Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14: Hari Bersamanya

Sejujurnya, Eda betul-betul sudah lupa kapan dia terakhir bahagia seperti sekarang. Yang jelas, belum pernah ada hari di mana dia sebahagia ini semenjak Papa dan Dira meninggal. Pagi tadi, setelah dari ruangan Pak Budi, entah apa yang merasuki Eda, tiba-tiba dia merasa begitu putus asa.

"Ini ngga adil, Dip," bisik Eda lirih. "Kenapa yang gue alami semuanya ngga adil?"

Kemudian tangis Eda pecah. Dia setengah mati menahan air matanya. Dia tidak mau menangis di depan Dipa, tapi tidak bisa. Eda berharap Dipa memarahinya saat itu, menghardiknya sambil berkata, "Aduh! Cengeng amat sih? Ya udah lah, berikutnya kita usaha lagi."

Namun Dipa tidak memarahi Eda. Dipa malah merogoh saku celananya dan mengusap pipi Eda dengan sapu tangannya. Harum. Eda jadi teringat ayahnya. Dulu, kemana-mana Papa juga selalu membawa sapu tangan. Kalau mereka sedang berjalan kaki dan melewati banyak kendaraan, Papa selalu menyodorkan sapu tangannya pada Eda.

"Pakai, Da. Tutup hidungnya."

"Terus, Papa gimana?"

"Papa mah gampang. Hidung Papa banyak filternya. Hehehe."

Bukannya berhenti, tangis Eda malah menjadi-jadi ketika dihujani sorot mata lembut Dipa dan kata-katanya yang menghibur.

"Ngga apa-apa, Da. Menangislah kalo itu bikin lo lega," kata Dipa. "Menangis itu wajar. Lo boleh menangis, asal jangan berputus asa."

Di sela isak tangisnya, Eda hanya bisa mengangguk. Dengan sabar Dipa menunggu hingga tangis Eda reda.

"Khusus hari ini, buat menghibur diri dan melepas penat gara-gara Pak Budi, gue punya sesuatu buat lo."

"Apa?"

Ternyata 'sesuatu' yang diberikan Dipa itu adalah ajakan untuk bolos dan pergi ke bioskop bersama. Awalnya Eda ragu, tapi mengingat betapa kesalnya dia hari itu, Eda akhirnya setuju. Eda dan Dipa berhasil naik angkot menuju mall. Dipa memberikan jaketnya untuk menyembunyikan seragam Eda, sementara Dipa sendiri melepas seragamnya dan memakai kaus.

"Beneran nih, Dip, elo traktir gue?" tanya Eda, saat Dipa membayar dua tiket bioskop.

"Iya. Bang Faisal abis ngebalikin uang gue yang dikorupsiin sama dia," Dipa nyengir. "Lagian hari ini kan nomat - nonton hemat. Kalo hari biasa sih, bayar sendiri lah ya."

Eda tertawa. "Makasih ya, Dip."

Dipa mengangguk dan tersenyum. Selesai menonton, Dipa dan Eda makan bersama menggunakan voucher yang diberikan Pak Budi sebagai hadiah menangkap maling.

"Gue anter pulang ya, Da?" celetuk Dipa, saat mereka selesai makan dan mengobrol. "Ternyata rumah lo tuh searah sama panti."

Eda tersenyum dan mengangguk. Kali ini dia tidak menolak lagi. Walau hanya duduk di dalam angkot, dia senang bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama Dipa.

"Tapi Dip, mampir sebentar ke tukang bubur, ya? Mau beliin buat Mama."

Dipa mengiyakan. Sepulang dari mal, Dipa menemani Eda membeli bubur sebelum mengantarnya pulang. Ketika Eda sedang menunggu pesanan bubur, Dipa ijin pergi sejenak. Ternyata Dipa pergi ke toko bunga. Eda tak memungkiri bahwa perasaannya bercampur aduk saat itu. Mungkinkah Dipa membeli bunga untuknya?

"Da ..." panggil Dipa, ketika mereka berdua sedang berjalan kaki menuju rumah Eda.

"Hmm?"

"Gue tau pertanyaan gue aneh, tapi ... gimana sih rasanya punya ibu?"

Eda terenyuh mendengar pertanyaan Dipa. Bagaimana rasanya? Wajah Eda perlahan menyunggingkan senyum. "Rasanya bahagia, Dip. Oh ya, lo tau ngga, kalo Mama sebetulnya bukan ibu kandung gue?"

"Oh ya?" Dipa terkejut mendengarnya.

"Iya. Gue juga sempat hidup tanpa ibu. Ibu kandung gue meninggal waktu umur gue dua tahun, jadi gue udah lupa. Lalu, gue baru kenal Mama saat gue masuk SD. Gue dulu lho yang kenalan sama Mama, baru Papa kenalan sama Mama."

"Gimana caranya?"

"Gara-gara gue hilang di mal," Eda tertawa. "Gue inget, orang-orang cuma ngeliatin gue yang nangis di tengah-tengah mal. Mungkin mereka takut itu modus penipuan kali ya? Pokoknya hanya Mama yang berani deketin gue dan nolong gue. Gue inget, saat itu Mama meluk gue supaya gue berhenti nangis. Rasanya damai. Gue langsung suka."

Dipa menangkap wajah Eda yang begitu cerah saat bercerita tentang ibunya. Ada sedikit rasa sendu menyelip dalam relung hati Dipa. Dia juga ingin memiliki sosok ibu seperti Eda memiliki ibunya. Sejak kecil, Dipa sering kali bertanya-tanya, bagaimana rasanya ya? Kalau ibu tiri saja bisa menyayangi begitu dalamnya, apalagi ibu kandung?

"Oke deh, Dip. Makasih banyak ya untuk hari ini," ucap Eda saat mereka telah tiba di depan gerbang rumah Eda.

"Sama-sama, Da. Gue juga makasih sama lo," balas Dipa.

"Oh ya, elo buru-buru ngga? Jam tujuh udah harus di panti lagi?"

"Mmm ... kenapa emangnya?"

"Mau masuk sebentar? Gue kenalin sama Mama."

"Boleh."

Eda tak menyangka Dipa menyanggupi ajakannya. Anak-anak seusianya biasanya segan jika diajak bertemu orangtua. Eda lebih tak menyangka lagi ketika Dipa yang selesai memperkenalkan diri pada Mama tiba-tiba mengeluarkan sekuntum bunga peony dari dalam tasnya.

"Maaf Tante, saya ngga bisa lama-lama," ucap Dipa. "Ini buat Tante. Semoga cepat sembuh ya."

Bahkan Mama pun terlihat takjub dibuat Dipa. "Makasih ya, Dipa. Hati-hati di jalan," sahut Mama sambil tersenyum.

Eda mengantarkan Dipa hingga ke pintu gerbang. Tiba-tiba Eda tertawa kecil.

"Kenapa ketawa-tawa, Da?" tanya Dipa heran.

"Ngga. Gue ngga nyangka aja lo beliin Mama bunga," jawab Eda.

"Bunga peony itu artinya semoga lekas sembuh. Semoga nyokap lo cepet sembuh ya, Da, biar lo ngga murung lagi."

Eda tersenyum kecil. Dia pikir Dipa membeli bunga untuknya, ternyata untuk Mama. Itu membuat Eda lebih senang lagi daripada seandainya dia yang menerima bunga.

"Dadah, Dipa. Sampe besok ya."

"Sampe besok, Da."

Dipa membalikkan badan dan melangkah dengan ringan. Namun baru melewati dua rumah, Dipa kembali.

"Eda!"

Eda yang baru hendak masuk rumah menoleh. "Ada apa, Dip? Ada yang ketinggalan."

"Iya," balas Dipa. "Ketinggalan mau ngasih tau lo sesuatu."

Eda menaikkan alisnya. "Ngasih tau apa, Dip?"

"Lo mau tau supaya bisa terus semangat?"

"Apa tuh?"

"Selalu bersyukur dan berserah," wajah Dipa yang dibayangi sinar matahari terbenam tersenyum lebar. Hati Eda luluh mendengarnya. Di mata Eda, Dipa yang ada di hadapannya sungguh berbeda dari Dipa yang pertama kali dikenalnya.

"Itu quote dari Instagram-nya Laras Sjahrir, by the way," lanjut Dipa.

Eda tertawa. "Pantesan bagus. Lo ngefans banget ya sama si Laras Sjahrir ini?"

Dipa masih tersenyum.

"Nanti gue nonton dia siaran ah."

"Ya, lo harus nonton," Dipa mengangguk. "Oke deh, Da. Tetap semangat, ya! Jangan pernah putus asa."

Seiring senja yang berlalu, sorot mata Eda menghantar Dipa hingga tak kelihatan lagi. Saat itu Eda sadar, betapa dalam diri Dipa yang dikiranya adalah musuh, ternyata Eda bisa menemukan banyak kebahagiaan.

"Barely even friends, then somebody bends, unexpectedly ..." - Beauty and the Beast.

(, ")

Hai, readers! Makasih udah baca lanjutan cerita Dipa dan Eda. Melewati satu hari bersama, keduanya ngga nyangka bahwa menghabiskan waktu bersama ternyata saling membahagiakan mereka. Apa akan begini seterusnya?

Tunggu kelanjutannya hari Senin ya... :)))

Salam,
Feli

P. S. Readers, sebagai pembaca Belia Writing Marathon Batch 2, kamu berkesempatan memenangkan 1 paket gratis berlangganan Buku Bentang Belia selama 1 tahun untuk 1 orang pemenang dan 3 paket gratis seluruh novel hasil BWM Batch 2 untuk 3 orang pemenang. Caranya? Gampang banget! Kamu harus cukup aktif memberikan vote dan komentar untuk cerita BWM Batch 2 di akun Wattpad @beliawritingmarathon. Pemenang akan dipilih berdasarkan undian.

***********

Trivia! ^o^

Saya lebih suka versi lagunya Ariana Grande dan John Legend ketimbang Celine Dion dan Peabo Bryson, ngga tau kenapa :)))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro