2 | I'm Not The Killer
Freya berteriak kesal kepada laki-laki pucat itu. Dia bukan pembunuh, justru dia berusaha menghentikan pembunuh tersebut. Dan pria menyebalkan itu mengejarnya sampai ke hutan hanya karena mengira bahwa dia adalah seorang pembunuh? Menyebalkan sekali!
Bahkan menolak tawaran dua keping emas. Dua keping, itu adalah jumlah yang lumayan. Pakaian pria itu terlihat seperti dia tidak memiliki pakaian lain untuk di pakai. Tapi dengan sombongnya tawaran Freya justru di tolak.
Pria itu berbalik dengan alis yang mengerut, menatapnya dengan bingung. “Apa maksudmu kau bukan pembunuh?” tanyanya sebelum berbalik sepenuhnya pada Freya. “Jika kau ingin jujur, maka aku akan membantumu.”
“Bagaimana aku tahu ini bukan jebakan?”
Pria itu sepertinya tidak mempedulikan ketidakpercayaan nya. “Asal kau berjanji untuk tidak kabur, aku tidak keberatan membantu. Atau kau bisa menolak dan aku akan dengan senang hati meninggalkanmu di sini.”
“Tidak! Jangan lakukan itu!” seru Freya dengan panik. Pria itu menyeringai, sangat menyebalkan. “Baiklah. Aku terima tawaranmu, tapi kau harus membantuku untuk keluar dari pasir hisap terkutuk ini.”
Pria itu mengulurkan tangannya, untuk sesaat Freya terdiam. Benarkah pria itu tulus dalam membantunya? Atau ini hanya jebakan lain? Tapi dia tidak ingin terjebak dalam pasir hisap itu lebih lama lagi, jadi dia menerima uluran tangan itu. Pria itu menariknya dari sana sampai dia berhasil keluar. Sekarang tubuh Freya benar-benar kotor.
Pria tadi juga menatapnya dengan rasa ingin tahu. Freya meliriknya dengan jengkel. “Apa?” Tanyanya ketus.
“Kau akan menjawab pertanyaan ku tadi, ‘kan?” Ah, ternyata itu. Freya mengangguk padanya, bagaimanapun, dia sudah berhutang budi kepada pria itu.
“Aku bukan pembunuh. Aku mencoba mencari pembunuh itu,” jelasnya. Pria itu diam dan Freya melanjutkan. “Aku datang dari Einheit, seorang witch, seluruh keluargaku dibantai oleh orang brengsek itu. Jadi aku bertekad untuk mencarinya.” Suara berisik dari semak-semak menyela pembicaraan mereka. Pria itu memberikan tanda untuk tetap diam dengan mengangkat jari telunjuk tangan kanannya ke bibir.
Freya diam. Mungkin itu adalah para penjaga yang siap untuk menangkapnya. Pria itu mendekatinya dan berbisik di telinganya.
“Aku tahu tempat untuk bersembunyi, dan peri-peri pohon bisa menahan mereka jika itu adalah para penjaga.” Freya hanya mengangguk. “Ikuti aku,” kata pria itu sambil berjalan dengan pelan, dan dia hanya bisa mengikuti.
Mereka berjalan dengan pelan, hingga beberapa menit kemudian mereka sampai di sebuah gubuk yang tampaknya sudah sangat tua, kotor, dan rapuh. Pria itu melangkah lebih dulu, menjulurkan kepalanya ke dalam untuk memastikan bahwa gubuk itu benar-benar kosong. Ketika pria itu selesai memeriksa, dia memberi isyarat kepada Freya untuk masuk bersamanya.
Freya pun masuk, lantai kayu itu berderit saat diinjaknya. Di dalam gubuk kecil itu hanya memiliki satu ruangan untuk meja makan dan cerobong asap, satu pintu yang Freya yakini adalah kamar tidur. Pria itu berjalan ke arah jendela dan menutupnya.
“Siapa kau sebenarnya?” tanya Freya, menjaga agar nada suaranya tidak meninggi.
“Namaku Luke, aku adalah seorang pengembara dan sedang dalam perjalanan ke Rivalian,” sahut pria tadi — Luke — berjalan dari jendela menuju Freya. “Dan kau?”
“Namaku Freya,” jawabnya. Luke mengangguk, menatap ke cerobong asap.
“Kau bilang kau seorang witch, kan? Bisakah kau menyalakan api? Ini malam yang dingin.” Freya mengerti kenapa Luke menutup jendela. Dia menggunakan mantra pada tubuhnya agar menjaga suhu tubuhnya tetap hangat, sehingga tidak merasakan hawa dingin yang jelas menusuk di kulit makhluk lainnya. Jadi dia melakukan apa yang di minta.
“Dari ras apa kau?” Dia bertanya pada Luke. Pria itu hanya diam. Freya menoleh ke arahnya, menaikan salah satu alisnya.
Luke menghela napas. “Aku seorang Druid.” Tapi auranya tidak sekuat seorang druid pada umumnya. Freya merasa mungkin Luke bisa saja berbohong tentang siapa dia. Tapi gadis itu tidak peduli. Untuk apa? Dia tidak berencana berlama-lama dengan pria menyebalkan itu.
“Well, bukankah perjalanan ke Rivalian cukup jauh?” tanya Freya sekali lagi.
Luke mengangkat bahu. “Tidak, aku tahu jalan pintas,” katanya sambil menutup pintu. “Kau tahu, muncul ditengah-tengah festival dan membuat keributan bukanlah hal yang bagus. Sekarang, kita jadi buronan.”
“Siapa yang menyuruhmu mengejarku?”
“Tidak ada. Ketika aku mendengar tentang pembunuh, itu hanya membuatku tertarik. Dan ku pikir kaulah pembunuh itu, tapi ternyata bukan,” ujar Luke sambil duduk di salah satu dari tiga kursi kayu yang mengelilinginya meja.
“Terserah,” gumam Freya. Pandangan gadis itu tertuju pada satu-satunya kamar yang ada di gubuk tersebut. “Nah, sesuaikan dirimu, aku ingin mendapatkan istirahat yang layak.” Dia berkata kepada Luke sambil berjalan menuju kamar itu tanpa menunggu respon Druid itu.
Kamar tersebut cukup sederhana. Sebuah jendela, satu tempat tidur, dan sebuah lemari kecil. Freya duduk di tepi tempat tidur, dia ingin istirahat, tapi mimpi buruk itu pasti akan menghantuinya lagi. Bagaimana tidak? Dia melihat dengan matanya sendiri, keluarganya dibantai dengan kejam.
Jika bukan karena para prajurit yang datang, dia mungkin sudah terbunuh bersama dengan keluarganya. Itu lebih baik, dia tidak ingin menderita sendirian di dunia yang menyedihkan seperti ini. Kenangan itu terus memutar dan berulang di benaknya, seperti tidak ada sedikitpun ketenangan. Itu sangat mengganggu. Jari-jarinya memutih saat dia menggenggam dengan erat selimut tipis yang sudah usang.
Jendela terbuka, angin masuk dengan kencang. Freya menutup matanya, sihirnya mulai tak terkendali. Dia harus tenang untuk mengendalikan sihirnya. Tapi karena kenangan sialan itu, jadi semakin sulit untuk mengendalikan sihir ataupun emosinya.
Entah berapa lama sampai akhirnya pintu terbuka dan seseorang masuk. Luke, itu pasti dia. Hanya mereka berdua yang ada di sini. Druid itu tidak akan menyakitinya. Dia yakin pria itu meneriakkan sesuatu, hanya saja tidak terdengar. Kedua tangan Freya memegangi kepalanya, rasa nyeri di sana berubah menjadi rasa sakit.
“Freya!” Luke berteriak, kedua tangan pucat itu berusaha menggapai bahu gadis itu, tapi sihir membuat sang Druid terpental ke dinding.
Tidak, tidak, kau menyakiti orang, Freya berhenti. Dia mengulangi kalimat itu terus menerus dalam kepalanya. Berhenti, berhenti, berhenti. Luke terluka. Ada yang terluka. Sihirnya jahat, dia melukai orang—
“Freya!” Sebuah guncangan kuat mengguncang tubuh Freya berkali-kali. “Kau menarik perhatian para monster, kita harus pergi dari sini.”
Freya tersadar, napasnya terengah-engah. Dia menatap Luke. “Monster?” Luke mengangguk. Gadis itu berdiri dan menoleh ke jendela, benar apa kata pria itu. Dari kejauhan, monster-monster mulai mendekati mereka.
“Kita harus pergi dari sini,” kata Luke.
Mereka berdua keluar dari gubuk tua itu dengan cepat, tapi keberuntungan tidak berada di sisi mereka. Gubuk itu sudah di kepung oleh monster. Luke mengeluarkan pedangnya, tampak siap menghadapi monster-monster menyeramkan tersebut. Freya tentu saja tidak akan diam dan menonton, tapi anak panahnya sudah habis. Dia bisa menyerang dengan sihir, jika dia tahu cara mengendalikan itu dengan benar.
“Tetap di belakangku,” teriak Luke sambil menebas salah satu monster itu. Mereka telah di kepung oleh dua minotaur, satu chimera, dan beberapa monster lainnya. Luke beberapa kali jatuh oleh minotaur, Freya yakin pria itu bisa mendapatkan cedera parah atau bahkan terbunuh.
“Awas!” seru Luke padanya. Dia mendorong Freya hingga mereka berdua jatuh ke lumpur. Minotaur itu buta, tidak bisa melihat mereka. Tapi yang satu ini ganas, menyeruduk mereka dengan tanduknya. Jika Luke tidak sigap, Freya mungkin sudah mati.
Pria itu bangkit dengan cepat, melepaskan jubahnya. Freya bisa melihat rambut perak yang berkilau, serta liontin pedang di sana, lambang kerajaan Druid. Tapi hanya bangsawan yang memiliki itu, siapa pria ini sebenarnya?
“Kau seorang bangsawan?” tanya Freya. Luke melirik sedikit, sebelum mengangguk. Dia menyerang lagi dan lagi. “Kau membohongiku!”
“Diam, Nona, aku sedang sibuk!” teriak Luke padanya dengan kesal. “Akan kujelaskan semuanya nanti! Sekarang, tolong buat dirimu aman. Ikuti peri pohon itu, aku akan menyusul nanti.”
Freya berdiri, melihat sekeliling untuk mencari tanda-tanda peri pohon. Dia melihat satu yang melambai padanya, tanpa pikir panjang, Freya berlari mengikuti peri itu. Dia berlari sejauh mungkin, dan berhasil keluar dari hutan tersebut. Tidak mungkin dia kembali ke Troich, para peri itu berbelok ke kiri, jalur kanan adalah Troich, ke mana jalur kiri akan membawanya? Tapi dia tetap mengikuti peri pohon itu seperti yang diinstruksikan oleh Luke.
Pada akhirnya itu membawanya ke sebuah jembatan kayu yang terlihat rapuh. Freya memutuskan untuk berhenti dan menunggu Luke. Cukup lama sampai si Druid kembali, dengan wajah yang kotor dan kelelahan. Freya mendekatinya, dan segera Luke jatuh ke tubuhnya. Napas pria itu terengah-engah, dan dia sangat berkeringat.
“Kita sudah aman,” kata Luke, masih dengan napas yang tidak teratur. Freya menopang tubuh pria itu dan dia mengerang kesakitan.
“Kau terluka.” Freya memperhatikan ekspresi kesakitan itu.
“Cukup parah,” ungkap Luke. Dia menunjuk jembatan kayu. “Itu akan membawa kita ke Rivalian, mungkin dua jam dengan kuda, tiga jam bila berjalan kaki.”
“Kau tidak akan bertahan—“
“Aku seorang Druid, aku bisa mengobati diriku sendiri. Regenerasiku lebih cepat dari kebanyakan Druid lainnya, jadi tiga jam perjalanan tidak akan membuatku mati di tengah jalan.” Luke mendesak. “Kita harus pergi, Freya, atau para penjaga akan menangkap kita.”
Mau tak mau Freya pun menuruti desakan Luke. Saat mendekati jembatan, Freya agak ragu. Jembatan itu terlihat sangat rapuh, bagaimana mungkin bisa untuk menampung dua orang?
“Tenang saja, jembatan ini tidak serapuh yang kau pikirkan,” bisik Luke. “Jalan saja jika kau tidak ingin kita mati konyol di sini.”
“Mati di tengah jembatan lebih konyol dari pada membusuk di sel penjara!” Freya meninggikan suaranya, membuat Luke meringis.
Sang Druid menutup matanya. “Kau bisa berenang, ‘kan?” Freya mengangguk. “Kalau begitu ayo, kita sama-sama bisa berenang. Sungai itu tidak sedalam yang kau pikirkan.”
Luke membuka matanya lagi. “Ayo, Freya!” Pria itu mendesak lagi.
“Baiklah!” kata Freya. Dia mulai melangkah dengan hati-hati jembatan itu sedikit bergoyang dan itu membuatnya takut jika tiba-tiba jembatan itu roboh. Mereka berjalan dengan sangat pelan, jelas itu karena Freya yang takut dan Luke yang tidak memiliki keinginan untuk menambah kecepatan. Mungkin salah satu kakinya sakit.
Sebuah anak panah mengenai bahu kanan Luke, membuat pria itu menjerit kesakitan. “Ah! Kenapa selalu bahuku?!”
“Kau baik-baik saja?” Freya bertanya, khawatir.
Luke mengangguk pelan. “Aku baik-baik saja, lanjutkan.” Di belakang mereka para prajurit Dwarf mulai berkumpul. “Lari, Freya! Kita harus berhasil sampai di Rivalian hidup-hidup!”
Dan Freya pun berlari untuk hidup mereka. Sial, adalah kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan kondisi keduanya saat ini. Ketika mereka sampai diujung jembatan, Luke menarik diri dari Freya, menarik pedangnya dan memutuskan tali yang mengikat sisi jembatan. Membuat para Dwarf yang sudah berada di setengah jembatan kayu jelek itu jatuh ke sungai bersama dengan jembatan itu sendiri.
Luke menyimpan pedangnya dan kembali bersandar pada Freya. Gadis itu hanya merangkulnya, berhati-hati dengan luka yang ada di bahu pria berambut perak itu. Sepertinya mereka harus berlari sepanjang malam sampai matahari terbit untuk mencapai Rivalian. Jika mereka berhasil.
-
Minotaur : Dalam mitologi Yunani, Minotauros atau Minotaur adalah monster berbentuk manusia berkepala banteng. Wujudnya ini akibat dari kutukan Poseidon pada Minos, Raja Kreta. Banteng yang seharusnya dia korbankan kepada Dewa Poseidon, malah ia sembunyikan sehingga Dewa murka.
Chimera : Chimera atau terkadang disebut Khimaira, adalah makhluk mitologi yang memiliki kepala singa, tubuh kambing, dan ekor naga. Dalam mitologi Yunani, Chimera dikisahkan suka meneror orang-orang Lycia (sekarang masuk wilayah Turki). Chimera akhirnya dikalahkan oleh sosok bernama Bellerophon.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro