Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

📸6-Tautan Benang

Tok-tok!

Pintu kaca di toko roti milik keluarganya diketuk. Rama yang tadinya sedang beres-beres nampan langsung menoleh dan menemukan Rana di sebalik dinding kaca di toko roti milik keluarganya.

Dengan isyarat telunjuk dan mulutnya, Rama mengarahkan Rana untuk masuk lewat pintu utama rumah yang ada di sebelah kanan toko. Setelah memastikan Rana paham apa yang lelaki itu ucapkan, sambil berjalan dan menaruh nampan di dapur, Rama sekalian membuka pintu utama rumah.

“Masuk,” kata Rama.

“Assalamualaikum,” ujar Rana.

Balasan salamnya disahuti oleh dua orang, Rama dan ibunya yang juga berjalan ke depan.

“Oh, ada Rana?” tanya Ibunya Rama.

Rana tersenyum. “Iya, Tante, mau kerja kelompok.”

“Oke! Nanti bawa pulang roti ya, tadi masih ada stok.”

“Siap, Tante!” Rana memberikan pose hormat.

“Duduk dulu,” ujar Rama, “aku mau tutup toko dulu.”

Rana mengangguk. “Santai saja,” ujarnya memaklumi.

Rumah Rana dan Rama terletak berseberangan, secara literal memang seperlemparan batu saja. Kedua anak itu sudah tidak mengenal canggung ketika berkunjung ke rumah masing-masing, saking seringnya mereka dulu saling menginap sejak TK. Mungkin satu-satunya yang berubah adalah frekuensi menginap dan mandi bersama.

Sepeninggal Rama ke ruangan toko, Rana terlebih dahulu membuka laptop dan berkutat dengan urusannya: beberapa pekerjaan rumah dan sebuah “riset” yang akan ia bahas dengan sahabatnya itu malam ini.

Setelah ulang-alik Rama antara ke toko dan dapur, suara pintu gulung besi yang ditarik terdengar, kemudian disusul oleh suara kunci dan saklar lampu yang dimatikan. Rama muncul dari dalam toko ke ruang keluarga bersamaan dengan ibunya membawa nampan berisi 2 gelas (bukan cangkir, tapi gelas) teh hangat dan lima bungkus roti serta pastry yang tadi masih tersisa di toko.

“Biar Rana bantu, Te.” Rana beranjak dan segera menyambut nampan yang menggugah selera itu.

“Wah, makasih!” ujar Ibunya Rama. “Habiskan, ya! Tante tinggal dulu ke belakang.”

“Biasanya memang langsung abis,” ujar Rama.

Dibilang begitu, Rana menoleh dan tersenyum, tapi bukan senyuman tulus melainkan senyuman yang mengancam. Sementara Ibunya Rama hanya terkekeh geli melihat tingkah kedua sahabat itu.

“Omong-omong, kamu tahu Anya?” tanya Rana sambil menyobek sebungkus roti yang ada di hadapannya—roti isi selai stroberi.

“Teman SMP-mu, bukan?” jawab Rama setelah mengorek ingatannya.

Rana mengangguk. “Kamu tahu, kan dia yang urus toko bunga yang legend itu?”

“Oh, iya aku ingat. Ya aku memang pernah cerita juga, sih, dan sekarang satu sekolah dengan kita?”

“Tepat!” Rana menjentikkan jari di depan muka Rama.

“Apa ini ada hubungannya dengan yang mau aku tanyakan?”

Sekali lagi, Rana mengangguk. “Bener! Sekarang mana fotonya?”

Rama mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan hasil pindai dari film-film yang telah ia proses tadi sore. Sambil jari telunjuknya menggeser banyak gambar, ia menunjukkan bahwa garis-garis aneh berwarna merah memang muncul pada gambar-gambar di mana ada objek manusia di situ.

“Yang paling ramai ada di sini.” Rama menunjuk foto koridor dengan banyak orang yang berjalan di depannya.

Di foto itu terlihat banyak sekali garis merah yang saling bersilangan, beberapanya terlihat bahwa garis merahnya saling terhubung, beberapanya tidak.

“Lalu ….” Rama menggantung kalimatnya.

Ia menggeser fotonya ke foto di mana Rana terlihat membentangkan tangannya di tengah taman.

“Oh ….” Rana menunjuk fotonya. “Di aku tidak ada?”

Rama mengangguk. “Gimana menurutmu? Apa aku perlu balikin ke Ko Kris? Dan apa hubungannya sama Anya.”

Rana lantas membuka chat WhatsApp-nya dan menunjukkan jawaban dari teman SMP-nya itu. Menurut Anya, bisa jadi bahwa garis merah tersebut adalah benang takdir. Melihat dari posisi benang merah itu saling terikat dari kelingking ke kelingking tiap individu.

“Meski dikatakan benang takdir pun, sebenarnya benang ini lebih menunjukkan soulmate kita, gitu kata Anya,” ujar Rana.

Cerita rakyat benang takdir yang menunjukkan hubungan kekasih juga banyak referensinya, terutama dari kawasan Asia.

“Kamu menduga ini semua benang takdir?” Dahi Rama berkerut dan alisnya menyatu.

“Sebenarnya sangat mirip.” Ada nada keraguan di pernyataan Rana. “Mungkin akan lebih meyakinkan kalau kita coba foto orang-orang yang pacaran. Atau …” Rana menunjuk gambar orang-orang di koridor.

“Oh, mau melihat siapa orang yang pacaran atau saling suka di foto ini?”

Rana mengangguk menanggapi pertanyaan Rama.

“Cukup sulit.” Rama menggeleng. “Aku nggak terlalu hapal siapa saja yang ada di sana tadi, dan aku benar-benar mengambil foto siapapun yang lewat. Lagipula, kamu hapal?”

Rana hanya tersenyum miris. Menandakan bahwa ia memang tidak bisa melakukannya juga. Meski begitu, ia masih memandangi foto murid-murid yang berjalan di koridor tadi, tak melepaskan diri dari citra kompleks yang dihasilkan benang-benang merah itu. Gadis itu membuang napas pasrah dan mengambil sebuah roti kukus dengan cup kertas berwarna emas, lalu memakannya perlahan. Rasa asam manis anggur yang menyegarkan segera menguar di dalam mulutnya, sementara adonan rotinya meleleh begitu masuk ke dalam mulutnya.

Gadis itu membelalakkan matanya dan tersenyum. Apapun roti dan kue bikinan ibunya Rama memang tidak pernah gagal.

“Tapi, kalau pun itu benang takdir … kenapa di kamu tidak ada?”

“Itu pertanyaan kedua,” jawabnya sambil mengunyah. Pandangannya mengawang sebentar sebelum melontarkan pertanyaan lagi.

“Sudah kamu coba ke dirimu sendiri?”

“Selfie?” Rama bertanya balik, dan Rana mengangguk menanggapinya.

Setelah berpikir sebentar, ia memutuskan bahwa itu ide bagus. Rama naik ke kamarnya di lantai dua dan mengambil kamera, di depan cermin ia mengarahkan bidikan lensa, sebuah kalimat pun diucap di dalam hatinya.

Tunjukkan padaku keajaiban itu.

Setelah tombol rana ditekan, ia lantas membuka roll film dan segera melakukan pindai cepat. Sekitar sepuluh menit, ia kembali menuruni tangga dan menunjukkan hasilnya ke Rana—yang membuat gadis itu terperangah.

Benang takdir milik Rama muncul dari jari kelingkingnya, tetapi ujungnya mengarah ke segala arah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro