
Prolog
"Dip, lo beneran nggak tau si Eda?"
"Siapa sih?!"
Terus terang, cowok bernama Dipa yang sedang sibuk menghitung uang di meja mulai risih dengan Dio, temannya yang sedari tadi merecokinya soal satu nama: Eda.
Siapa pula anak yang namanya Eda itu? Dipa tidak peduli.
Dia sibuk menghitung receh seribuan dan lembaran dua ribuan yang ada di hadapannya.
"Itu Dip, Dwenda Sastiana, murid cewek di kelas 3 IPA 2, panggilannya Eda. Yang suka jualan catatan itu lho. Anaknya pinter banget."
"Hmm ... iya," gumam Dipa asal.
Dia tak lagi memperhatikan apa yang tengah diucapkan Dio. Otaknya sibuk menghitung.
Kok kurang lima ribu sih? Apa iya jatah Dipa dikorupsi Bang Faisal lagi?
Duh, tega banget sih korupsi uang anak yatim piatu!
"Jadi, gue butuh uang dua puluh ribu, Dip."
Mata Dipa melotot.
Dari sekian banyak ocehan Dio, yang tertangkap pada akhirnya di telinganya hanya: Dio butuh dua puluh ribu.
"Yo, hidup gue udah pas-pasan gini, lo masih mau minjem dua puluh ribu dari gue?" sahut Dipa.
"Iya. Ayo lah, Dip, please. Lo nggak kasihan sama gue? Gue udah cekak nih. Uang jajan gue udah abis semua."
"Minta lagi lah sama nyokap lo."
"Lo gila?! Mau lihat temen lo besok udah jadi tempe bongkrek?"
Dipa menghela napas. Buatnya, dua puluh ribu itu besar. Buat murid-murid SMA Harapan yang lain belum tentu.
Dipa menimbang-nimbang sejenak. Gara-gara razia seragam hari Senin kemarin, dia lumayan untung.
Ya sudah lah, Dio barangkali lebih membutuhkan. Dari wajahnya, Dio tampak begitu memelas.
"Nih," Dipa menyodorkan dua lembar sepuluh ribuan kumal kepada Dio. "Tapi, balikin ya nanti?"
"Iya, iya. Nanti pake bunga. Gue traktir lo makan, deh. Tapi, bulan depan ya? Begitu dana cair lagi dari nyokap gue." Dio menerima uang yang disodorkan Dipa dengan wajah semringah lalu beranjak. "Makasih, Dip!"
"Ngomong-ngomong, buat apa tadi lo bilang?" tanya Dipa.
"Buat beli catatan Biologi dari Eda."
"Beli catatan Biologi?" Dipa mengernyit.
"Iya. Tadi kan gue bilang, lusa gue remed lagi, tapi catatan gue lo tau lah gimana. Si Eda kan jualan catatan, ya udah gue beli aja punya dia."
"Beli catatan? Jadi lo ngutang dua puluh ribu buat beli catatan?"
"Iya. Mahal banget abisnya, Dip. Seratus ribu! Duit gue kurang. Ya udah, ya?"
Darah Dipa perlahan naik ke kepala.
Dio yang orangtuanya mapan itu, uang jajannya sudah habis untuk nongkrong, meminjam uang kepada Dipa yang keuangannya selalu seret untuk membeli catatan Biologi karena dia ada remedial?!
"Woi, Dio! Balikin duit gue!" teriak Dipa. Buru-buru dia mengumpulkan semua uangnya ke dalam kantong plastik dan menyusul Dio. "Dio!"
"Idih, Dip! Barang yang udah diberi nggak boleh diminta lagi, pamali!" Dio mempercepat langkahnya.
"Gue minjemin elo, bukan memberi elo! Dio!"
Dio mulai berlari. Dipa mengejar di belakangnya.
"Dio! Makanya kalo otak lo kurang mampu, nggak usah sok-sokan sering bolos kelas!" omel Dipa sambil mengejar Dio.
"Ya udah sih, Dip! Dua puluh ribu doang! Gue balikin bulan depan!" Dio masih berusaha kabur.
"Dua puluh ribu doang gigi lo ngetril! Tiap rupiah bermakna buat gue! Dio! Balikin duit gue!"
BRUK!
Dipa jatuh tersungkur ketika Dio tiba-tiba berhenti di depannya.
"Ini, Da. Dua puluh ribu kan kurangnya?"
Dipa menatap dengan horor ketika Dio yang tersengal menyodorkan dua lembar sepuluh ribuan kumalnya kepada sosok murid perempuan yang ada di hadapan mereka.
"Oke. Nih."
Murid itu Eda, si tukang jualan catatan di SMA Harapan. Eda menyodorkan lembaran fotokopian kepada Dio.
"Makasih, Da!"
"Makasih juga. Senang berbisnis dengan lo. Lain kali lagi ya."
Eda membalikkan badan dan meneruskan langkahnya. Dipa cepat-cepat berdiri dan menghadangnya.
"Tunggu, tunggu. Itu tadi duit gue. Tolong balikin," Dipa menjulurkan tangannya.
"Balikin?" Eda mengernyit. "Yang ngasih temen lo kok balikinnya ke elo."
"Tapi, itu duit gue."
"Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan."
Dipa menghela napas. "Gue minta baik-baik. Tolong balikin duit gue. Si Dio itu minjem dan gue berubah pikiran untuk minjemin dia."
"Apa urusannya sama gue?" balas Eda judes.
Eda melangkah lagi namun Dipa kembali mencegatnya.
"Balikin!"
Eda mendecak. Dia hendak mengomel, namun tiba-tiba sadar akan sesuatu. "Oh ... elo Dipa kan? Si tukang sewa atribut sekolah?"
Dipa terdiam. Ternyata Eda tahu tentangnya.
"Iya," jawab Dipa. "Kalo elo ke sekolah lupa dasi, topi, ikat pinggang atau apa aja atribut sekolah lainnya, kunjungi warungnya Bang Faisal, di situ lo bisa sewa. Dasi dua rib-"
"Dip," Eda memelankan suaranya. "Jangan ribut-ribut, oke? Lo kan sesama pedagang ilegal di sekolah kayak gue, lo tau lah bahwa kita harus fair dalam berdagang.
Dio beli catatan dari gue, gue nggak peduli itu uang darimana atau dari siapa. Jangan menarik perhatian minta-minta duit di koridor kayak gini.
Lo tau kan dagangan kita nggak boleh diketahui guru apalagi kepala sekolah? Jadi ya udah, ya?"
Dipa menghela napas sekali lagi. "Oke, gini. Siapa tadi nama lo? Eda? Gini, Da. Gue tau kita nggak saling kenal.
Tapi, sebagai sesama pedagang, tolong lah lo maklumi gue yang omsetnya lebih kecil dari lo ini. Elo sekali jualan seratus ribu, nggak pake modal pula. Sementara gue udah harus modal, untungnya lebih kecil–"
"Untung apa yang lebih kecil?"
"Ampun, Pak."
Bulu kuduk Dipa dan Eda sontak berdiri mendengar suara yang sangat nge-bass itu. Refleks mereka langsung meminta ampun.
Tak perlu menoleh untuk melihat wajahnya, Dipa dan Eda sudah tahu bahwa kepala sekolah mereka – Pak Budi – tengah berdiri di belakang mereka. Itu sebabnya juga koridor mendadak sepi meskipun jam istirahat belum selesai.
"Kalian berdua, ikut saya ke kantor. Ada yang menanti kalian berdua."
Pak Budi meletakkan tangannya di kedua bahu Dipa dan Eda. Keduanya langsung lemas seketika.
"Ada yang menanti kami?" cicit Eda. "Apa tuh, Pak?"
"Hukuman."
Baik Eda mau pun Dipa sama-sama benci dengan yang namanya hukuman, terlebih Eda. Dia memiliki riwayat yang begitu bersih di sekolah. Eda dikenal sebagai anak yang pintar, rajin, penurut, tidak pernah melanggar peraturan sekolah, dan tak pernah satu kali pun dihukum.
Mati deh gue. Sekalinya bikin dosa yang berat pula. Jangan sampe Mama dipanggil, batin Eda cemas. Bakal dihukum apa pula sama Pak Budi?!
(, ")
Hai, readers! Terima kasih banyak ya, sudah baca bagian pertama dari Rival. Penasaran Dipa dan Eda bakal dikasih hukuman apa? Atau motif Dipa dan Eda 'buka lapak' di sekolah?
Tunggu kelanjutannya Senin ini ya... :)))
Salam kenal,
Feli
P. S. Readers, sebagai pembaca Belia Writing Marathon Batch 2, kamu berkesempatan memenangkan 1 paket gratis berlangganan Buku Bentang Belia selama 1 tahun untuk 1 orang pemenang dan 3 paket gratis seluruh novel hasil BWM Batch 2 untuk 3 orang pemenang. Caranya? Gampang banget! Kamu harus cukup aktif memberikan vote dan komentar untuk cerita BWM Batch 2 di akun Wattpad @beliawritingmarathon. Pemenang akan dipilih berdasarkan undian.
***********
Trivia! ^o^
Nama Dipa dan Eda terinspirasi dari DJ asal Indonesia Dipha Barus dan DJ Eda, salah seorang penyiar radio. Kenapa kedua nama ini? Soalnya dua nama ini rasanya enak aja untuk disebut dan didengar, hehehe...
Karena DJ Eda itu sebenernya cowok, sedangkan Eda di cerita ini adalah cewek, jadi Dipa dan Eda dibikin nama panggilan aja. Aslinya nama mereka adalah Pradipta Syailendra dan Dwenda Sastiana.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro