Chapter 20
Terdengar pintu berderit terbuka membuyarkan lamunanku, kulihat Aiden dan Grace datang bersamaan, aku berdiri menghampiri mereka, Grace langsung melangkah mendekati ranjang Renesya sedangkan Aiden menghelaku duduk di sofa.
“Apa yang dikatakan dokter?” tanyanya langsung.
“Kemungkinan besar dalam waktu dua atau tiga hari Renesya akan mendapatkan kembali kesadaran, namun dokter juga belum bisa memastikan jika seandainya ada kemungkinan lain, bisa jadi dia akan mengalami koma lebih lama lagi.”
“Oh ya Tuhan! kenapa kalian berdua seperti bertukar peran begini, dia seolah menggantikanmu koma.”
“Apa mungkin dia akan mendapatkan ingatannya kembali?”
“Aku tidak tahu, untuk saat ini yang aku inginkan hanyalah dia cepat sadar.” aku tidak sanggup membayangkan dia koma dalam waktu lama, itu mengerikan.
“Cepatlah sadar Renesya aku disini” terdengar suara serak Grace terisak di samping Renesya.
“Nesya, maafkan aku, seharusnya aku tidak membiarkan Marcus melakukan semua ini padamu.” Grace menangis di samping Renesya seraya menggenggam tangannya.
Kepalaku semakin pening mendengar tagisan Grace, dia seolah sengaja ingin menyudutkanku. Ya! dia memang benar, semua ini salahku, andai saja aku tidak egois semua ini tidak akan terjadi.
Berusaha mengembalikan fokusku pada Aiden. “Apa kau bisa menghentikan semua berita murahan itu?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Itu tidak mudah, semua artikel sudah menyebar luas, kau menjadi pencarian nomor satu di berbagai macam situs media, misalkan kita menghapus yang satu maka akan muncul lainnya lebih banyak lagi, semua orang sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi, mereka membutuhkan konfirmasi.”
“Lalu kau pikir aku harus mengadakan konferensi pers dengan situasi seperti sekarang, kau gila ya!”
“Tentu saja tidak! biarkan saja situasi yang terjadi saat ini, pasti nanti akan reda dengan sendirinya. Yang terpenting sekarang hanyalah kondisi kesehatan Renesya, jika nanti dia sudah sadar dan kondisinya semakin mebaik baru kita pikirkan langkah selanjutnya.”
“Kau harus memastikan tidak ada satupun pencari berita atau paparazzi yang berhasil menerobos kesini, beri penjagaan yang ketat, aku tidak ingin keributan apapun.”
“Kau tenang saja aku sudah mengatasinya, lagipula keamanan rumah sakit juga telah memberikan larangan keras bagi mereka agar tidak masuk ke dalam karena bisa mengganggu kenyamanan pasien lainnya.”
“Renesya! kau sudah sadaar!” pekik Grace tiba-tiba. aku dan Aiden langsung beranjak menghampiri mereka. .
“Dia barusan menggerakan jarinya.” terang Grace pada kami, aku segera menakan tombol di samping ranjang, namun aku melihat Renesya belum membuka matanya. “apa kau yakin? tanyaku memastikan?”
“Kita tunggu saja dokter datang.” ujar Aiden.
Beberapa saat kemudian dokter dan dua orang perawat datang dan menyuruh kami semua meninggalkan ruangan tersebut selama mereka melakukan pemerikasaan.
***
Aku menunggu tidak sabar, terus berjalan mondar mandir di depan ruang rawat Renesya, dokter dan perawat yang memeriksa keadaan Renesya belum juga keluar. Aiden dan Grace duduk pada deretan kursi tidak jauh dari tempatku berdiri, mungkin mereka ikut pusing melihat ulahku yang tidak bisa diam menunggu dengan tenang.
“Tenanglah, dia pasti baik-baik saja.”
“Aku yakin Renesya pasti sudah sadar.” Grace ikut menimpali, dalam hati aku mengamini perkataan mereka, dan aku berharap semoga ingatannya juga pulih.
Dokter baru saja keluar, aku menanti dengan cemas, kira-kira apa yang akan dikatakannya.
“Pasien sudah sadar, kalian boleh melihatnya tapi bergantian saja, karena kondisinya masih rentan, diharapkan untuk tidak membuat keributan agar pasien tidak terganggu.”
“Baik dokter.” sahut kami serempak dan mengucapkan terimakasih.
Lalu dokter dan para perawat meninggalkan kami.
“Aku akan masuk lebih dulu.” ujarku seraya membuka pintu ruang rawatnya, melangkah masuk ke dalam, pandangan mataku menatap lurus tubuh Renesya yang masih terbaring di atas ranjang, wajahnya menoleh ke arah lain, membelakangi pintu tempatku berdiri dengan canggung, aku belum berani bersuara apapun, Renesya tidak menyadari kehadiranku, aku pun melangkah perlahan mendekatinya
“Bagaimana keadaanmu? mana yang sakit?” ujarku setelah menemukan kembali suaraku yang sempat tersangkut di tenggorokan, perlahan Renesya memalingkan wajahnya ke arahku. Detik itu pula ia nampak terkejut, sebuah kerutan tercetak jelas di keningnya, ada raut tidak suka di sana. Sepertinya mimpi burukku masih belum berakhir.
“Untuk apa kau disini, dasar pria gila!” ucapnya tajam, aku mengerutkan kening bingung, jadi benar dugaanku, Renesya belum mengingat apapun, dia masih menganggapku orang lain yang sengaja menculiknya,
Aku mencoba memasang raut datar dan berusaha setenang mungkin, “Aku yang bertanggung jawab terhadapmu saat ini.” sahutku dingin seolah tidak ada emosi sedikitpun dalam diriku.
“Aku tidak butuh tanggung jawabmu, sekarang cepat pergi dari sini, aku akan mengurus diriku sendiri setelah keluar dari tempat menyebalkan ini.” Renesya kembali memalingkaan wajahnya, sama sekali tidak ingin melihatku. Ya Tuhan cobaan macam apa lagi ini? sekarang ia semakin membenciku, apalagi yang harus kulakukan.
“Aku akan tetap berada di sini sampai kau benar-benar sembuh.” tekanku keras kepala lalu duduk pada kursi di samping ranjangnya, aku terus menatapnya tanpa suara, sedangkan Renesya justru bergeming tidak lagi membalas perkataanku, dia menatap ke arah manapun yang pasti bukan kepadaku.
Ingin sekali aku menggenggam tangannya, mengecup keningnya, menyuarakan semua kerinduan yang menyesaki hatiku tapi sayang sekali semua itu belum bisa kulakukan saat ini. Aku sangat bersyukur, setidaknya aku bisa melihat kembali mata coklat jernihnya yang suka menatapku tajam, mendengar suaranya lagi saat mendebatku. Semua itu sudah lebih dari cukup bagiku, yang pasti dia akan baik-baik saja.
Renesya menekan sebuah tombol di samping ranjang. Beberapa saat kemudian seorang suster tiba-tiba masuk ke dalam ruangan.
“Suster, tolong usir pria ini, aku sedang ingin beristirahat dan tidak ingin di ganggu.”
“Mari Tuan silakan anda keluar dulu.”
“Hei! aku tidak mengganggunya, aku hanya menemaninya.”
“Tapi pasien sedang ingin sendiri sebaiknya anda keluar saja.”
“Ya suster cepat bawa dia pergi, aku tidak ingin melihatnya.”
Akupun menyerah, dan mengikuti keinginannya, “baiklah aku bisa berjalan keluar sendiri.” dengan langkah lesu akupun pergi meningalkan ruangan tersebut.
Grace dan Aiden segera berdiri saat melihatku keluar dari kamar Renesya.
“Apa yang terjadi? kenapa kau keluar cepat sekali?”
“Renesya masih belum mendapatkan ingatannya, dia justru semakin membenciku.” aku tidak bisa menyebunyikan nada getar penuh kecewa di dalam suaraku. Aku terduduk lemas pada kursi di ruang tunggu.
“Bagimana ini? Renesya pasti berpikir dia benar-benar sendirian saat ini, tidak mengenal siapapun, dan dia juga menolak kehadiran Marcus, apa yang harus kita lakukan? tidak mungkin membiarkannya begitu saja.” Aidem nampak berfikir keras. Apa yang dia katakan memang benar, sejauh ini yang Renesya ketahui hanyalah diriku, tapi melihatku saja ia muak.
“Aku saja yang akan menjaganya.” Grace membuka suara, aku menoleh cepat padanya. “Yang benar saja?”
“Apa yang akan kau katakan padanya? pasti dia bertanya kenapa tiba-tiba kau berada di sini, jangan mengambil resiko." jawab Aiden, kurang setuju.
“Aku akan mengatasinya sendiri, tenang saja, aku punya seribu alasan, saat ini Renesya sangat membutuhkanku.”
Grace sudah menghilang dibalik pintu ruang rawat Renesya sebelum kami berdua sempat menanggapi ucapannya. Baiklah mungkin dia memang benar, yang penting Renesya tidak merasa sendirian lagi.
“Sebaiknya kau kembali ke kantor, urus semua kekacauan media yang terjadi saat ini, kalau bisa bungkam mereka semua, jangan sampai ada satupun yang terlewat, aku akan menemui dokter dan membicarakan bagaimana keadaan Renesya saat ini.” Aiden hanya mengangguk sekilas dan kami memilih langkah masing-masing.
Chieva
18 Juni 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro