zweι
Danaya Salsa Madina
Rasanya mau nangis aja.
Sumpah deh ya. Gue ini manusia, bukan robot. Gue makan nasi, bukan baut. Kenapa mereka memperlakukan gue seenak jidat bangsat mereka sih? Gue tuh capek. Butuh istirahat. Butuh makan. Butuh duduk. Butuh dingertiin sama Kak Dane.
Haduh. Jadi lemah kan gue.
Untung, ya. Untung banget Kak Dane ini cakep. Coba kalo nggak? Udah gue suruh si Jihan buat memberi tendangan Taekwondo ke 'junior' nya sampai impoten kali. Dia nggak capek apa ngerjain gue mulu dari kemarin? Gue aja capek ngeladenin dia. Nggak bisa diem, sumpah.
"DANAYA MANA?!"
Kan. Gue bilang juga apa. Baru setengah jam gue lepas dari jeratan Kak Dane karena tiba-tiba Kak Jupiter masuk setelah gue kalah dari permainan gadanta buatan dia, sekarang udah berulah lagi nih cowok.
"Saya, Kak."
Kak Dane menatap gue dengan senyum iblis. Iblis yang terperangkap di tubuh malaikat tapi. Hehehe.
"Kok lo udah duduk sih? Kan gue belum selesai sama lo! Maju sini!"
Gue baru akan bangkit ketika Jihan yang duduk di sebelah tubuh gue menahan pergerakan gue. "Nay,"
"Apaan?" gue menyahut pelan.
"Udah, lo nggak perlu ngeladenin cecunguk satu ini. Dia udah keterlaluan."
Gue memindahkan tangan Jihan dan tersenyum tipis. "Nggak apa-apa. Emang biasanya begini kan kalo MOS?"
"Siapa yang suruh lo ngobrol sama temen lo, Danaya?" dari depan kelas, Kak Dane berteriak lagi.
"Tuh kan! Udah ya, nanti kita bilang ke Kak Jupiter aja kalo anak buahnya nggak bener."
Gue menggeleng. "Nggak perlu. Gue nggak bakalan mati di tangan Kak Dane kok."
Jihan menatap gue--kelihatan nggak rela untuk menggeser tubuhnya dan ngebiarin gue menghadapi Kak Dane yang udah bersandar di papan tulis.
"Saya harus ngapain lagi, Kak?" tanya gue, berusaha menyembunyikan kekesalan gue dengan sebuah senyuman. Selain karena Kak Dane ganteng, gue melalukan ini karena Kak Dane adalah senior gue, which means dia lebih tua dari gue. Udah seharusnya gue berlaku sopan ke doi.
"Wih, gue suka semangat lo! Kalo gitu lo mau dong nyanyi yel-yel ke semua kelas?"
Kak Dane ngomong apaan barusan? Gue harus menyanyikan yel-yel konyol dihadapan sekumpulan orang yang belum gue kenal?
He must be kidding me.
"Kakak bercanda kan?"
"Emangnya muka gue keliatan lagi bercanda?" Kak Dane menyahut jengah--dengan ekspresi super datar ala Icy Prince yang bikin gue mengkerut.
Gue capek ngeladenin Kak Dane, sumpah. Gue mau pulang. Gue mau bilang Mama kalo gue nggak mau masuk sekolah selamanya. Gue mau bilang ke Abang kalo di sekolah gue ada cowok ganteng tapi nyebelin. Gue mau bilang Papa kalo gue mau rumah Kak Dane dikirimin rudal.
Ya Tuhan. Salah apaan sih gue?
"Sekarang nih, Kak?"
"Bisa berhenti nanyain pertanyaan bodoh semacam itu nggak? Gue tau lo nggak sebego itu." Kak Dane membalas dengan sedikit membentak.
Ya ampun jantung gue. Kasian banget harus kerja keras gara-gara Kak Dane.
"M-maaf." gue berujar lirih, sama sekali nggak berani menatap mata Kak Dane yang setajam belati. "Yaudah, saya pergi sekarang ya, Kak. Permisi."
Gue melewati tubuh Kak Dane yang menjulang tinggi dihadapan gue. Tapi belum sempat gue menyentuh kenop pintu, gue mendengar Kak Dane memanggil nama gue.
"Ya?"
Kak Dane tersenyum miring seraya berkata, "Jangan lupa senyum ya. Lo lebih cantik kalo lagi senyum."
ASTAGA. ASTAGA. ASTAGA.
INI COWOK MAUNYA APA SIH?!
Lima menit yang lalu gue dibikin ketakutan setengah mampus sama kalimat-kalimat bentakannya yang sepedes Indomie Abang-Adek. Tapi sekarang...
Wah, jangan-jangan Kak Dane itu bipolar, ya?
"I-iya, Kak."
"Yaudah sana pergi. Jangan muncul dihadapan gue kalo lo belum menuntaskan perintah gue."
Gue mengangguk, lantas meninggalkan kelas dengan linglung. Gue nggak tau harus mulai dari mana, karena, demi Tuhan ya ini adalah pertama kalinya gue bersedia mempermalukan diri gue dihadapan orang banyak. Gue mulai membayangkan kalau setelah acara MOS, gue akan dikenal sebagai 'si konyol' dan akan dikucilkan oleh teman-teman seangkatan gue selama masa SMA gue.
Dan semua itu karena Danendra Javera.
"Lo Danaya, kan?"
Lamunan gue terputus begitu gue mendengar suara berat persis dihadapan gue. "Iya, Kak."
Kalo nggak salah, senior yang sekarang berdiri di depan gue adalah Kak Juna--senior yang semalam fotonya dipost Zela di Instagram-nya.
"Lo ngapain keliaran diluar kelas, Danaya?"
"Ngg... s-saya... Kak Dane... itu, ngg..."
Lalu tawa Kak Juna menghentikan gue. "Dane nyuruh lo apa lagi hari ini?"
"Dia... saya... ke kelas-kelas... yel-yel..."
Njir, kenapa gue jadi kayak orang gagu gini sih? Nggak mungkin kan kalo gue mau nangis?
"Oh disuruh yel-yel ke semua kelas!" gue menunduk malu ketika Kak Juna ketawa lagi. "Yaudah sana lakuin."
"Tapi, Kak, saya..."
"Lo nggak mau?" tanya Kak Juna.
"B-bukan gitu, tapi kan s-saya... malu." Suara gue bergetar ketika ngejawab Kak Juna. "Seumur hidup saya, saya belum pernah dimalu-maluin k-kayak g-gin... HWAAAAAA!"
Gue langsung jongkok dan menyembunyikan wajah gue dari Kak Juna. Gue tau kalo menangis kayak gini nggak akan menyelesaikan masalah, tapi gue udah nggak tahan lagi. Gue capek. Gue juga nggak mau dikucilin selama gue SMA.
Gue nggak mau menjalani hukuman Kak Dane mau dia semurka apapun sama gue nantinya.
"Eh, aduh, kok lo nangis sih?" Kak Juna ikut berjongkok. "Udah dong, ntar kalo ada guru yang lihat gue dikira ngapa-ngapain lo lagi."
Gue nggak membalas dan terus menangis. Bodo amat mau Kak Juna--atau bahkan Kak Jupiter--bakal semakin mengomeli gue. Dan gue udah bener-bener siap waktu gue merasakan Kak Juna berlari meninggalkan gue. Mungkin dia mau ngelapor sama Kak Jupiter karena gue membangkang.
Tapi gue nggak peduli.
Dan gue nggak tau udah berapa banyak waktu yang gue habiskan buat nangis saat gue merasakan sebuah tangan menyentuh pipi gue.
"Lo nangis?"
Ini mata gue yang buram atau gue yang lagi berdelusi?
"K-Kak Dane?"
"Lo nangis?" dia mengulang pertanyaannya. Gue balas mengangguk seraya mempersiapkan diri untuk dibentak lebih keras lagi.
Tapi Kak Dane cuma ngeliatin gue tanpa bersuara. Dia berulang kali menghela napasnya sebelum gue merasakan kulitnya yang dingin menyentuh permukaan pipi gue.
"Gue keterlaluan ya?"
"Ng-nggak kok."
Kak Dane tersenyum, tapi bukan senyuman iblis yang sempat ngebuat gue ketakutan tadi. Justru kali ini senyumnya terlihat tulus. Dan ganteng.
"Lo nggak bakalan nangis kalo gue nggak keterlaluan."
Gue diam. Beneran nggak bisa berkata-kata saking speechlessnya. Dia, Danendra Javera, senior nyebelin yang super ketus dan jahil sekarang ada di depan gue dengan senyuman tulus yang nggak pernah gue lihat dari orang lain. Persetan kalo dia beneran bipolar atau bahkan gila beneran. Yang penting...
"Lo ngegemesin sih. Jadi suka."
Dia ngomong apa barusan?
.
.
Shanzela Adevera Ajani
"DANENDRA JAVERA!"
Fokus seisi kelas buyar begitu suara melengking--diikuti jeblakan pintu dari luar--menginterupsi kegiatan kita tanpa izin. Begitu menoleh, gue menelan saliva gue dengan susah payah saat mata gue mendapati Kak Juna masuk dengan wajah setengah jengkel.
Kak Juna...
Melihat wajah dia mau nggak mau ngebuat gue kembali mengingat kejadian semalam. Gue nyaris nggak bisa tidur semalaman hanya karena notifikasi instagram yang berbunyi:
arjunakng took a photo of you.
Mulanya gue sama sekali nggak tau Arjuna mana yang ngetag postingannya ke akun gue. Tapi setelah gue membuka profilnya, gue mengenali dia sebagai senior gue di sekolah yang sempat meminta gue untuk memposting foto dia di akun gue. Ya wajar aja sih gue nggak langsung mengenali dia, namanya kayak asing gitu buat gue.
"Pasti Danaya kenapa-kenapa nih." Lamunan gue terberai oleh gerutuan Dera di sebelah gue. Lalu gue sadar kalo Kak Dane udah nggak ada di depan kelas dan digantiin sama Kak Juna.
"Emangnya Danaya kenapa?"
"Kak Juna bilang kalo Kak Dane harus nemuin Danaya sekarang." Jihan yang duduk di kursi depan berbalik untuk menjawab pertanyaan gue. "Emang lo nggak nyimak apa?"
"Nyimak apa?"
Bukannya menjawab, Jihan dan Dera menepuk dahi mereka nyaris berbarengan. Emangnya ada yang salah dari pertanyaan gue, ya?
"Udah, Zel. Lupakan. Jangan dipikirin, nanti lo pusing sendiri." kata Dera. Gue baru berniat menimpali, namun suara deheman dari depan kelas menghentikan gue.
"Besok kan upacara penutupan MOS, jadi Jupiter ngutus gue kesini untuk mencari satu perwakilan kelas," Kak Juna berhenti bicara waktu matanya memindai setiap sudut kelas dan berhenti di...
Gue?
"Lo," Kak Juna menunjuk ke arah gue, tapi gue masih celingukan ke arah belakang untuk memastikan kalo ada orang lain di belakang gue. "Lo, Shanzela. Iya lo."
"Kakak nunjuk saya?"
Kak Juna ketawa. Ganteng banget, sampai dekik pipinya keliatan pokoknya. Ya Tuhan.
"Iya lo, Zela." Dan gue ngerasa pipi gue panas ketika mendengar Kak Juna menyebut nama gue dengan begitu akrab. "Lo gue pilih buat jadi perwakilan kelas."
"Tapi kak, ak--"
"Nggak ada tapi-tapi," Kak Juna memotong cepat. "Atau lo mau dihukum juga kayak Danaya?"
"Kenapa saya dihukum?"
"Jangan lupa pasal satu, dua, dan tiga, manis."
Gue yang nggak ngerti sama omongan Kak Juna langsung menarik lengan seragam Dera, "Kak Juna lagi ngomongin pelajaran PKn atau gimana sih?"
"Bukan njir, ngapain dia ngomongin PKn? Kayak ngerti aja."
"Tapi kok dia nyebutin pasal?"
Dera ngedecak. "Pasal satu, senior selalu benar. Pasal dua, junior selalu salah. Pasal tiga, kalo senior salah ya balik lagi ke pasal satu dan dua."
"Jadi gue nggak bisa nolak?"
"Kalo lo siap dihukum, coba aja."
Gue menghela napas dan natap Kak Juna yang lagi cengar-cengir di depan kelas dengan tangan terlipat. "Yaudah saya mau."
"Good." Kak Juna nyahut bersamaan dengan bunyinya bel istirahat. "Semuanya boleh istirahat, kecuali Shanzela."
Astaga. Mau diapain nih gue?
Dan yang lain langsung keluar kelas tanpa menyadari kecemasan yang gue rasain--bahkan Jihan, Dera, dan Kirei terlihat santai-santai aja saat ninggalin gue berduaan sama Kak Juna.
Berduaan.
Situasi pun menjadi hening seketika sehabis semua anak-anak meninggalkan kelas dan tersisa gue doang bersama Kak Juna.
Nggak lama dia pun lalu berjalan ke arah gue.
"Shanzela?" Tanya Kak Juna sambil ngerapihin rambutnya, dan kalo gue boleh jujur dia sangat sangat ganteng kalo lagi ngeflip hair kaya gitu.
"I--ya kak?" Ucap gue memecah keheningan.
"Boleh minta id line lo? Bukan buat apa-apa kok, cuma buat ngabarin aja untuk upacara penutupan MOS besok, soalnya tadi Jupi bilang sama gue buat minta id line masing-masing perwakilan kelas."
Ini gue nggak salah denger kan? Kak Juna minta id line gue barusan?
"So? Apa id lo?" Tanya Kak Juna, sebelah alis yang terangkat. "Biar gue add sekarang nih."
Astaga. Jadi bener gue nggak salah denger. Gue mimpi apa sih semalam?
"Eh itu kak, Shnzelaaa, huruf A nya ada tiga."
"Sama kaya username ig lo ternyata." Kak Juna membalas, diikuti sebuah senyum kecil ketika ia mengeluarkan ponsel dari saku celana nya. "Udah gue add Zel."
Ketika Kak Juna berniat pergi, gue mendadak teringat sesuatu. Jadi gue memutuskan untuk manggil dia dan bertanya, "Kenapa username ig nya arjunakng sih?"
"Itu singkatan, cantik." jawab Kak Juna.
"Singkatan? Dari?" Tanya gue bingung, karena sumpah ya, gue beneran nggak paham apa arti 'kng' di usernamenya.
"Iya itu singkatan, artinya kangen"
"Kangen?"
Gue semakin nggak ngerti sama maksud dari kangen itu pun tiba-tiba dikejutkan dengan dia yang semakin mendekat ke arah gue. "Kangen kamu maksud nya." Kemudian tangannya terulur untuk mengacak-acak rambut gue.
Deg.
Gue langsung terdiam sambil menelan sedikit air liur gue dan menyeka sedikit keringat di kening gue.
Nggak lama, Kak Juna berjalan keluar kelas dan berhenti sebentar sambil menatap ke arah gue. "Jangan lupa followback gue ya, cantik." Katanya sambil mengedipkan sebelah mata.
Jantung gue...
.
.
Jihan Nabila Barizky
Setelah memastikan gue nggak salah baca sms, gue menghempaskan kepala gue ke meja dengan lesu. Hidup gue kenapa isinya cobaan mulu, ya?
Rasanya pengin banting orang.
Eh nggak deh.
Rasanya pengin banting, terus injak sampai pingsan.
Eh nggak juga deh.
Rasanya pengin banting, injak, terus tendang.
Nah, tapi siapa yang bersedia jadi pelampiasan kekesalan gue? Yakali gue ngehajar penjaga sekolah yang tidak berdosa. Gue emang emosi, tapi belum segila itu buat menghajar orang yang nggak bersalah.
Gimana kalo ngehajar Sabeum Zhang yang baru aja meminta gue datang latihan sore ini buat kejuaraan?
Big no. Yang ada gue bakal dilibas sebelum sempat menjegal kaki Sabeum Zhang. Secara tuh ya, ilmu bela diri dan insting doi udah setajam silet. Dia bisa aja mendeteksi niatan buruk gue dalam radius satu kilometer dengan instingnya, lantas menjatuhkan gue sedetik setelahnya. Dan gue belum punya cita-cita jadi lumpuh seumur hidup--nggak ketika gue belum bisa mewakili Indonesia di kejuaraan Taekwondo se-Asia. Hahasek.
Terus gue harus ngehajar siapa dong?
"Hai cantik."
Begitu gue mengangkat kepala gue, gue menemukan sesosok wajah menyebalkan memamerkan senyum tengilnya ke gue. Dari cara dia tersenyum aja gue udah bisa menebak sebesar apa kadar kebrengsekkan yang dipunyai oleh seorang Mars Akselo Raynar.
"Kakak manggil gue?" tanya gue, dengan menyisipkan sedikit nada polos dan setajam mungkin sorot jengah ketika gue menatap dia.
"Yakali manggil Si Manis."
Gue mengerutkan sebelah alis. "Si Manis?"
"Iya, Si Manis," tanpa permisi, Kak Aksel menempati kursi Danaya--which means kursi kosong di sebelah gue, karena Danaya belum balik ke kelas sejak doi dikerjain Kak Dane tadi. "Penghuni kelas ini, adanya persis di pojok situ."
"Apaan sih, nggak usah nakutin deh." Gue membalas santai. Dia salah kalau berpikir gue akan menjerit lebay karena ketakutan sama mahluk yang bahkan nggak bisa menyentuh gue. Karena buat gue, Sabeum Zhang jauh lebih menakutkan daripada setan dan sebangsanya. Sabeum Zhang kakinya napak ke bumi, terus bogemannya bisa bikin babak belur. Beda cerita sama setan yang bakalan nembus ketika mereka menyentuh gue.
Tapi Kak Aksel nggak menyerah. "Ye, gue beneran kali. Lo hati-hati aja."
"Alamnya udah beda, dia nggak bakal gangguin gue."
"Dia bakalan gangguin cewek cantik."
"So?"
"Dia bakalan gangguin lo, karena lo cantik."
Halah basi. Jadi segini doang skill ngemodus cowok brengsek yang katanya tenar di seantero sekolah?
"Haha, sound interisting." Gue berujar sakartis ketika gue bangkit. "Awas, gue mau ke kantin."
Bukannya menurut, Kak Aksel justru menopang pipi kanannya pada tangan yang bertumpu di atas meja. "Sini aja kali, temenin gue."
"Ogah."
"Duh, Ji, jangan galak-galak dong," kata Kak Aksel. "Nanti makin cantik loh."
"Bodo amat."
"Nanti gue makin suka."
Gue berdecak malas. "Jangan norak."
"Tuh kan, gue suka beneran. Tanggung jawab lo."
"Apaan sih, Kak. Udahan ah bercandanya, gue lapar."
Duh, ini manusia nggak ngerti bahasa manusia, pura-pura nggak ngerti bahasa manusia, atau emang bukan manusia sih? Bala banget dibilanginnya.
"Yaudah, gue temenin ya?"
"Nggak perlu, di kantin banyak teman gue."
"Di kantin juga banyak temen gue," begitu Kak Aksel ikutan bangkit, gue ngerasa kecil banget dengan berdiri hadap-hadapan gini. "Jadi impas, kan?"
"Maksudnya?"
Bukannya menjawab pertanyaan gue, dia justru menyambar tangan gue dengan gerakan cepat yang bahkan nggak bisa gue cegah.
Anjir. Cowok ini benar-benar...
"Ayuk ke kantin, katanya lapar."
"Lepasin."
Kak Aksel tersenyum miring. Kalo aja dia nggak brengsek, gue nggak keberatan untuk bilang kalo senyumnya cukup manis. Tapi sayangnya dia brengsek, jadi gue nggak sudi memuji dia.
"Lo nyuruh gue?"
"Kalo lo ngerti bahasa manusia, harusnya lo nggak perlu nanya lagi." Kata gue, sama sekali nggak terdengar sopan karena gue sangat sangat emosi sekarang. Gue nggak peduli kalo setelah ini gue bakalan diarak keliling sekolah sekalipun.
"Kalo gue nggak mau gimana?" Tapi Kak Aksel, sejak pertama kali kita ketemu, emang nggak pernah gagal untuk ngebuat emosi gue berada pada titik didih.
"Lo mau berantem sama gue, hah?"
"Lo cewek, Jihan Nabila Barizky. Dan gue nggak mungkin berkelahi sama cewek." Dia membalas dengan sebuah cengiran yang sangat mengundang bogeman gue untuk menghancurkan wajah gantengnya.
"Takut lo sama gue?"
Kak Aksel menggeleng. "Real man never hit woman, okay?"
Apa sih. Sok gentle banget nih orang.
"Yaudah, lepasin gue atau g--"
"Atau lo mau teriak dan bikin semua orang tau kalo kita lagi berduaan?"
Dan jadi bahan gosip seisi sekolahan? Hell no. Lebih baik gue digosipin sama Theo James atau Taylor Lautner sekalian, daripada sama cecunguk satu ini.
"Tapi kenapa harus pegangan gini sih? Kayak orang mau nyebrang aja ish!" protes gue.
"Takut lo kabur. Lo ngehindarin gue mulu sih."
Oke. Cukup gue buang-buang waktu buat ngedebat manusia satu ini. Gue harus mulai bergerak sebelum terlambat. Maka dalam satu gerakan cepat, gue menepis genggaman tangan Kak Aksel dan mendorong tubuhnya dengan kuat. Doi yang nggak cukup seimbang untuk menerima serangan gue langsung terpental jatuh, dan...
BRUK!
"Adaw!"
Beberapa menit pertama gue habiskan dengan menonton Kak Aksel yang sibuk guling-guling kesakitan sambil megangin tangan kanannya yang ngebentur kaki kursi sampai kursinya patah. Gue bingung harus ngapain. Sumpah ya, gue nggak ada maksud buat mencelakai dia--walaupun dia nyebelin dan udah menyusahkan gue sejak hari pertama MOS. Tapi ketika dia menatap gue, gue tau kalo kali ini dia butuh bantuan gue.
"Lo nggak apa-apa, Kak?" tanya gue sambil mengecek kedua lengannya. Lengan kirinya sedikit memar, tapi lengan kanannya...
It's gonna be a disaster!
"Ya menurut lo aja gimana?" gerutu Kak Aksel. "Nggak bisa gerak nih yang kanan."
Emangnya segitu kencangnya kah gue mendorong dia?
"M-maaf, gue nggak sengaja."
"Lo harus tanggung jawab, Ji! Nggak mau tau."
Tiba-tiba perasaan gue nggak enak.
Tapi nggak ada pilihan lain. Walaupun nggak sengaja, tindakan gue udah mencederai Kak Aksel yang otomatis akan ngebuat dia mengalami kerugian. Jadi, ya... "Tanggung jawab apa?"
"Lo harus ngebantuin gue sampai tangan kanan gue sembuh."
Kan bener kan.
"Bantuin apa?"
Kak Aksel kembali tersenyum sebelum menjawab, "Semuanya."
Ya Tuhan, cobaan macam apalagi ini?
.
.
Kireina Azura
"Rabbit!"
Gue nyaris tersedak jus jeruk yang sedang gue nikmati ketika mendengar panggilan itu diteriakkan dengan suara cukup tegas di belakang gue. Bukan karena suaranya, tapi lebih karena gue tau siapa orang yang bakal memanggil gue dengan nama panggilan itu.
"Kak Iyan, Rei." Bisikkan Danaya di sebelah gue seakan berusaha menegaskan siapa pelakunya.
Duh. Mampus gue.
"Eh eh, itu Kak Darian kan?" di depan gue, Zela bertanya dengan lugu. Ya wajar sih, karena emang nggak ada yang tau siapa Iyan buat gue selain Danaya.
"Dia manggil siapa tadi? Rabbit?" Dera ikut menimpali, dan kalimatnya ngebuat pipi gue memanas. Kayaknya gue harus memperingati Iyan supaya berhenti memanggil gue dengan panggilan itu di tempat umum nanti.
Tapi ngomong-ngomong soal Iyan...
"Hai, boleh gabung kan?" dia udah berdiri di sebelah meja kita. Seperti biasa, Iyan akan memberikan senyum ramah yang selalu terlihat ganteng sama semua orang yang dia temui.
"Boleh, Kak." Danaya yang ngejawab.
Iyan langsung menempati kursi di sebelah gue. Dan senyumnya... senyumnya langsung beda ketika dia menunjukannya buat gue. Senyumnya bukan lagi sekedar senyum ramah yang biasa dia kasih ke semua orang. Senyumnya...
Like i could find something different from it. For God's sake.
"Kok kamu nggak nengok sih aku panggil? Masih belum ngaku ke mereka kalo kita pacaran?"
"HAH?!" teriak Zela dan Dera, nyaris berbarengan.
"Belum tuh Kak. Emang geblek si Kirei, punya pacar ganteng kok anteng-anteng aja." Danaya berujar dengan nada menggoda yang otomatis gue hadiahi sebuah pelototan dan cubitan di pahanya melalui bawah meja. Bodo amat dia kesakitan. Siapa suruh punya mulut berisik banget.
"Jadi lo yang dipanggil Rabbit?" setelahs sadar dari keterkejutannya, Dera bertanya. Gue ngejawab dengan anggukan terpatah. "Kenapa lo nggak bilang sih kalo lo punya pacar anak OSIS? Kan gue bis--"
Kalimat Dera dihentikan oleh tangan Danaya yang membekap paksa mulut cewek itu. Mengenal Dera selama beberapa hari ngebuat gue paham kalo sifatnya mirip-mirip sama Danaya.
"Hehehe maaf ya, Kak Iyan. Dera emang suka lemes gitu. Efek lapar belum makan dua minggu."
Huh, setelah mengenal Danaya di tempat bimbel setahun yang lalu, akhirnya cewek ini berguna juga. Sayang Danaya pokoknya.
"Kalo kalian butuh bantuan, kalian jangan sungkan buat hubungin gue ya. Gue bakal ngebantu kok."
"Kak Darian, saya butuh bantuan kakak." tiba-tiba Zela kembali bicara.
"Bantuan apa?"
"Saya bingung."
"Bingung kenapa, Zela?"
Zela sempat melirik gue selama beberapa detik, sebelum akhirnya balik natap Iyan dan bertanya, "Kenapa kakak manggil teman saya Rabbit? Si Kirei ini kan nggak mirip kelinci, dia juga nggak suka makan sayuran, apalagi wortel."
Astaga. Gue nggak tau mau nangis, atau ngakak dulu, atau mau nginjak sepatu Zela sampai itu cewek sadar kalo pertanyaannya barusan sangat tidak berfaedah. Bahkan kayaknya gue nggak bakalan sanggup dengar jawaban Iyan dihadapan teman-teman gue ini.
"Karena dia lucu kayak kelinci, ngegemesin."
Ya ampun. Gue pusing dengernya, sumpah.
Bukan karena omongan itu terdengar gombal ya. Gue sama Iyan udah pacaran hampir empat tahun, jadi gue sangat tau Iyan kayak apa. Dia emang sopan dan baik, tapi dia bukan tipikal cowok yang akan bermulut manis untuk ngebuat cewek baper. Dia sangat jujur, dan mengatakan gue menggemaskan akan terasa seperti dia baru aja mengumumkan kepada seisi dunia kalau gue adalah anak Pangeran Inggris yang hilang beberapa tahun lalu.
Berlebihan, emang. Tapi itu yang gue rasain.
"Oh jadi gitu. Kirei beruntung ya punya pacar romantis kayak kakak."
Gue pengin menyumpal mulut Zela aja rasanya. Malu njir malu.
"Kakak temenan sama Kak Jupiter juga nggak?" gue menghela napas karena Dera menggeser topik pembicaraan ke arah yang lebih 'normal'.
"Jupiter Ketua OSIS, kan? Dia sih sohib gue."
"Dia punya pacar nggak?"
"Punya dong," Iyan ngejawab sumringah, berbanding terbalik dengan Dera yang langsung lesu. "Di perpus banyak tuh."
"Kak Jupiter pacaran sama anak KIR?" sambar Zela.
"Bukan. Tapi sama buku-buku ensiklopedia." jawab Iyan, sambil ketawa jayus. "Nggak, nggak. Gue bercanda doang kok. Jupiter jomblo."
Lalu Zela dan Dera sibuk berbisik-bisik sesuatu yang nggak bisa gue dengar, sementara Danaya mulai asik sama mangkuk bakso di depannya. Gue baru aja mau ngajak Danaya ngobrol ketika pipi gue dicubit.
"Iyan!"
Iyan nyengir. "Kok aku dicuekin sih?"
"Kamu rese sih."
"Rese kenapa sih, Bbi?"
Demi sempak Superman yang udah dipindah ke dalam legging, gue selalu lemah kalo Iyan udah manggil gue dengan sebutan itu. Empat tahun barengan Iyan, gue bahkan belum bisa membiasakan diri gue dengan sikap manis Iyan. Payah, emang.
"Nggak tau ah."
"Jangan ngambek dong, nanti pulang sekolah kita beli es krim cokelat deh."
"Berapa?"
Iyan tersenyum. "Dua."
"Tiga atau aku pulang sendiri."
"Buset, Bbi. Nanti diabetes kebanyakan makan es krim."
"Yaudah, aku pul--"
"Kak Darian?"
Kalimat gue dipotong oleh suara cewek. Bukan suara teman-teman gue, melainkan suara...
"Ada apa, Kinan?"
Iya, dia Kinan, cewek yang tempo hari dikasih jaket sama Iyan karena rok seragamnya nggak layak dipakai jalan di tempat umum.
"Ngg... ini, saya mau kembaliin jaket Kak Darian. Udah saya cuci kok."
"Ah, kok cepat banget?"
"Nggak enak kalo kelamaan," Kinan ngejawab malu-malu, sementara gue harus berusaha keras untuk bersikap biasa aja. "Maaf ya kak jadi ngerepotin."
Iyan mengangguk dan tersenyum ramah. "Cuma jaket doang kok, santai aja."
Seharusnya gue biasa aja ketika ngeliat Iyan tersenyum ke Kinan--sama seperti ketika Iyan tersenyum ke teman-teman gue tadi. Tapi sisi lain dari diri gue nggak bisa terus berpura-pura kalo semua yang Iyan lakukan ke cewek ini bukan sebuah hal besar.
Apa mungkin gue cemburu?
"Makasih ya Kak."
Gue bahkan sempat menangkap senyum Kinan yang ditujukan buat Iyan. Dan gue sangat tau maksud dari senyum itu karena, sumpah ya, senyum sejenis itu adalah senyum yang pernah gue kasih ke Iyan ketika gue mulai menyukai Iyan beberapa tahun yang lalu.
Jangan bilang kalau...
"Rei, jadinya dua atau tiga es krim?"
Gue tersenyum kecil, benar-benar udah kehilangan mood untuk ngebahas es krim. "Terserah kamu."
.
.
Adera Ayunia
"AKHIRNYA SELESAI JUGA PENYIKSAAN KITA, GUYS!"
Begitu upacara penutupan MOS resmi dibubarkan, Kirei berteriak dengan perasaan lega yang begitu kentara--ngebuat kita nggak bisa buat nggak ketawa. Well, bukan hanya Kirei, tapi gue rasa kita semua sependapat sama doi.
"Akhirnya gue bisa bebas dari segerombol senior alay yang sok kegantengan itu!" Jihan ikut bicara dengan suara yang cukup lantang, spontan memancing beberapa tatapan aneh yang ditujukan ke dia.
Tapi sumpah ya, untuk yang ini gue nggak setuju sama Jihan. Acara MOS kali ini emang lebih banyak nyusahinnya daripada seru-seruannya, tapi nggak semua senior disini alay dan sok kegantengan kok.
Kak Jupiter contohnya.
Sejak gue tau kalo dia yang nolongin gue saat gue pingsan kemarin, gue jadi sering memperhatikan dia. Ugh, bukan hanya sering, tapi gue selalu memperhatikan dia setiap ada kesempatan. Hampir semua anak bilang dia galak, nggak berperasaan, dan superior.
But, hell. For me, it just another name of 'perfection'.
Ekspresinya emang gitu-gitu doang. Dia juga irit ngomong, tapi semua itu nggak membuat dia menyeramkan. Dia... cool. Dia ganteng. Dia nggak cengengesan kayak tiga senior ganteng kurang kerjaan yang hobi ngerjain Danaya, Zela--atau bahkan yang paling ekstrim, ngerjain Jihan.
Dia itu berbeda. Dan gue suka aja ngeliatnya.
"Der, lo mau balik kapan?" suara Danaya membuyarkan lamunan singkat gue tentang Kak Jupiter.
"Sekarang lah."
"Dijemput?"
Gue menjawab dengan anggukan kepala.
"Yaudah, gue duluan ya."
"Oke."
Setelah pamit, Zela dan Danaya meninggalkan kita di depan gerbang sekolah. Nggak lama, Kak Iyan muncul dari parkiran dan ngajak Kirei pulang bareng, dan Jihan--entah kenapa--tiba-tiba masuk lagi ke dalam setelah menerima sebuah pesan Line.
Jadi gue sendirian?
Tanpa sadar, handphone gue pun berdering. Dengan sigap gue pun langsung mengambil handphone yang selama MOS berlangsung gue taruh di dalam tas gue.
Ternyata panggilan dari Mama.
"Halo?"
"Kenapa ma? Iya aku udah selesai dari tadi, mama yang jemput aku?"
"Duh, Mama nggak bisa jemput kamu kayaknya. Mama harus jemput abang ke kampus, dia sakit."
"Yah Mama, terus aku pulang sama siapa? Semua teman Dera udah pulang nih."
"Si abang kasian sayang kalo nggak ada yang jemput. Kamu pulang sendiri aja ya?"
"Yaudah aku nyari taksi aja. Mama hati-hati ya nyetirnya."
Nggak lama setelah gue menutup telepon, gue mendengar raungan mesin mendekat ke arah gue--dan berhenti persis di depan gue. Awalnya gue nggak mengenali siapa dan apa maksudnya pengendara motor ini berhenti di depan gue. Namun setelah dia membuka helm, kaku gue refleks melangkah mundur saking terkejutnya.
"Dera?"
Alamak. Dia menyapa gue.
"Hehe iya." Gue menjawab, berusaha untuk terdengar santai walau sebenarnya...
Ya Tuhan, jantung gue. Ribut amat kayak konser dangdut.
"Kamu Adera yang waktu itu pingsan karena belum sarapan kan?"
"Iya. Kirain Kak Jupiter nggak ingat saya. Hehehe."
Iya. Cowok yang daritadi bikin gue gugup itu Kak Jupiter, ketua OSIS sekaligus guardian angel gue--ceileh, bahasa gue sangat ftv--yang diutus sama Tuhan buat menyapa gue. Dan ternyata dia masih mengingat gue, satu di antara ratusan siswa baru yang dia handle saat MOS.
Kayaknya gue perlu sujud syukur nih.
"Kenapa belum pulang? Lagi nunggu jemputan?" Tanya Kak Jupiter sambil memeluk helm yang tadi dia kenakan. Melihat dia seperti itu, rasanya gue mau membuka fitur kamera di handphone gue dan mengambil foto Kak Jupiter dalam berbagai angel.
Gantengnya nggak nahan, guys. Cocok gantiin Valentino Rossi buat jadi bintang iklan motor.
"Tadinya saya nungguin Mama, tapi Mama bilang kalo dia gak bisa jemput hehe" Gue pun menjawab dengan senyuman.
"Kebetulan tadi helm saya ketinggalan di loker, jadi saya bawa helm dua. Kalo kamu mau, kamu bisa bareng saya."
Spontan, gue langsung membulatkan mata gue setelah mendengar perkataan dari Kak Jupiter tadi.
Ini gue nggak salah denger kan? Kak Jupiter nawarin gue pulang bareng?
"Pulang bareng maksud kakak?" Gue bertanya dengan kagetnya.
"In case kamu nggak keberatan, saya mau antar kamu pulang. Lagian nggak bagus kalau cewek sendirian pulang jam segini. Tapi kalo kamu nggak mau nggak masalah, saya tidak memaksa. Cuman saya tidak mau junior yang ada disini kenapa-kenapa nantinya, karena itu juga termasuk tanggup jawab saya sebagai ketua pelaksana. Termasuk kamu, kamu merupakan tanggup jawab saya, Dera."
Like i told ya, he's kind of perfection that god create on this earth.
Gue pun nggak punya pilihan lain selain mengangguk setuju setelah Kak Jupiter bilang gitu. Ya gimana ya, kesempatan emas nggak boleh dilewatkan begitu aja. Hehehe.
"Jadi rumah kamu dimana, Dera?" Kak Jupiter bertanya sambil memberikan helmnya ke gue.
"Eh itu, di Menteng Dalam, Kak." Gue menjawab dengan senyuman.
"Kebetulan sekali, rumah saya juga nggak jauh dari situ."
Dengan refleks, gue memegang erat pundak Kak Jupiter setelah dia menancapkan gas motornya.
Bermenit-menit gue habiskan hanya buat senyum-senyum kegirangan sendiri, sampai gue nggak menyadari kalo dari tadi Kak Jupiter memanggil gue dan sukses membuyarkan lamunan gue tentang Kak Jupiter.
"Dera?" Dia bertanya sambil menoleh ke belakang.
"Eh iya? Kenapa? Maaf-maaf aku tadi lagi ngelamun."
"Ngelamun?" Tanya Kak Jupiter heran.
Ya Tuhan Dera, kenapa lo jujur banget sih?!
"Eh itu, tadi aku lagi mikirin untuk masuk sekolah besok kak." Dusta gue.
"Nggak usah dipikirin Der, santai aja" Ujar Kak Jupiter santai. "Kita sudah sampai dari tadi loh, kamu nggak mau turun?" Tanya Kak Jupi sambil memberikan senyuman ke gue.
Why times running so fast while i want it freezing a lil bit longer?
•••
Kkambear talking here!
Hello readers-nim, thanks for read and votes our story. Hope you all will love it as much as we love them xx
We need your support, so we'll be happier if you wanna left some comments and votes.
- and finally Romanshit characters their social media (roleplay), you can find the characters on instagram -
Danendra Javera Rajendra : @javeradane
Arjuna Kanigara : @arjunakng
Darian Satya Radithya : @darian.sr
Mars Akselo Raynar : @raymarselo
Jupiter Bratajaya : @jupiterbrata
and for the girls :
Danaya Salsa Madina : @salsadanay_
Shanzela Adevera Ajani : @shnzelaaa
Kireina Azura : @itskirei26
Jihan Nabila : @jihanabils
Adeera Ayunia : @adeerania
Thankseu❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro