EVENT SINDROM_HARD FOR ME
Screenwriter: pockytn // Casts: BTS V, NCT Taeyong & Blackpink Jisoo
A/n: don't plagiat or copy paste without my permission!
****
Mobil sedan berwarna hitam itu oleng setelah berusaha menghindari sebuah truck bermuatan lebih dari arah yang berlawanan.
Pemuda itu mengancingkan giginya rapat, keningnya mengkerut, wajahnya terlihat sangat serius, kedua tangannya menggenggam erat kemudi, tubuhnya oleng ke sana kemari mengikuti arah mobil.
Sementara gadis di sampingnya tak kuasa menahan tangis. Air matanya tumpah. Jerit ketakutan mengalun.
Mobilnya makin tak terkendali. Hingga mobil itu berakhir dengan menabrak pagar pembatas jalan sebuah jembatan, lalu terjun ke jurang yang terjal. Semakin merosot ke bawah, dan berhenti di tepian sungai.
Pemuda itu berusaha mmebuka mata saat rasa nyeri menjalar, menyengat sekujur tubuhnya. Matanya memicing. Samar-samar ia bisa melihat sebuah mobil yang tadi dikendarainya berada sepuluh meter dari tempatnya. Telinganya berdengung saat suara isak tangis gadis yang dikenalnya menyapa.
"Ji-Jisoo..." lirihnya tertahan.
Detik berikutnya matanya membulat sempurna ketika mobil itu meledak, lalu terbakar. Nafasnya tercekat, air matanya tumpah ruah. "KIM JISOO!!!"
Hosh... Hosh... Hosh...
Taeyong terbangun, terperanjat dengan peluh membanjiri sekujur tubuhnya. Lagi. Mimpi itu datang lagi. Mimpi yang membuat pemuda itu selalu dirundung rasa bersalah. Kejadian dua tahun yang lalu yang berhasil merenggut nyawa seseorang yang sangat disayanginya.
Tak kuasa lagi menahan sesak di dadanya, Taeyong menangis tersedu-sedu di atas ranjangnya yang terasa begitu dingin. Mimpi buruk yang ia alami selama kurun waktu dua tahun itu begitu menyiksanya.
Segala cara telah ia kerahkan, bahkan setiap minggunya Taeyong rutin mengontrol kesehatan jiwanya dengan bantuan seorang psikiater berpengalaman.
Namun hasilnya nihil. Mimpi yang merupakan sebuah penggambaran perasaan bersalahnya tetap muncul menghantui malamnya.
Pemuda bersurai putih perak itu terjaga hingga sang fajar menyapa.
Kedua matanya nampak membengkak, akibat menangis semalaman. Lingkaran hitam di sekitar area matanya semakin menebal. Lelah. Itulah yang dirasakan Taeyong sekarang. Tapi, rasa bersalah yang selalu menghantuinya lebih ia khawatirkan dibanding kesehatannya. Tanpa banyak pertimbangan, dengan gerakan cepat Taeyong bangkit dari tempat tidurnya dan segera bersiap-siap untuk pergi ke suatu tempat.
Sebuah motor sport hitam jenis Kawasaki ZX6R melaju dengan kecepatan di atas rata-rata membelah jalanan kota Seoul yang nampak sedikit ramai. Taeyong mengendarai motornya dengan wajah cemas. Ingin rasanya ia mempunyai sebuah kekuatan magis agar bisa cepat berpindah-pindah tempat seperti halnya dalam drama-drama di televisi ataupun dalam cerita-cerita fantasi yang sering ia baca.
Taeyong memarkirkan motornya di depan sebuah gereja yang biasa ia kunjungi akhir-akhir ini. Kedua tungkainya menuntunnya masuk lalu mendudukkan diri di salah satu kursi panjang berwarna cokelat yang ada di dalam gereja.
Suara ketukan sepatu dengan lantai menggema, tertangkap oleh indera pendengaran Taeyong. Tanpa menoleh, Taeyong seakan sudah tahu siapa yang datang menghampirinya. Pemuda itu membuang nafas gusarnya ke udara bebas. Wajahnya tertunduk dalam.
"Dia kembali." Lirih Taeyong namun masih dapat didegar si lawan bicara.
"Bukankah sudah aku bilang, kau harus menyegarkan pikiran juga tubuhmu. Setidaknya ambil cuti selama seminggu lalu pergilah berlibur ke luar negeri. Di mana saja."
Taeyong tersenyum miris, "Jungwoo, aku—"
"Kau bahkan tidak menyadari sejak kapan rambutmu itu memutih."
Taeyong kembali bungkam saat Jungwoo, pastur muda kenalannya kembali menyinggung soal rambutnya yang memutih semua tanpa ia sadari. Seingatnya, ia belum mengganti warna rambutnya dengan warna terang begitu. Apalagi warna putih.
"Kau sudah mengunjunginya hari ini?" Jungwoo kembali bertanya.
"Belum."
"Lalu, bagimana dengan Taehyung?"
Tak ada jawaban atas pertanyaannya. Jungwoo menghela nafasnya, ia sudah paham betul masalah mereka. Itu artinya hubungan Taeyong dengan Taehyung sudah diambang kehancuran.
"Mau sampai kapan kau akan menghindarinya? Terlalu lama menghindar juga tak baik. Untukmu, untuk Taehyung, juga untuk Jisoo."
MendengarJungwoo menyebut nama gadis yang sangat dirindunya itu sukses membuat Taeyong semakin menunduk dalam. Air matanya yang sejak tadi ia tahan, sudah tak dapat terbendung lagi. Cairan bening itu tumpah seketika. Mengalir, membasahi kedua pipinya. Dari jarak sedekat ini, Jungwoo bisa melihat dengan jelas tubuh Taeyong yang bergetar hebat. Kalau sudah begini, Jungwoo pun tak tahu harus begaimana. Maka Jungwoo memilih duduk diam, menemani sahabatnya itu dalam kebisuan.
*
"Marie Antoinette Syndrom. Begitulah sebutannya. Saya rasa Tuan Muda tengah mengalami ini. Secara fisik, hanya rambutnya saja yang memutih secara keseluruhan, tapi ini cukup bahaya. Karena sindrom ini akan muncul saat penderita mengalami tekanan secara psikis."
"Lalu apa yang harus kami lakukan? Dokter, tolong. Lakukan cara apapun untuk anakku, Taehyung." Pintanya sembari menggenggam erat lengan sang dokter.
"Maaf Tuan, ini bukanlah hal yang bisa diobati dengan resep obat. Saya sarankan agar Tuan Muda dibawa ke psikiater yang ahli dalam hal ini. Bukan hanya itu saja. Harus ada kemauan dari Tuan Muda untuk pulih. Karena percuma saja jika Anda mendatangkan seorang psikiater ternama tapi Tuan Muda tak ingin lepas dari penderitaannya."
Tuan Kim bungkam. Hatinya sakit mendapati sang buah hati satu-satuya harus menderita seperti ini. Semua terjadi setelah Taehyung kembali ke Korea beberapa bulan yang lalu. Saat itu Taehyung yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di Colombia kembali dengan membawa kabar bahagia. Namun semuanya musnah. Rencananya yang ingin meminang Jisoo setelah lulus kuliah harus ia kubur dalam-dalam saat ia mendengar kabar kematian Jisoo.
Jisoo meninggal dalam sebuah kecelakaan tunggal dua tahun yang lalu. Lebih mirisnya lagi, tubuh tak bernyawa Jisoo ditemukan dalam keadaan mengenaskan. Tak lama Taehyung pun mendengar kabar bahwa saat itu Jisoo tak sendiri. Kecelakaan itu menimpanya saat ia sedang bersama Taeyong, sahabat karibnya.
Taehyung murka. Ia langsung menemui Taeyong, menghajarnya habis-habisan. Taeyong pasrah. Ia menerima setiap tinjuan yang Taehyung beri padanya. Ia sadar, ia salah, ia sudah membunuh orang yang paling berharga bagi Taehyung, juga dirinya.
Taehyung meringkuk di sudut kamarnya yang luas sembari memeluk sebuah figura berukuran kecil. Air matanya sudah mengering karena hampir setiap harinya Taehyung menangis setiap kali ia teringat Jisoo.
Ah, Taehyung jadi teringat bagaimana wajah berseri Jisoo saat tersenyum padanya. Atau saat Jisoo menangis dalam pelukannya ketika ayahnya meninggal dulu. Bagi Jisoo, Taehyung adalah sandarannya. Dan bagi Taehyung, Jisoo adalah segalanya.
"Jisoo-ya..." lirihnya hampir tak bersuara.
*
Taeyong dan Jungwoo berjalan beriringan keluar gereja. Keduanya lebih memilih diam. Taeyong baru saja hendak angkat kaki setelah sebelumnya berpamitan pada Jungwoo, namun suara Jungwoo menahannya.
"Temui Taehyung." Persetan dengan perasaan Taeyong saat ini, ia tak peduli. Jungwoo sudah siap dengan konsekuensi apapun yang akan diterimanya dari Taeyong karena sudah berani menyuruh pemuda itu untuk bertemu dengan orang yang paling ia hindari.
"Mau bagaimana pun kau harus menemuinya. Temui dia lalu setelah itu ajak ia untuk menemui Jisoo."
Taeyong tak menanggapi saran Jungwoo. Ia langsung pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata pun.
"Semoga Tuhan memberkati kalian." Gumam Jungwoo.
Motor yang dikendarai Taeyong melaju dengan kecepatan tinggi. Berkelok ke sana-kemari menyalip beberapa kendaraan lain. Matanya yang tajam—setajam mata elang itu fokus menatap jalanan di depannya.
Ia menghentikan motornya tepat saat warna merah pada lampu lalu lintas menyala. Taeyong terdiam sejenak. Perkatan Jungwoo padanya tadi kembali terngiang di telinganya. Ketika lampu lalu lintas itu berganti warna menjadi hijau, Taeyong kembali melajukan motornya.
Motor itu berhenti di depan sebuah rumah megah milik Kim Taehyung.Cukup lama Taeyong hanya menatap pagar rumah milik Taehyung. Tak lama kemudian, pintu kecil di samping pagar mewah itu terbuka.
Kedua pasang mata kelam itu bertemu saat Taeyong menoleh ke asal suara dan mendapati Taehyung yang menatapnya tajam.
"Taehyung..."
Taehyung mendengus, "Berani sekali kau memperlihatkan wajahmu itu, pembunuh?!"
Tangan Taeyong terkepal kuat ketika mendengar Taehyung memanggilnya dengan sebutan pembunuh. Sekuat tenaga Taeyong mencoba untuk menahan emosinya. "Terserah kau mau menyebutku dengan julukan apapun, tapi Taehyung..." helaan nafas gusar meluncur bebas ke udara. "—aku hanya ingin meminta maaf dan mengatakan semuanya padamu. Semua yang terjadi pada hari itu. Semuanya."
"Aku tidak butuh penjelasanmu. Itu tidak akan bisa membuat Jisoo kembali lagi. faktanya kau yang sudah membunuh Jisoo." Wajah Taeyung terlihat kebas.
"Baiklah, aku akui. Aku lah yang sudah membunuh Jisoo. Aku lah yang bersalah. Maafkan aku."
"Kata maaf tidak akan bisa membangkitkan orang yang sudah mati, Lee Taeyong."
"Aku tahu." Taeyong meneteskan air matanya. "Tapi Taehyung, apa kau pernah berpikir tentang perasaan Jisoo? Seperti; bagaimana reaksinya saat melihat kita bertengkar seperti ini? Atau apa yang akan Jisoo katakan padaku dan kau demi membuat kita berbaikan?"
Taehyung bungkam. Tak berniat menanggapi semua ocehan Taeyong.
"Tadi pagi aku pergi ke gereja untuk menemui Jungwoo setelah sebelumnya aku kembali bermimpi buruk tentang Jisoo. Jungwoo bilang aku harus memberanikan diri untuk menemuimu dan meminta maaf padamu dengan benar. Awalnya aku menolak, tapi jika aku pikir-pikir lagi, tidak ada salahnya aku menemuimu."
"Juga, mengingat Jisoo aku jadi kembali teringat kenangan kita dulu. Jisoo yang sellau berada ditengah-tengah kau dan aku. Jisoo yang selalu peduli—ah, maf aku jadi banyak bicara seperti ini. Maaf, Tae..."
"Taeyong,"
Taeyong mendongak begitu mendengar Taehyung memanggil namanya. Tanpa embel-embel pembunuh.
"Mau bertemu dengan Jisoo?"
*
Di sini lah keduanya berada. Berdiri berdampingan menghadap sungai tempat Jisoo menghembuskan nafasnya dua tahun yang lalu. Taehyung meletakkan sebuah buket bunga mawar putih dan bunga Lily dari Taeyong. Kedua bunga itu merupakan bunga favorit Jisoo.
Angin berhembus, menerpa wajah kedua pemuda itu dengan lembut. Menerbangkan beberapa helai bunga yang tadi mereka bawa. Hening. Tak ada yang berani memulai percakapan. Keduanya diam membisu bergelut dengan pikiran masing-masing. Sama-sama menatap kosong pada riak kecil air sungai yang tadi sempat tertiup angin.
"Jisoo-ya," Taeyong menoleh pada Taehyung yag mulai bersuara. "—aku datang."
Kedua pemuda itu sudah tak kuasa lagi menahan air mata yang sudah menumpuk diujung mata.
"Ah, tentang pertegkaranku dan Taeyong, jangan khawatir. Aku sudah memaafkannya, meski hati ini masih saja sakit begitu aku teringat akan dirimu. Tentunya ini semua demi dirimu."
"Kim Taehyung..." lirih Taeyong.
"Kau tahu, kami sama-sama menderita saat mendengar kabar kematianmu. Saking tak bisa menerimanya, aku sampai terjatuh ke dalam lubang kebencian. Aku benci Taeyong yang sudah tega membuatmu meregang nyawa. Aku juga benci padamu karena dengan teganya kau pergi meninggalkan aku begitu saja."
"Tentag rambut kami yang memutih, kau tenang saja. Ini bukan apa-apa. ini hanya efek samping dari perasaan tertekan yang kami hadapi. Seiring berjalannya waktu, semua akan kembali seperti sedia kala." Taehyung tersenyum miris, 'Kecuali dirimu, Jisoo.'
"Hi bodoh, cepat beri salam pada Jisoo. Kalau tidak, dia pasti akan mengamuk." Taehyung menyenggol lengan kanan Taeyong.
"Maaf. Hanya itu yang bisa aku katakan saat ini. Lagi dan lagi." ungkap Taeyong. "Juga, aku minta maaf padamu, Tae."
"Sudahlah, aku sudah bosan mendengarmu terus menerus meminta maa padaku." Taeyong bergeming. "Aku ingin sembuh, dari semua ini. Maka dari itu, kau juga harus sembuh. Kita berdua harus sembuh, Lee Taeyong."
Taeyong diam membisu. Lidahnya terasa kelu. Taehyung benar. Ia harus sembuh. Dengan begitu, ia bisa melanjutkan hidupnya meski tanpa Jisoo disisinya.
Mungkin ini juga maksud perkataan Jungwoo selama ini padanya. Ia harus memulai. Semua berawal dari dirinya. Entah menjadi lebih baik atau terus menerus terpuruk dalam kegelapan yang ia ciptakan sendiri.
Angin kembali berhembus, menerbangkan helai demi helai rambut berwarna putih milik Taehyung dan Taeyong.
The End
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro