11: Pahlawan Dadakan
Dipa menggigit bibir. Dia merasa alasannya begitu konyol jika dibandingkan Eda, namun dilihatnya Eda begitu penasaran menunggu jawabannya.
"Se-sebenernya ... buat nyokap-"
BRAK!
"Aduh!"
Belum sempat Dipa menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba dia terpelanting karena pintu ruangan Pak Budi mendadak membuka! Wajah Eda langsung berubah pucat dan mulutnya menganga, manakala dia melihat sosok bertopeng hitam lewat sekilas di hadapannya.
"MA-" Eda hendak berteriak 'maling', namun tiba-tiba saja otaknya seolah korsleting. Dia memastikan dulu bahwa sosok yang kini tengah berlari itu nyata wujudnya dan kakinya menapak tanah. "... ling. MALING!"
Refleks, Eda langsung mengejarnya. Maling yang panik karena dikejar Eda sontak mengeluarkan pisau dari sakunya dan mengayun-ayunkannya sambil berlari.
"Aduduh ... Mas, santai, Mas!" Eda segera menghentikan langkahnya.
"Eda!"
Dipa berlari menyusul Eda. Dipa menatap pemandangan di hadapannya dengan horor. Maling tersebut masih mengayun-ayunkan pisaunya ke arah Eda dan Dipa, mengancam mereka untuk mundur.
"Mas, Mas, kalo boleh tau, barusan apa yang Mas curi ya?" celetuk Dipa.
"Grrr!!! Pergi lo!" teriak si Maling, mengayunkan pisaunya lebih ganas lagi.
"Oh iya, iya. Maaf Mas, maaf. Maaf," ucap Eda buru-buru. Perlahan-lahan Eda mundur. Dia menarik tangan Dipa untuk juga pergi dari hadapan si Maling.
"Mas ngga nyolong kopi kan?" Dipa masih saja tanpa takut melontarkan pertanyaan pada si Maling.
Maling itu terlihat bingung dengan pertanyaan Dipa. Ayunan pisaunya melambat.
"Mas, Mas tadi ngga ngambil kopi kan dari ruangan?" Dipa mengulang pertanyaannya. Eda meringis. Mau apa sih si Dipa ini?! Lagi genting masih bisa-bisanya menanyakan perihal toples kopi!
"Kopi apaan?!" bentak si Maling dengan suara lantang.
"Kopi, Mas. Kopi buat minum," sahut Dipa. "Sebab kalo Mas ngambil kopi itu, saya NGGA AKAN KASIH AMPUN! HIYAAAA!!!"
Klontang!
"WAAAA!"
"KYAAA!"
Baik Eda dan si Maling sama-sama memekik ketika tiba-tiba saja Dipa melompat dan memiting si Maling ke lantai! Eda terkesiap dan menutup mulutnya. Dia terkejut bukan main dengan pemandangan yang disuguhkan ke hadapannya, nafas Eda langsung tersengal dan jantungnya berdegup cepat.
"Ambil pisaunya di lantai, Da! Buruan!" teriak Dipa.
Eda cepat-cepat berlutut dan meraba-raba lantai. Ini dia! Tangannya memegang lempengan besi dingin. Eda buru-buru memungutnya dan memegangnya erat-erat.
"Telepon polisi, Da! Cepetan!" perintah Dipa.
Masih dengan tangan gemetar, Eda merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya. Polisi. Polisi nomornya berapa?
"Polisi nomornya berapa, Dip?" cicit Eda.
"Aduh Edaaaa ... makanya nonton beritaaa!" gerutu Dipa. "110!"
"Aaaaaauwww ... Mas, ampun, Mas. Sakit tangannya!" jerit si Maling.
"Pake 021 ngga?" tanya Eda.
"Ngga! Buruan!"
"Oke, oke."
"Aaaaaauuuwwww! Ampun, Mas!"
"Ampun, ampun ... diem lo!" bentak Dipa pada si Maling. Dia mempererat cengkramannya pada kedua tangan si Maling di balik punggungnya.
"Halo ... Pak Polisi? Saya Dwenda, murid sekolah SMA Harapan. Ada maling di sekolah, Pak. Sekarang sedang diamankan seorang diri oleh teman saya. Tolong segera datang, Pak."
"Aduh Mas ... ampun, Mas!"
"Kenapa, Pak? Oh, ngga. Itu malingnya yang jerit-jerit. Ngga ada korban. Tapi tolong datang secepatnya ya, Pak. Ngga tau sampe kapan temen saya bisa bertahan. Maling ini juga bawa pisau. Tapi pisaunya udah kami ambil. Iya. Makasih, Pak."
"Diem dong! Jangan gerak-gerak!" Dipa kembali membentak si Maling. Kemudian Dipa menatap Eda. "Udah?"
"Udah. Polisinya lagi dateng ke sini," jawab Eda. "Gue bisa bantu apa nih?"
"Lo dudukin aja tuh pergelangan kakinya, biar Masnya ngga bisa kabur sama sekali," Dipa menuding kaki si Maling.
"Aduuuh ... ampun, Mas!"
Dipa mendecak. "Jangan berisik deh. Mas ngga takut nanti ngeganggu penunggu-penunggu sekolah ini?!"
Si Maling langsung terdiam. Si Maling sekali lagi memekik saat Eda menduduki kedua kakinya. Tiba-tiba Eda meringis.
"Kenapa, Da?" tanya Dipa.
"Tangan gue perih deh. Kenapa ya?" Eda mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menyinari telapak tangannya. "Ternyata kegores, Dip. Kayaknya tadi pas ngambil pisau karena ngga keliatan jadi kegores."
"Ya ampun ... sakit?"
"Ya, perih-perih dikit. Ngga apa-apa."
"Yakin?"
"Iya."
Untungnya tak butuh waktu lama hingga polisi datang, sebab baik Dipa mau pun Eda sudah pegal menahan si Maling agar tidak kabur. Begitu melihat Pak Polisi, Eda segera melompat bangun. Dia juga langsung menyerahkan pisau si Maling.
"Kalian memang anak-anak yang berani. Tapi lain kali jangan begitu lagi. Tindakan kalian itu sangat berbahaya. Terlebih maling itu punya senjata," ucap Pak Polisi.
"Iya, Pak."
"Ngomong-ngomong, ngapain kalian malam-malam di sekolah?"
Deg! Jantung Eda seolah berhenti mendadak.
"Adu nyali, Pak."
Untungnya Dipa dengan sigap menjawab, meski pun jawabannya terdengar absurd dan asal. Pak Polisi menaikkan alisnya.
"Adu nyali? Aduh ... ada-ada aja kalian ini. Ayo, saya antar pulang."
"Ngga usah, Pak. Rumah kami dekat," sergah Eda. "Kami pulang sendiri aja."
"Langsung pulang ya? Jangan pacaran!"
"Iya, Pak. Terima kasih."
Sementara polisi masih berkeliaran di lingkungan sekolah, Dipa dan Eda sudah melangkah keluar dari gerbang. Keduanya menghela napas berat. Rasanya lelah bukan main. Dipa melihat jam menunjukkan hampir pukul setengah sebelas malam.
"Lo pulang naik apa, Da?" tanya Dipa.
"Jam segini udah ngga ada angkot. Naik bajaj aja deh," Eda menjawab.
"Gue anterin."
Mata Eda melebar. "Emangnya lo searah sama gue?"
"Ngga apa-apa. Gue anterin aja. Udah malem."
"Ngga usah. Gue sendiri aja."
"Udah malem, Da. Jangan sendirian."
Dipa benar, hari memang sudah malam. Eda sendiri sejujurnya agak takut pulang sendirian. Maka akhirnya Eda mengangguk. Sepanjang perjalanan dari sekolah menuju rumahnya, Eda salah tingkah dengan keberadaan Dipa. Mereka hanya diam saja. Untung rumah Eda dekat dari sekolah.
"Makasih ya, Dip. Udah dianterin," ucap Eda, saat bajaj yang mereka tumpangi berhenti persis di depan rumah Eda.
"Sama-sama, Da."
"Iya. Elo juga."
"Ngg ... oh ya, tangan lo gimana?"
"Ngga apa-apa kok. Darahnya udah kering."
"Coba liat."
Dipa mengulurkan telapak tangannya yang membuka, menunggu hingga Eda meletakkan tangan di atasnya. Mendadak jantung Eda berdebar kencang dan cepat. Eda menelan ludah. Perlahan-lahan diulurkannya tangannya dan diletakkannya di atas telapak tangan Dipa. Jantung Eda makin berdebar tidak keruan saat Dipa meraih tangannya dan menggenggamnya. Dipa memeriksa luka di tangan Eda.
"Hmm ... kayaknya sih lukanya ngga dalam. Tapi nanti bersihin pake alkohol ya? Takutnya infeksi. Kita kan ngga tau pisaunya berkarat atau ngga," kata Dipa.
"Iya," gumam Eda.
"Ya udah. Met malam, Da."
"Met malam, Dip."
Dipa kembali menaiki bajaj untuk pulang ke panti. Ketika Dipa sudah duduk, tiba-tiba Eda memanggilnya.
"Dipa!"
"Iya?"
"Hati-hati di jalan ya."
Dipa mengangguk dan tersenyum. Eda berdiri di depan pintu, menunggui Dipa dan bajajnya hingga tak terlihat lagi. Eda menarik napas dalam-dalam. Dia masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu. Senyumnya perlahan mengembang.
(, ")
Hai, readers! Makasih udah baca lanjutan cerita Dipa dan Eda. Walau rencana mereka berdua gagal lagi, tapi di malam itu mereka justru jadi lebih mengenal satu sama lain ngga, sih? Kira-kira, mereka bakal nyerah atau punya rencana berikutnya?
Hari ini double update, bentar lagi saya upload... :)))
Salam,
Feli
***********
Trivia! ^o^
Teman sekolah saya waktu SMP dulu ada yang nyimpenin nomor telepon polisi, ambulans, pemadam kebakaran di HP-nya. Kami pada ngetawain dia, tapi sebetulnya penting lho. Karena ternyata banyak orang yang ngga hafal nomor-nomor darurat tersebut.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro