Jam Pasir
Cinta adalah hal yang paling indah di dunia ini.
Namun, cinta juga adalah hal yang paling terkutuk di dunia ini.
Ya, cinta adalah keindahan juga kutukan yang bergabung menjadi satu.
∆∆∆
Namaku Raynald Finne. Semua orang biasa memanggilku Fin. Aku hanya seorang siswa yang duduk di kelas tiga sekolah menengah atas. Prestasiku bukan yang di bawah rata-rata, tetapi bukan berarti aku termasuk di atas rata-rata. Aku berada di tengah-tengahnya.
Aku akan menceritakan tentang cinta yang selama ini ada di hidupku. Kuharap kalian tidak akan bosan membacanya.
Sejak kecil, aku dicintai oleh kedua orangtuaku. Mereka sangat baik dan juga senang memanjakanku. Namun semuanya mulai berubah ketika aku berada di sekolah menengah pertama. Mereka mulai sering berdebat tentang masa depanku yang bahkan sama sekali belum terpikirkan olehku. Baik ayah maupun ibuku keduanya terus bersikeras pendapatnya adalah yang terbaik untuk hidupku ke depannya. Bahkan mereka tidak membicarakannya dahulu padaku, melainkan langsung memutuskan dan yakin bahwa pemikiran mereka adalah yang terbaik dan akan diterima olehku.
Yah, tidak sepenuhnya salah sih.
Aku tidak akan menolaknya, tetapi belum tentu aku mau mengikutinya dengan hati yang tulus. Sebab, aku juga punya impian. Jika seumur hidup harus diatur oleh orangtuaku, lantas apa gunanya cita-citaku? Tetapi seperti yang kubilang tadi. Meski aku tidak mau, aku akan tetap melakukannya.
Setelah perdebatan panjang mereka, mereka memutuskan untuk berpisah. Aku yang setiap hari masih terus menerima tekanan karena keributan mereka, mulai stres. Bahkan semakin lama sikap mereka mulai aneh padaku. Ayahku yang semakin posesif jika aku dekat dengan ibuku, dan ibuku yang terus saja melakukan kekerasan fisik padaku jika aku terus-terusan bertemu dengan ayahku yang rumahnya sudah pisah dari ibuku.
Kehidupanku di rumah sudah cukup hancur, ditambah lagi di sekolah. Semua orang sering menatapku dengan aneh. Ada yang langsung memalingkan muka, ada yang tiba-tiba melabrakku, ada juga yang tiba-tiba merasa takut padaku. Aku tidak tahu apa yang terjadi, sampai suatu saat di waktu aku dilanda kebingungan, teman perempuan yang duduk di depan kursiku, namanya Anna, ia bertanya.
"Hei, dia siapa?"
Aku yang jelas-jelas tak mengerti apa maksudnya pun kembali bertanya, "Dia? Siapa yang kau maksud?"
"Kamu. Kamu punya kepribadian ganda kan?"
"A-apa?"
"Oh, kamu tidak menyadarinya kah?"
Kemudian ia menceritakan semua yang kulakukan. Alasan dari orang-orang menatapku aneh. Aku tidak mempercayainya tetapi Anna bilang itu adalah perbuatanku. Anna bukanlah seorang yang suka berbohong. Ia orang yang jujur juga sangat dipercaya oleh teman sekelas. Buktinya ia menjadi wakil ketua kelas.
Kalau dipikir-pikir, benar juga. Aku sering kebingungan ketika tiba-tiba berada di suatu tempat yang padahal aku tidak ingat sedang berjalan ke sana. Tak jarang juga kepingan memori di kepalaku rasanya kian menghilang.
"Fufu, kamu orang yang menarik, ya," kata Anna sambil tersenyum cerah.
Dan saat itulah aku jatuh cinta untuk yang pertama kalinya.
∆∆∆
Waktu terus berjalan. Awalnya kami hanya murid kelas satu sekolah menengah, tetapi kemudian kami terus naik dan akhirnya kami sampai di satu tingkat lagi sebelum tingkatan akhir sekolah menengah ini.
Selama lima tahun ini, tidak ada perkembangan sama sekali di antara aku dan Anna. Kami masih hanya sebatas teman sekelasーbahkan menjadi teman baikpun tidak.
Meski kami bukan teman baik, di lima tahun belakangan ini aku selalu memerhatikannya. Sedih rasanya hanya bisa melihatnya dari jauh. Namun aku masih bersyukur dapat melihat wajah bahagia Anna. Aku sadar diri, aku tidak pantas untuk Anna yang cerdas juga aktif jadi aku tidak mendekatinya.
Saat itu aku berpikir tidak masalah jika dia tidak dekat denganku. Setidaknya dia juga tidak dekat dengan siswa lain. Karena, seluruh teman-temannya adalah perempuan.
Namun pikiran itu tidak bertahan lama hingga di semester dua, datanglah seorang murid pindahan dari Jepang.
"Perkenalkan, namaku Asahina Mahon. Aku murni berdarah Jepang. Aku dan keluargaku pindah ke Inggris karena ayahku memiliki pekerjaan di sini. Aku anak bungsu dari empat bersaudara. Salam kenal."
Tubuhnya tinggi, wajahnya tampan, dia juga tidak terlihat seperti laki-laki yang senang bertingkah. Menurutku, dia adalah tipe idaman para wanita. Segera, aku memalingkan pandangan ke arah Anna. Aku berharap mataku salah melihatnya tapi ... sepertinya aku tidak salah lihat.
Anna nampak terpesona pada siswa pindahan itu.
Dari sini, tiba-tiba di kepalaku terbayang sesuatu. Itu adalah sebuah jam pasir.
∆∆∆
"Mahon~ bisa foto aku?"
"Hei, siapa kamu berani memanggil nama belakangnya? Menurut kebudayaan Jepang, hanya orang-orang yang dekat dengannya yang boleh memanggil nama belakangnya."
"Oh benarkah? Maaf! Tapi bolehkah aku memanggilmu Mahon?"
Aku bertanya-tanya mengapa anak perempuan di sana seperti kerasukan sesuatu dan berusaha mendekati si anak pindahan. Si anak pindahan terlihat cuek, ia hanya berkata, "Terserah kalian saja mau memanggilku apa."
Si anak pindahan itu memegangi kameranya dan mengecek hasil fotonya kemudian tersenyum. Para wanita berteriak, sedangkan aku langsung menoleh kepada Anna yang ternyata juga sedang memerhatikan anak pindahan itu.
Firasatku tidak bagus. Mulai ada sesuatu yang merayapi dadaku, kemudian aku tidak ingat lagi apa yang terjadi.
∆∆∆
Keesokannya, semua orang melihatku dengan tatapan aneh. Sekali lagi, aku tidak tahu sama sekali apa yang telah kulakukan.
Aku berniat untuk bertanya kepada Anna apa yang terjadi kemarin tetapi saat aku masuk kelas, aku mengurungkan niatku. Aku berjalan menunduk sambil berusaha meredakan rasa sakit di dadaku.
"Oh jadi kamu suka fotografi ya?" kata Anna.
"Ya, aku diajari menggunakan kamera oleh teman kakakku yang pertama. Sejak itu aku menyukai fotografi," kata si anak pindahan.
"Bolehkah aku melihat hasil potretmu? Aku penasaran," tanya Anna.
Si anak pindahan itu menyodorkan kamera yang masih ia kalungkan di lehernya itu dan membiarkan Anna melihatnya. Itu membuat Anna harus mendekat untuk melihat potretnya itu.
Harusnya aku tidak melihat ini. Aku benci mengakuinya tetapi aku merasa ... mereka terlihat cocok.
Dan begitulah, jam pasir di dalam kepalaku terus berjalan. Sedikit demi sedikit, pasir itu terus turun.
∆∆∆
Ketakutanku berubah menjadi kenyataan. Si anak pindahan itu berpacaran dengan Anna di saat kami hampir naik kelas akhir sekolah menengah. Bagaimana aku bisa tahu? Sebab, pengakuan itu mereka lakukan di depan kelasku.
Aku hanya menatap mereka dalam diam, menyembunyikan rasa sakit di dadaku yang kian menekan. Semua orang berseru, "Cium! Cium!" tetapi aku langsung pergi dari dalam kelas tanpa ada seorangpun yang menyadarinya.
Sepertinya dia mulai berulah. Buktinya setelah kejadian itu, aku banyak tidak mengingat kejadian-kejadian yang orang lain sebutkan. Aku juga tidak ingat apa yang kulakukan saat itu. Mungkin kegiatan selama sebulan, aku tidak mengingatnya sama sekali. Seingatku pada saat itu tanggal 11 Oktober. Namun tiba-tiba saja di saat aku sadar, ponselku menunjukkan tanggal 5 November.
Aku harap, dia tidak melakukan hal-hal yang aneh.
Aku memang tidak melihat apapun, tapi aku bisa merasakannya. Sepertinya dia juga menyukai Anna. Ketika dadanya sakit, maka aku pun turut merasakannya. Mau bagaimana lagi? Karena kami ada di tubuh yang sama.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak yang mendukung hubungan Anna dan si anak pindahan. Apapun yang mereka lakukan rasanya seperti berhasil mendorongku untuk menabur garam di atas lukaku sendiri. Aku sudah lelah merasa sakit hati, tetapi aku tidak bisa berhenti mencintainya.
Mungkin ini hanya ada di pandanganku, tetapi hidup ini sudah terasa monokrom bagiku. Aku tidak bisa merubahnya, tak peduli seberapa banyak aku berusaha.
Aku pun hanya bisa berdo'a agar Anna selalu bahagia. Aku tidak akan mendo'akannya segera putus dengan si anak pindahan. Karena, aku tidak ingin merenggut kebahagiaannya. Jika memang ia bahagia, ya sudah. Mungkin sudah menjadi takdirku untuk menjadi pengamatmu selalu.
Waktu terus berlalu hingga tibalah upacara kelulusan. Sesaat setelah upacara selesai, tiba-tiba aku menemukan Anna sedang menangis di luar gedung. Spontan, aku mendekatinya dan bertanya, "Anna? Ada apa?"
Dia sepertinya terkejut dengan kedatanganku, dia segera menghapus air matanya walau air matanya tak berhenti mengalir. Aku yang melihat ini, tentu saja ikut merasa tersayat hatinya.
"A-aku tidak apa-apa, hanya sedih karena berpisah dengan kalian," ujarnya sambil berusaha tersenyum.
"Kamu bohong 'kan? Dulu ketika perpisahan SMP, kamu tidak menangis seperti ini. Ada apa?"
Seketika, senyum di wajahnya pupus. Tangisnya mulai pecah kembali. Aku menunggunya dengan sabar. Sebenarnya aku ingin memeluknya erat dan mengusap kepalanya agar ia tenang. Namun ketika aku ingat dia memiliki pacar, aku menyerah.
Aku tidak akan mengejarnya lagi.
Aku akan berusaha untuk melepaskannya, tapi ... kurasa ini yang terakhir.
Setelah beberapa saat, akhirnya tangisannya mereda. Kemudian dengan suara yang serak karena menangis, ia pun berkata, "Mahon memutuskanku. Ia bilang, ia akan terbang kembali ke Jepang esok. Dia takut tidak bisa menjaga hatinya untukku. Jadi, ia memutuskanku."
Entah reaksi apa yang seharusnya aku keluarkan, aku benar-benar bingung. Apakah ini kesempatanku?
Tidak. Aku tidak bisa memanfaatkan kesedihan Anna saat ini.
Akhirnya, aku hanya memerhatikannya sambil menahan sesak di dada ini.
Bahkan sampai akhir pun, hatinya tetap hanya milik Mahon seorang. Berharap apa aku ini? Sudah jelas aku tidak akan bisa menyaingi orang itu.
∆∆∆
Setelah hari itu, kukira hubungan kami akan benar-benar berakhir, tapi nyatanya tidak. Kami kembali berada di sekolah lanjutan yang sama. Kami juga lebih dekat dibanding saat sekolah menengah dulu.
"Fin, ayo makan siang bersama?" tanya Anna tiba-tiba dengan menarik-narik ujung pakaianku.
"A-ayo," jawabku.
Sambil berjalan menuju kantin, Anna dengan cerianya bercerita dengan segala hal yang menarik di kelasnya tadi. Yah, kami hanya satu sekolah, tidak satu kelas.
Dalam hatiku aku sangat bersyukur Anna sudah kembali ke pribadinya yang ceria. Dia juga menjadi terbuka padaku. Sekali lagi, pikiran bahwa ini adalah kesempatan pun terbersit di benakku.
Apakah aku benar-benar belum kehilangan harapan untuk mengejarnya?
"... oh ya, itu juga. Kalau tidak salah, itu juga pernah terjadi saat kita masih sekolah menengah. Siapa ya yang melakukannya? Hmm ... oh! Itu kan kau!" oceh Anna yang tiba-tiba menunjuk padaku.
Aku yang merasa terpanggil menoleh, kemudian ia melanjutkan, "Iya, benar. Itu kau! Aku saat itu kaget tiba-tiba kau berdiri dan menggebrak meja, lalu menendang meja-meja yang ada di kelas. Saat itu suasana kelas benar-benar menjadi tegang, kau tahu."
"Aku? Aku pernah melakukan itu?"
"Ya! Aku yakin kau tidak ingat karena yang melakukannya adalah kepribadianmu yang lain," kata Anna.
"Mengapa aku melakukannya?" tanyaku penasaran.
"Aku juga tidak tahu, teman-teman bilang karena kau cemburu dengan Mahon yang berpacaran denganku saat itu. Tetapi mana mungkin 'kan? Aku saja saat itu tidak ingat pernah berbicara denganmu," ujarnya sambil terkekeh.
Tiba-tiba, mulutku bergerak dengan sendirinya, "Tidak, itu faktanya."
Setelahnya, aku tidak mengingat apa yang terjadi padaku.
∆∆∆
Aku tidak tahu ini sudah selang berapa waktu sejak pembicaraan saat itu, yang jelas saat ini aku sudah berada di ruang kesehatan. Aku membuka mata dan betapa terkejutnya diriku saat melihat Anna menggenggam tanganku sambil tertidur di sebelahku. Sebenarnya apa yang terjadi?
Mungkin karena sedikit gerakanku, Anna akhirnya terbangun dan bertanya, "Oh? Sayang, kamu sudah bangun? Bagaimana kepalamu? Masih terasa pusing?"
Tiba-tiba aku tersedak mendengar itu. Segera, Anna memberikanku segelas air, "Ini, minumlah."
Setelah meminum air, aku pun bertanya, "T-tunggu, apakah ini mimpi?"
Anna mengerutkan dahinya, kemudian mencubit pipiku. Pipiku terasa sakit, artinya ini bukan mimpi.
"Ha-habisnya, kamu memanggilku 'sayang' tadi. Aku jadi terkejut," ucapku jujur.
Anna tertawa, lalu berkata, "Kamu ini bicara apa? Bukankah kau sendiri yang ingin aku memanggilmu sayang?"
Sekali lagi, aku tercengang. "Aku tidak pernah meminta itu," ujarku.
"Oh! Berarti kau ini Fin yang biasanya ya? Selamat datang kembali!" katanya sambil memelukku. Tentu saja aku menjadi salah tingkah karena perlakuannya yang terang-terangan ini.
"Tiga minggu yang lalu kita resmi berpacaran. Kamu tidak tahu?" tanya Anna yang masih dalam posisi memelukku.
Oh Tuhan, kejutan apa yang kau berikan padaku ini?
∆∆∆
Hari itu, Anna menjelaskan semuanya dan akhirnya aku dan Anna menjadi sepasang kekasih. Aku sangat senang, tapi mengapa gambaran jam pasir di kepalaku itu masih ada dan pasirnya tidak berhenti turun?
Apa maksud jam pasir ini?
Diriku tenggelam dalam lautan cinta hingga mengabaikan pikiran acak ini. Biarlah jam pasir atau jam apapun itu terus bergerak. Cintaku pada Anna juga tidak akan berhenti, sama seperti jam itu.
Hubungan kami menjadi kian membaik setiap harinya, kami akan makan bersama, belajar bersama, atau bahkan pulang bersama.
Hari ini kami akan pergi berkencan ke bioskop. Kami pergi dengan naik kereta, dan pulang juga naik kereta.
Semuanya terasa indah, namun hari itu harus cepat berakhir. Meski aku bilang cintaku tidak akan pernah berhenti seperti jam pasir itu yang terus turun tanpa berhenti, saat ini aku terheran-heran. Butiran pasir itu akan segera habis.
Sambil memikirkan itu, aku pun tidak hanya diam saja. Aku mengobrol dengan Anna di belakang garis kuning yang ada di dekat lintasan kereta. Tiba-tiba saja ada anak-anak yang berlarian kemudian jatuh ke lintasan kereta. Aku yang berada di dekat sana langsung turun ke lintasan kereta untuk menyelamatkan anak itu.
Dengan menggendongnya, aku menaikkannya kembali ke atas. Orangtua anak itu berterima kasih padaku dan menyuruhku untuk segera naik ke atas.
Tiba-tiba saja suara kereta mulai terdengar. Sialnya, jarak antara lintasan kereta dan tempat menunggu kereta itu lumayan tinggi. Bahkan bagi orang dewasa sekalipun. Anna membantuku untuk naik, tetapi tiba-tiba pasir yang ada di kepalaku berhenti turun. Lebih tepatnya, jam pasir itu sudah selesai melakukan tugasnya.
Begitu pula denganku. Aku selesai melakukan tugasku di dunia.
Hal yang terakhir kudengar adalah teriakan histeris Anna memanggil namaku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro