bukan semua itu aku meminta maaf. Aku minta maaf karena kata-kataku melukainya.
"Untuk apa?" Dia belum membuka matanya, juga belum melepaskan lenganku. Aku bisa saja mendorongnya atau memelintir lengannya untuk melepaskanku, lebih baik lagi, aku bisa menendangnya atau menghancurkan jari kakinya dengan tumitku tapi untuk alasan yang aku tidak tahu, aku tidak melakukannya.
"Aku tidak tahu." Aku berbohong dan kemudian dia membiarkan matanya terbuka.
Aku tidak melihat itu datang. Atau bagaimana. Atau kenapa. Itu hanya terjadi, dan aku tidak pernah tahu jawabanku. Apa? Kenapa? Bagaimana? Tidak ada sama sekali, karena itu hanya terjadi tanpa alasan. Hanya seperti itu.
Kami mengunci mata, seolah kami baru saja sepakat dan menyerah. Kemudian ada bibirnya di bibirku. Itu tidak terasa seperti apa pun yang pernah aku bayangkan karena aku tidak pernah membayangkannya. Dia tidak mencoba mendorong ciuman itu lebih jauh, hanya ciuman ringan. Bibir dengan bibir. Ciuman yang begitu polos, hampir tidak bersalah. Lalu tanganya tidak lagi di lenganku, itu ada di tengkukku, menarik wajahku lebih dekat. Dia menggerakkan bibirnya melawan milikku dan aku membalasnya. Aku tidak terlalu yakin apa yang aku pikirkan, aku hanya tahu aku harus menghentikannya. Jadi aku menarik diri saat dia juga melakukanya. Mata kami sekali lagi terkunci dan aku berkedip terhadap warna iris cokelatnya yang masih menatap bibirku.
"Rose—"
"Bukan apa-apa. Tidak ada yang terjadi," ucapku tanpa mengalihkan mataku dari tatapannya. "Tidak pernah ada."
Dia mengangguk dengan enggan. "Tentu saja, tidak ada yang terjadi."
Dia mundur lebih jauh, sementara aku masih membeku di tempat kakiku berdiri, dan memiliki dorongan kuat untuk meminta maaf lagi. Karena sekali lagi aku dapat merasakan kekecewaan dan sakit darinya. Tapi aku tidak pernah mengatakannya, tidak pernah meminta maaf lagi. "Temui aku di lorong terdekat dengan tangga ke tingkat pertama."
"Tentu. Aku akan ada di sana." Kemudian dia keluar.
Aku naik ke dipan dan tanpa alasan yang bisa aku mengerti aku menarik selimut menutupi kepalaku.
***
Boleh minta vote and comment?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro