Dusk? (Vignette)
Orange
.
.
.
***
Orange. warna yang aku sukai.
Warna yang mengantarkan aku kepada namja itu. Namja yang selalu hadir saat senja tiba. Namja yang selalu hadir jika rembulan akan datang
Angin berembus membelai pelan rambut hitamku, tatapan mataku tertuju pada senja yang tengah berebut sembunyi sebelum sang dewi malam bekerja.
Aku senang penglihatanku kembali. Sebelumnya aku mengalami kecelakaan bersama Taehyung kekasihku. Saat mendengar kabar bahwa aku telah mendapatkan donor mata, aku sangat senang karena bisa melihat senja dan melihat ciptaan Tuhan kembali.
Namun, harapan memanglah tidak sesuai dengan kenyataan.
.
.
"Kang Ji Neul!" Ucapan seseorang mengagetkanku. Dengan refleks aku menoleh ke sumber suara.
Pria itu lagi.
Dengan cepat aku menatap lurus kembali dan tidak menghiraukan pria itu. Pria yang sudah membuat aku jatuh kembali ke lubang yang sama.
"Ji Neul-ah! Dengarkan aku!" ucapanya terdengar semakin dekat dengan pendengaranku, tetapi aku masih belum menanggapinya dan masih menatap lurus ke arah senja.
Pertahananku kalah. Buliran bening lolos begitu saja dari kedua pelupuk mataku dan aku memberanikan diri untuk menatap manik mata itu lagi.
"Apa yang akan kau jelaskan, Kim Taehyung? Bukankah itu sudah jelas?" tanyaku dengan mengepalkan kedua tangan dan sesekali mengedarkan pandangan ke arah lain.
"Dengarkan aku, Kang Ji Neul. Aku tidak berselingkuh dengan wanita manapun! Termasuk Ji Ae Noona! Dia itu kakakmu, tetapi kau tidak mempercayai dia dan terus-terusan menuduhku selingkuh," ucapnya seraya menatapku dalam.
"See? Mendengar penjelasanmu saja sudah membuatku ingin menampar mulutmu! Pergilah! Dan jangan temui aku! Aku sudah muak dengan sandiwara kalian! Silahkan kau menikah dengan kakakku, Taehyung!"
Pertengkaran itu berakhir ketika aku memutuskan untuk menuruni tangga dan menuju pantai yang berada di bawah sana.
"Ji Neul-ah!" ucapan Pria itu terdengar jelas oleh indra pendengaranku.
Aku berjalan seorang diri di tengah langit berwarna jingga itu, kakiku yang tak beralas masih setia menyusuri bibir pantai ini. Membiarkan ombak sesekali menyapu kakiku. Pikiranku sangat kacau sekarang.
Entah sudah berapa jauh aku mengikuti garis pantai ini, pandanganku tertuju kepada lelaki yang berada di ujung sana. Nampaknya ia kesulitan, karena matanya ... tidak bisa melihat?
Aku berlari dan mendekati pria itu yang masih sibuk mencari sesuatu di pasir pantai.
"Chogiyo ... apa ada yang bisa saya bantu?" ucapku memegang bahunya lembut.
"Ah ... ti-tidak, terima kasih," ucapanya terdengar halus dan masih sibuk menggali pasir dengan tongkat berjalannya.
"Sebenarnya apa yang kau cari? Oh iya, perkenalkan, Aku Kang Ji Neul, aku sedang di rumah Nenekku yang berada tak jauh dari sini. Kalau Kau?" tanyaku tersenyum manis dan memegang tanganya lembut.
Tangannya berhenti ...
"Ma-maaf, bukanya aku bermaksud-" belum sempat menyelesaikan kata-kataku, Lelaki yang menggunakan coat hitam itu langsung bangkit.
"Aku ... pulang dulu."
Tak lama setelah kepergian lelaki itu, pandanganku beralih kembali ke arah langit yang sudah semakin redup, tak lama sang surya telah berganti oleh dewi malam. Aku masih setia terduduk di bibir pantai ini, sesekali mengusap kedua lututku yang mulai merasakan hawa-hawa dingin yang menusuk tulang.
"Sampai kapan kau akan berada di sini, hm?" ucapan seseorang mengagetkanku.
"Taehyung?"
"Ayo pulang, Ji Neul-ah! Eomma, Appa, Unnie dan juga Nenek Kakekmu pasti khawatir."
"Apa yang kau pedulikan? Pergilah! Aku tak ingin melihatmu," ucapku seraya mendengus dan menolehkan pandangan ke arah lain.
**
Sang surya mulai menampakan senyumanya dan memancarkan sinar hangatnya melalui celah jendela kamarku yang terletak di lantai dua. Sesekali mengerjapkan mata dan menggeliat ke kanan dan ke kiri, aku mulai terbangun dengan kaos kaki berwarna Orange pemberian dari Taehyung saat musim dingin lalu.
tittttt.
Setelah mematikan pendingin ruangan, aku langsung menuju lantai bawah untuk menyapa keluargaku.
"Jineul-ah, kau sudah bangun?" tanya seorang wanita yang tak jauh dengan umurku, yang tengah menuangkan susu hasil berternak kemarin. Aku hanya pergi tanpa berucap bahkan menoleh kepada wanita itu menuju keluar lewat pintu belakang rumah nenekku.
"Jineul-ah! Mau ke mana?" sambungnya. Aku tidak mempedulikan perkataanya dan terus berjalan hingga keluar rumah. Peduli apa dia tentangku? Mengaku saja sebagai Unnie-ku, tetapi perlakuanya tidak seperti seorang Unnie. Dasar jalang.
***
Di tepi pantai ini aku kembali sendiri memandang lurus ke arah sang surya yang sedang berebut masuk ke persembunyianya. Angin semilir berhembus membelai pelan rambut hitam panjangku yang tergerai jatuh.
"Apa yang sedang kau lakukan?"
Tiba-tiba seseorang mengagetkanku dan ikut terduduk di sampingku.
"Eh? Kau ... orang yang kemarin aku lihat, kan?" ucapku dengan mengingat ngingat, "apa yang kau lakukan?" sambungku lagi.
"Tidak. Aku tidak melakukan apa-apa" ucapnya kemudian menaruh tongkat yang membantunya.
"Boleh aku bertanya?"
"Katakan saja."
"Aku benar-benar minta maaf karena sudah menanyakan ini, tetapi mengapa kau tidak bisa melihat?" tanyaku hati-hati.
"Oh? Aku? Itu karena sesuatu. Maaf aku tidak bisa menceritakan padamu," ucapnya lagi lalu tersenyum sekilas.
"Kalau begitu, apa aku bisa tahu namamu?"
"Tentu. Namaku Jeon Jungkook."
"Jeon ... Jungkook? Ehmm, aku panggil Jungkook?" laki-laki itu hanya mengangguk.
"Ah iya, aku sering sekali melihatmu berjalan ketika matahari akan terbit."
"Aku hanya senang dengan sunset."
Ucapanya membuatku menaikkan satu alis.
"Kau memang benar, aku tidak bisa melihat dunia luar lagi. Bagaimana sang surya menampakan senyumnya? Ketika sang bulan telah berganti, sinar cahaya yang berasal dari bintang, dan lain-lain. Namun aku masih punya perasaan. Perasaan yang bisa dilihat oleh orang buta, terdengar oleh orang tuli, dan dirasakan oleh orang cacat," sambungnya.
Tes ...
Air mataku jatuh begitu saja. Astaga, ucapanya membuatku berkecil hati. Aku yang sempurna tanpa cacat sekalipun tidak pernah merasakan perasaan orang lain. Yang aku lakukan hanyalah sebatas egoku saja.
"Ah iya, aku sangat butuh bantuanmu."
"Ya? Kau butuh bantuanku? Akan kulakukan jika aku mampu," sambungku.
"Kau ingat? Beberapa hari yang lalu aku mencoba mencari-cari sesuatu di pasir?" ucapnya mencoba mengingatkanku.
"Ya, aku ingat."
"Bisakah kau besok mengambilnya? Dan simpanlah untukku." Ucapanya terasa seperti tercekat, terasa sesak di dadanya.
"Akan aku lakukan," ucapku mengangguk.
**
Pagi ini aku akan mencari sesuatu yang dipesankan oleh Jungkook kemarin. Aku mencoba mengingat-ingat, di mana letak saat Jungkook membelah belah pasir pantai putih ini.
"Ah! Di sana!"
Setelah mencari-cari, terlihatlah sebuah kotak persegi berwarna Orange terkubur di pasir pantai. Nampaknya kotak itu sudah terkubur lama, terlihat dari warnanya yang sudah mulai memudar.
Saat aku membuka isinya, sangat-sangat membuatku terkejut. Di sana ada lukisan wajahku yang memandang langit senja dengan tulisan "캉지늘" di bawahnya.
Sangat cantik, karena di lukis dengan siluet hitam dan putih. Di sampingnya ... surat? Aku mengernyit lalu mencoba membuka perlahan isi amplop berwarna Orange itu.
Annyeonghaseyo ...
Aku Jeon Jungkook, kau pasti Kang Ji Neul, kan?
Aku melihatmu ketika kau sedang menangis di tepi pantai seminggu yang lalu. Yang aku pikirkan saat itu adalah ... ku ingin menghiburmu.
Aku tahu, ini sangat konyol. Bahkan aku baru bertemu denganmu saat itu, tapi aku tidak bisa berbohong. Aku menyukaimu.
Setiap senja, sebisa mungkin aku menyempatkan diri untuk berjalan ke pantai, untuk sekedar melihatmu.
Maafkan aku Jineul-ssi, aku sudah lancang.
"Jungkook ... menyukaiku?"
Surat yang tadi kupegang terjatuh begitu saja, lantas aku berlari ke rumah Jungkook yang dia tunjukkan kemarin.
"Chogiyo? Aku ingin bertemu Jeon Jungkook," ucapku membungkuk sopan.
"Kau pasti Kang Ji Neul? Gadis yang selama ini diceritakan Jungkook kepadaku. Gadis yang membuatnya bersemangat di saat-saat terakhirnya dan ..." belum sempat ibu paruh baya itu menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba ia menangis.
"Ada apa, Bi?" ucapku mulai khawatir.
"Kemarin ... tengah malam ... Jungkook sudah pergi."
"Pergi? Maksudnya?"
"Dia sudah tenang di sana." Ucapanya semakin membuatku tidak mengerti.
**
Setelah mendengar cerita bibi Jeon, cairan bening lolos begitu saja dari kedua pelupuk mataku. Jungkook lah yang selama ini membantuku saat aku kesusahan dan putus asa karena buta. Dia juga yang membuatku bisa melihat dunia ini lagi. Seseorang yang tidak mengenalku, dia menyanyangiku dengan tulus tanpa memandang apapun. Melawan detik-detik berharga di sisa waktu hidupnya.
Petang ini aku kembali menangis. Mengapa ini terjadi pada hidupku? Di saat aku menemukan orang yang mencintaiku dengan tulus, tetapi Tuhan berkata lain.
"Uljima."
Ucapan seseorang mengagetkanku. Aku langsung menoleh ke sumber suara.
"Jungkook?"
End
Screw : Jjkjjkjkjkjkk
Editor : Rilamickey
A/n : Sumpah, aku pusing banget akhir akhir ini, banyak beban pikiran-,- ini ff-ku paling maksa seriusan:v wkwk koreksi kakkk:D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro