Rise [END]
Tulisan ini ditujukan kepada setiap orang yang berjuang.
Ketika terpuruk, bukan berarti semuanya berakhir.
Semangat untuk kamu, diriku, dan semua orang!
***
Hidup memang tidak adil. Oleh karena itu, kita memerlukan perjuangan. Berusaha lebih keras lebih dari siapa pun. Demi sebuah pengakuan dalam sebuah status sosial.
Kutemui seorang gadis bernama [Name]-chan saat kelas 2 SMA. Kami bisa duduk bersama karena pemilihan acak angka yang sudah dijabarkan pada papan tulis. Aha, nomor sebelas. Nomor favorit; bulan kelahiranku. Di sebelah kursiku tertera angka delapan – kursi impian yang terletak sangat ujung dekat jendela.
Bukan ingin menyombong, tetapi aku bukan tipikal anak pendiam, maka sejujurnya aku bebas duduk di mana saja. Aku bisa berteman dengan siapa saja dengan cepat dan mudah.
Pikirku, sesederhana itu.
"Doumo! Panggil aku Momo!" sapaku ketika melihat gerik gadis itu terlihat kaku menuju arah kursiku.
Rambutnya hitam sepunggung menutupi pipi, poni tebal menutupi seluruh dahi, dan pakaian serba tertutup. Panjang roknya bahkan tujuh sentimeter di bawah lutut beserta kaus kaki panjang. Tidak seperti teman-teman perempuan yang identik dengan potongan rok mini.
Terdengar bunyi tarikan nyaring saat ia menempatkan bokongnya di atas kursi. Jangankan menyapa balik, ternyata gadis itu tidak menanggapiku sama sekali. Aku seolah dianggap tidak ada.
"Momo-san, abaikan saja dia. Dia memang begitu sejak tahun lalu, pasif sekali. Tidak ada yang mau mengajaknya bicara kecuali tugas kelompok," tutur teman yang duduk di depanku yang sudah mengenal gadis itu sejak tahun lalu.
Aku tersenyum simpul saja. Aku tidak akan menyerah karena sebuah himbauan menjauhi seseorang. Selama dia manusia, dia tetap punya hati. Pasti dia memiliki alasan yang tidak menyenangkan. Seseorang mengetahui titik kehidupan suram karena pernah mengalami momen indah. Oleh karena itu, mungkin, mungkin saja aku bisa menjadi orang yang membangkitkannya.
Walaupun terlihat memiliki hidup yang santai, tetapi tekadku bisa lebih kuat dari siapa pun.
***
Setiap menjalani ekstrakulikuler sepak bola, jadwalku di sekolah cukup padat. Berlatih sampai sore sudah menjadi kewajiban sebagai pemain tetap. Biasanya, aku akan segera ke kamar ganti dan pulang. Akan tetapi, sejak melihat [Name] ternyata aktif berkebun, aku rela saja memutar satu kali lapangan untuk menemuinya.
[Name] mengelap peluh keringat yang membasahi pelipisnya dengan punggung tangan. Tanaman yang disiram berkilau oleh pantulan matahari. Ia identik menanam mawar beraneka warna.
"Cantik," kataku spontan sudah berjongkok di sebelahnya, lalu menyentuh sedikit kelopak merah yang menawan itu.
"H-hei, bunganya–" tutur [Name] terlihat khawatir.
Alisku berkerut. Apakah mawar semudah itu layu jika disentuh?
"Maaf, aku tidak bermaksud merusaknya."
Gadis itu menggeleng, lalu menyentuh jemariku yang tadi menyentuh mawar.
"Bukan begitu ... apa jarimu baik-baik saja? Semoga durinya tidak menancap."
Sempat tertegun sejenak, aku terkekeh karena kami salah paham. Menggemaskan sekali. Aku tahu dia tidak seburuk kata-kata orang yang menyuruhku menjauhinya. Jika jariku berdarah pun, itu sama sekali bukan salahnya. Melainkan kecerobohanku sendiri.
"Baik, bukan, kondisiku luar biasa. Jariku aman."
[Name] menghela napas, lalu tersenyum. "Syukurlah."
Katakan saja aku berlebihan, tetapi itu pertama kali aku melihat [Name] tersenyum. Kedua sudut bibir yang tertarik tulus. Sorot manik yang berseri. Mungkin pencahayaan matahari yang menyebabkan semua itu terjadi. Angin juga simpang siur bertiup pelan. Aku jadi bisa melihat keseluruhan wajah yang sering ditutupinya dengan rambut atau masker.
Tanpa aku membahas gamblang, dia mengalami ketidakyakinan pada wajahnya.
Sepertinya gadis itu sadar karena segera merapikan posisi rambut ke semula. Aku pun beranjak setelah berjongkok memandangi mawar itu. Tanganku terulur.
"Jadilah temanku."
[Name] menunduk, merapatkan rambut untuk menutupi wajahnya. "Berteman dengan orang sepertiku?"
"Seperti dia, sepertiku, seperti yang lain? Tidak ada yang perlu ada perbandingan. Aku mau kita berteman karena kau adalah [Name]. Itu saja."
"Tapi ...."
"Aku tahu kau memiliki kebaikan yang sayang jika tidak diketahui siapa pun. Mungkin bukan untuk dipamerkan, tapi bagaimana aku menjelaskannya, ya ... intinya, aku mau kita lebih dekat," ucapku mulai melantur karena menyadari iris [Name] terus memandangku.
Jemari mungil gadis itu menjabat tanganku. "Ka-kalau Sunohara-san berkenan."
Senja itu terasa lebih menyejukkan, sekaligus hangat. Teringat tadi sepulang sekolah terus berkeringat karena menjalani aktivitas klub. Kejadian yang mengubah interaksi kami yang terus bersama karena duduk bersebelahan.
***
"Apa aku bisa berubah, ya?"
Tiba-tiba saja, gadis itu bertanya demikian. Kelas matematika kami hari itu disuruh belajar mandiri. Hanya ada guru pengganti, jadi kelas tidak (bisa) ribut.
"Dalam artian apa?" tanyaku balik sambil menyelesaikan materi limit yang sudah diajarkan sampai matriks.
"Wajahku. Banyak jerawat dan komedoan. Andai saja wajahku bisa selicin wajahmu. Kejam sekali laki-laki punya kulit semulus itu."
Rutinitas merawat kulit hanyalah memakai sabun cuci muka, pelembab, dan sunscreen– pemakaian sederhana yang selalu kulakukan. Itu pun karena anjuran Yuki, kakak kelasku yang dibesarkan oleh dokter spesialis kulit, jadi ia memang cerewet. Aku akan dimarahi olehnya jika selalu kedapatan absen memakai sunscreen.
"Kalau tidak mencoba, kau tidak akan pernah tahu. Menurutku, kau sudah cantik, kok."
Saat itu aku berucap kalimat yang ternyata mengubah ekspresi gadis itu sejadi-jadinya.
"Hei, jangan meledekku! Mana mungkin wajah penuh noda seperti ini cantik?"
Alisku berkerut. Sungguh, padahal aku tidak ada maksud meledek atau menjatuhkannya. Sejak melihat [Name] tersenyum berseri di taman, aku tidak bisa melupakan ekspresi unik itu.
"Penampilan memang tidak bisa diremehkan, tapi cantik tidak hanya dari satu sudut pandang, bukan?" ungkapku disertai cengiran setelah menemukan jawaban soal matriks.
Kali itu, aku melihat senyum gadis itu untuk kedua kali. Sekali lagi, aku cukup yakin bisa mengonfirmasi gejolak perasaan yang sama saat kejadian di taman. Menjadi bagian dari hidup gadis itu. Mengubah persepsi banyak orang. Amat salah jika mereka meremehkannya.
***
Latihan klub sepak bola kian padat sejak tim kami memenangkan pertandingan prefektur. Jadwal pertandingan yang ketat menyebabkanku tidak beraktivitas konstan dalam kelas, sehingga tujuan mengharumkan nama sekolah menjadi prioritas. Perasaan senang meraih kejuaraan dan medali memang tak terelakkan. Namun pada satu sisi, hatiku merasakan kehampaan.
Walaupun aku dan [Name] tidak lagi canggung dalam berinteraksi, tetapi kami sudah semakin jarang bertemu. Apa gadis itu baik-baik saja di kelas tanpaku? Apa dia merasa kesepian karena aku sering absen? Semoga saja bangkuku tidak berdebu.
Dan jika ditanya tentang gadis itu, saat ini aku sangat merindukannya.
Klub sepak bola meliburkan aktivitas dua hari sebelum pertandingan nasional. Aku bisa saja dianggap izin tanpa menghadiri sekolah jika ingin. Namun, aku tidak sabar ingin segera berjumpa dengannya.
Aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi.
***
Benar saja, semua penghuni kelasku terheran-heran. Ada yang malah menyuruhku pulang karena sebuah kesempatan langka pihak sekolah memberiku izin beristirahat. Musim salju memang terasa membekukan, bahkan lebih nyaman jika meringkuk dengan selimut. Pada bulan Februari, musim pemberian cokelat pun identik menjadi topik yang selalu dibahas.
Teruntuk hari itu, aku memutuskan pembahasan ini sepulang sekolah. Kami pergi bersama menuju stasiun yang sama, meskipun arah rumah kami berlawanan.
"Aku menunggu cokelatmu, lho," kataku mengusap tengkuk yang tidak gatal.
Gadis itu mengerjap bingung. "Cokelatku?"
Ah, aku malu, tetapi enggan memendam keinginanku.
"Ya, soalnya kita cukup dekat, bukan?"
Dibandingkan pemberian atas rasa balas budi – cokelat giri, tentu saja aku senang jika diberikan cokelat honmei – perasaan lebih terhadap lawan jenis Apa karena kami sudah jarang bertemu lantas suasananya jadi tidak nyaman, ya? Walaupun begitu, kadang-kadang kami masih saling berkirim pesan. Baik-baik saja, seharusnya.
"Ada banyak gadis yang akan memberimu cokelat, Momo-san."
"Tapi aku hanya menunggu cokelatmu," ungkapku persetan dengan perasaan malu yang menjadi-jadi.
"Kenapa hanya cokelatku yang Momo-san tunggu?"
"Karena aku menyukaimu."
Ucapan yang spontan terucap dari bibirku. Alih-alih gadis itu merespons dengan senyuman, lantas raut muram terpancar pada air mukanya. Apa ucapanku salah?
"Momo-san bisa menemukan orang yang lebih baik."
"Orang yang lebih baik itu seperti apa?" tanyaku menatap gadis itu lekat-lekat. Sungguh, aku tak menyangka pedihnya ditolak ternyata menyakitkan.
"Gadis yang berparas cantik. Wajah mulus, bersih, dan putih."
Mendengar perbandingan fisik yang seakan tiada cela itu mengesalkanku. Padahal ia tidak sadar tanpa deskripsi seperti itu pun, ia tetap bisa dicintai. Tidak semua sisi baik tercipta berdasarkan stereotip yang berlebihan.
"Terlepas dari itu, apa kau senang saat bersamaku?"
"Tentu saja. Teman-teman memperlakukanku dengan baik saat kau berteman denganku. Aku juga mengenal Yuki-san yang bersedia menolong walaupun kondisi wajahku begitu buruk. Sebenarnya ... aku merasa telah memanfaatkan kebaikanmu. Aku tidak pantas menerima semua ini."
Gadis itu dihantui oleh keraguan. Aku pun tak bisa menyalahkan sudut pandangnya. Namun, aku ingin ia tahu. Semua itu pantas diraihnya. Semua itu bukan hanya karenaku, melainkan ada pun usahanya selama aku tidak berada di sisinya.
"Percayalah pada dirimu. Aku akan menunggu. Maaf jika aku memaksamu, tetapi pikirkan lagi jawaban perasaanmu esok."
Kereta api yang terus melaju pun kian melambat pada titik stasiun yang telah ditunggu-tunggu. Aku masih tetap harus menunggu satu kereta lagi. Kami harus berpisah sekarang. Gadis itu berjalan meninggalkanku. Tanpa menanggapi apa pun. Aku pun tak bisa mendesak dan tetap bergeming di tempat. Kerumunan penumpang pun berlalu-lalang; masuk dan keluar. Hingga aku tak bisa melihat eksistensinya lagi, aku pun berbalik sebentar untuk membeli minuman kaleng.
Setelah membeli sekaleng kola, netraku terarah pada sebuah tangga stasiun. Ada seorang wanita paruh baya sedang menggendong bayi dan menggandeng balita. Pada usia aktif-aktifnya, sang balita pun terlihat aktif dan senang melompat-lompat. Wanita tersebut terlihat kewalahan sembari menghibur bayi yang menangis. Balita itu pun menuruni tangga tanpa gandengan. Gerakan tubuh refleks menolong balita itu agar tidak terluka karena terpeleset.
"Awas!"
Dalam pikiranku saat itu, aku hanya berharap balita itu baik-baik saja. Walaupun tanpa pertimbangan, kecerobohanku merenggut begitu banyak hal. Sekeras apa pun aku mencoba, semua takkan kembali.
Termasuk impian yang sudah kugarap nyaris seumur hidupku.
***
Tim sepak bola tetap melanjutkan pertandingan. Tanpa aku, tentu saja.
Aku dirawat di rumah sakit karena kejadian itu. Kaki kananku membutuhkan perawatan selama beberapa bulan. Kukira aku mengalami terkilir ringan, tetapi membentur sejumlah anak tangga ternyata berdampak cukup serius. Hari kasih sayang kutunggu pun terlewat bagai angin lalu. Semenjak dirawat di rumah sakit pun, ponselku tidak aktif sama sekali.
"Makanlah! Penyembuhanmu bisa semakin lama sembuh kalau hanya modal cairan infus," gerutu Yuki menancapkan buah apel dengan garpu, lalu memberiku.
"Cepat atau lama pun, aku tidak akan pernah bisa mengikuti pertandingan lagi."
Ah, aku kesal sekali. Tidak bisa berjalan sementara waktu. Hanya duduk saja.
"[Name] bertanya kepadaku soal nomor kamarmu. Kau tidak mau dia menjengukmu?"
Aku membuang muka. "Jangan beritahu dia."
Yuki mendengus. "Memangnya kalian bertengkar? Siapa tahu kehadirannya bisa memulihkan kakimu lebih cepat?"
Tanganku terkepal erat hingga ujung kuku memutih. "Pulih digunakan saat berjalan pun, kakiku tidak bisa digunakan untuk bermain sepak bola lagi! Dokter bilang begitu."
Iris keperakan Yuki memandangku tajam. Jemarinya mengetuk layar ponsel. Astaga, apa yang sedang dilakukannya? Firasatku tidak baik saat melihat tindakannya sekarang.
"Moshi-moshi? Momo ada di ruang pasien VIP nomor 1115."
"Bodoh! Kenapa kau menghubunginya?" Aku memejamkan mataku sembari memijat dahi. Kondisiku saat ini benar-benar menyedihkan. Kaki yang nyeri jika dipaksa bergerak. Rumorku tak bisa bergabung dengan tim sepak bola sekolah yang menyebar.
Aku tidak mengharapkan [Name] datang. Dia tak seharusnya melihatku.
Ah, mungkin apa ini yang gadis itu rasakan? Merasa tidak berdaya dengan kekurangan yang dialami. Ketika hidup merasa sempurna dengan segala kenyamanan, tetapi kita tidak akan pernah tahu kapan kita akan jatuh sedasar-dasarnya.
"Permisi," tutur suara yang kukenali datang kurang setengah jam kemudian. Ia mendorong pelan pintu yang dibuka sedikit, tetapi dicegat oleh Yuki.
"Jangan cemaskan aku. Semoga kalian segera berbaikan," ucap Yuki menepuk pelan bahu [Name], lalu meninggalkan kami berdua. Gadis itu terlihat canggung berjalan menuju arahku, lalu melihat arah bawah nakas. Sejumlah pemberian parsel dan cokelat-cokelat menggunung dalam beberapa kantong yang tergeletak di sana.
Tentu saja Yuki membawa semua itu sebagai perantara karena larangan besuk berjamaah terhadapku sementara. Sahabat baikku.
"Apa kau baik-baik saja? M-maaf, pertanyaanku bodoh," ujar [Name] duduk dengan kikuk.
Aku tersenyum lemah. "Rumor itu benaran, kok. Aku tidak akan bisa bermain sepak bola lagi."
Ekspresi muram gadis itu terlihat jelas; sama seperti pengakuanku pada stasiun waktu itu.
"T-tapi aku masih bisa berjalan! Jangan khawatir," timpalku tak ingin ia semakin sedih.
"Kau tidak perlu menghiburku. Justru ... aku ingin menjadi bagian dari kekuatanmu. Pasti berat sekali rasanya karena sudah susah-susah berjuang, tetapi mimpi itu belum bisa terwujud."
[Name], jangan terlalu baik kepadaku! Aku tidak mau salah mengira. Kalau kau menyampaikan dengan suara selembut itu, aku akan menaruh harapan lebih kepadamu. Aku ... akan menganggapmu memiliki perasaan yang sama denganku.
"Kau tak perlu melakukan atas rasa balas budi."
Gelengan cepat terespons cepat oleh gadis itu. "Aku bukan melakukan ini bukan karena rasa kasihan, melainkan ...."
Sebungkus cokelat berbentuk hati itu diedarkan kepadaku.
"Aku juga ingin bangkit bersamamu, jadi ... mohon bantuannya!"
Menerima dalam keadaan membatu sejenak, aku pun mencubit kedua pipiku. Nyeri. Mataku pun mulai terasa basah.
"Apa kau tak masalah jika aku tidak akan menjadi pesepak bola lagi?"
"Aku suka padamu bukan karena itu! Aku yakin, Momo-san akan bersinar selama menemukan mimpi-mimpi yang lain. Masalah wajahku akan berlalu jika aku berusaha memperbaikinya."
Bangkit. Iya, aku hanya harus bangkit dari permasalahan ini.
Tatapan kami yang beradu mengarahkanku pada sebuah tarikan pada pergelangan tangan gadis itu, menariknya pelan ke dalam pelukanku. Memang kenyataan ini terasa berat, tetapi rasanya hatiku terasa jauh lebih lapang. Ada sesuatu yang dapat kami perjuangkan bersama.
"Terima kasih, [Name]."
Usai melepas pelukan itu, ia berucap, "Sebenarnya, aku ingin menjawab perasaanmu hari itu juga, tetapi kau tetap tidak bisa dihubungi sampai Yuki yang memulai semua ini."
Aku terkekeh kaku. "Ya, aku harus menyampaikan banyak terima kasih kepadanya."
Jika ditanya, apakah aku menyesal menolong balita itu hingga kakiku seperti ini? Tentu saja tidak. Itu bukan salahnya. Mungkin ada sebuah pilihan kehidupan lain yang lebih indah dari itu. Mungkin tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Mungkin butuh bertahun-tahun lamanya agar dapat menyadari arah kehidupan.
OMAKE
Tahun demi tahun pun berlalu. Perjalanan masa berseragamku pun berakhir. Aku bersyukur masih bisa menghadiri kelulusan. Masih ada kesempatan perkuliahan yang dapat kujalani.
Kami berbeda minat, tetapi masuk pada universitas yang sama. Aku memilih jurusan seni, sedangkan [Name] memilih jurusan komunikasi. Ada pun sebuah kenyataan indah terjadi. [Name] menjadi gadis yang lebih percaya diri. Kondisi wajahnya memang belum semulus yang diingininya. Padahal, menurutku sudah jauh lebih baik. Namun, ia masih menggerutu akan bekas-bekas jerawat yang kehitaman.
"Sudah siap?" tanyaku menunggu di depan pintu apartemennya yang setengah terbuka.
Gadis itu menata tumit pada ujung sepatu, lalu mengaitkan sela jariku. "Sudah! Mau dengar berita?"
Aku menaikkan alis. "Berita?"
"Sebuah berita yang sangat baik," ungkap [Name] tersenyum berseri.
"Katakan sekarang, jangan membuatku penasaran," ujarku didera perasaan menggebu.
[Name] berbisik, "Hasil fotomu sangat disukai oleh salah satu dosenku. Kemungkinan besar kau akan diajak melakukan proyek besar."
Manikku terbelalak. Ada kejadian saat aku memberikan foto kepada [Name] untuk diikutkan lomba. Saat itu aku meraih peringkat ketiga, tetapi respons yang diberikan cukup positif.
"Oke, hari ini kita makan-makan!" ajakku mengeratkan gandengan.
[Name] menepuk pelan bahuku seraya berucap, "Kalau begitu, aku mau wagyu!"
Aku memungut helaian bunga sakura yang jatuh di atas bahu gadis itu, lalu mengecup pipinya. "Boleh."
Refleks [Name] memegang pipi yang memerah, lalu memasang senyuman malu.
Beruntung. Mungkin itu yang dapat kusimpulkan setelah masa-masa yang berlalu. Menjalani masa depan secara keberlanjutan dengan gadis yang kusayangi. Tentu saja masalah tetap selalu ada. Namun, aku yakin semua akan berakhir baik-baik saja.
Tidak ada yang salah dengan terbenam, tetapi tak lupa jika harus bangkit lagi.
Perlahan, tetapi pasti.
Terbit bagai mentari.
- FIN -
A/N:
Karena sejumlah alasan, tulisan ini dirombak jadi oneshot dengan penceritaan Momo sebagai POV pertama. Sepertinya ini tulisanku yang pertama memakai karakter cowok sebagai "aku". Agak OOC, tapi setidaknya tulisan ini bisa selesai.
Jiwa idealis ini nyebelin sih, jadi karena akunya perfeksionis dan selesainya butuh waktu lama, malah dijadiin cerita lepas x"D
Anyway, terima kasih sudah membaca.
Sincerely,
Agachii.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro