Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3 | Mimpi

Chapter 3
Mimpi



***

"Kenapa sih kamu, Al? Apa sih yang terjadi sama kamu, nak? Mama merasa kalau kamu itu sudah banyak berbohong. Mama memang tidak berada di sana sekarang. Tapi tolonglah, Alleisa, Mama dan Papa memang jarang berkomunikasi denganmu, tapi tolonglah, nak.."

"Al kan udah pernah bilang ke Mama dan Papa, Al baik-baik aja kok Ma, Pa."

"Alleisa..."

"Ma, maaf. Tapi aku harus segera pergi kembali ke kelas. Hari ini masih tersisa dua pelajaran lagi."

"Mama berjanji, kalau ada libur walaupun hanya satu hari saja, Mama dan Papa akan mengunjungimu disana. Jaga dirimu baik-baik, Alleisa. Kau adalah putriku. Apapun yang terjadi padamu selama lima bulan terakhir ini, Mama harap tidak berpengaruh pada keadaan psikologismu, Sayang."

"Ya, Ma"

"Ingatlah Sayang, Mama dan Papa mencintaimu."

"Ya, Ma. Aku pun mencintaimu dan Ayah. Sampaikan salamku kepada Ayah. Jaga juga diri kalian sendiri, Daah.."

Buru-buru aku menghela nafasku dan menghapus mataku yang mulai berair. Aku mencintai kedua orang tuaku. Walaupun aku tinggal sendiri di Bandung dan mereka di Medan, tetap saja aku menyayangi mereka berdua.

Tak kupungkiri, aku sangat terharu mendengar perkataan Mama mengenai perubahanku. Mama dan Papa belum tahu apa-apa. Yang mereka tahu hanyalah aku ingin hidup mandiri bersama Ashir di Bandung. Yang mereka tahu adalah, Ashir masih disini.

"Alleisa?" Suara berat itu terdengar dari belakangku, dan aku pun segera menghapus air mataku yang hampir saja turun ke pipiku.

"I-iya, Sir. Ada apa?"

"Ms. Sandra sudah menunggu. Tadi beliau what's up saya dan menyuruh kamu untuk segera kembali ke kelas dalam kurun waktu sepuluh menit"

Tentu saja, Ms. Sandra tidak akan ingin aku melewatkan banyak materi yang diajarkannya. Mengingat aku sudah tiga kali tidak memasuki kelasnya selama satu semester ini.

"Terima kasih, Sir, atas informasinya. Saya permisi dulu" Pamitku seraya mencium tangan Mr. Rudy seraya tersenyum kecil.

"Iya, sama-sama." Mr. Rudy tersenyum kembali ke arahku. "Semua masalah akan menemui titik terangnya, Alleisa." Lanjutnya seraya berlalu dari hadapanku.

Aku pun berharap seperti itu, Sir.

Tanpa membuang-buang waktu, aku pun langsung melangkahkan kakiku ke arah ruang kelasku. Air mataku hampir saja mengalir ketika aku berusaha menelaah kata-kata Mama tadi melalui telepon. Mama mencintaiku. Papa juga mungkin seperti itu.

"Permisi, Ms. Sandra, boleh saya masuk?" Tanyaku setelah mengetuk pintu kelasku yang tidak tertutup rapat.

Pintu kelas pun terbuka, memperlihatkan sosok Ms. Sandra yang tengah memegang spidol yang dilatari oleh seisi kelas yang sedang melihat ke arahku dengan tatapan penasaran.

"Alleisa. Saya harap kamu bisa mengikuti pelajaran saya dengan baik." Ucap Ms. Sandra tegas seraya membukakan pintu lebih lebar lagi, memberiku akses jalan untuk masuk.

Mataku mencari-cari bangku manakah yang masih tidak berpenghuni. Dengan cepat mataku menangkap satu meja yang kosong. Dan sialnya, ketika aku melangkahkan kakiku kesana, aku melihat kenyataan bahwa kursi satu-satunya yang kosong itu adalah disamping Nada.

Karena tidak mau dimarahi, aku pun terpaksa pura-pura cuek dan langsung menaruh ranselku di bangku milikku dan segera mengeluarkan alat-alat tulisku. Berusaha setenang mungkin untuk tidak terlihat emosi. Aku tidak mau melihat sosok iblis yang berada di sebelahku ini.

Waktu berjalan sangat lambat ketika pelajaran Ms. Sandra dimulai kembali. Susah rasanya berkonsentrasi pada apa yang Ms. Sandra ucapkan dan apa yang berada di layar proyektor. Ditambah lagi suara Mama yang masih melayang-layang di kepalaku, membuatku pusing dan mual. Rasanya aku ingin tidur di kamar kost-anku dan tidak bangun sampai besok pagi.

Tanganku bergerak untuk membuka halaman paling akhir dari buku catatan Bahasa Jermanku dan mulai mencoret-coret disana. Tanganku bergerak menggambar apa yang aku pikirkan. Sesekali aku melihat ke arah Ms. Sandra dan layar proyektor untuk memberi kesan memperhatikan. Padahal, aku sama sekali tidak menangkap apa yang dibucarakan oleh Ms. Sandra dan power point-nya.

Aku mendapati diriku kaget setelah beberapa detik mataku menatap ke arah layar proyektor. Ashir. Dia disana.

Ashir disana, mengenakan seragam sekolah lengkap dengan tas ransel biru dongkernya. Dia sedang berbicara dengan Ms. Sandra.

Ini tidak benar.

Jantungku mulai berdegup kencang, bahkan nyaris berhenti ketika sosok Ashir itu melihat ke arahku dan menganggukkan kepalanya ke Ms. Sandra. Ashir pun melangkahkan kakinya mendekat, disertai dengan tatapan matanya yang semakin dalam menatapku.

Rasanya seperti menemukan kembali cinta dalam hidupku, Ashir. Dia disini. Dia tidak meninggalkanku. Dia tidak pergi. Dia masih mencintaiku sebagaimana aku mencintainya. Rasanya mataku panas dan perih. Satu bulir air menetes dari ujung mata kananku. Apa mungkin kalau selama ini Ashir hanya pura-pura menyakitiku untuk memberiku sebuah kejutan?

Tapi mengapa harus selama itu Ashir menghilang? Mengapa Ashir tega meninggalkanku dengan luka dalam di hatiku selama lima bulan lamanya? Mengapa Ashir begitu lama pergi?

Sosok Ashir masih menatapku dalam, tanganku tergerak dengan sendirinya untuk menggapai tubuh jangkungnya. Aku merindukannya. Aku menyayanginya. Dan yang pasti aku mencintainya. Mau bagaimanapun Ashir menyakitiku, membohongiku, bahkan menamparku, aku tetap mencintainya. Karena dialah cinta dalam hidupku.

Aroma musk khas parfum Ashir menusuk indra penciumanku dengan kuat, aku menghirup aromanya dengan kuat dan mencengkram punggung lelaki yang kucintai itu. Aku tidak mau kehilangannya lagi. Aku merindukannya.

"Alleisa, Sayang? Kamu kenapa?" Tangan Ashir mengelus-elus kepalaku dengan lembut, sementara aku hanya memeluknya erat seraya menangis di pundaknya.

"Sayang?" Ashir melepaskan pelukanku dengan halus. Dia mengangkat wajahku dengan kedua tangannya. Dihapusnya air mataku yang mengalir deras dengan ibu jarinya. Hangatnya sentuhan Ashir di pipiku membuatku tersenyum.

"Mengapa kamu menangis, Sayang?" Tanya Ashir seraya mengamit kedua tanganku dan mengelusnya.

Tapi belum sempat aku menjawab pertanyaan Ashir, aku menyadari kalau ini bukanlah ruang kelas. Tidak ada siapapun disini. Kecuali aku dan Ashir. Gelap, seperti ruangan tak berujung. Sosok Ashir yang tadinya memandangku lembut, kini telah berubah. Mata coklatnya yang teduh, telah berubah menjadi kemerahan. Garis rahangnya makin tegas, menandakan dia sedang marah.

"Bagaimana rasanya, Sayang?" Bisik Ashir di telingaku. Kurasakan pergelangan tanganku memanas. Dan kemudian seluruh tubuhku memanas. Aku kaget dan berteriak ketika sadar apa yang terjadi, namun tidak ada suara yang aku keluarkan.

Semuanya berubah sangat terang ketika aku membuka kelopak mataku. Itu mimpi. Aku tak tahu itu termasuk kedalam mimpi indah atau buruk. Aku bertemu Ashir. Aku memeluknya. Aku bertemu dengannya.

Tapi ia memotong tanganku.

Air mataku mengalir saat mengingat mimpi itu. Ashir sangat membenciku. Dia ingin aku mati. Padahal aku sangat mencintainya.


×××
Nggak jelas, gajadi masalah. Yang penting apdet.




@london-swag

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro