30: Pesan Dari Dio
Sebelum membaca...
Hai! Di bab ini, saya sisipin lagu sebagai background sambil baca :))) Jung Yup - Lean On Me versi instrumental. Silakan play video di atas dan dengerin lagunya sambil baca. Enjoy, semoga terhibur!
(, ")
Dipa sakit dan tidak masuk sekolah. Itulah kabar yang disampaikan Dio kepada Eda ketika Eda mencari Dipa hari ini di kelasnya.
"Sakit apa, Yo?" tanya Eda.
"Ngga tau. Katanya sih demam," jawab Dio. "Nih, pulang sekolah gue mau ke panti. Lo mau ikut?"
Eda ragu sejenak. Haruskah dia menjenguk Dipa? Kemarin, setelah Dipa meninggalkannya dan Laras, Eda tak melihat Dipa lagi di mana pun. Eda sempat mengirim pesan sepulang sekolah.
"Dip, maaf kalo gue bikin lo marah. Gue cuma mau lo bahagia." Demikian tulis Eda. Sayangnya, Dipa tak membalas pesan Eda. Dibaca pun tidak. Lalu tiba-tiba hari ini Dipa tidak masuk karena sakit. Eda jadi khawatir.
"Jam berapa lo ke panti, Yo?"
"Pulang sekolah. Pas bubaran banget, langsung gue ke sana. Ikut ngga? Nengokin yayang."
Eda mendengkus. "Apaan sih."
"Tapi suka kan?" Dio menggoda Eda.
Eda hanya tersenyum tipis. "Gue ikut deh. Ntar ketemu di pos satpam, ya? Kita pergi bareng."
"Siap, bos!"
Eda tak sabar hingga menunggu pulang sekolah. Ketika bel berbunyi, Eda bergegas turun dan menemui Dio di pos satpam. Bersama Dio, Eda menaiki angkot menuju panti asuhan tempat Dipa tinggal.
"Eh, Yo ..."
"Hmm?"
"Si Dipa ... dia cerita ke elo ngga kenapa jatuh sakit?"
Dio mengangkat bahu. "Kebanyakan makan micin kali."
Eda memutar bola matanya.
Dio tersenyum. "Tenang aja, Da. Dia ngga marah sama lo, kok."
Eda menaikkan alisnya.
"Kemarin Dipa cerita ke gue apa yang terjadi ..." Dio menerawang. "... setelah gue todong dia. Gara-gara pas balik ke kelas, gue liat matanya merah dan bengkak."
Kedua mata Eda melebar.
"Dipa juga manusia, Da. Cowok juga manusia. Bisa sedih juga, bisa nangis juga," ucap Dio. "Gue shock banget sih pas diceritain Dipa bahwa Laras Sjahrir itu ibunya. Gue jadi merasa bersalah, selama ini gue suka ngeledekin dia yang ngefans berat sama Laras."
Eda terdiam.
"Gue ngerti, Da, lo pengen bikin Dipa seneng. Kalo gue jadi lo ... mungkin gue akan melakukan hal yang sama. Tapi gue rasa, ngga semudah itu, Da. Terlalu banyak rasa yang disimpan Dipa selama ini. Ngga mudah bagi dia untuk bertemu Laras tiba-tiba."
Eda masih terdiam.
"Tapi, Dipa ngga marah sama lo, kok. Gue yakin, Da."
"Lo tau darimana, Yo? Dia sendiri yang bilang gue, gue ngga ada hak ikut campur kehidupannya."
"Ya ... manusia kan gitu, Da. Suka ngga sadar apa yang dia ucapkan di saat panik. Percaya deh, dia ngga mungkin marah sama lo," ujar Dio. "Sebab Dipa suka sama lo."
Eda tak membalas ucapan Dio. Dia hanya melayangkan pandangan pada jalanan yang ramai. Setibanya di panti, tiba-tiba Eda merasa mulas. Mendadak dia ingin pulang saja, tak usah menemui Dipa. Namun apa boleh dikata, Dipa sudah memergokinya di pintu gerbang. Dipa terlihat terkejut dengan kemunculan Eda. Sepertinya Dio tidak memberitahunya bahwa Eda ikut.
"Hei, Dip!" sapa Dio. "Gimana keadaan lo? Kayaknya udah cukup sehat untuk nulis ulangan Fisika nih?"
"Emang ada ulangan?!" Dipa melotot.
Dio hanya terkekeh. Setelah tahu temannya bohong, Dipa mendengkus.
"Da." Dipa menyapa Eda.
"Dip."
"Masuk."
Dipa membukakan pintu gerbang untuk mereka berdua. "Mau di teras apa di dalem?"
"Di teras aja," jawab Dio.
"Pada mau minum apa?" tanya Dipa.
"Es teh manis, dong," balas Dio.
"Alah, air putih aja deh. Ribet bikinnya!" tolak Dipa.
Dio melotot. "Terus ngapain lo nawarin?!"
Dipa hanya tertawa. Dia masuk ke dalam untuk mengambil minum dan kembali dengan tiga gelas air putih. Mereka bertiga duduk bersama di teras. Eda merasa gugup. Dia tak berani menatap Dipa langsung.
"Gimana di sekolah? Ada kejadian apa?" tanya Dipa.
"Ngga ada kejadian apa-apa," jawab Dio. "Biasa aja. Oh ya, ada PR Kimia."
"Yang bener lo?"
"Beneran!" Dio mengeluarkan buku catatan dari dalam tasnya. "Tuh, salin soalnya."
Dipa menggerutu. Dia mengeluarkan ponselnya dan memotret lembaran soal tersebut. "Makasih, Yo."
"Ada yang pengen tau tuh, kenapa lo bisa sakit," Dio melirik Eda.
Eda hanya menundukkan kepala. Dipa menghela napas dan beranjak. "Da, sini bentar, yuk. Gue mau ngomong."
Eda melirik Dio, yang mengangguk, pertanda ingin memberikan ruang bagi Eda dan Dipa untuk bercakap-cakap secara pribadi. Eda pun berdiri dan mengikuti langkah Dipa masuk ke dalam.
"Da ..." ucap Dipa. "Maafin gue soal kemarin."
Eda terdiam. Dia sedikit lega melihat senyum Dipa mengembang di wajahnya.
"Maafin gue kalo kata-kata gue ada yang nyakitin hati lo," lanjut Dipa. "Kemarin ... sejujurnya, gue kaget. Gue ngga tau harus berbuat apa atau harus berkata apa saat tiba-tiba bertemu Laras ... nyokap gue. Mendadak ada begitu banyak emosi berkecamuk dalam diri gue, Da. Padahal niat lo baik, gue malah marahin elo."
Eda perlahan mengangguk-angguk.
"Makasih, Da, elo begitu perhatian sama gue. Terus terang, gue sangat tersentuh. Selama ini, gue selalu punya teman-teman yang memperlakukan gue dengan baik meskipun gue anak panti asuhan, tapi elo adalah yang pertama dan satu-satunya yang bersikap lebih dari itu. Lo mikirin perasaan gue, mikirin kebahagiaan gue, dan berusaha untuk mewujudkannya. Terima kasih, Eda."
Wajah Eda bersemu merah.
"Gue ngga marah sama lo, Da. Gue malah sangat berterima kasih atas semua perhatian lo, usaha lo. Tapi, entahlah ... bagi gue, antara gue dan Laras Sjahrir ngga semudah bertemu dan mengakui dia sebagai ibu gue atau gue sebagai anaknya. Ada begitu banyak rasa, begitu banyak emosi, begitu banyak pertanyaan yang gue pendam selama ini ... gue butuh waktu untuk mencerna semuanya, Da. Gue harap lo bisa mengerti dan maafin gue atas sikap gue kemarin."
"Iya, Dip ..." bisik Eda lirih. "Gue maafin lo. Gue juga minta maaf kalo gue lancang ..."
"Iya, Da," Dipa tersenyum. "Kita kenapa kerjanya maap-maapan mulu, yak? Tiap hari udah kayak Lebaran. Hehehe..."
Mendengar canda Dipa, melihat senyumnya, Eda malah terisak. Buru-buru dia menyeka matanya.
"Waduh ... ini kenapa jadi nangis, dah?" Dipa panik dan bingung. "Jangan nangis dong, Da. Gue lagi ngga ada sapu tangan nih. Lap pake baju gue aja mau?"
Eda tertawa dengan air mata yang mengalir. Dia memukul lengan Dipa pelan. "Gue lega, Dip ... ternyata lo ngga marah sama gue. Ternyata, lo ngga benci sama gue."
"Ya ngga lah, Da. Gue suka sama lo, gimana gue bisa benci sama lo?" sahut Dipa. Tangan Dipa bergerak dan menyentuh ujung kepala Eda. "Gue ngga bermaksud mengatakan apa yang kemarin gue ucapkan, Da. Justru karena gue suka sama lo, elo boleh ikut campur dalam kehidupan gue. Asal yang positif, ya?"
Eda menyeka matanya lagi dan pelan-pelan mulai tersenyum.
"Gitu dong. Kan, cantik."
Jari Dipa menyentuh ujung hidung Eda, membuat Eda berkedip sekilas dengan wajah yang merona merah.
"Hooooiiii!!! Udahan belom mesra-mesraannya? Gue udah dinyamulkin nih!" teriak Dio dari luar.
"Oh iya! Dio masih di sini!" Dipa menepuk keningnya.
Dipa dan Eda bergegas kembali menghampiri Dio sambil tertawa. Mereka bertiga mengobrol cukup lama hingga senja menjelang.
"Besok lo masuk, kan?" tanya Dio.
"Iya. Gue udah sembuh kok."
Dio mengamati Dipa dari kepala hingga kaki. "Ya ... dilihat dari tampang lo sih, lo bahkan udah cukup sehat untuk lari maraton."
"Ya ngga gitu juga, keleeeeus ...."
Dio tertawa, lalu menunjuk Dipa dan Eda. "Ini berdua juga udah beres kan urusannya? Ngga ada yang saling marahan, kan?"
Dipa dan Eda tersipu malu dan mengangguk.
"Pinter ... ya udah, kami pulang dulu ya, Dip."
"Iya, hati-hati, ya. Makasih udah ngejenguk gue."
"Sama-sama," ucap Dio, lalu menepuk bahu Dipa. "Oh ya, Dip. Mungkin ... gue bukan orang yang tepat untuk ngomong gini ke elo, tapi sebagai sahabat lo, gue merasa wajib menasehati lo hal yang baik.
Maafinlah Laras. Dia itu ibu lo, Dip. Kita ngga ada yang tau apa yang telah terjadi, tapi apapun itu, dia udah ngelahirin lo, dan itu ngga gampang. Rasanya ngga adil kalo elo menolak dia di saat dia akhirnya mencoba untuk menemui lo."
(, ")
Hai, readers! Terima kasih banyak ya, sudah baca lanjutan dari Rival. Emang Dipa ngga bisa lama-lama marahan sama Eda, hihi...
Akankah Dipa dengerin omongan Dio dan maafin Laras?
Tunggu lanjutannya sebentar lagi ya, hari ini double update :)))
Salam,
Feli
P. S. Readers, sebagai pembaca Belia Writing Marathon Batch 2, kamu berkesempatan memenangkan 1 paket gratis berlangganan Buku Bentang Belia selama 1 tahun untuk 1 orang pemenang dan 3 paket gratis seluruh novel hasil BWM Batch 2 untuk 3 orang pemenang. Caranya? Gampang banget! Kamu harus cukup aktif memberikan vote dan komentar untuk cerita BWM Batch 2 di akun Wattpad @beliawritingmarathon. Pemenang akan dipilih berdasarkan undian.
***********
Trivia! ^o^
Setiap kali nulis bagiannya Dio beserta dialognya, saya selalu mengasosiasikannya sama Boim dan Gusur, dua temen baik Lupus di cerita Lupus yang ditulis oleh Hilman Hariwijaya. Sama kayak Dio, Boim dan Gusur suka nyusahin Lupus tapi diam-diam perhatian dan sering ngasih masukkan-masukkan yang membangun untuk Lupus.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro