Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21: Yang Dinanti

"Hai Eda, kamu kenal dekat dengan Pradipta?"

Demikian bunyi pesan balasan untuk Eda dari Laras di aplikasi Instagram. Laras Sjahrir menjawab pesannya! Eda terkesiap. Dia sampai mendekap mulutnya dengan tidak percaya.

Awalnya, Eda sempat curiga apakah Laras betul-betul adalah ibu dari Dipa. Rasa penasaran itulah yang mendorong Eda untuk begitu nekat menghubungi Laras lewat Instagram. Eda sungguh tak menyangka Laras akan membalas pesannya.

"Saya temannya, Mbak," balas Eda. "Belum lama kenal, tapi belakangan saya sering main sama Dipa. Apa Mbak Laras kenal dengan Dipa?"

Eda membalas pesan Laras dan kembali mengulang pertanyaannya. Balasan dari Laras lagi-lagi mengejutkan Eda.

"Saya tau Pradipta ... sudah lama sekali. Gimana kabarnya? Oh ya, jangan bilang dia kalau kamu kontak saya, ya. Kemungkinan dia kurang senang mendengarnya."

Pesan balasan yang aneh, membuat Eda semakin penasaran. Eda pun lanjut membalas pesan tersebut.

"Dipa baik, Mbak. Iya, saya ngga bilang Dipa. Tapi ... kenapa dia kurang senang kalau tau saya kontak Mbak Laras?"

Kemudian datanglah balasan yang semakin membuat Eda tercengang. Laras tak menjawab pertanyaan Eda. Dia malah mengajak bertemu.

"Eda, Sabtu ini kamu ada waktu? Kalau iya, boleh kita ketemuan jam satu siang? Di Quaker Cafe, lokasinya di lobby gedung INC TV."

Eda menyanggupi pertemuan tersebut. Dia sedang bertandang ke panti asuhan Dipa ketika menyadari jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Eda ingin sekali menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan Dipa, namun sudah saatnya untuk pergi dan menemui Laras.

Eda begitu gugup. Dia memang sudah sering melihat Laras di televisi, tetapi tetap saja telapak tangannya berkeringat dingin seiring dengan langkahnya yang mendekati Quaker.

Saat mendorong pintu kafe, Eda menangkap sosok perempuan yang duduk di dekat jendela. Satu tangannya menopang dagu, memandang ke arah luar jendela. Satu tangannya lagi mengaduk-aduk isi cangkir di hadapannya dengan gerakan sangat lambat.

Eda menarik napas dalam-dalam. Sosok itu adalah Laras, dia mengenalinya. Berpakaian lebih santai dari yang terlihat di televisi, Laras mengenakan kaus lengan panjang putih dan celana jins biru. Rambut sebahunya yang sedikit bergelombang dibiarkan jatuh menutupi sebagian wajahnya. Jantung Eda berdegup cepat.

"Pe-permisi," sapa Eda. "Mbak Laras?"

Sosok itu menoleh mendengar namanya dipanggil. Memang, dia adalah Laras. Senyum Laras mengembang. Detik itu juga Eda teringat Dipa. Apa jadinya kalau Dipa ada di sana saat itu? Mungkin sudah pingsan saking terpesonanya.

"Hai," sapa Laras. Dia berdiri dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. "Eda, ya? Saya Laras. Silakan duduk."

Eda begitu tersihir. Perempuan ini sangat sopan, ramah, cantik, dan memiliki pembawaan yang menyenangkan. Laras terkesan begitu sempurna, membuat Eda semakin gugup.

"Makasih ya, udah mau meluangkan waktumu untuk saya hari ini," ucap Laras.

"Sa-sama ... sama-sama," balas Eda, terbata-bata.

"Kamu mau pesan apa, Eda?"

"A-apa aja, Mbak."

"Pollo picante di sini enak. Mau coba?"

Eda hanya mengangguk. Dia terlalu gugup untuk berpikir. Laras memesankan makanan untuk mereka berdua. Saat sedang menunggu pesananlah Eda memberanikan diri untuk bertanya.

"Mbak Laras ... maaf, sa-saya cuma penasaran aja, Mbak Laras gimana bisa kenal Dipa?"

Laras tersenyum, lalu menyeruput minumannya. Dari aromanya, Eda yakin isi cangkir itu adalah kopi yang cukup kuat rasanya.

"Panjang lah ceritanya," jawab Laras. "Tapi udah lama banget."

"Lalu ... lalu ... Mbak Laras kenapa mau ketemu saya?"

"Penasaran aja gimana kabar Dipa. Kamu sendiri, kenapa menghubungi saya?"

"Pe-penasaran juga aja ... Dipa ngefans banget sama Mbak Laras. Dan-" Eda menelan ludah. Sesaat dia ragu, haruskah dia menceritakan semuanya pada Laras?

"Dan?" Laras menaikkan alisnya.

"Dan ... tiba-tiba baru-baru ini Dipa bilang kalo Mbak Laras itu ibunya."

Kedua mata Laras melebar.

"Tapi abis itu dia bilang cuma bercanda," Eda buru-buru menambahkan. "Tapi ... tapi saya jadi penasaran. Sa-saya tau, saya lancang. Maaf."

Laras tertawa kecil. "Boleh saya tebak sesuatu?"

"I-iya?"

"Kamu naksir Pradipta, ya?"

Wajah Eda memerah. Dia sontak membuang pandangan dari Laras. Ekspresi Eda malahan membuat Laras tertawa sekali lagi.

"Kamu keliatannya peduli banget sama dia."

"Bu-bukan begitu, Mbak!"

"Ngga apa-apa. Pradipta anak yang baik, kan?"

"I-iya."

"Di sekolah pintar?"

"Sa-saya ngga sekelas sama dia. Tapi ... tapi kata temen-temen sih, dia lumayan pintar."

Laras menyeruput kopinya lagi. "Pradipta senang di sekolah?"

Eda sedikit bingung dengan pertanyaan itu. Senang? Sepertinya iya. Dia selalu terlihat enerjik, gembira dan penuh semangat.

"Iya," jawab Eda. "Anaknya rame, berisik, ceria terus."

Laras mengangguk. Kembali dia menyeruput kopinya. Saat itu ponsel Laras yang ada di atas meja bergetar. Dia meliriknya, kemudian menghela napas.

"Eda, maaf banget ya? Saya harus pergi sekarang, dipanggil redaksi. Kamu makan sendiri ngga apa-apa, ya? Pesanan saya buat kamu aja, bawa pulang."

"Oh ..."

"Sabtu depan kamu ada waktu? Malam, sekitar jam 7, kita makan bareng gimana?"

Laras menyebut nama sebuah restoran yang ada di salah satu mal papan atas.

"Boleh, Mbak," sahut Eda.

Laras tersenyum. Dia memanggil salah seorang pelayan. "Mbak, meja ini open bill, ya, charge ke saya aja seperti biasa. Laras Sjahrir."

Laras menunjukkan kartu tanda pengenal yang melingkar di lehernya. Pelayan itu mengiyakan. Laras beranjak dari kursinya.

"Saya masih mau ngobrol dengan kamu, tapi maaf banget Eda, saya betul-betul harus ninggalin kamu sekarang," ucap Laras. "Sampai Sabtu depan ya?"

"I-iya, Mbak. Ngga apa-apa."

"Senang berkenalan dengan kamu."

"Sama-sama, Mbak."

"Oh ya. Jangan bilang Pradipta soal pertemuan kita ya, Eda?" Laras tersenyum, lalu mengangguk pertanda pamit. Eda hanya tertegun menatap Laras yang pergi meninggalkannya.

(, ")

Hai, readers! Terima kasih banyak ya, sudah baca lanjutan dari Rival. Jadi, siapa Laras? Gimana bisa kenal dengan Dipa? Untuk apa Laras ngajak Eda ketemuan lagi? Kenapa Dipa ngga boleh tau pertemuan Eda dan Laras? Kenapa why selalu always ngga pernah never?

Tunggu kelanjutannya hari Kamis ya... :)))

Salam,
Feli

P. S. Readers, sebagai pembaca Belia Writing Marathon Batch 2, kamu berkesempatan memenangkan 1 paket gratis berlangganan Buku Bentang Belia selama 1 tahun untuk 1 orang pemenang dan 3 paket gratis seluruh novel hasil BWM Batch 2 untuk 3 orang pemenang. Caranya? Gampang banget! Kamu harus cukup aktif memberikan vote dan komentar untuk cerita BWM Batch 2 di akun Wattpad @beliawritingmarathon. Pemenang akan dipilih berdasarkan undian.

***********

Trivia! ^o^

Kenapa ada karakter news anchor di cerita ini? Bukan karena bercita-cita jadi anchor, hehe... tapi dari kecil di rumah saya orangtua selalu nyetel acara berita dari sore sampai malam, jadi saya tau nama-nama news anchors di channel berita A, B, C... dan yang keren, menurut saya mereka bukan cuma sekadar cantik atau ganteng tapi juga cerdas dan kritis.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro