Peran seorang Kawan
Hari berlalu, bulan berlalu , tahun berlalu,
Lambangkan segala resah yang ada
pada orang yang sama.
Temani aku rasakan cinta, hatiku resah.
temani aku rasakan rindu,
Hatiku gelisah ... dimana !
Atau hanya angan yang kan menyiksa
meski perlahan tapi pasti.
Oh, ku jatuh cinta padamu.
Temani aku rasakan cinta...
andai kau tahu ku memendam rasa...
Kadang sulit dimengerti.
(Temani Aku – Mario Stevano)
Kalau ada bahasa lain yang bisa menggambarkan ketidakpercayaan seseorang akan sesuatu yang tidak terpikirkan sebelumnya, rasanya aku akan menggunakan itu untuk mendeskripsikan suasana kamarku sekarang. Kamar dengan ukuran 3x4 meter persegi yang diberanggotakan 8 santri dengan lemari terpisah ini menjadi lebih ramai karena beberapa teman dan hisfa yang mampir hampir setiap hari ini berhenti setidaknya untuk menayakan judul cerbung baru atau info lainnya.
Dalam hitungan bulan setelah dibingungkan dengan bagaimana caranya bisa keluar dari pesantren dan mencari tahu tentang si Rio – Rio yang ada di cerbung. Aku dikejutkan dengan antusiasme teman – teman untuk membaca kliping – kliping kecil yang aku buat dan tertempel di lemari pojok kanan, tempat biasa aku tidur.
Tidak banyak yang aku tempel disana, hanya beberapa foto, Identitas dan fakta - fakta unik Rio Idola cilik 3 yang sengaja kusalin dari internet. Itupun aku mendapatkannya dengan bantuan teman yang bukan anak pesantren. Dia bahkan sampai mau mendownloadkan lagu sigle pertama Rio yang ternyata berusia 14 tahun, masih SMP dong...
Tapi bagaimanapun juga aku senang, catatan yang kutulis atas dasar suka berhasil menyita perhatian teman – temanku meski hanya beberapa menit. Rasanya menyenangkan, agak bangga juga karena beberapa dari mereka tampak tertarik, entah pada orangnya saja, atau karakternya dicerita atau mungkin karena suaranya yang halus. Ah, entahlah yang jelas sejak mengenalnya di dunia maya aku merasa lebih hidup, hari – hari selanjutnya di pesantren serasa lebih indah hingga membuatku ingin mengenalnya lebih dekat, tapi bingung caranya bagaimana.
"Huaaa... Ya ampun, so sweet banget, Ini si Rio bisa nggak sih nggak usah nggemesin gitu..." seruku heboh yang sukses mendapatkan sikutan keras dari Vonny yang duduk tidak jauh dari tempatku sekarang. Kita sedang berada di pos kecil yang tersedia di lingkungan kamar mandi putri, selain sebagai ruang tunggu anak – anak yang antri mandi pos ini juga digunakan untuk memilah cucian yang sudah setengah kering karena tempat jemuran yang terbatas dan harus gentian, jadi bukan hal baru lagi disini kalau pas kita mendongakkan kepala ada saja kumpulan pakaian kering teman - teman yang sukses mencederai mata indah kita karena tidak segera diambil dari tempatnya.
Jam masuk sekolah masih lama, antrian juga masih panjang. So, masih cukuplah waktu untuk menyelesaikan bacaan baru, yey! Cerbung yang sedang aku baca judulnya Another Way to Love, persis seperti judulnya, cerbung ini menceritakan jalan lain untuk mencapai apa yang kita inginkan, baik itu cita – cita ataupun cinta. Para pemerannya juga masih anak – anak Idola Cilik tapi kali ini yang jadi peran utama adalah Alvin.
"Beb, ini nih ada si china malang nih si scene ini, mana marahan lagi sama ayahnya" aku kembali bercerita kepada Vonny disela membaca.
"Lah, serius? Liat – liat!" Vonny tampak antusias, buktinya Ia meraih ponselku lalu membaca kata – kata yang ada dibalik layar sambil sesekali menekan tombol down untuk menggulir halaman ceritanya, sebab ponselku belum ada teknologi touchscreennya. "Ini cerbung baru lagi, ya? Perasaan kemarin ceritanya nggak gini deh" lanjutnya berkomentar.
"Yes, dan lagi-lagi diriku ditakdirin ketemu orang ganteng dooong, mana keren banget lagi, masak yaa beb dia itu blaa— bla— blaa—" aku malahb bercerita panjang lebar tentang konsep cerita baru yang sedang kubaca beserta konfliknya dan parahnya si Vonny malah ngangguk – ngangguk aja. Seperti biasa, bersama dia aku seperti punya kemampuan dan kebebasan untuk mengomentari cerita ini itu sesuka hati tanpa harus repot memikirkan dia suka atau tidak, ya tuhan... untuk kesekian kalinya aku berharap dia tidak bosan.
"Hoalah, mbak... mbak, dia ganteng juga cuma dalam pikiranmu toh? Mulai halu deh gara – gara keseringan ngeliatin foto dedek gemes" komentarnya setelah aku beres bercerita. Apa tadi katanya? Dedek gemes? Ah, aku rasa Vonny lupa kalau dia dan Rio – Rio itu seumuran. Sama – sama lahir di tahun 1997
Aku merengut ditempat, "Yaudahlah ya, Aku ngayalnya juga nggak minjem pikiran kamu dulu kan ya"
"Auk ah, percuma juga ngobrol sama orang kasmaran yang ada bikin emosi!" Vonny melengos sementara aku tertawa keras – keras melihat wajah sebalnya yang lucu. Selalu seperti ini setiap kali kita berdebat dan aku yang menang. Bagaimanapun keadaannya Vonny tidak akan pernah merasa kalah dan memilih menyudahinya sepihak.
Kita laksana dua kutub magnet yang tidak bisa saling menaut satu sama lain, kita memiliki banyak perbedaan yang sangat mencolok. Bukankah aku sudah pernah menyinggungnya sebelum ini? kita adalah dua tubuh yang berbanding terbalik satu sama lain. Aku identik dengan heboh namun pembawaannya kalem alias biasa aja sementara Vonny lebih ke tomboy dan blak-blakan kalau bicara sama orang, siapapun itu.
Eits, tapi jangan salah. Justru persahabatan banyak mengambil peran disini yang mana dalam perjalanannya kebersamaan yang tercipta seolah mampu mengikis perbedaan, hingga menyatukan dua kutub magnet yang berbeda itu untuk saling berdampingan meski tak saling bertaut.
Tbc...
---
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro