2 | Ekspektasi
Chapter 2
Ekspektasi
***
Ini mungkin bisa kupertimbangkan untuk masuk ke dalam daftar hari terburukku--walaupun kalian dan aku tahu sendiri bagaimana hidupku selama ini-- karena sialnya, apa yang aku ekspektasikan benar-benar terjadi.
Sialan memang!
Ekspektasiku yang menggambarkan bahwa diriku yang sendirian seperti biasanya melewati lorong-lorong koridor kelas dengan wajah yang kusut dan disertai dengan sorotan mata yang lemah menjadi objek yang sangat menarik untuk diperhatikan para siswa maupun siswi yang berada di sini.
Aku memang sudah menduga hal seperti ini akan terjadi--mengingat aku memang mengalaminya setiap hari. Seperti biasanya, ekspektasiku terjadi. Namun tidak seperti biasanya, ekspektasiku ini agak sedikit melenceng.
Kalau biasanya aku akan disambut dengan tatapan yang penuh dengan sarat rasa kasihan, iba, simpatik, maupun prihatin, kali ini aku mendapat banyak sindiran selama aku melangkahkan kaki di koridor yang--aku bersumpah--berkali-kali lebih jauh dari biasanya karena berbagai macam sindiran itu.
Apa kejadian tempo hari di café menyebar dengan secepat ini? Oh lihatlah, Nada menyebarkan beritanya yang mungkin agak dilebih-lebihkan dengan sangat baik. Mungkin aku akan memberinya sedikit penghargaan..mungkin tamparan bolak balik akan membuatnya senang?
Aku mendesah pelan saat menyadari apa yang aku sesang pikirkan. Tidak mungkin aku melakukannya pada Nada, walaupun ia memang bersalah menurutku. Bayangkan saja kalau aku melakukan hal itu kepadanya, mungkin bukan lagi sindiran yang aku dapatkan, melainkan hujatan dan mungkin juga fitnah.
Lagi-lagi aku harus menghela nafas ketika ada segerombolan geng cewek yang menurutku sangat tidak populer yang menganggap diri mereka sebagai titisan dewa dengan sengaja berjalan di dekatku dan menyenggol bahuku secara sengaja, untungnya aku masih bisa mengendalikan keseimbangan tubuhku. Kalau tidak...
Mataku berbinar ketika menemukan belokan menuju kelas pertamaku--kelas sains di pagi hari mungkin tidak akan terlalu buruk jika dibandingkan dengan sindiran dan senggolan bahu di koridor beberapa detik yang lalu, bukan?
Setelah selesai berjalan ria, aku pun akhirnya berhasil mendudukkan diriku di bangku paling pojok di kelas, seperti biasanya. Patutkah aku bersyukur karena orang-orang yang berada di dalam kelas ini tidak mempedulikan kehadiranku? Mungkin aku akan bersyukur.
Aku pun bersyukur dalam hati dan mulai mengadahkan tanganku ke atas untuk berdoa. Setelah selesai berdoa, aku pun menggosok wajahku dengan telapak tanganku sendiri dan tersenyum. Setidaknya, hari ini aku masih hidup dan bisa mengikuti pelajaran sains dengan baik, bukan? Atau mungkin?
Seperti sekolah pada umumnya, kelas dimulai dengan tertib dan damai. Ditambah lagi tidak ada wajah Nada yang menyebalkan dan memuakkan di sini. Mungkin dia sakit karena berhujan-hujan ria dua hari yang lalu? Apa dia terserang flu dan demam? Atau mungkin diare? Apapun itu aku berharap kalau dia akan berlama-lama sakitnya. Supaya aku tidak menderita saat melihat wajahnya lagi.
Seperti biasanya, ekspektasiku tentang kelas sains di pagi hari ini memang benar. Kelas akan mendadak hening saat pukul 07.00, tepat saat Ms. Bertha datang. Lalu berakhir dengan lima halaman pekerjaan rumah yang sudah ku kerjakan di kelas selagi Ms. Bertha mengajar.
Mungkin sebagian dari kalian ada yang bertanya-tanya, mengapa Ms. Bertha tidak menegurku? Jawabannya adalah, Ms. Bertha tahu yang sebenarnya, karena aku bercerita dengannya tentang masalah yang kualami, dan dia memaklumi mengapa aku seperti ini.
Tidak seperti yang lain, Ms. Bertha memang benar-benar mengerti betul apa 'penyakit' yang sedang ku idap--susah move on.
Sebut aku terllu berlebihan, tapi hey, kau tidak tahu apa-apa tentang perasaan yang kualami. So, please shut the fuck up.
"Al!"
Sahutan seseorang membuatku menghentikan langkahku, lalu kemudian aku melanjutkan langkahku karena tidak mungkin ada orang yang benar-benar memanggilku. Maksudku, tidak mungkin ada yang benar-benar memanggilku saat dia membutuhkan pertolonganku. Tidak mungkin.
"Alleisa!"
Teruslah berjalan. Dia hanya mengerjaimu. Dia hanya mengerjaimu. Dia hanya mengerjaimu. Berulang kali aku mengucapkan rangkaian kata itu di dalam otakku seraya melangkahkan kakiku dengan lebar. Kenyataannya memang begitu, dia berkemungkinan besar mau mengerjaiku. Atau mungkin, jika aku berhenti dan berbalik, aku akan dicerca atau di bully habis-habisan oleh geng sok famous itu?
Tidak ada yang tahu.
Langkah kakiku terus terdengar ketika orang dibelakangku terus menerus memanggilkan namaku. Koridor yang kulewati kali ini benar-benar sepi. Mengingat kelas-kelas sudah di bubarkan sejak dua jam yang lalu. Haruskah aku menyesal karena memilih untuk pergi ke taman belakang daripada pulang sekarang?
"Shit. Alleisa!!"
Gumaman suara itu masih cukup jelas terdengar oleh indera pendengaranku, membuatku melebarkan kakiku untuk melangkah lebih cepat. Logikanya kan, kalau dia bergumam dan aku masih bisa mendengarnya, itu berarti dia berada di dekatku. Bukankah begitu?
Saat kakiku berhasil melewati gerbang sekolah--yang untungnya belum dikunci-- nafasku semakin ringan, dan terasa ringan sekali saat aku tidak lagi mendengar suara itu sampai aku naik ke bis yang rutenya melewati daerah rumahku. Secara tidak sadar aku mengembangkan senyumanku.
Lantas aku menghela nafas lega karena berhasil menghindari siapa pun itu yang terus-terusan memanggilku. Walaupun aku agak penasaran apa yang akan ia lakukan jika aku berhenti dan menoleh, apa dia mungkin akan menggamparku? Atau mungkin mencaci makiku habis-habisan? Atau justru memohon untuk membantu diriku yang tengah dilanda bencana?
Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Lagian, aku tidak terlalu yakin kalau orang yang memanggilku itu benar-benar memanggilku. Kan bisa jadi dia-- ah sudahlah. Apa gunanya untuk memikirkan itu semua? Bukannya terhibur, malahan rasa penasaranku akan bertambah setiap aku memikirkannya. Dan it's not so cool.
Mataku menatap jalanan kota Bandung seperti biasanya, hari ini matahari sedang tertawa lebar, cahayanya sangat terang dan menerpa kulitku secara tidak langsung dengan kasar. Aku sedikit menyesal ketika memilih untuk duduk di dekat jendela, itu pilihan yang sungguh buruk. Pun aku memakai jaketku untuk menghindari kontak dengan sinar matahari lagi.
Bola mataku melirik arlojiku yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Sekarang sudah pukul lima sore, sudah setengah jam dari kejadian jalan cepat di koridor sekolah tadi. Langit kota Bandung sudah mulai tertutupi oleh awan-awan yang didominasi oleh awan kumulus. Hujan akan datang sebentar lagi.
Suara pemberitahuan terdengar, ini sudah memasuki wilayah Dago, bisa kurasakan bus berbelok pelan, dan aku bersiap-siap untuk turun.
Suara pemberitahuan kembali terdengar, membuatku berdiri untuk mendekati pintu bus. Ketika aku mau melangkahkan kakiku keluar, bau kusadari kalau seseorang menghalangi jalanku.
Iya, dia adalah orang yang duduk di sampingku selama perjalanan. Dan sialnya, kakinya yang panjang itu menutupi akses jalanku. Aku berdehem untuk memperingatkannya. Namun tidak ada respon darinya.
Aku berdehem berkali-kali, namun tetap saja dia tidak merespon. Dia tertidur, dan kaki sialannya menghalangi jalanku.
Suara pemberitahuan kembali terdengar lagi, menandakan bahwa sebentar lagi bus akan berhenti di halte dekat rumahku. Aku berdehem lagi dan hasilnya nihil, dia lagi-lagi tidak meresponku.
"Permisi, adik mau turun di halte selanjutnya?" Suara petugas membuat perhatanku teralih,
"Iya pak. Tapi kaki orang ini menghalangi jalan saya," Jawabku seraya melirik kaki panjangnya itu. Apa dia normal mempunyai kaki seperti itu?
"Mari saya tolong," Petugas itu mengulurkan tangannya dan membantuku untuk melewati kaki panjang orang sialan ini. Harusnya aku memilih untuk duduk dekat jalan saja daripada duduk di dekat jendela untuk lain kali. Untuk berjaga-jaga jika hal seperti ini terjadi.
"Terima kasih," Ujarku kepada petugas, tak lama kemudian bis pun berhenti dan aku pun segera melangkahkan kaki keluar setelah membayar ongkos.
×××
Sudah lama tidak apdet dan putrijk sudah meneror ya hm hm hm.
Vote comment below,
Febr-uary yang alhamdulillah sudah move on dari mantannya yang biadab(:
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro