Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25: Dari Hati

Sebelum membaca...
Hai! Di bab ini, saya sisipin lagu instrumental sebagai background sambil baca :))) Depapepe - Wedding Bell. Silakan play video di atas dan dengerin lagunya sambil baca. Enjoy, semoga terhibur!

(, ")

Dipa tak pernah setegang sekaligus segembira ini di malam minggu. Bukan karena statusnya sudah berubah, bukan.

Dia tetap jomblo kok. Hanya saja, malam minggu kali ini terasa spesial, sebab dia bertandang ke rumah Eda.

Eda tak tahu bahwa Dipa hendak mendatanginya. Sejak pukul lima sore, Dipa sudah mandi dan wangi.

Dia bahkan memilih kemeja terbaiknya dan celana jinsnya yang paling bersih, sebelum naik angkot ke rumah Eda. Dipa punya kejutan untuk Eda. Kejutan tersebut ada di amplop biru muda yang terselip di saku celananya.

Dipa memencet bel yang ada di dekat pagar. Tak ada jawaban. Dipa memencet sekali lagi. Masih tak ada jawaban.

Rumah Eda terlihat sepi, seolah penghuninya sedang pergi. Dipa pun mengeluarkan ponselnya untuk mengirim pesan kepada Eda.

"Da," ketik Dipa. "Lo ada di rumah ngga?"

Dipa menunggu, menunggu, dan menunggu hingga akhirnya datang balasan dari Eda setengah jam kemudian.

"Gue lagi di luar, Dip. Ada apa?"

"Oh, kalo gitu gue tunggu deh. Gue lagi di depan rumah lo."

"Haaaah? Ada apa, Dip?"

"Nanti aja pas lo balik."

"Aduh, gue kayaknya masih lama lho."

"Ngga apa-apa. Gue tunggu aja."

Menunggu? Ya, Dipa tak masalah menunggu berjam-jam sekali pun. Apalah arti menunggu kalau untuk Eda.

Entah berapa lama waktu berlalu. Tiba-tiba, Dipa yang tengah berjongkok di depan pintu rumah Eda mendengar deru halus mesin.

Sebuah mobil menyorotkan lampunya ke jalanan depan rumah Eda. Dari dalam Eda keluar.

Leher Dipa menjulur. Siapa itu? Namun cahaya jalanan begitu gelap, Dipa tak mampu melihat siapa orang yang ada di dalam mobil.

"Dip?" Eda tercengang melihat Dipa tengah berjongkok di depan pagar rumahnya. "Lo masih di sini?"

"Iya," Dipa berdiri. "Kan gue bilang, gue bakal nunggu."

"Ya ampun ... udah dinyamukin banget dong lo?"

"Satu badan gue bentol semua kali. Mau liat?"

Eda memutar bola matanya. Dipa tertawa.

"Barusan siapa, Da?" Dipa memberanikan diri untuk bertanya.

"Ngg ..." Eda menyelipkan rambut ke belakang telinganya, lalu membuka kunci pagar. "... ada lah."

Ada sensasi aneh menyelinap ke relung hati Dipa, seperti rasa kecewa. Kecewa karena Eda merahasiakan sesuatu dari Dipa.

"Masuk, Dip?" Eda menawarkan.

"Ehm," Dipa berdeham. "Gue cuma mau nganter ini, Da."

Dipa menyodorkan amplop biru muda yang sedari tadi digenggamnya. Ada jejak bekas telapak tangannya yang basah, yang membuat amplop itu sedikit kusut.

"Apa nih?"

"Nanti aja lo buka di dalam. Kalo gitu, gue permisi dulu ya."

"Dip! Beneran ngga mau masuk dulu?"

Dipa tersenyum kecil sambil menggeleng. "Udah malem. Lo istirahat aja. Gue duluan ya."

Eda tak sabar menunggu hingga masuk ke dalam rumah. Dia membuka amplop dari Dipa saat itu juga.

Betapa terkejutnya Eda ketika menemukan selembar cek sejumlah lima puluh juta ada di dalamnya! Selain itu, ada juga surat dengan tulisan tangan yang rapi.

Hai Eda,

gue kurang pinter ngomong langsung kalo menyangkut hal-hal penting kayak gini, jadi gue tulis surat aja. Ada beberapa hal yang mau gue sampaikan.

Pertama, ini cek lima puluh juta hadiah undian kopi dari Pak Budi. Lo lebih membutuhkannya dari gue, itu sebabnya gue memutuskan untuk memberikannya ke elo.

Kedua, gue mau menjelaskan kenapa gue ngga butuh uang itu lagi. Inget kan pas kita malam-malam mau menyelinap ke ruangan Pak Budi di sekolah, elo nanya gue, buat apa sih uang itu? Gara-gara maling, gue ngga sempet ngejelasin.

Saat itu, gue butuh uang buat nyewa pengacara. Itu sebabnya gue jadi tukang sewa atribut di sekolah. Ngumpulin duit sedikit-sedikit, gue harap suatu hari gue bisa membayar pengacara untuk membela gue, kalo-kalo orangtua kandung gue ngga mau mengakui gue.

Iya, Da. Lo ngga salah baca, kok. Gue akhirnya tau siapa orangtua gue. Namanya Laras Sjahrir. Iya, Laras si pembaca berita itu. Gue ngga bercanda. Gue ngga bohong. Gimana gue taunya? Lain kali gue cerita, ya.

Yang jelas, sejak hari itu gue makin percaya takdir. Bahwa hari itu, gue ditakdirkan untuk akhirnya tau siapa orangtua gue, setelah 18 tahun lamanya.

Itu sebabnya gue nyari tau semua tentang Laras, ngikutin dia di TV, di sosmed, untuk tau dan mengenal lebih jauh siapa dia sebenarnya.

Gue juga mati-matian mau uang hasil menang undian itu, supaya gue bisa segera nyewa pengacara dan minta pertanggung jawaban dari Laras Sjahrir yang udah membuang gue, yang ngga menepati janjinya untuk menjemput gue kembali dari panti. Gue begitu bertekad, sampai akhirnya gue kenal lo.

Gue begitu iri melihat kedekatan lo dan nyokaplo. Padahal nyokaplo itu bukan orangtua kandung lo, tapi dia begitu sayang sama lo. Saat itu gue sungguh merasa bodoh.

Gue merasa bodoh kalo harus nyewa pengacara segala supaya Laras mau mengakui gue. Kalo ibu tiri aja bisa sayang sama lo segitunya, apalagi ibu kandung?

Tapi Laras ngga mengakui gue, ngga menghampiri gue, ngga menyayangi gue. Untuk apa juga gue mengemis cinta darinya?

Itu cuma akan membuat gue terlihat menyedihkan. Dia ngga menginginkan gue. Mengemis cinta darinya cuma akan membuat gue terlihat bodoh.

Itu sebabnya gue merelakan dia. Itu sebabnya gue ngga butuh lagi uang yang banyak ini. Biarlah ini buat elo, Da. Bukan karena gue kasihan sama lo, tapi karena lo lebih pantas mendapatkannya.

Terlebih dari itu, karena gue mau berterima kasih elo udah hadir dalam hidup gue, meskipun dalam situasi yang ngga gue sangka.

Lewat lo, gue belajar banyak hal. Lo begitu tegar, begitu kuat, begitu menginspirasi gue, begitu membuat gue berdecak kagum.

Eda, uang ini gue berikan dengan tulus. Gue hanya minta, suatu saat nanti kalo lo udah sukses, cukup jangan lupakan hari di mana kita berdua pernah berjuang bersama untuk hadiah undian kopi. Oke?

Salam,
Dipa

Napas Eda terasa sesak membaca surat itu. Sontak Eda mendorong pagar rumahnya.

Matanya dengan liar menembus cahaya remang mencari sosok Dipa. Eda melihatnya. Dipa tengah berjalan kaki dengan kedua tangan di dalam saku celananya.

Eda berlari secepat yang dia bisa untuk menghampiri Dipa. Eda berlari dan terus berlari hingga Dipa hanya tinggal sejengkal darinya.

Bruk!

"E-Eda?"

Dipa terkejut bukan main saat dia mendapati punggungnya ditubruk. Bukan hanya itu, Dipa merasakan ada sepasang tangan melingkar di pinggangnya.

Wajah Dipa memerah. Detak jantungnya seketika menjadi lebih cepat. Eda tengah memeluknya dari belakang, menyandarkan kepalanya pada punggung Dipa.

"Da, kenapa?" tanya Dipa pelan.

"Dip ... jangan sedih lagi."

(, ")

Hai, readers! Terima kasih banyak ya, sudah baca lanjutan dari Rival. Bapernya akan masih terus berlanjut, hang on!

Sampai jumpa hari Kamis dengan double update berikutnya! :)))

Salam,
Feli

P. S. Readers, sebagai pembaca Belia Writing Marathon Batch 2, kamu berkesempatan memenangkan 1 paket gratis berlangganan Buku Bentang Belia selama 1 tahun untuk 1 orang pemenang dan 3 paket gratis seluruh novel hasil BWM Batch 2 untuk 3 orang pemenang. Caranya? Gampang banget! Kamu harus cukup aktif memberikan vote dan komentar untuk cerita BWM Batch 2 di akun Wattpad @beliawritingmarathon. Pemenang akan dipilih berdasarkan undian.

Trivia ^o^

Lagi ngga ada ide mau nulis trivia apa, jadi saya pos aja foto hujan salju yang nemenin saya nulis minggu lalu :)))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro