Chapter 6
Valeri membuka matanya, padahal ia hanya berniat untuk istirahat sebentar di ruang UKS. Tapi ia tidak menyangka akan berakhir ketiduran di dalam ruangan yang damai itu.
'Sudah berapa lama aku tidur?' pikirnya dalam hati.
Ia lalu mengeluarkan ponsel yang ada di dalam saku roknya untuk mengecek jam berapa sekarang. Dan untunglah baru jam delapan lewat duapuluh lima dan lima menit lagi masuk jam pelajaran ke-3.
Di SMA Bina Nusantara memiliki 8 jam KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) dan setiap satu jam pelajarannya diberi waktu 45 menit. Berbeda dengan jam istirahat yang hanya diberi waktu 15 menit untuk istirahat pertama dan 30 menit untuk istirahat kedua. Dan ya, SMA ini menganut sistem fullday school.
Jadi tidak heran apabila mereka biasanya pulang malam karena kadang sepulang sekolah masih ada kegiatan ekskul atau klub.
Valeri sudah tidak merasakan nyeri lagi di perutnya. Ia berencana kembali lagi ke kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya. Sayangnya ia telah melewatkan mapel biologi yang ia sukai itu karena pelajaran biologi hanya berlangsung selama 2 jam pelajaran atau 90 menit.
Jadi mau tidak mau ia harus mengikuti pelajaran selanjutnya yaitu matematika yang merupakan mapel paling ditakuti oleh angkatan kelas sepuluh mipa karena Pak Tono yang mengajarnya. Ya, Pak Tono adalah guru killer yang disiplin dan pelit nilai. Saat beliau mengajar maka jantung para siswa tak akan berhenti berpacu dengan cepat layaknya ikut lari maraton.
Tapi yang di sukai Valeri dari Pak Tono yaitu cara mengajar beliau yang mudah dan langsung dapat ditangkap serta dipahami olehnya.
"Loh, Valeri sudah baikan? Mau langsung kembali ke kelas?" tanya Dokter Jasmin saat melihat gadis itu tengah mengenakan kembali sepatunya.
"Iya dok, tadi saya ketiduran sehingga melewatkan satu mata pelajaran. Jadi karena saya tidak mau melewatkan pelajaran selanjutnya, lebih baik saya langsung kembali ke kelas."
Dokter Jasmin tersenyum simpul. Ia tidak merasa heran jika gadis anggota PMR itu mendapatkan pararel pertama dari teman-teman seangkatannya. Valeri bahkan jarang meninggalkan pelajaran kecuali jika ia memang terpaksa meninggalkannya karena suatu alasan.
"Saya harap kamu tidak memaksakan diri," sahut wanita berusia 29 tahun itu.
"Saya baik-baik saja, ini juga berkat dokter Jasmin. Terima kasih dok, saya pamit undur diri," ujar Valeri membungkuk hormat.
Dokter Jasmin mengangguk dengan senyum yang masih mengembang di wajah cerahnya, lalu disusul sosok Valeri yang menghilang dari balik pintu.
***
Kelas sepuluh mipa 2 tampak senyap, seluruh siswanya sibuk memperhatikan materi pelajaran yang tengah dijelaskan oleh Pak Tono. Semua siswa tampak serius saat Valeri lewat dan tidak sengaja memperhatikan mereka dari jendela yang menghubungkan koridor dan kelasnya.
Semuanya menunjukkan raut wajah serius entah itu memang bersungguh-sungguh atau malah hanya berpura-pura agar terlihat jenius.
Bergegas, Valeri mengetuk pintu kelasnya dan ia langsung membukanya setelah ada aba-aba dari suara milik Pak Tono yang mempersilahkannya masuk.
Perhatian siswa sontak mengarah ke gadis yang baru saja menampakkan diri setelah pintu terbuka.
"Loh, Valeri. Bukannya kata Bu Sarah kamu sakit?" tanya Pak Tono dengan suara yang tegas.
"Saya sudah baikan pak, saya mohon izin untuk ikut pelajaran bapak ya?" pinta Valeri menggunakan bahasa yang dibuat sesopan mungkin.
Salah sedikit saja tamatlah riwayat Valeri karena Pak Tono menilai siswa bukan hanya dari prestasi yang dicapainya melainkan juga dari tingkah laku dan kesopanan serta penggunaan kalimat yang benar dalam berucap.
Untuk poin terakhir sebenarnya terdengar aneh untuk guru matematika yang kadang jarang memperhatikan detail kalimat yang diucapkan oleh muridnya. Tapi karena Pak Tono telah berkehendak maka lebih baik ikuti saja daripada berdampak buruk bagi nilai raport nantinya.
"Duduklah," balas pria berkumis tebal—yang menjadi ciri khasnya— itu.
"Baik pak, maaf karena tadi telah menyela bapak saat menerangkan." Valeri membungkuk hormat.
Setelah mendapat balasan berupa anggukan dari Pak Tono, Valeri langsung berbalik menuju tempat duduknya. Setelah itu, perhatian sekelas kembali pada sosok Pak Tono yang melanjutkan penjelasannya dengan bahasa yang tegas dan lugas.
"Psst... Kok lo udah balik? Lo beneran udah nggak apa-apa?" bisik Affa pelan sambil sedikit memajukan tubuhnya agar suaranya dapat didengar oleh Valeri.
"Iya, udah diem. Kedengeran Pak Tono entar," balas Valeri juga dengan suara yang sangat pelan.
"Oke." Affa diam namun ia melanjutkan ucapannya lagi seperti tidak mendengarkan kalimat terakhir Valeri. "Kalau gue jadi lo ya Val. Gue bakal berlama-lama tuh di UKS sampai waktu istirahat. Kan—"
Affa menghentikan ucapannya ketika mendengar suara dehem-an berat dari Pak Tono yang kini tengah menatapnya tajam.
Mampus!
"Affalia kerjakan soal ini." Pak Tono menunjuk soal matematika yang telah dicatatnya di atas papan tulis menggunakan sepidol.
"B-baik pak." Affa langsung berdiri dan maju kedepan dengan raut wajah cemas. Sementara itu Valeri menunduk dan menutup mulutnya menggunakan punggung tangan. Punggungnya bergetar, terlihat sekali kalau dia diam-diam menahan tawa.
***
"Bwahahahaa! Tadi lucu banget Fa." Alia tertawa dengan keras sambil memukul mukul meja di dekat tempat duduk Valeri dan Affa.
Untunglah kelas sedang sepi karena para siswa dominan menuju ke kantin, jadi Alia bisa menunjukkan sisi dirinya yang bisa dibilang agak bar bar.
"Bisa diem nggak? Berisik tau," sahut Affa. Gadis itu menunduk lesu karena merasa sudah dipermalukan di pelajaran matematika tadi.
Affa belum bisa mengerjakan soal yang dituliskan Pak Tono di depan. Ia tidak sejenius Valeri, tidak juga sepintar Izza, ia butuh waktu untuk memahami setiap mapel yang diterangkan oleh guru di depan.
Karena hal itu Pak Tono hanya memperingatkan Affa untuk tidak berisik saat jam pelajarannya dan langsung menyuruh Affa kembali duduk.
Affa menghela nafas lega karena hanya mendapat peringatan. Tapi tentu saja rasa malu saat tidak bisa mengerjakan soal di depan masih terasa apalagi ia ketahuan karena berbicara di kelas. Sungguh kalau bisa, Affa benar-benar sudah membuang mukanya jauh-jauh.
"Lagian lo udah tau kalau Pak Tono telinganya sensitif, eh masih sempat bicara," tukas Alia.
"Tadi udah gue ingetin kan? Masih gak bisa diem aja tuh mulut," sahut Valeri yang memutar posisi duduknya menghadap Affa.
"Iya iya gue salah. Udah jangan dibahas lagi." Affa mengusap wajahnya kasar.
Tak lama kemudian Izza datang membawa beberapa roti dari kantin, ia membagi roti yang sebenarnya adalah titipan ketiga sahabatnya itu.
"Loh, susu strawberynya nggak ada Za?" tanya Alia saat tidak melihat minuman yang ia titipkan kepada Izza untuk membelinya.
"Oh itu kehabisan tadi, maaf ya. Ini kembalianmu." Izza memberikan beberapa uang kecil kepada Alia dan langsung duduk di bangku yang berada di samping tempat duduk Valeri.
"Kalau nggak mau kehabisan, beli sendiri lah," sahut Affa setelah mengambil roti miliknya.
"Apaan sih bawel. Makasih ya Za," Ucap Alia yang dibalas anggukan oleh Izza.
Mereka berempat menikmati makanan ringan bersama di kelas yang sepi itu. Karena malas menuju kantin yang pastinya sangat ramai dan waktu istirahat yang terbilang sangat singkat. Sebagai gantinya salah satu dari mereka harus bergantian membelikan makanan ringan saat istirahat. Yah, lagipula tidak ada larangan untuk makan di kelas kecuali saat pelajaran.
Sementara untuk istirahat kedua mereka berempat pasti menuju ke kantin untuk makan siang. Tentunya setelah menunaikan ibadah, karena pada waktu itu kondisi kantin tidak terlalu ramai dan waktu istirahat yang lumayan lebih lama.
"Oh iya Val, kemarin lo inget nggak waktu Pak Pram bilang kalau tuan mudanya bakalan pindah di sekolah ini. Yang dimaksud itu Ryan kan?" tanya Affa yang hanya dibalas endikan bahu oleh Valeri.
Entah kenapa Valeri merasa malas membahas sesuatu yang menyangkut pemuda itu.
"Pak Pram? Siapa?" tanya Izza yang mau tidak mau harus dijelaskan oleh Valeri.
"Ituloh Za, pria yang pernah aku tabrak saat di mall waktu kita selesai beli buku."
Izza diam mengingat-ingat sejenak. "Oh pria itu, eh waktu itu kan kalau nggak salah ada Ryan di sana. Tepat berdiri di samping pria yang kamu tabrak. Emang kamu nggak lihat?"
Valeri menggeleng lalu lanjut melahap rotinya.
"Dasar."
"Ini lagi ngomongin apa sih? Kok cuma gue doang yang nggak paham?" tanya Alia yang dari tadi bingung dengan topik pembicaraan mereka.
"Udah lo diem aja, nggak usah kepo," balas Affa yang berhasil membuat Alia cemberut sambil menggembungkan pipinya.
Tiba-tiba pintu kelas dibuka menampakkan dua orang pemuda yang sepertinya baru selesai membelanjakan uangnya di kantin, hal itu dilihat dari salah satu dari mereka yang tengah menghisap teh kotak.
Panjang umur, baru juga diomongin.
"Loh Za, lo di kelas? Bukannya setiap selasa jadwal lo jaga perpus?" tanya salah satu pemuda itu setelah selesai menghisap tehnya dan membuangnya di tempat sampah.
"Jadwalnya ganti," balas Izza dengan ekspresi datar lalu melanjutkan kegiatannya mengunyah roti.
Pemuda itu—Evan sang pak ketua kelas—hanya ber-oh ria. Lalu berjalan menuju tempat duduk Valeri dan ketiga sahabatnya.
Evan tau jadwal penjaga perpus karena ia memang terbilang sering berkunjung ke perpustakaan. Alasannya hanya satu yaitu Izza, ia hanya akan masuk ke perpus saat gadis itu ada di sana.
Tadi Evan memang ditugaskan Bu Sarah untuk menemani Ryan dan menjelaskan tentang sekolah ini, jadi ia tidak sempat mengunjungi perpustakaan. Dan untungnya Izza memang tidak sedang berjaga hari ini. Valeri, Affa, dan Alia paham betul apa yang dilakukan oleh pak ketua mereka itu. Tapi sayangnya hanya Izza yang tidak sadar.
"Oh kalian belum memperkenalkan diri kan sama Ryan. Kenalan dulu gih!" pinta Evan itu membuat keempat gadis tersebut menatapnya datar.
Sebenarnya teman-teman Valeri bukannya tidak suka kepada Ryan, hanya saja mereka merasa risih dengan siswa baru yang telah mendapatkan banyak perhatian apalagi dari para siswi.
"Okelah, gue kenalin aja deh. Nah Ryan, gadis berhijab ini namanya Izza." Evan memulai perkenalannya.
Izza yang sadar namanya disebut pertama kali membuat ia harus menatap Ryan dan menggangguk dengan wajah yang masih datar.
"Yang di belakang itu namanya Alia."
Berbeda dari Izza, Alia menampilkan senyum manisnya yang juga dibalas senyuman yang tak kalah mempesona dari Ryan.
"Lalu yang berambut pendek itu lo pasti udah tau kan di pelajaran matematika tadi."
Affa mendaratkan tatapan tajam kepada Evan yang membuat pemuda itu merasa merinding seketika.
"Oh Affalia ya, salam kenal," ucap Ryan kemudian. Dan hanya dibalas anggukan kecil dari Affa.
"Iya itu, temen sekelas biasa manggil Affa. Lalu yang terakhir ini Valeri, lo pasti udah denger namanya kan?"
Valeri enggan menatap pemuda yang hendak dikenalkan Evan kepadanya dan masih fokus pada rotinya yang hanya tersisa beberapa suap.
"Iya, Valeri Fredella yang mendapat peringkat satu itu. Salam kenal." Ryan mengangguk dan tersenyum ramah, namun tidak mendapat tanggapan apapun dari Valeri.
Ketiga sahabat Valeri pasti mengira bahwa Ryan mendengar nama lengkap Valeri dari para siswa diluar yang tidak pernah habis membicarakan gadis itu. Sayangnya mereka salah, karena sebenarnya Ryan telah lama mengenal gadis itu jauh sebelum ketiga gadis tersebut mengenal Valeri.
"Val, senyumin atau apa kek Ryannya. Ini malah buang muka," sahut Evan setelah sadar dengan tingkah gadis itu.
"Yah suka-suka Valeri lah. Lah situ malah kayak bapak yang sedang ngenalin anaknya ke temen-temennya." Affa berkomentar dengan pedas, sepertinya ia sedikit kesal dengan Evan yang telah mengingatkannya pada kejadian di pelajaran matematika itu.
Evan merasa geram ingin sekali ia menjitak Affa, namun ia tahan karena tidak mungkin ia melakukan hal itu di depan Izza. Yah, kalian pasti tau sendiri.
"Apa kabar Val? Udah lama ya."
Kalimat tiba-tiba yang terlontar dari mulut Ryan itu sontak membuat ketiga sahabat Valeri dan Evan cengo.
Valeri melirik pemuda itu sekilas. "Apaan sih," balas Valeri judes lalu kembali membuang muka.
"Tunggu, kalian udah saling kenal sebelumnya?" tanya Evan yang sepertinya mewakili pertanyaan yang ingin di lontarkan oleh ketiga gadis yang sekarang fokus menatap Valeri itu.
"Eh apa jangan-jangan ini kayak yang di film film itu. Seperti dipertemukan oleh takdir lalu—" Ucapan Alia terhenti setelah mendapat tatapan garang dari Valeri secara langsung.
"Gue mau ke toilet dulu." Valeri bangkit dari tempat duduknya. Ia berjalan cepat melewati kedua pemuda itu lalu melenggang keluar kelas.
Sementara mereka yang ada di kelas itu menatap sosok Valeri yang menghilang dengan beragam pertanyaan tentang anehnya sikap gadis itu.
Ketiga sahabat Valeri dan Evan ingin sekali menanyakan sesuatu yang ada di pikiran mereka kepada Ryan. Tapi sepertinya pemuda itupun enggan untuk menjawab. Ia masih tetap memandang ke arah pintu keluar dengan tatapan yang sulit diartikan entah itu cemas, sedih, atau malah merasa bersalah.
***TBC***
A/N
2 Mei 2021
Halo lagi~
Bagaimana kabar kalian? Semoga baik-baik aja ya :)
Jujur, entah kenapa aku merasa excited banget nulis chapter ini. Ada yang tau alasannya?
Sudah dulu ya, aku tidak pandai basa-basi :v
Sampai jumpa di chapter selanjutnya dan jangan lupa tinggalkan jejak.
Yuk komen dan kasih bintang⭐
Salam hangat
Adellia
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro