Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1: Salah Ngomong

Pak Budi sibuk menceramahi Dipa dan Eda sejak mereka masuk ruang kantornya. 

Pertama, tindakan mereka berjualan di area sekolah melanggar peraturan. 

Kedua, barang dagangan mereka melanggar etika pelajar. 

Ketiga, kegiatan berjualan mereka merusak moral dan disiplin murid-murid sekolah.

"Gara-gara kalian ini, anak-anak jadi ngga disiplin dan malas. 'Ah, bolos aja, nanti juga bisa beli catatan dari Eda'. 'Ah, ketinggalan seragam juga ngga apa-apa, nanti bisa sewa dari Dipa'. 

Kalian sekarang pikir hal-hal seperti masuk kelas, mencatat pelajaran, pakai atribut sekolah itu nggak penting.

Tapi, tunggu sampai lima-sepuluh tahun lagi saat kalian bekerja, boleh nggak coba kalo kalian ngantor lalu bilang, 'Waduh, Pak, saya malas meeting, nanti pinjam protokolnya aja ya?' atau 'Waduh, Bu, datanya ketinggalan di rumah. Saya sewa aja ya?' Ya mana bisa!"

Dipa hanya diam saja. Dia tak mencemaskan soal hukuman yang nantinya akan dia hadapi. Dia lebih cemas soal sumber penghasilannya yang kini hilang. 

Dipa memutar otak, bagaimana caranya dia bisa mendapatkan uang setelah bisnisnya kena razia? 

Mungkin dia bisa minta pekerjaan dari Bu Weda, salah satu pedagang kantin yang berjualan siomay Bandung. Ya, anaknya Bu Weda, si Sapto, sebentar lagi masuk SMP. Jam sekolahnya akan lebih panjang dan tidak bisa membantu ibunya berjualan lagi.

"Dipa!"

Dipa tersentak mendengar namanya dihardik Pak Budi.

"Iya, Pak!"

"Kamu ini kalo orang ngomong didengerin dong! Malah bengong!" Pak Budi mendengus kesal.

"Siap, Pak! Maaf, Pak!"

"Saya tadi tanya, kalian berdua kenapa bukannya fokus belajar malah berjualan di sekolah?"

Dipa menoleh menatap Eda. Sejak tadi, Eda hanya diam dan menunduk saja.

"Saya jawab duluan, Pak?" celetuk Dipa. Matanya melebar dengan pandangan polos.

"Ya siapa aja terserah! Yang penting jawab."

"Gimana kalo Eda duluan aja, Pak?" Dipa membuka telapak tangannya dan mengarahkannya kepada Eda, seolah mempersilakan. 

Namun, Eda tetap membisu dengan kepala tertunduk.

"Eda? Kenapa kamu sampai seperti ini?" tanya Pak Budi. "Kamu kan murid teladan sejak kelas satu. Saya betul-betul kecewa sama kamu."

Eda masih diam dan tertunduk.

"Nggak mau jawab?" cecar Pak Budi. "Nggak mau ada pembelaan? Pasrah aja dihukum?"

Kepala Eda perlahan mengangguk. Pak Budi melepas kacamatanya dan memijat batang hidungnya. 

Pak Budi kemudian menuding Dipa. "Kalo kamu kenapa, Dipa?"

"Saya jualan karena butuh uang, Pak," jawab Dipa cepat.

"Hadehhh ... itu juga saya tau! Kenapa pelajar seperti kamu butuh uang segitunya sampai harus jualan?"

Dipa terdiam sejenak. Dia bicara lagi dengan suara pelan. "Jadi ... Bapak tau kan, saya yatim piatu?"

"Iya."

"Ya, karena itu, Pak. Saya sampai sekarang tinggal di panti. Saya satu-satunya yang tertua di sana. Saya cuma mau sedikit bantu-bantu saja."

Tatapan mata Pak Budi melunak. Dia menarik napas dalam-dalam. 

"Dipa, saya mengerti apa yang kamu rasakan. Tapi, kamu harus berpikir sebaliknya. Kalo kamu nggak sungguh-sungguh dan fokus belajar, itu malah memberatkan pengurus dan adik-adik kamu di panti. Kamu sekarang sekolah yang benar, supaya suatu hari bisa membantu mereka."

"Iya, Pak."

"Pelajar itu tugasnya belajar. Hal-hal lain biarlah jadi tanggung jawab orang dewasa."

"Baik, Pak," Dipa mengangguk. Raut wajahnya dipasang sedemikian rupa supaya menunjukkan penyesalan. "Jadi, saya ngga dihukum kan, Pak?"

"Enak aja. Kamu tetap dihukum. Eda juga."

Dipa hanya bisa mengangguk. Ya sudah. Dihukum tidak apa-apa. Biar menjadi pelajaran baginya.

"Hukumannya jangan yang berat-berat ya, Pak?" tawar Dipa.

"Malah nawar! Bukannya menyesal, introspeksi diri!"

"Maaf, Pak."

Pak Budi hanya geleng-geleng kepala. "Dipa dan Eda, saya hukum kalian berdua pulang sekolah membelanjakan kebutuhan ruang guru di pasar dan setelahnya menyikat WC."

"Pulang sekolah, Pak?" Dipa melotot. "Saya denger setelah jam sekolah, gedung ini angker lho, Pak. Katanya suka ada yang jalan-jalan gitu ...."

"Yang jalan-jalan ya manusia! Angker darimana? Saya bekerja di sini sudah tiga puluh tahun, nggak ada tuh ngalamin aneh-aneh. Lagi pula, saya dan beberapa guru ada rapat hari ini sampai sore. Jadi, jangan banyak alasan!"

Dipa menelan ludah dan mengangguk lagi. "Siap, Pak."

"Kamu mau protes juga, Eda? Apa mau beralasan?"

Eda menggeleng. "Nggak, Pak. Saya menyesal. Nanti saya jalani hukumannya."

"Bagus."

"Saya cuma mau minta tolong satu hal ... boleh, Pak?"

"Apa itu?"

"Tolong jangan bilang ibu saya soal ini ya, Pak," pinta Eda dengan memelas.

Pak Budi terlihat menimbang-nimbang sejenak apa yang harus dia ucapkan. 

Dipa melirik Eda. Kepala Eda kembali tertunduk. Wajahnya begitu sendu. Cih, pintar sekali dia berakting supaya dikasihani?!

"Ya sudah. Saya nggak akan bilang ibumu," kata Pak Budi akhirnya. "Tapi janji, jangan bikin onar lagi, jangan diulangi lagi kesalahanmu, dan fokus belajar. Kalian ini kan udah kelas tiga."

"Baik, Pak. Terima kasih," balas Eda.

"Ya sudah. Sekarang kembali ke kelas masing-masing. Daftar belanjaan nanti sepulang sekolah minta dari Bu Aam di ruang guru, ya?"

"Iya, Pak."

Setelahnya, Dipa dan Eda keluar dari ruangan Pak Budi. Dipa memandang Eda sambil menaikkan alis. 

"Jangan bilang ibu saya, Pak." Dipa meledek Eda, meniru ucapannya tadi. "Cih. Boleh juga akting lo."

Eda tak menyahut. Dia hanya terus berjalan tanpa menghiraukan Dipa.

"Takut dimarahin Mami ya? Takut ngga disayang lagi sama Mami ya? Aduh Eda ... anak Mami yang paling Mami sayang, kenapa jadi nakal sih?"

Dipa tertawa. Dia geli sendiri dengan suaranya yang pura-pura menirukan ibu Eda. 

Tiba-tiba Eda menghentikan langkahnya. Dia melempar Dipa dengan pandangan tajam. "Jangan bicara seperti itu tentang nyokap gue," ucap Eda tegas.

Dipa sedikit terkejut tapi dia buru-buru menguasai diri. "Ya maaf, kali. Gue cuma bercanda. Nggak usah serius gitu lah."

"Kalo gue bercanda soal orangtua lo, apa lo masih bisa ketawa juga?" sergah Eda dengan nada dingin.

Dipa terdiam. Kali ini dia tak lagi berani menyahut Eda. Dipa hanya membiarkan Eda melangkah menjauh, mendahuluinya kembali ke kelas. 

Sementara Dipa sendiri masih berdiri tertegun di koridor sekolah yang sepi.

Nggak tau deh, Da, ucap Dipa dalam hati. Gue kan nggak pernah kenal orangtua gue.

(, ")

Hai, readers! Makasih udah baca bab pertama dari cerita Dipa dan Eda. Pasti kamu pernah kan nakal di sekolah terus takut ketauan orangtua? Takut dimarahin kah? Kira-kira, Eda kenapa takut banget ya kalau ibunya dia jualan catatan dan dihukum? Lalu Dipa dan Eda yang dari awal udah salah ngomong dengan satu sama lain... apa masih bisa akur?

Tunggu kelanjutannya hari Kamis ini ya... :)))

Salam,
Feli

P. S. Readers, sebagai pembaca Belia Writing Marathon Batch 2, kamu berkesempatan memenangkan 1 paket gratis berlangganan Buku Bentang Belia selama 1 tahun untuk 1 orang pemenang dan 3 paket gratis seluruh novel hasil BWM Batch 2 untuk 3 orang pemenang. Caranya? Gampang banget! Kamu harus cukup aktif memberikan vote dan komentar untuk cerita BWM Batch 2 di akun Wattpad @beliawritingmarathon. Pemenang akan dipilih berdasarkan undian.  

***********

Trivia! ^o^

Ide soal jualan catatan dan sewain atribut sekolah... sebenernya kayaknya ngga ada di kehidupan nyata :))) dan jangan sampe ada juga yah hehehe... jangan ditiru.

Anyway, inspirasinya datang dari temen saya yang pinter banget, catatannya selalu beredar kemana-mana, sampai-sampai kalo abis ujian suka keliatan bertebaran fotokopian catatannya di mana-mana (pernah di lantai juga ^^"). Tapi temen saya itu baik kok, dia meminjamkan catatannya secara gratis ke semua orang :)))

Soal sewa atribut sekolah... waktu saya sekolah dulu sering banyak murid yang lupa bawa dasi, dan setiap kali mereka lupa, disuruh beli di kantin. Males banget kan? Ngapain koleksi dasi sekolah? Kenapa ngga dibikinin penyewaan aja? Lebih murah dan ramah lingkungan hehe.. :)))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro