📸5-Benda Aneh
Untuk perkara “butuh cepat-cepat”, Rama terbiasa melakukan “swa-pindai” bermodalkan layar laptop yang disetel berwarna putih, ponsel dan aplikasi editor. Resolusinya memang terbatas, sesuai kemampuan ponselnya atau dapat dipengaruhi oleh tangannya yang tidak stabil.
Namun, dengan kemampuan peralatan dan aplikasi editor yang canggih. Rama bisa memanfaatkan hal tersebut untuk segera mencetak dan mengunggahnya ke akun Instagram miliknya. Biasanya seperti itu, tapi untuk film yang spesifik yang kemarin ia pindai, kasusnya berbeda.
Kali ini Rama dan Rana sudah ada di perpustakaan sekolah, dahi mereka sama-sama berkerut dan kedua alis mereka menyatu.
“Bagaimana?” tanya Rama.
Menggunakan kedua jarinya, Rana tak henti-hentinya memperbesar dan memperkecil, lalu menggeser-geser gambar yang semalam Rama pindai.
“Kamu yakin saat itu mereka nggak iseng pakai tali ini di tangan mereka?” tanya Rana. Matanya tak lepas dari foto yang diambil Rama, di sana ada sepasang pelajar SMA yang saling tertawa dengan masing-masing sebungkus plastik jajanan di tangan mereka yang sedang terangkat di depan mulut.
“Nggak, dan ngapain juga mereka pakai tali begitu di masing-masing tangan … jari kelingking mereka?”
Rana menganggukkan kepala. “Ya, dilihat bagaimanapun memang aneh juga. Antara mereka, anak-anak itu yang aneh, atau memang kameramu aneh.” Gadis itu mendongakkan kepala dan mengembalikan ponsel Rama.
“Aku bisa jamin dan pastikan saat itu tidak ada tali-tali aneh yang kaya ada di foto ini.” Rama sekali lagi menegaskan.
“Aku rasanya pernah tahu … sesuatu yang kaya gitu, tapi nanti ya,” ujar Rana. “Atau gimana kalau kita coba bareng lagi untuk memastikan apa kameramu masih rusak atau tidak?”
“Oh!” Rama menjentikkan kedua jarinya. “Ide bagus.”
Mereka pun kembali lagi ke buku pelajaran Bahasa Indonesia yang ada di depan mereka.
“Omong-omong, kapan pengumuman dari klub teater soal naskah yang kamu garap?” tanya Rama.
“Hari ini. Aku deg-degan.”
Rama menganggukkan kepalanya. “Kadang hasil bisa mengkhianati usaha.”
Rana mendongakkan kepala. “Kamu memang nggak pintar memotivasi orang.”
Sekarang gantian Rama yang mendongakkan kepalanya, menatap Rana. “Daripada ditipu ekspektasi?”
Rana tersenyum miring. “Yah … gak ada yang lebih bagus dari dua itu.”
Mereka pun kembali ke buku masing-masing.
📸
Dering bel pulang berbunyi, Rana segera menghampiri Rama yang juga sudah berdiri dari bangkunya.
“Masih ada waktu sampai pertemuan. Mau coba-coba sekarang?”
Rama mengangguk, lalu ia mengeluarkan sebuah tas kulit berat dari laci mejanya.
“Aku siap.”
“Mau ke mana dulu?” tanya Rana.
“Mungkin, koridor-taman-kantin, sekalian kita ke ruangan ekskul?”
Mereka pun melangkah ke luar kelas berdampingan, sambil Rama mengeluarkan kamera analog dari dalam tasnya.
“Kalau memang kameranya yang rusak, berarti harus dibalikin lagi ke Ko Kris?”
Rama mengangguk. “Sebaiknya begitu.”
Rana pun juga mengangguk menanggapi pernyataan Rama. Di tengah koridor yang masih ramai murid-murid yang sudah membawa tas mereka, Rama ternyata sudah mulai memotret. Kadang lelaki itu juga mengarahkan kameranya ke taman yang berada di salah satu sisi koridor terbuka di sekolah mereka.
Rana sendiri mengetuk dagunya beberapa kali menggunakan jari telunjuk, ia merasa aneh dengan noda atau apapun itu yang terbentuk dari bidikan Rama kemarin.
“Hei!” Rana menepuk bahu Rama, kemudian berlari mendahului lelaki itu ke taman. “Coba foto aku!”
Rama melongo sebentar.
“Ayo!”
“O-oh!” Rama lantas mengangkat kameranya, menempatkan mata kanannya di depan lensa pengamat dan tangan kirinya bersiap di pengatur fokus, lalu jari telunjuk sebelah kanannya bersiap menekan tombol rana.
"Tunjukkan padaku, keajaiban itu!”
Tombol rana pun ditekan.
Rana segera berjalan kembali ke Rama. “Kita baru bisa lihat hasilnya nanti ya?”
Lelaki itu mengangguk.
“Oke, yuk kalau gitu, kita ke gedung ekskul!” ajak Rana.
“Sebentar.” Rama berdiam di tempatnya. “Kayanya aku mau di sini dulu, sebentar, kamu bisa ke ekskulmu dulu.”
“Oh.” Rana tersenyum. “Kalau gitu aku duluan!” Gadis itu lantas berlari, meninggalkan Rama yang masih berdiri di koridor dekat taman.
Sekali lagi, Rama mengangkat kameranya dan memotret Rana yang sedang berlari dari belakang sambil tersenyum.
Tombol rana pun ditekan sekali lagi.
📸
Tepat saat Rana sampai di gedung ekskul, seluruh anggota dan kepengurusan ekskul telah berkumpul dan sedang berbincang. Di antara kerumunan itu, seorang murid laki-laki melambai ke arahnya, juga seorang murid perempuan dengan rambut dikucir satu yang duduk di sebelah lelaki itu.
Sambil tersenyum tipis, Rana menghampiri mereka.
“Sutradara sama kakak kelas masih pemilihan?” tanya Rana begitu sampai di depan mereka.
“Iya, duduk aja dulu,” ujar lelaki itu.
“Aku deg-degan!” ujar Rana setelah menempatkan diri di samping murid tersebut.
Tentu saja, pernyataan itu juga bermakna literal.
“Aku juga!” Si gadis berkucir satu dengan nama Monica menanggapi Rana.
Rana, Monica, dan Theo yang ada di tengah mereka adalah pengurus ekskul teater, karena mereka sama-sama sudah duduk di tahun kedua mereka.
“Aku nggak deg-degan.” kata Theo.
“Tentu saja! Rana, katanya Theo nggak ikut submisi.” Monica mengadu.
“Eh?” Rana menoleh ke Theo yang ada di sebelahnya. “Kenapa?”
“Nggak ada waktu.” Theo meringis. “Tapi aku usahakan nanti ambil bagian penting saat pertunjukan biar aku dapat nilai bagus!”
Theo tersenyum sambil mengepalkan tinjunya, sementara Rana hanya mengamati dan Monica tertawa. Mereka bertiga lalu lanjut mengobrol, sambil menunggu pengumuman yang mereka harapkan.
Di dalam hatinya Rana, jika naskahnya yang terpilih untuk dipentaskan di acara perpisahan nanti, ia pasti akan merasa sangat bangga. Diakui dengan kemampuannya dalam menciptakan naskah untuk drama adalah impian Rana, setidaknya untuk sekarang.
Lalu, jika yang terpilih untuk memerankan adalah laki-laki yang ada di sampingnya ….
Tiba-tiba, pintu ruangan ekskul mereka terbuka. Seorang siswi perempuan seangkatan Rana yang ia kenal dengan nama Dahlia keluar dengan senyum mengembang di wajahnya, bersamaan dengan siswi itu, keluar pula lima orang kakak kelas yang sekarang memasuki tahun ketiga mereka.
Rambut bob Dahlia berayun saat ia memastikan semua senior mereka telah keluar ruangan, lalu dengan lantang ia menyampaikan pengumuman.
“Setelah diskusi lebih lanjut, kami punya kejutan untuk kalian semua.” Mata Dahlia berkeliling memindai anggota dan pengurus ekskul teater. “Untuk kelulusan nanti, kita tidak akan mementaskan teater!”
“Hah!” Rana dan segenap warga ekskul teater terkejut bukan main.
“Betul! Bukan karena semua naskah submisi jelek, kok!” Seketika, Rana mendadak lega. “Tapi, karena kita akan menampilkan sesuatu yang baru! Kita akan menampilkan film!”
Mata Rana berbinar! Film! Ia tidak salah dengar, bukan? Jika bentuknya film, ia akan lebih bangga lagi! Ia dan seluruh anggota serta pengurus ekskul teater bertepuk tangan antusias.
“Untuk itu, pengurus nanti akan rapat lebih lanjut terkait format baru ini. Sementara itu, untuk naskah yang terpilih adalah … Keping Masa milik Monica Bernadette! Selamat!”
Semua orang bertepuk tangan, termasuk Rana. Namun, ia sejujurnya juga merasa kecewa, wajar saja, naskah yang ia garap terlalu “mendadak” dan tidak memanfaatkan waktu sebaik mungkin.
“Keping Masa menceritakan seorang laki-laki yang kembali ke sekolahnya, lalu ia berjalan bersampingan bersama dirinya di masa lalu—masa sekolah. Selama menyusuri sekolah, akan terjadi dialog antara masa lalu dan masa depan yang terjadi di masa kini,” ujar salah satu senior yang mengenakan kerudung, “menurut kami itu ide yang unik dan mudah dieksekusi dalam waktu singkat. Jadi, selamat untuk Monica!”
Semua kembali bertepuk tangan, Rana pun juga mengulas senyum untuk temannya itu.
📸
Ruang ekskul milik Rama berada hanya berjarak 1 ruangan ekskul saja dari milik Rana. Jadi, mau tidak mau, ia juga melihat Rana yang tak melepas senyum ketika duduk dengan Theo dan salah seorang siswi dengan berbincang.
Rama mengenal Theo, walaupun tidak terlalu akrab, sementara untuk siswi di sebelah Theo, ia tidak mengenalnya.
Rama berdiam sebentar sebelum memasuki ruangan, memandang Rana yang seperti tenggelam jauh di antara kedua orang temannya.
Dia selalu seperti itu.
Kemudian, lelaki itu masuk ke ruangan, menyapa ketiga orang teman sekaligus anggota ekskul fotografi dan mulai mengerjakan tugasnya di kamar gelap. Alih-alih menggunakan cairan kimia yang stoknya terbatas, Rama sekali lagi akan menggunakan cara pindai cepat seperti yang ia lakukan semalam, tetapi sebelum itu, ia mengangkat rol filmnya di depan lampu dan memperhatikannya.
Tentu saja, dia syok bukan main karena di setiap foto yang tercetak objek manusia, terdapat pula garis-garis aneh yang menghubungkan mereka.
“I-ini … apa?”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro