05. kenapa?
[Name] selalu penasaran, kenapa dari awal Glacier menerima perjodohan ini, bahkan ia disapa dengan baik ketika pertama kali bertemu dengan Glacier. Ia pikir Glacier akan menolak perjodohan ini.
Kalaupun terpaksa menerima, tak mungkin kan Glacier sampai sebaik ini pada dirinya? Atau itu hanya sekedar rasa empati? Makanya, sekarang, ia ingin memastikannya dengan bertanya langsung.
Saat ini Glacier berada di rumah dengannya, di dalam kamar; lebih tepatnya di meja belajar. Dirinya sedang bekerja. Harusnya, sih, bekerja di kantor, tapi ia sedang malas dan terlambat bangun hari ini. Akhirnya minta untuk kerja dari rumah saja.
"Glacier, aku penasaran."
"Iyaa? Kenapa, Sayang? Ngomong aja." walau matanya masih fokus pada layar laptopnya itu, tapi senyum ramahnya tetap ia pasangkan pada [Name] yang memanggilnya.
"Kamu ... ah, Anda kenapa menerima saya?"
Glacier menoleh ke arahnya, alisnya sedikit ia kerutkan bingung sebelum ia memutar kursi miliknya hingga berhadapan dengan [Name].
"Maksudnya?"
"Umh, kenapa Glacier setuju dengan perjodohan ini...? A-aku selalu penasaran, apalagi Glacier bersikap baik setiap hari. Ah, rasanya aneh pakai 'aku' saat sedang ingin berbicara serius."
[Name] kembali menaruh pandangannya pada buku yang sedang ia baca. Itu buku pemberian iparnya Glacier; istri Sori. Ia bilang, [Name] akan bisa cepat berbicara acak-adul jika membaca buku.
Ketika mendengar ucapan [Name], Glacier langsung menaruh seluruh fokusnya pada [Name]. Ia yang tadi mutar kursi dengan kertas di tangannya, langsung ia taruh di meja belajar bersamaan dengan kacamata yang ia pakai tadi untuk bekerja.
"Kalo menurutmu sendiri, kenapa?"
"... Glacier berempati pada saya?"
Oke, harus Glacier akui, itu memang benar. Tapi sebenarnya ada dua alasan lain selain itu. Simpel, sih, alasannya.
1. Karena dia belum ada jodoh
2. Karena dia jatuh cinta pada pandangan pertama sama mbak nem
3. Empati
"Iya, tapi itu alasan ketiga, alasan paling bawah."
"Masih ada alasan lainnya?"
"Masih, dong."
"... Jadi Glacier tidak sekedar berempati?"
Glacier mengerutkan keningnya bingung, astaga, bagaimana bisa wanitanya ini mengira ia hanya berempati padanya? Padahal dia bucin akut sama [Name].
Segela perlakuan lembut Glacier pada [Name] ini tak hanya karena rasa empati, tahu. Mana mungkin hanya karena berempati, ia sampai nananininunu dengan [Name].
Glacier pikir, perasaannya terlihat jelas di mata [Name]. Ternyata tidak, toh.
"Enggak, [Name]. Dari awal aku terima ini karena aku belum ada calon sekaligus ditumbalin sama saudara-saudaraku. Awalnya aku memang agak ogah-ogahan, tapi pas kita ketemu ... a-aku umh, jatuh cinta?"
Sebenarnya, Glacier bersyukur karena saudaranya serentak setuju menumbalkan dirinya, bukan saudara yang lain.
Agak rada-rada, tapi gapapa.
"Kenapa tiba-tiba kamu nanya gini? Ada yang janggal di pikiranmu?"
[Name] nampak berpikir sebentar, sebelum akhirnya ia mengangguk mantap pada sang suami, membuat suaminya kebingungan.
"Apa itu?"
"Uh ... Tuan menyuruh saya untuk tidak selamanya dengan Glacier, tapi kalau Glacier bersikap seperti ini, saya jadi tidak mau pergi dari sini, tau. Karena itu, saya penasaran, kenapa Glacier menerima perjodohan ini dan bersikap baik pada saya."
Mau lo apasih, tua? Mungkin batin Glacier berkata seperti itu, sudah siap memaki-maki ayah mertuanya itu yang bahkan tak bisa ia sebut ayah mertua.
Setahu Glacier, [Name] kan dibuang dengan dinikahkan bersama dirinya. Tapi kenapa ayah mertuanya itu menitipkan pesan seperti itu? Kalau tidak hidup selamanya dengan dia, lalu [Name] harus kemana? Menjadi gembel?
Labil banget tuh tua satu.
"Kamu masih mau nurutin dia?"
"... Beliau kan Tuan yang menjaga saya dari saat saya lahir, Glacier."
"Tapi kan yang sekarang jagain kamu bukan dia lagi, [Name]. Sekarang ada aku."
Glacier bangkit dari duduknya, ia menghampiri istrinya yang tengah bersandar sembari memegang buku pemberian sang ipar. Ia duduk di sebelahnya, menggenggam tangan [Name] yang sedikit dingin.
"Kamu tau, gak? Tiga hari yang lalu dia dateng ke kantorku, loh. Makanya waktu itu aku pulang telat. Dia kaget pas aku bilang aku udah tau tentang kelakuan dia ke kamu. Bahkan sampe mohon-mohon biar gak ada yang tau soal itu selain aku. Pas kusuruh minta maaf sama kamu, dia malah masang muka―arggh! Diinget malah bikin kesel."
[Name] mengerjapkan matanya pelan ketika mendengar cerita Glacier. Ia kira ayahnya akan menghilang begitu saja, namun ternyata si ayah menemui suaminya entah untuk apa niat awalnya itu.
"... Glacier merasa kesal?"
"Iya! Aku sebel, tau. Masa minta maaf ke anak sendiri aja gak bisa, sih? Om Amato aja bisa."
Entah kenapa, pipi [Name] terasa hangat begitu Glacier memperjelas alasan kesalnya ia pada si ayah mertua. Pelan-pelan, tangan mungilnya itu meraih ujung baju Glacier, membuat mata Glacier ikut melirik ke arah ujung bajunya yang dipegang.
"Terimakasih, karena sudah merasa kesal untuk saya, karena sudah membela saya."
Dengan cepat, Glacier langsung memalingkan wajahnya ke samping sembari ia tutupi dengan tangan. Ekspresi [Name] saat mengatakan hal tersebut ... gemes banget! mana pake senyum lagi, Glacier gak bisa. Dikit-dikit [Name] gemesin.
Aduh, sisi bucin Glacier yang tak diketahui.
"Sama-sama, [Name]." sebisa mungkin Glacier terlihat kalem, tenang di depan [Name], padahal hatinya sudah teriak-teriak, koar-koar gitu, menjerit segala juga.
Kalau saudaranya tau, ia akan ditertawakan, atau itu akan menjadi bahan ejekan baru mereka untuk Glacier.
"Malam ini, Glacier akan tidur sambil memeluk saya lagi, kan?"
Astaga, susah payah istri Sori mengajarkan [Name] untuk ngomong acak-adul, ujungnya [Name] kembali memakai cara bicaranya seperti biasa. Memang kalau sudah kebiasaan itu, susah diubah.
"Hum? Gimana, yaa." mendengar ucapan istrinya, Glacier jadi berniat sedikit menggoda istrinya itu. "Kayaknya malem ini gak bisa."
Tepat sedetik kemudian, [Name] memasang ekspresi kecewanya. Ia mengangguk mengerti lalu kembali membaca bukunya.
Melihat sang istri yang moodnya turun, Glacier langsung melanjutkan kalimatnya tadi.
"Maksudku, malem ini gak bisa gak peluk kamu, hehehe." ia menggaruk pipinya yang tak gatal itu. Sebenarnya sedikit malu dia berkata seperti ini, tapi ini ajaran Supra sehari sebelum ia menikah, ya, gapapa lah.
"... Uh, Glacier. Saya merasa kesal."
"Yah ... padahal aku baru mau meluk kamu."
"Saya tidak jadi kesal."
Sa ae lo, [Name].
________
aku kemaleman upnya 😭😭
maaf yh, padahal aku hari ini cuma netplik-an. Aku akuuu umhshdu suka aja liat glacier yang kalem di luar, bucin huhuhaha di dalem. Kayak, lucu banget ngeliat glacier bucinin orang dalam diem, tuh. Gatau kenapa 😔
Pelukan mulu tidurnya, padahal di awal tidur di kamar pembantu, nagih dipeluk glacier, ya?
See u di hari rabu!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro