Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3: Rencana Pertama

"... kembali hadir di hadapan Anda, bersama saya Laras Sjahrir, dengan serangkaian informasi yang telah dihimpun oleh tim redaksi kami, antara lain ...."

"Mas! Mas Dipa! Mas!"

Dipa sedang di toilet ketika mendengar namanya dipanggil-panggil.

"Mas Dipa!"

Tak lama bukan hanya namanya yang dipanggil, melainkan juga pintu toilet digedor-gedor.

"Sabar!" balas Dipa, setengah berteriak dari balik pintu. "Lagi boker! Kenapa sih?"

"Udah mulai, Mas!"

"Hah?! Emang udah jam tujuh?"

"Udah, Mas!"

"Sial."

Cepat-cepat Dipa menyelesaikan hajatnya. Setelah itu dia tergesa-gesa keluar dari toilet dan bergabung dengan Vito, salah satu adiknya di panti yang tadi memanggil-manggil namanya, duduk di lantai menonton TV.

"Yah, Mas Dipa telat. Si Lara Sjahrir udah muncul tadi," celetuk Vito.

"Laras Sjahrir," ralat Dipa.

"Iya, Lara Sjahrir."

"Vit, dengerin Mas Dipa nih. LaraSSSSSSS Sjahrir. Laras. Bukan Lara."

"Oh."

Vito tak peduli apakah nama pembaca berita yang ada di layar TV adalah Lara Sjahrir ataukah Laras Sjahrir. 

Namun, bagi Dipa itu penting. 

Setiap hari Dipa tak pernah absen duduk di depan layar TV menonton Laras membawakan berita. Itu sebabnya pengetahuan umum Dipa sangat luas.

Malam itu, Dipa melewatkan bagian favoritnya dari acara berita pukul tujuh malam, yaitu saat Laras menyapa pemirsa dan menyebutkan namanya. 

Itu semua karena Dipa menghabiskan terlalu banyak waktu di toilet. Mengapa Dipa mendekam begitu lama di toilet? Karena pikirannya sibuk melayang kemana-mana!

Tepatnya ke kejadian tadi siang. Lantaran dimarahi Pak Budi karena terlalu berisik di depan ruang guru, akhirnya Dipa dan Eda terpaksa menjelaskan perihal undian Kopi Cap Badak yang mereka menangkan.

"Ya udah, kenapa ribut? Bagi dua aja hadiahnya, gampang toh?"

"Nggak bisa, Pak," sela Eda. "Saya yang ngambil stoples itu. Jadi, saya berhak mendapatkan seratus juta itu sepenuhnya."

"Jadi begini, Pak. Seandainya saya nggak minta Eda untuk beli Kopi Cap Badak, apakah menurut Bapak mungkin Eda mengambil stoples itu?" timpal Dipa.

Pak Budi mengernyit. Kepalanya pening direcok kedua muridnya yang berseteru itu. "Kalian udah sikat WC belum?"

"Belum, Pak."

"Sikat dulu WC itu, baru bicara!" semprot Pak Budi. "Saya sita stoples ini sampai kalian selesai!"

"Siap, Pak!"

Dengan segera Dipa dan Eda berlari menuju toilet, menyambar alat-alat pembersih, menyiramnya dan membersihkan sekuat tenaga.

"Dip, lo nggak malu ya ngaku-ngaku hadiah itu adalah hak elo?" celetuk Eda, sambil dengan agresif menuang cairan pembersih sebanyak-banyaknya hingga dia terbatuk mencium baunya.

"Kenapa mesti malu? Itu hak gue. Elo kali yang mestinya malu!" sahut Dipa, menyikat kencang-kencang hingga air memercik.

Dipa dan Eda tak bicara banyak sambil membersihkan WC. Mereka berdua ingin cepat-cepat selesai dan mengambil hadiah mereka. 

Keduanya sampai berlari-lari, berusaha saling mendahului saat kembali mendatangi Pak Budi di ruangannya.

"Udah selesai, Pak!" seru Dipa dan Eda serempak.

"Bagus," Pak Budi tersenyum. "Kalian ingat dihukum karena apa?"

"Jualan di sekolah!"

"Apakah kalian berjanji nggak akan mengulanginya lagi?"

"Janji!"

"Sudah ada kesepakatan mengenai pembagian hadiah kalian ini?" tanya Pak Budi.

"Pak, dengan segala hormat saya sampaikan bahwa hadiah itu sepenuhnya milik saya," ucap Dipa buru-buru.

Eda mendelik. "Pak, saya nggak bermaksud kurang ajar sama Bapak, tapi ucapan Dipa itu salah besar. Hadiah itu milik saya."

"Aduh ...." Pak Budi geleng-geleng kepala. "Kalian ini nggak malu ya? Udah umur segini, masih aja nggak ngerti caranya berbagi?"

"Masalahnya, saya lebih butuh uang itu daripada Eda, Pak."

"Pak, sebetulnya saya yang lebih butuh uang itu."

"Baiklah. Kalian berdua sama-sama butuh uang seratus juta ini. Ini jumlah yang banyak lho. Buat apa? Saya mau tau."

Baik Dipa mau pun Eda segera terdiam. Tak ada satu pun dari mereka yang berani menjawab Pak Budi.

"Buat apa? Ayo, jawab."

Dipa dan Eda masih terdiam.

"Jangan-jangan buat maksiat ya?"

"Astaga, Pak! Jangan suudzon," ucap Dipa cepat-cepat, menepuk dadanya. "Mana mungkin! Apa kata adik-adik saya di panti nanti? Apa kata pengurus-pengurus panti?"

"Ngga usah lebay deh," Eda mendengus. "Nggak, Pak. Uang itu bukan untuk hal-hal maksiat. Uang itu untuk hal penting."

"Hal penting apa?" Pak Budi masih mencecar mereka.

Dipa dan Eda kembali bungkam. Pak Budi menunggu mereka untuk beberapa saat. Keduanya masih belum berubah pikiran untuk memberitahu Pak Budi, untuk apa mereka membutuhkan uang sebanyak itu.

"Baiklah. Selama kalian ngga mau bicara, selama kalian nggak ada kesepakatan, stoples kopi ini saya sita. Sudah, pulang kalian sekarang."

"Oke, oke, Pak, uangnya kita bagi dua aja sesuai saran Bapak," Dipa buru-buru memohon.

"Iya, Pak. Saya mohon jangan disita," pinta Eda.

Pak Budi menggeleng. "Kopi ini dibeli dengan uang sekolah. Lagi pula, kalo sekolah nggak nyuruh kalian ke pasar dan beli kopi hari ini, kalian nggak mungkin menemukan toples ini kan? Jadi, ini hak siapa? Hak sekolah kan?"

Kaki Dipa dan Eda langsung lemas mendengarnya. Dengan lunglai keduanya keluar dari ruangan Pak Budi. 

Dipa dan Eda menyeret langkah mereka bersamaan dengan matahari yang mulai tenggelam. Warna oranye kemerahan yang indah di langit sangat kontras dengan wajah mereka yang suram.

"Gue beneran butuh uang itu, Dip," ucap Eda lirih.

"Gue juga, Da," balas Dipa, tak kalah memelas.

Dipa dan Eda berjalan keluar gerbang sekolah dengan lunglai.

"Gimana caranya dapetin stoples itu lagi?" Eda bertanya.

"Tau deh. Nyolong kali dari ruangan Pak Budi," Eda menangkat bahu. "Itu pun kalo bisa. Ruangan Pak Budi kan selalu dikunci."

Tiba-tiba mata Eda melebar. Dia menjentikkan jari. "Gue tau gimana caranya, Dip."

"Gimana?" sahut Dipa malas-malasan.

"Kita harus membuat situasi kacau di mana Pak Budi meninggalkan ruangannya dan kita bisa menyelinap ke ruangannya."

"Oke. Situasi kacau macam apa yang lo pikirkan?"

"Bikin alarm kebakaran bunyi."

Dipa terperangah mendengar ide Eda. Mulutnya menganga sambil mengangguk-angguk. "Wow ... lo memang jenius, Da."

Eda tersenyum puas dan menaikkan alisnya. "Besok saat jam pelajaran keempat, gue bakal ijin ke toilet dan bunyiin alarm kebakaran. Nah, kan situasi kacau tuh, semua pasti pada mengevakuasi diri. Saat itulah kita menyelinap masuk ke ruangan Pak Budi."

"Setuju, setuju," Dipa mengangguk-angguk. "Jam pelajaran keempat ya?"

"Iya. Lo siap-siap aja. Begitu denger bunyi alarm, jangan lari ke halaman sekolah, melainkan kemana ...?"

"Ruang Pak Budi."

"Pinter."

Sepanjang sore itu hingga pulang ke panti, Dipa mengulang-ulang kembali rencana mereka di kepalanya. 

Alarm bunyi, ke ruangan Pak Budi. Alarm bunyi, ke ruangan Pak Budi. Alarm bunyi, ke ruangan Pak Budi. Alarm bunyi ....

"... saya Laras Sjahrir, sampai jumpa."

... ke ruangan Pak Budi.

(, ")

Hai, readers! Makasih udah baca lanjutan cerita Dipa dan Eda. Buat apa sih Dipa dan Eda butuh uang sebanyak itu? Terus, berhasil ngga ya rencana mereka menyelinap ruangan Pak Budi?

Tunggu kelanjutannya hari Kamis ya... :)))

Oh ya, sepanjang BWM ini, sesekali jadwal upload, saya akan nyelipin beberapa cerita bonus seputar Dipa dan Eda, seperti upload kali ini ;)))

Kalian ingat kan, di prolog cerita ini, Dipa ngga pernah denger nama Eda sama sekali, sedangkan Eda tau siapa Dipa. Kok bisa?! Apa karena Dipa lebih kece dan terkenal daripada Eda? Baca di #ceritaBonus1 ya! Udah di-upload bareng part ini.

Salam,
Feli

P. S. Readers, sebagai pembaca Belia Writing Marathon Batch 2, kamu berkesempatan memenangkan 1 paket gratis berlangganan Buku Bentang Belia selama 1 tahun untuk 1 orang pemenang dan 3 paket gratis seluruh novel hasil BWM Batch 2 untuk 3 orang pemenang. Caranya? Gampang banget! Kamu harus cukup aktif memberikan vote dan komentar untuk cerita BWM Batch 2 di akun Wattpad @beliawritingmarathon. Pemenang akan dipilih berdasarkan undian.

***********

Trivia! ^o^

Waktu saya sekolah dulu, alarm kebakaran sekolah pernah bunyi karena korsleting. Seisi sekolah sampai heboh. Saat itu ada teman sekelas yang duduk di kursi roda. Murid-murid cowok di kelas saya langsung saling bantu untuk menandu teman kami itu sampai ke tempat yang aman sambil turun tangga. Ngga terlupakan deh :) Sewaktu kuliah, alarm kebakaran asrama juga sering bunyi gara-gara ada yang nakal ngerokok di kamar atau masak ditinggal-tinggal. Sering alarmnya bunyi jam 6 pagi atau bahkan jam 12 malam, nyebelin banget! Intinya, jangan main-main sama alarm kebakaran ya, menyusahkan dan bisa membahayakan! :)))


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro